Dok
MATERI TARBIYYAH
MARHALAH TAMHIDI
________________________
MADAH : FIQIH
: /MT/KDR/001
: 2x
Status Revisi
: 1/0
Jumlah Halaman
: 8
. .
Fiqh ibadah telah mendapatkan porsi besar dalam sejarah fiqh kita. Telah ditulis
beribu-ribu buku, ada yang ringkas, ada yang luas. Ada yang focus pada hukum-hukum
yang dikukuhkan dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah, ada pula yang terikat dengan
satu madzhab, atau perbandingan antar madzhab, atau yang langsung digali dari Al
Quran dan As Sunnah. Semua jenis kitab mendapat sambutan pada sebagian umat Islam
dan penolakan dari sebagian yang lain.
Menurut dugaan kami, fiqhul ibadah tidak banyak membutuhkan buku yang
mengulang-ulangnya apa yang sudah ada di masa lalu, dengan merubah judul, bab,
maupun redaksinya. Akan tetapi yang dibutuhkan mendesak adalah metode baru dalam
menemukan fiqh secara menyeluruh termasuk di dalamnya adalah fiqhul ibadah- yang
sejalan dengan realitas Islam dan kaum muslimin, agar fiqh mampu kembali menjadi
factor utama pembangunan masyarakat islamiy yang dinanti-nanti, dan agar berperan
maksimal dalam kebangkitan Islam sekarang ini. Inilah yang kami upayakan dalam ktab
ini. Dengan senantiasa bermohon kepada Allah agar menghindarkan kami dari
ketergelinciran.
Kami memandang perlu menyajikan kitab ini disertai dengan pembahasan urgen
tidak hanya untuk memahami metode mendapatkan fiqh, tetapi juga untuk menentukan
sikap yang tepat, yang sebaiknya dipilih oleh para aktifis Islam, dan para daI, penyeru ke
jalan Allah, untuk setia dengannya menghadapai serangan pemahaman yang beraneka
ragam, sehingga tidak menghilangkan peran utamanya dalam usaha serius menegakkan
hukum Allah di muka bumi.
METODE MEMAHAMI FIQH
Al Fiqh adalah sekumpulan hukum syariy yang wajib dipegangi oleh setiap
muslim dalam kehidupan praktisnya. Hukum-hukum ini mencakup urusan pribadi
maupun sosial, meliputi:
1. Al Ibadah: yaitu hukum yang berkaitan dengan shalat, haji dan zakat. Inilah yang
menjadi tema kitab ini
2. Al Ahwal asy Syahsiyyah: yaitu hokum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal
sampai akhir
3. Al Muamalat: yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu
dengan yang lain seperti hukum akad, hak kepemilikan, dll
4. Al Ahkam As Sulthaniyah: yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan negara dan
rakyat
5. Ahakmus silmi wal harbi: yaitu yang mengatur hubungan antar negara
Sesungguhnya kompleksitas fiqh Islam terhadap masalah-masalah ini dan
sejenisnya menegaskan bahwa Islam adalah jalan hidup yang tidak hanya mengatur
agama tetapi juga mengatur negara.
DARI MANA HUKUM-HUKUM SYARI DIGALI?
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa referensi dasar setiap muslim untuk
menggali hukum-hukum Islam adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perbedaan pendapat
terjadi pada sumber-sumber hukum lainnya, yaitu: Ijam, qiyas, istihsan, maslahah
mursalah, dan al urf/adapt kebiasaan.
Kenyataannya sumber-sumber yang berbeda-beda ini tetap merujuk kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul juga. Dari itulah dapat dikatkan bahwa : Al Quran dan As
Sunnah adalah dua referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum Islam hal ini
tidak berarti kita menolak sumber hukum lainnya, akan tetapi sumber-sumber hukum
yang lain itupun merujuk kepada Al Quran dan As Sunnah.
MACAM-MACAM HUKUM SYARI
Hukum Syariy ada dua macam, yaitu:
1. QATHIY, yaitu sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al Quran dan As Sunnah
dengan kesimpulan yang qathiy/ pasti: seperti:
Kewajiban shalat, dari firman Allah.: . .
Sekumpulan hukum yang digali oleh para ulama dari sumber-sumber syariy yang lain
dengan berijtihad. Di antara contoh bagian pertama adalah:
Besaran usapan kepala yang wajib dilakukan dalam berwudhu, seluruh kepala
menurut Imam Malik dan Ahmad, cukup sebagiannya menurut Abu Hanifah dan Asy
Syafiiy. Hal ini karena huruf BA dalam firman Allah:
dapat difahami dengan berbagai pemahaman, dan tidak terbatas pada satu makna.
Jarak perjalanan musafir yang memperbolehkan berbuka bagi orang yagn berpuasa,
dan mengqashar shalat. Empat pos menuurt madzhab Malikiy, Syafiiy dan Hanbali,
sekitar 90 km. karena hadits Al Bukhari: Bahwasannya Ibnu Umar dan Ibnu Masud
ra keduanya mengqashar shalat dan berbuka pada jarak empat pos. Menurut madzhab
Hanafiy jaraknya adalah perjalanan tiga hari, (sekitar 82 sampai 85 km) karena hadits
Al Bukhariy: Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kahir,
melakukan perjalanan sejauh tiga hari tanpa disertai mahram.
Dan jelas sekali, bahwa pengambilan kesimpulan dari hadits di atas bersifat
zhanniy/hepotesis.
Diantara contoh jenis kedua adalah:
Isteri orang yang hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah mati.
Ijtihadnya madzhab Hanafi dan Syafii memutuskan bahwa wanita itu menunggu
sehingga orang-orang yang sebaya dengan suaminya itu mati, sehingga dapat
menyimpulkan bahwa suaminya sudah mati, dan katika itu baru diputuskan
berakhirnya status suami isteri dan diperbolehkan menikah dengan orang lain.
Dalilnya adalah bahwa orang yang hilang itu semula dalam keadaan hidup. Dan
prinsipnya ia masih hidup sehingga ada dalil kematiannya. Ini adalah dalil ijtihadiy
yang bersifat zhanniy. Sedangkan dalam ijtihadnya madzhab Malikiy, dapat
diputuskan berakhirnya status suami isteri antara suami yang hilang, sesuai dengan
permintaan isteri setelah lewat masa empat tahun hilang dalam keadaan damai
( bukan perang) dan satu tahun dalam keadaan perang. Dalilnya adalah menjaga
maslahat isteri dan mencegah hal-hal buruk baginya, menghindari kerugian yang
timbul dengan mempertahankannya dalam keadaan tergantung. Hal ini juga bersifat
ijtihadiy dan zhanniy.
SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH ISLAM
1. DI MASA RASULULLAH SAW
Rasulullah saw semasa hidupnya menjadi referensi setiap muslim untuk
mengetahui hukum agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al Quran maupun dari
Sunnahnya; yang mencakup: Perbuatannya, ucapannya, dan ketetapannya. Hokum yang
Rasulullah perintahkan adalah hokum Allah yang bersifat qathiy meskipun berbentuk
pemahaman terhadap ayat Al Quran atau tafsirnya. Karena peran Rasulullah adalah
menjelaskan Al Quran. Firman Allah: Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan. (QS. An Nahl: 44),akan tetapi para sahabat tidak selalu
dekat dengan Rasulullah sehingga setiap saat bias bertanya kepadanya tentang hokum
agama yang muncul, sebab di antara para sahabat ada yang musafir, muqim di negeri
yangjauh. Maka apa yang bisa mereka lakukan jika ada masalah.
Logis dan riilnya: Apa yang bias dilakukan oleh seorang muslim yang awam,
dan tersibukkan dengan urusan pekerjaan? Apa yang bisa dilakukan seorang arsitek,
dokter, dll jika menghadapi masalah agama? Apakan kita mengharuskannya untuk
mengkaji buku-buku tafsir, dan hadits untuk mendapatkan nash atau tidak? Lalu jika
tidak menemukan maka harus merujuk kepada buku-buku bahasa, agar
memahaminya. Jika menemukan lebih dari satu nash maka harus mentarjih salah
satunya. Dan ini tidak akan terjadi kecuali setelah melakukan kajian panjang,
mengetahui nasakh mansukh, dll. Jika tidak menemukan nash, kita haruskan
berijtihad. Sementara seseorang tidak akan bisa berijtihad jika tidak memilki
kemampuan ijtihad.
Dan ketika kita perketat syarat ijtihad maka kebanyakan orang tak akan
mampu, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, atau akan terjadi ijtihad tanpa batasan
syariy, tanpa ilmu. Dan ini lebih berbahaya daripada mengembalikan mereka kepada
ulama yang telah menfokuskan diri untuk menggali hukum.
Realitas madrasah salafiyah sendiri sudah tidak rahasia lagi- bahwa ulama
madrasah ini banyak berbeda pendapat satu dengan yang lainnya dalam masalah
hukum Islam, bisa karena perbedaan penafsiran, atau mentashih hadits, atau dalam
menggali hukum, dan setiap ulama itu memiliki pengikut pendapatnya.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini bukan taqlid tetapi ittiba karena pengikut
itu mengetahui dalilnya dan menerimanya. Kami katakana: Mengapa para ulama itu
tidak mengenali dalil ulama lain dan menerimanya? Apakah ketika seseorang
menerima dalil salah seorang ulama dianggap tidak ada nilainya karena berbeda
dengan ulama lainnya? Apa bedanya hal ini dengan para pengikut yang menerima
dalil yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar, dengan para pengikut taqlid
tanpa bertanya tentang dalilnya, karena dia menyadari ketidak mampuannya untuk
menerima atau menolak dalil?
Terakhir, telah berlangsung ijma tentang diperbolehkannya taqlid sejak abad
pertama, meskipun ada sebagian sectarian pengikut madrasah salafiyah yang berbeda
pendapat. Pada kenyataannya mereka menerima taqlid itu dengan bentuk lain.
b. Taqlid bukanlah kewajiban
Diantara kesalahan populis pada fase fanatic madzhab adalah terbaginya kaum
muslimin pada mujtahid dan muqallid, lalu tertutupnya pintu ijtihad, sehingga setiap
orang menjadi muqallid termasuk para ulama dan pencari ilmu. Karena itulah melemah
atau hilang semangat untuk mengkaji, diskusi, dan pendalaman. Obsesi para ulama
muqallid hanya terbatas pada pembelaan pendapat madzhabnya meskipun dengan dalil
yang lemah, meskipun mereka tidak berhak karena statusnya sebagai muqallid, untuk
berbeda dengan madzhab. Al Iz ibn Abdussalam dalam kitabnya: Qawaidul Ahkam
mengkritik para fuqaha yang menyikapi kelemahan dalil imamnya, lalu berusaha mencari
pembenarannya, dan tidak menemukan pembelaan kelemahannya, tetapi masih saja
mengikutinya dengan meninggalkan Al Kitab, As Sunnah dan qiyas yang shahih, karena
mempertahankan kejumudan taqlid imamnya.
Kalimat ini tidak kami maksudkan untuk membuka pintu ijtihad yang bisa
dimasuki siapa saja tanpa kemampuan yang cukup. Kami hanya bertujuan untuk
mengatakan bahwa taqlid dan urgensinya adalah dalam batas mubah dan boleh, tidak
akan berubah menjadi wajib, kecuali pada orangawam yang sama sekali tidak memiliki
kemampuan pengkajian dan penelitian. Sedangkan bagi orang yang mampu mempelajari
dan meneliti, atau mumpuni untuk berpindah dari taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa
mengetahui dalilnya) kepada ittiba (mengikuti pendapat ulama setelah mengetahui
dalilnya). Mengetahui dalil dan menerimanya tidak berarti melegitimasinya menjadi ahli
ijtihad, hanya memperbolehkannya, bisa jadi dalam satu masalah ketika memepelajari
dalil-dalil madzhabnya kemudian menemukan kelemahan dalil itu mengharuskannya
untuk mengambil pendapat madzhab lain yang lebih kuat. Posisi ini dapat disebut
sebagaimana Imam Hasan Al Banna- menyebutnya : Level mengkaji hukum agama
atau level orang yang mampu mengkaji hukum-hukum agama, memahaminya,
mengenali dalilnya, dan merujuk kepada sumber utama untuk menilainya.
c. Taqlid tidak terbatas pada empat Madzhab
Masalah populer yang ada di masa fanatic madzhab adalah pembatasan taqlid
pada empat madzhab saja. Hal ini tidak berdasar pada dalil syariy yang melarang taqlid
ulama lainnya.
Dasarnya hanyalah bahwa madzhab empat itu telah lengkap pembukuan dan
penjelasannya, yang dapat diperoleh dengan berurutan, terbagi menurut bab yang rapi,
dan tersedia para ulama yang mengajarkan, sehingga bisa dengan mudah meyakinkan dan
menisbatkan pendapat itu kepada aslinya, imamnya atau madzhabnya.
Sedangkan madzhab lainnya maka sangat sulit untuk menemukan nisbat pendapat
itu kepada yang berhak. Kalau toh bisa ditemukan nisbatnya, pendapat-pendapat itu tidak
didukung oleh para pengikut madzhab yang menjelaskannya ketika membutuhkan
penjelasan.
Atas dasar sebab-sebab teknis di atas itulah kemudian para ulama membatasi
taqlid hanya pada empat madzhab saja.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini, ketika buku-buku klasik Islam telah dicetak
dan telah berada di tangan kaum muslimin, dan pendapat para sahabat dan tabiin serta
para mujtahid -baik fase sebelum era empat madzhab, atau yang semasa mereka, atau
sesudahnya- telah tersebar dan sangat mudah untuk menisbatkan kepada pemilik aslinya.
Maka tidak ada lagi halangan untuk bertaqlid kepada mereka dalam satu masalah atau
yang lainnya jika berkemampuan untuk mengkaji dalil-dalilnya. Apalagi jika ditemukan
bahwa dalil-dalil mereka lebih kkuat dari dalil yang sedang diamalkan sekarang ini.
Al Izz bin Abdussalam berkata: .. maka ketika ada madzhab yang menurutnya
lebih kuat, maka bagi orang yang taqlid itu diperbolehkan mengikutinya meskipun di luar
empat madzhab.
d. Diperbolehkan iltizam/konsisten dengan satu madzhab bagi orang awam
Diantara kesalahan yang menyebar di kalangan kaum muslimin pada masa
taashshub madzhab adalah kewajiban iltizam dengan satu madzhab saja, dan haram
intiqal/berpindah ke madzhab lainnya. Dan jawaban dari pandangan yang sektarian ini
adalah larangan iltizam dengan satu madzhab. Kedua pendapat ini tanpa dalil.
Kewajiban iltizam dengan satu madzhab dan larangan intiqal madzhab lain baik
secara umum maupun dalam masalah tertentu, baik sebelum atau sesudah
mengamalkannya, tidak ada dalil syarinya. Sebab yang wajib adalah yang diwajibkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu iltizam dengan hukum syariy, dan memperbolehkan kita
jika tidak mengetahuinya langsung dari Al Quran dan As Sunnah untuk bertanya kepada
ahludzdzikri tanpa ada pambatasan satu persatunya. Para sahabat bertanya kepada para
fuqahanya, adan fuqaha menjawab pertanyaan mereka, dan tidak seorangpun dari
sahabat yang ditanya itu mewajibkannya untuk tidak bertanya lagi kepada yang lain baik
dalam masalah itu maupun masalah yang lainnya. Demikianlah kaum muslimin di
sepanjang masa, sampai di masa empat imam madzhab itu sendiri. Tidak ada seorangpun
dari mereka yang melarang muridnya mengambil pendapat ulama lain, tidak pernah ada
pemikiran yang mewajibkan iltizam dan melarang intiqal kecuali pada masa belakangan
saja.
Demikian juga pendapat yang mengharamkan iltizam dengan satu madzhab dan
menganggapnya sebagai syirik, juga tidak ada dalilnya. Jika ada seseorang yang merasa
cocok dengan salah satu ulama karena ketaqwaannya, dan selalu lebih ia sukai fatwanya,
maka dalam Islam juga tidak ada dalil yang melarangnya, baik ulama itu dari kalangan
empat madzhab atau selainnya. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa iltizam itu
hukumnya wajib syariy. Kemudian jika suatu saat ingin intiqal ke madzhab lain, maka
tidak ada yang menghalanginya, (dengan memperhatikan penjelesan berikut tentang
talfiq).
e. Kewajiban mengikuti dalil bagi pengikut yang mampu mengkaji
Sedangkan seorang muslim pengikut madzhab yang sudah mampu mempelajari
hukum syariy maka kewajibannya adalah mencari dalil setiap masalah yang dikajinya,
mendalaminya, memahami pendapat yang berbeda dan dalil-dalilnya, kemudian memilih
yang paling dekat dengan Kitabullah dan As Sunnah, meskipun sikap ini membuatnya
mengambil madzhab ini dan itu, bahkan jika mengharuskannya untuk berijtihad sendiri
dalam masalah-masalah baru yan belum dibahas oleh ulama sebelumnya.
Walau demikian, tidak ada larangan syariy bagi seorang muslim pengikut
madzhab untuk mengikuti satu madzhab sehingga dia mampu mempelajari seluruh
masalah dengan keharusan mengikuti dalil yang lebih kuat dan bertahan pada dasar
madzhab pilihannya dalam masalah lain. Karena Allah tidak pernah memberikan taklif
kepada seseirang kecuali sebatas kemampuannya. Terkadang seorang muslim harus
berbulan-bulan tafarrugh (menfokuskan diri) untuk mempelajari satu masalah sehingga
dapat menemukan dalil yang lebih kuat yang memuaskannya. Maka tidak salah kalau dia
masih menjadi muqallid (taqlid) dengan salah satu imam, sehingga ia mampu
mempelajari masalah. Lalu ketika telah menemukan dalilnya masih bersama dengan
imam yang diikutinya, ia bisa bertahan di situ. Dan jika mendapatkan dalil yang kuat ada
pada imam lain, maka ia akn pindak ke pendapat lain.
f. Diperbolehkan Talfiq
Talfiq artinya mengambil dari berbagai madzhab untuk satu masalah dan sampai
kepada cara madzhab itu berpendapat. Akan kami jelaskan masalah talfiq dengan singkat
berikut ini:
Mengambil satu masalah dari satu madzhab, dan mengambil masalah lain dari
madzhab lain yang tidak berhubungan dengan masalah pertama diperbolehkan menurut
jumhurul ulama yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu madzhab dan
memperbolehkan intiqal ke madzhab lain. Seperti seorang muslim yang shalat dengan
madzhab Syafiiy, kemudian zakatnya dengan madzhab Hanafi, atau puasa dengan
madzhab Maliki.
Iltizam tentang satu masalah syariy dengan satu madzhab, lalu intiqal ke
madzhab lain dalam masalah yang sama. Seperti shalat zhuhur dengan satu madzhab,
kemudian shalat ashar dengan madzhab lain. Hal ini juga diperbolehkan oleh Jumhurul
Ulama yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu madzhab.
Bentuk talfiq yang diperselisihkan boleh tidaknya adalah talfiq dalam satu
masalah saja. Seperti seorang muslim berwudhu mengusap sebagian kepala, sesuai
dengan madzhab Syafiiy, kemudian menyentuh wanita dan merasa tidak batal, taqlid
imam Abu Hanifah dan imam Malik yang tidak menganggap bersentuhan wanita tidak
membatalkan wudhu, kemudian ia shalat. Para ulama madzhab belakangan mengatakan:
wudhu ini sudah batal, karena telah bersentuhan dengan wanita, dan tidak sah menurut
Abu Hanifah karena mengusap kepalanya tidak sampai seperempat, tidak sah menurut
Imam Malik karena tidak mengusap seluruh kepala. Talfiq di sini menyeret kepada cara
yang tidak diajarkan oleh madzhab manapun. Inilah yang tidak diperbolehkan.
1. Sesungguhnya talfiq jika dilakukan dengan dalil yang kuat dari orang yang
mampu mengkaji dalil-dalil hukum syariy, diperbolehkan. Karena kewajiban
seorang muslim adalah berijtihad untuk dirinya sendiri. Dan ini bukan sisi yang
diperselisihkan.
2. Sedangkan talfiq yang dilakukan orang awam, diperbolehkan juga, karena
madzhabnya orang awam adalah mengikuti fatwa muftinya. Dan orang awam
tidak ditugaskan untuk mengkaji madzhab dan melihat sudut-sudut perbedaan,
sebab jika dia mampu melakukan hal ini tentu dia menjadi muqallid, bukan awam.
Para sahabat ra ketika bertanya tentang satu masalah tidak menanyakan kepda
seluruh orang yang mengetahuinya, dan yang ditanya juga tidak mensyaratkan
jika sudah mengambil pendapatnya dalam masalah ini agar tidak bertanya kepada
oranglain dalam masalah yang sama. Ini artinya bahwa generasi terbaik telah
melakukan talfiq, ketika madzhab dan pendapat para sahabat belum dikumpulkan
dan dibukukan. Setiap muslim dapat bertanya kepada siapa saja sahabat yang
ditemui, lalu bertanya ke sahabat lainnya, tanpa meneliti apakah dua pertanyaan
itu berkaitan atau tidak.
3. Contoh tentang wudhu di atas, dapat kami jelaskan: Bahwa wudhu itu telah benar
menurut madzhab Syafiiy, sudah benar menurut pandangan Syariy, karena
madzhab Syafiiy bukan syariat yang berdiri sendiri, tetapi pintu yang
dipergunakan seorang muslim untuk sampai kepada syariah Allah. Ketika sudah
masuk ke madzhab itu ia sudah berada di ruang syariah, wudhunya benara dalam
pandangan syariah, jika dia menyentuh wanita dengan mengikuti madzhab
Hanafi maka wudhunya tetap sah sesuai dengan madzhab itu, artinya sesuai
dengan syariat Islam, karena madzhab hanafi juga bagian dari syariat Islam
4. Kemudian talfiq yang dilakukan dengan dalil yang kuat, oleh orang yang
mumpuni, dan larangan bagi orang awam, akan berkonotasi bahwa ada satu
masalah yang haram atas seorang muslim dan halal bagi muslim lainnya. Hal ini
tidak bisa diterima dalam hukum Islam yang di antara karakteristiknya adalah
menyeluruh. Yang telah halal dalam syariah halal untuk semua, dan yang haram
untuk dalam syariah haram untuk semua.
lembaga dan tampil para ulama yang semua bergerak untuk tujuan itu dengan
menganggapnya sebagai kewajiban agama.
Kebangkitan Islam yang dikumandangkan di masa sekarang ini, mengcover ruang
yang sangat luas dalam masyarakat muslim, pemerintahan dan partai ssangat
membutuhkan
upaya untuk menaikkan syiar (benderanya) melipat gandakan
gelombangnya disadari atau tidak.
Gelombang kebangkitan ini dalam banyak sisi masih berupa ssemangat dan
perasaan yang masih sangat membutuhkan pemahaman sehingga mampu memainkan
perannya dengan signifikan. Al wayu (keterjagaan) yang bersih hanya bisa dibangun
lewan tafaqquh (pemahaman) yang benar terhadap madzhab-madzhab yang ada di zaman
sekarang ini yang sesuai dengan situasi amal Islamiy kontempoerer. Diantara kontribusi
positif dalam penyadaran pemahamab yang bersih, ingin kami jelaskan berikut ini
beberapa masalah penting, yaitu:
1.
Quthb: Tinggallah kewajiban untuk komitmen dengan hukum-hukum Islam itu yang
harus ditegakkan di setiap pundak kaum muslimin yang berada dalam tatanan masyarkat
jahiliyah, dan bergerak menghadapi jahiliyah itu untuk menegakkan system yang
Islamiy(Fi Zhilal Al Quran juz 13 hal 21
Jika iltizam dengan hukum syariy menjadikan kewajiban, maka
mempelajari,memperhatian dan mengajarkannya menjadi kewajiban yang aksiomatik. Ini
juga menjadi konsekwensi logis dalam upaya penegakan masyarakat Islami dan
mengembalikan hukum Allah di muka bumi. Tidak ada yang bertentangan.
2.
a. Mempelajari dan mengajarkan fiqh sesuai dengan salah satu madzhab empat
imam adalah masyru, tetapi kami sarankan untuk mencari rujukan pendapt para
madzhab itu kepada sumber utamanya yaitu Al Kitab dan As Sunnah. Dan
hendaklah orang yang mempelajarinya menengok pendpat masdzhab lain jika
memungkinkan. Dijelaskan kepadanya juga bahwa pendapat-pendapat yang lain
itu juga benar, dan sangat baginya untuk berpindah mengikuti pendapt itu jika
merasa lebih cocok jika memiliki cukup alas an syariy, atau ketikadalam
kondisi darurat. Seorang daI yang bisa mengkaji perbedaan pendapat dalam satu
masalah akan menjadikannya lebih lunak bersama dengan orang lain, tidak
kecewa kepada mereka, karena satu pendapat lalu menuduhnya sesat, karena ada
pendapat lain, membuka perang horizontal tanpa ada alasan yang membenarkan.
b. mempelajari dan mengajarkan fiqh langsung dari Al Quran dan As Sunnah juga
masyru, dan merupakan dasar kajian. Akan tetapi melihat pandagan para ulama
dan madzhab-madzhab yang ada merupakan dharuriyah (kaharusan) untuk
memahami teks dengan baik. Hal ini sangat dibutuhkan oleh para daI yang
berinteraksi dengan kaum muslimin secara luas yang menjadi pengikut salah satu
madzhab. Masalah fundamental bagi para daI bukan mengeluarkan jumhurul
ummat dari pandangan satu imam kepada imam lainnya dalam masalah furuiyah,
akan tetapi agenda utamanya adalah mengentaskan jumhurul ummat ini dari
hukum jahiliyah buatan manusia untuk menegakkan syariat Allah. Dari itu tidak
ada gunanya menyuruh orang meninggalkan madzhab yang telah dipilih, untuk
mengikuti ijtihad sang daI, dengan dalil bahwa itu bersumber dari Al Quran dan
As Sunnah. Harus diketahui bahwa mayoritas pendapat yang dinisbatkan kepada
nash sesungguhnya hanyalah sekedar pemahaman terhadap nash itu, dan tidak ada
yang bisa menghalangi keberadaan pemahaman lain. Dan bahwasannya pendapat
para imam madzhab minimal adalah pemahaman yang lain yang memiliki dalil.
c. Kami sangat mengharapkan kalau para aktifis Islam, dan para daI adalah orangorang yang mampu mengkaji hukum-hukum agama beserta dalilnya. Dapat
diselenggarakan bagi mereka itu forum-forum diskusi dari waktu ke waktu
seputar masalah-masalah yang diperselisihkan dalam suasan penuh mahabbah dan
penuh tsiqah. Forum-forum ini akan memperluas pandangan dan wawasannya.
Barangkali ada titik temu antara mereka itu dalam satu pandangan, meskipun titik
temu itu tidak akan pernah menjadi satu-satunya pandangan bagi seluruh umat
Islam.
3.
mereka memang tidak membutuhkannya. Fiqih inilah yang disebut oleh Sayyid Quthb
dengan Fiqhul-harakah sebagai bandingan dari Fiqhul-Auraq/kertas yang tidak dapat
mewakili keseluruhan fiqhutturats, tetapi hanya bermuatan sebagian sisi fiqh yang masih
merupakan ungkapan di atas kertas dan belum terealisir. Sedangkan fiqhul-halal wal
haram yang diterapkan secara pribadi, maka tidak disebut Sayyid Quthb sebagai fiqhulauraq. Fiqh inilah yang diserukan untuk ditekuni dan diamalkan dengan sepenuh hati.
Fiqh yang harus dipelajari setiap aktifis Islam hari ini adalah pendalaman hukumhukum yang mengharuskan amal Islamiy modern ini, baik dari sisi pentahapan amal,
metode amal, hubungan dengan orang lain yang muslim maupun non muslinm, dengan
seluruh muatan hubungan ini mulai dari perdamaian, gencatan senjata, koalisi,
peperangan, dll sehingga perjalanan para aktifis itu dipandu oleh bukti dan petunjuk
yang jelas. Fiqh semacam ini tidak untuk menggantikan fiqhul-ibadat dan muamalah serta
bab fiqh lainnya. Fiqh ini hanya sebagian dari fiqh itu. Para ulama kita telah mengkajinya
sesuai dengan suasana saat itu, dan sekarang membutuhkan pengkajian ulang dalam
ruang lingkup kondisi sekarang.
Dua fiqh ini fiqhutturats dan fiqhul harakat- keduanya sangat dibutuhkan dan
menjadi kewajiban, sedangkan fiqhul-auraq adalah fiqh yang ditolak meskipun bagian
dari peninggalan klasik. Itulah fiqh yang mengada-ada masalah yang pernah ditolak oleh
para imam di masa lalu. Mereka berkata kepada penanya masalah yang mengada-ada itu
dengan pernyataan: Biarkan sampaia ada dahulu. Itulah cara mereka ketika hukum
Islam telah tegak berdiri, apakah pantas di zaman sekarang ini untuk kita mengurusi
masalah-masalah yang tidak terjadi, dengan melupakan problema umat Islam yang lebih
besar dan serius?
4.
saling berhadap-hadapan (diadu). Seorang daI tanpa fiqh seperti orang yang berjalan di
padang pasir tanpa bekal, dan ahli fiqh yang tidak terlibat dengan aktifitas saudaranya
dalam memikul beban berat usaha mengembalikan kekuasaan Islam sedangkan ia orang
yang pertama kali mengetahui hukum wajibnya atas setiap muslim- maka ia tidak akan
pernah menjadi contoj kebaikan sebagai seorang ulama yang mengamalkan ilmunya.