Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“PERNIKAHAN BEDA AGAMA


DALAM PANDANGAN ISLAM”

OLEH
:
Nama
NIM: LUTHFIA
Jurusan
AFIFAH :
: KIMIA
17036124
(NK) KULIAH UMUM
MATA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan


berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat
perbedaan yang besar antara manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal
dengan hewan yang hanya memilki nafsu. Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak
bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali
dalam beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan
insting. Oleh karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa
batasan, sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan
harus dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.

Dalam sejarah umat manusia, baik manusia priminif maupun manusia modern
mengakui adanya institusi perkawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda.
Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit
masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah
komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang
spesipik tentang hubungan seksual diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat
Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan
memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula halnya pada
beberapa kelompok suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan anak-anak gadisnya
melakukan hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis yang trampil memberikan
pelayanan sex akan laku lebih dahulu.

Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual


seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang
mawaddah (saling mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini
sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21. Dan perkawinan yang baik adalah
perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu
tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah

2
kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia
anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan perkawinan yaitu untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.

Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan


dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah
dengan wanita non muslim (nasrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita
yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti
pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman
liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang
mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham
liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.

Menurut pandangan Islam, tujuan perkawinan tidak akan terwujud secara sempurna
kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan
mereka teguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, maka
akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah
pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan,
dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam dengan tegas
melarang wanita Islam menikah dengan pria non-muslim, baik musrik maupun ahlul kitab,
demikian pula halnya seorang pria Islam dilarang menikahi wanita musyrik, kedua bentuk
perkawinan ini mutlak diharamkan.

Yang menjadi permasalahan adalah apabila perkawinan itu antara seorang pria Islam
dengan wanita Ahlul kitab, bagaimana status perkawinan mereka, berdasarkan zahir ayat
221 Q.S. al-Baqarah maka boleh seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab,
demikian halnya menurut pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit
pula ulama yang melarang perkawinan semacam ini, Dalam makalah ini penulis akan
mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama mazhab empat
dan dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini.

3
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama?
2) Bagaimana hukum perkawinan lintas agama?
3) Bagaimana pendapat para mazhab tentang perkawinan lintas agama?

1.3 Tujuan Masalah


1) Mengetahui apa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama.
2) Mengetahui hukum perkawinan lintas agama.
3) Mengetahui pendapat para mazhab tentang perkawinan lintas agama.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkawinan

Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum mengenai


pengertian perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung
esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah
memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan
tersebut.

Perkawinan yang istilah agama disebut “nikah” secara bahasa bermakna penyatuan,
perkumpulan, atau dapat diartikan sebagai akad atau hubungan badan. Adapun menurut
istilah syara’, nikah ialah akad yang membolehkan seorang laki-laki berhubungan kelamin
dengan perempuan

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa Perkawinan


adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.

Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan bahwa perkawinan
adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby mengemukakan
pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaa Siin : 36
dan arti Q.S. al-Mu’minun : 27, bahwa perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas
bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap
makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia
yang berbeda dengan rasia yang diberikan kepada lawan jenisnya.

5
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah merupakah
salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah
tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin
kelangsungan eksistensi manusia dibumi. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2
“Perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau
mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan
ibadah”.

Dari berbagai pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia
sakinah mawaddah wa rahmah, guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah
bagi yang melaksanakannya.

2.2 Pengertian Perkawinan Lintas Agama

Pengertian tentang perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu
perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam
dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar
agama disini dapat terjadi
1. Calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul
kitab ataupun musyrik, dan
2. Calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul
kitab ataupun musyrik.

2.3 Hukum Perkawinan Lintas Agama menurut Islam

Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas


agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria
atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang
beragama non-Islam.

6
Dalam pandangan agama, musyrik adalah siapa saja yang menyembah selain Allah
(mempersekutukan Allah). Orang kristen yang percaya tentang trinitas adalah musyrik
menurut sudut pandang di atas, termasuk di dalamnya Ahlul Kitab. Adapun menurut
pandangan para pakar al-Quran, katamusyrik atau musyrikin dan musyrikat digunakan al-
Quran untuk kelompok tertentu, yaitu para penyembah berhala. Dengan demikian, istilah
al-Quran berbeda dengan istilah keagamaan di atas. Walaupun penganut agama kristen
mempercayai trinitas, al-Quran tidak menamai mereka musyrik, tetapi menamai mereka
Ahlu Kitab. Perhatikan firman Allah berikut:

)1 :‫ب َو ْال ُم ْش ِر ِكينَ ُم ْنفَ ِّكينَ َحتَّى تَأْتِيَهُ ُم ْالبَيِّنَةُ (البينة‬


ِ ‫لَ ْم يَ ُك ِن الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكتَا‬

Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan


bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata” (QS. al-Bayyinah: 1)

Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa orang kafir ada dua macam, yakni Ahlul Kitab
dan Musyrik. Itulah istilah yang digunakan al-Quran untuk satu substansi yang sama, yakni
kekufuran dengan dua nama yang berbeda, yakni Ahlul kitab dan orang-orang musyrik.

Yang menjadi permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum perkawinan antar
agama ini, dan memang dalam banyak kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi
yang begitu besar dalam masalah kawin beda agama ini. Hal ini disebabkan karena dalam
sejumlah ayat yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan antar agama
ini, itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan mengharamkan hukum
perkawinan antar agama ini.

Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan
mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu,
apakah antara wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahli al-kitab atau musyrik.,
ataukah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahli al-kitab atau
musyrik.

7
1. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim

Hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang
laki-laki non-muslim, baik ahlul kitab ataupun musyrik, maka jumhur ulama sepakat
menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Pengharaman tersebut
didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221, yang berbunyi:

‫ت َحتَّى ي ُْؤ ِم َّن َوأل َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم َوال تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِكينَ َحتَّى ي ُْؤ ِمنُوا َولَ َع ْب ٌد‬
ِ ‫َوال تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬

‫ك َولَوْ أَ ْع َجبَ ُك ْم‬


ٍ ‫ ُم ْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬....

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.” (QS. al-Baqarah: 221)

Selain didasarkan pada QS. al-Baqarah ayat 221, larangan perkawinan antara
perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim juga didasarkan pada QS. Al-
Mumtahanah ayat 10.

ٍ ‫ا‬ttَ‫وه َُّن ُم ْؤ ِمن‬tt‫إ ِ ْن َعلِ ْمتُ ُم‬t َ‫انِ ِه َّن ف‬tt‫ت فَا ْمتَ ِحنُوه َُّن هَّللا ُ أَ ْعلَ ُم بِإِي َم‬
‫وه َُّن‬tt‫ت فَال تَرْ ِج ُع‬ ٍ ‫اج َرا‬ِ َ‫َات ُمه‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا َجا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫ار ال ه َُّن ِح ٌّل لَهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِح ُّلونَ لَه َُّن‬ ِ َّ‫إِلَى ْال ُكف‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-


perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. al-Mumtahanah: 10)

Ayat ini, walaupun tidak menyebut Ahlul kitab, istilah yang digunakannya
adalah “orang-orang kafir”, dan Ahlul kitab adalah salah satu dari kelompok orang-orang
kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak menyebut Ahlul kitab, ketidak-halalan
tersebut tercakup dalam kata “orang-orang kafir”.
8
Ada beberapa argumen tentang sebab diharamkannya perempuan muslim kawin
dengan laki-laki non-muslim, yakni sebagai berikut:

a. Laki-laki kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. An-Nisa {4}:
141: ... dan Allah takkan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan orang mukmin

b. Laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah,
malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran nabinya. Sedangkan
apabila laki-laki muslim kawin dengan perempuan Ahli Kitab maka dia akan mau
mengerti agama, mengimani kitab, dan nabi dari istrinya sebagai bagian dari
keimanannya karena tidak akan sempurna keimanan seseorang tanpa mengimani kitab
dan nabi-nabi terdahulu.

c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami isteri tidak mungkin bisa bertahan
tinggal dan hidup (bersama) karena perbedaan yang jauh.

Apa bila terjadi perkawinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki
non Muslim baik ahl al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-
Sunnah (1990 : 95) ulama fiqih sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Hal
ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221, dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”.

Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang
dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut
mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya,
maka perkawinan ini harus dibatalkan.

2. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik

Islam melarang terjadinya ikatan perkawinan yang berakibat hancurnya keyakinan


agama. Allah melarang perkawinan orang Islam dengan orang musyrik karena orang
musyrik telah berbuat dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah yaitu syirik, karena

9
mengajak ke neraka (QS. al-Nisa’: 116), sedang Allah dengan aturannya mengajak
kepada kedamaian/kebahagiaan dan mendapat ampunan Ilahi (QS. al-Baqarah: 221).

Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan
wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram. Madzhab Hambali juga berpendapat
demikian, bahwa haram hukumnya menikahi wanita-wanita musyrik. Masjfuk menegaskan
bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:

)221:‫ (البقرة‬... ‫ى ي ُْؤ ِم َّن َوألَ َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِّم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم‬ ِ َ ‫َوالَ تَ ْن ِكحُوْ ا ْال ُم ْش ِركا‬
َّ ‫ت َحت‬

“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu”

Jumhur ulama juga sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan


perempuan musyrik. Perempuan musyrik di sini mencakup perempuan penyembah berhala
(al-watsaniyyah), zindiqiyyah (ateis), penyembah api, dan penganut aliran libertin (al-
ibahah), seperti pahamwujudiyah.

Hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang


yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan
orang musyrik/kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup
yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai
pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula
pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada
semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka
selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya
dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.

3.  Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab

Demikian juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim
dengan seorang wanita non-muslim, baik Ahlul Kitab atau musyrik. Menurut Ibnu Umar

10
perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram sama
haramnya dengan mengawini wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita ahlul kitab
juga telah berlaku syirik dengan menuhankan nabi Isa.

Yang mengharamkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah
karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan
kendali dalam rumah tangganya, ia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam
keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam
lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan bahwa
apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang
kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.

Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah


dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang
harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :

1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan
tidak beragama selain agama samawi.

2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara kehormatan dirinya dari


perbuatan zina).

3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.

Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis


berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki
konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang
benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka
adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Alquran yakni
Q.S. al-Maidah ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut :

ُ ‫ن‬tt‫ص‬
َ‫َات ِمن‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬ ِ ‫َات ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنَا‬
ُ ‫صن‬ َ ‫ات َوطَ َعا ُم الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
َ ْ‫َاب ِح ٌّل لَ ُك ْم َوطَ َعا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَهُ ْم َو ْال ُمح‬ ُ َ‫ْاليَوْ َم أُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬

ِ ‫صنِينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِحينَ َوال ُمتَّ ِخ ِذي أَ ْخدَا ٍن َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاإلي َم‬
‫ان فَقَ ْد‬ ِ ْ‫َاب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم إِ َذا آتَ ْيتُ ُموه َُّن أُجُو َره َُّن ُمح‬
َ ‫الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬

11
َ‫َحبِطَ َع َملُهُ َوه َُو فِي اآل ِخ َر ِة ِمنَ ْال َخا ِس ِرين‬

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang
merugi.” (QS. al-Maidah: 5)

Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat
yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat
ini dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan
masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu
QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non
muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan
Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut
kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.

Di antara ulama’ ada yang berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud
wanita kitabi, kitabiyah, atau wanita Ahli Kitab. Syekh Ali Ahmad Jarjawi berpendapat
bahwa Ahlul Kitab adalah orang-orang yang berpegang kepada agama dan mempunyai
kitab samawi yang diturunkan dari Allah Swt.

Madzhab Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah berpendapat bahwa Ahlul kitab adalah


mereka yang menganut aliran sebagai berikut:

a)  Iman dan percaya kepada Allah

b) Iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an yang telah diturunkan oleh
Allah Swt kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Saw

12
c)  Iman dan percaya kepada salah seorang rasul selain Nabi Muhammad Saw.

Mahmuddin Sudin berpendapat bahwa sekarang ini tidak ada lagi Ahli Kitab sebagai
yang dimaksudkan oleh QS. al-Maidah ayat 5; mereka dikategorikan musyrik.

Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan Ahli
Kitab, menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama
yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran
kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan bayangan yang
dibisikkan syetan. Inilah yang bisa menyebabkan ia mengkhianati suaminya dan merusak
akidah anak-anaknya.

Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki mukmin tidak terdapat
distansi yang jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani Allah dan menyembahNya, beriman
kepada para nabi, hari akhirat (eskatologis) beserta pembalasannya, dan menganut agama
yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran. Distansi yang esensial
hanyalah mengenai keimanan terhadap kenabian Muhammad. Padahal orang yang beriman
kepada kenabian universal tidak akan mempunyai halangan mengimani nabi penutup
(khatam al-anbiya), yakni Muhammad, kecuali karena kebodohannya. Sehingga
perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan suami yang menganut agama dan syari’at
yang baik maka sangat terbuka peluang baginya untuk mengikuti agama suaminya. Dan
apa yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas niscaya akan
mengantarkan kepada kesempurnaan keimanan dan keislaman.

Pengertian Ahli Kitab di sini mengacu pada dua agama besar sebelum Islam, yakni
Yahudi dan Nasrani. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa para ulama sepakat akan kehalalan
mengawini perempuan Ahli Kitab dengan syarat ia merdeka (bukan budak), sedangkan
mengenai perempuan Ahli Kitab yang dalam status tawanan (bi al-milk) para ulama
berbeda pendapat.

Ibnu Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki


muslim mengawini perempuan Ahli Kitab). Qurthubi dan Nu’as mengatakan: Di antara

13
sahabat yang menghalalkan antara lain: Utsman, Talhah, Ibnu Abbas, Jabir, dan Hudzaifah.
Sedangkan dari golongan tabi’in yang menghalalkan: Sa’id bin Mutsayyab, Sa’id bin Jabir,
al-Hasan, Mujahid, Thaawus, Ikrimah, Sya’bi, Zhahak, dan lain-lain. As-Sayyid Sabiq
menyatakan bahwa hanya ada satu sahabat yang mengharamkan, yakni Ibnu Umar. Di
antara sahabat ada yang mempunyai pengalaman mengawini perempuan Ahli Kitab.
Utsman r.a. kawin dengan Nailah binti Quraqishah Kalbiyyah yang beragama Nasrani,
meskipun kemudian masuk Islam, Hudzaifah mengawini perempuan Yahudi dari
penduduk Madain, Jabir dan Sa’ad bin Abu Waqas pernah kawin dengan perempuan
Yahudi dan Nasrani pada masa penaklukan kota Makah (fathul Makah).

Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa masih ada
perbedaan pendapat namun, para ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan nikah dengan
wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus
diperhatikan.

2.4 Perkawian Lintas Agama menurut Empat Mazhab

Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan


antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim,
apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum
perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka
para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul
kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang
hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun
pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita
kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh
tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.

1. Mazhab Hanafi.

Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan
wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita

14
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena
menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi.
Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang
mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga
orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada
nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.

Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita
kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini,
perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim,
karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan
perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka
adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan
daging babi.

2. Mazhab Maliki.

Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua
pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik
dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk
pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih
besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi
anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak
makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir
mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah
kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam
perkawinan beda agama, maka diharamkan.

3. Mazhab Syafi’i.

Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi
wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i
adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak

15
termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang
dikemukakan mazhab ini adalah :

(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan
bangsa lainnya.

(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan
kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.

Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang
menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu
semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi
dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori
Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.

4.  Mazhab Hambali.

Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi
wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama
tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi
bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi
menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi
Muhammad belum diutus menjadi Rasul.

2.5 Hukum Perkawinan Lintas Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan


Indonesia

Undang-undang perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober


1975 mempunyai cirri khas kalu dibandingkan dengan hukum perkawinan sebelumnya
terutama dengan undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan
diwariskan oleh pemerintah Colonial Belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau

16
perdata saja, lepas sama sekali dengan agama atau hukum agama. Undang-undang
perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya
sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai dengan
cita hukum bangsa Indonesia: Pancasila dan salah satu kaidah fundamental Negara yaitu
ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan dirumuskan dalam batang
Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab Agama. Pasal 2 ayat 1 Undang
Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Anak kalimat “agamanya dan kepercayaannya itu” berasal dari ujung ayat 2 Pasal
29 Undang Undang dasar 1945, dibawah judul agama. Oleh karena itu adalah tepat dan
berasalan keterangan almarhum Bung Hatta pada waktu Undang-Undang perkawinan di
sahkan pada tahun 1974, seperti telah disinggung di muka, bahwa perkataan kepercayaan
dalam pasal 2 ayat 1  Undang-undang perkawinan yang berasal dari Undang-undang Dasar
1945 itu adalah kepercayaan agama yang diakui eksistensinya dalam Negara Republik
Indonesia, bukan kepercayaan menurut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Kunci pemahaman yang benar tentang ini adalah: Pasal 29 UUD 1945 berada di
bawah judul agama dan perkataan itu yang terletak setelah perkataan “kepercayaan”
dimaksud. Kepercayaan menurut aliran kepercayaan adalah kepercayaan menurut agama.
Oleh Karena itu adalah logis kalau aliran kepercayaan ditempatkan di Derektorat Jendral
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di Departemen Agama.

Dengan demikian, di dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh ada dan tidak
boleh dilangsungkan pernikahan di luar hukum agama atau kepercayaan agama yang
diakui eksistensinya yaitu Islam, Nasrani (baik Katolik maupun Protestan), Hindu dan
Buda di tanah air kita. Dan sebagai Konsekuensi di anutnya asas bahwa perkawinan adalah
sah kalu dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan agama, maka segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama
yang dipeluk oleh warga Negara Republik Indonesia.

Tentang perkawinan oran-orang berbeda agama, kalau dihubungkan dengan


Undang-undang Perkawinan (1974) terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah:

17
1). Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama
dapat saja dilangsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia, kebebasan seseorang
untuk menentukan pasangannya, hak dan kedudukan suami istri yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pegaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut
pendapat ini, perkawinan yang demikian dapat mempergunakan S. 1898 No. 158 tentang
perkawinan campuran peninggalan belanda dahulu sebagai landasan dan mencatatkannya
pada kantor Catatan Sipil di tempat mereka melangsungkan pernikahan.

2). Sedangkan Pendapat ini mengatakan bahwa UUD No. 1 Tahun 1974, tidak mengatur
perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini,
perkawinan antar pasangan yang berbeda agama yang saling jatuh cinta dan ingin menjalin
hubungan dalam bentuk keluarga. Karena itu, kata penganut pendapat ini, perlu
dirumuskan ketentuan hukunya. Daripada membiarkan kemaksiatan, lebih baik
membenarkan atau mengesahkan pernikahan orang-orang yang saling jatuh cinta itu,
meskipun keyakinan agama yang mereka anut berbeda.

3).  Pendapat yang ketiga ini mengatakan bahwa perkawinan campuran antara orang-orang
yang berbeda agama tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang yaitu Pemerintah
dan DPR Republik Indonesia. Kehendak itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat 1
mengenai sahnya perkawinan dan pasal 8 huruf (f) mengenai larangan perkawinan. Dalam
pasal huru (f) Undang-undang perkawinan dengan jelas dirumuskan bahwa, “Perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
yang beralaku dilarang kawin”. Artinya Undang-undang Perkawinan melarang dialkukan
atau disahkan perkawinan yang dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam
Republik Indonesia. Larangan yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan ini
Selaras dengan larangan agama dan hukum masing-masing agama. Oleh karena itu pula
pembenaran dan pengesahan perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama,
selain dengan bertentangan dengan agama atau hukum agama, sesungguhnya, bertentangan
pula dengan Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi segenap warga Negara dan
penduduk Indonesia.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1 Menikah secara bahasa artinya bermakna penyatuan, perkumpulan, atau dapat


diartikan sebagai akad atau hubungan badan. Adapun menurut istilah syara’, nikah
ialah akad yang membolehkan seorang laki-laki berhubungan kelamin dengan
perempuan atau akad yang menghalalkan pergaulan antara laki laki dan perempuan
yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan
kewajiban antara kedua insan.

2 Tujuan menikah menurut syariat islam adalah : untuk memenuhi tuntutan naluri
manusia yang asasi, untuk membentengi akhlaq yang luhur dan untuk menundukan
pandangan, untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, dan untuk memperoleh
keturunan yang sah secara biologis dan secara syari’at.

3 Perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau
seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang
beragama non-Islam (ahli kitab atau Musyrik).

4 Sebagian besar ulama membolehkan pernikahan beda agama dengan syarat laki laki
nya adalah seorang muslim dan wanita non muslim ahli kitab, diluar keadaan itu
maka pernikahan beda agama diharamkan.

5 Dalil mengenai pernikahan beda agama tertulis dalam al quran secara jelas dalam
QS: Al-Baqarah: 221.

19
3.2 Saran

Setiap permasalahan dalam fiqih adalah masalah yang akan memunculkan


pembahasan yang panjang, bagi pembaca khususnya mahasiswa atau pelajar yang
akan menyusun makalah dengan permasalahan sejenis, penyusun anjurkan untuk
menggali referensi lebih banyak lagi, sehingga dapat meghadirkan penjelasan yang
lebih rinci dari apa yang penyusun sajikan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Shalaby. 2001. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah.

Amir Syarifuddin. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Ichtiyanto. 2008. Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia. Jakarta:


Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI.

Idris Ramulyo. 1995.  Hukum Perkawinan; Hukum Kewarisan; Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Khairul Uman dan Achyar Aminudin. 2001.  Ushul Fiqh II. Bandung: CV Pustaka Setia.

Muhammad Daud Ali. 2005. Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.

Sayyid Sabiq. 1990. Fiqh As-Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib. Bandung: PT. Al
Ma’arif.
Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta: LKiS.

21
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dengan nama lengkap Luthfia Afifah


merupakan anak pertama dari pasangan ayah Irwandi
dan bunda Fetnawati yang dilahirkan di Sungai Penuh
pada tanggal 13 Maret 1998. Memulai pendidikan di
TK Kemala Bhayangkari pada tahun 2003 hingga
tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikan di
Sekolah Dasar Negeri 01 Sungai Penuh pada tahun
2004 sampai tahun 2010. Di tahun 2010 saya
melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 2 Sungai Penuh dan tamat pada tahun 2013. Di
tahun 2013 saya melanjutkan sekolah ke tingkat yang
lebih tinggi yaitu Sekolah Menengah Analisis Kimia
(SMAK) Padang.

Sekarang saya sedang melanjutkan pendidikan saya di Universitas Negeri Padang


dengan jurusan Kimia NK dengan NIM 17036124. Insya Allah akan segera menamatkan
pada tahun 2021. Pada makalah ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak. Penulis
berharap Semoga makalah “Pernikahan Beda Agama” ini dapat bermanfaat bagi diri saya
sendiri dan bagi pembaca, masyarakat dan rekan- rekan yang akan melanjutkan judul ini.
Terimakasih.

E-mail : luthfiaafifah2@gmail.com
Instagram : @afifah.luthfia

22

Anda mungkin juga menyukai