PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah agama semua nabi,
agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk manusia, mengatur
hubungan antara manusia dengan Rabbnya dan manusia dengan lingkungannya. Agama rahmah
bagi semesta alam, dan merupakan satu-satunya agama yang diridhoi Allah, agama yang
sempurna.1 Dengan beragama Islam, setiap muslim memiliki landasan tauhidullah, dan
menjalankan peran dalam hidup berupa ibadah (pengabdian vertical) dan khilafah (pengabdian
horizontal) dan bertujuan meraih ridha dan karunia Allah. Islam yang mulia dan utama akan
menjadi kenyataan dalam kehidupan duniawi, apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati,
dan diamalkan oleh seluruh muslimin secara totalitas (Kaffah).2 (QS. Al-Fath : 29, al-Baqarah :
208).
Dengan pengamalan Islam sepenuh hati dan sungguh-sungguh, akan melahirkan manusia yang
memiliki kepribadian muslim, kepribadian mu’min, kepribadian muhsin dan muttaqin. Setiap
muslim yang memiliki kepribadian tersebut dituntut untuk memiliki aqidah berdasarkan Al-
Tauhid Al-Khalis (tauhid yang bersih) dan istiqomah terhindar dari kemusyrikan, bid’ah dan
khurafat. Memiliki cara berfikir bayani (paham yang komitmen terhadap nash al-Qur’an dan al-
hadits), burhani (rasional,logis dan ilmiah) dan irfani (Ketajaman hati nurani stabilitas emosi,
dan kekuatan spiritual intuisi), yang selanjutnya berimplikasi pada ucapan pikiran dan tindakan
yang mencerminkan akhlak karimah dan rahmatan lil alamin.
Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang
menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga
menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat
fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.
Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah
kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
َو ما َأْر َس ْلناَك ِإَّال َر ْح َم ًة ِلْلعاَلِم يَن
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka
Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa,
الِّر َّقُة والَّتَع ُّطُف:الَّرْح مة
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul
Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada
seluruh manusia.
Niat adalah amalan hati dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya. Niat itu tempatnya di
dalam hati dan bukanlah di lisan, hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama
sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haroni dalam Majmu’
Fatawanya.
Setiap orang yang melakukan suatu amalan pasti telah memiliki niat terlebih dahulu. Karena
tidak mungkin orang yang berakal yang punya ikhtiar (pilihan) melakukan suatu amalan
tanpa niat. Seandainya seseorang disodorkan air kemudian dia membasuh kedua tangan,
berkumur-kumur hingga membasuh kaki, maka tidak masuk akal jika dia melakukan
pekerjaan tersebut -yaitu berwudhu- tanpa niat. Sehingga sebagian ulama
mengatakan,”Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah
pembebanan yang sulit dilakukan.”
Apabila setan membisikkan kepada seseorang yang selalu merasa was-was dalam shalatnya
sehingga dia mengulangi shalatnya beberapa kali. Setan mengatakan kepadanya,”Hai
manusia, kamu belum berniat”. Maka ingatlah,”Tidak mungkin seseorang mengerjakan
suatu amalan tanpa niat. Tenangkanlah hatimu dan tinggalkanlah was-was seperti
itu.”(Lihat Syarhul Mumthi, I/128 dan Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)
Melafadzkan Niat
Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya mengucapkan niat
sambil bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah yang
banyak diajarkan oleh ustadz-ustadz kita bahkan telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak
Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala hendak shalat berniat
’Usholli fardhol Maghribi …’ atau pun tatkala hendak berwudhu berniat ’Nawaitu wudhu’a
liraf’il hadatsi …’. Kalau kita melihat dari hadits di atas, memang sangat tepat kalau setiap
amalan harus diawali niat terlebih dahulu. Namun apakah niat itu harus dilafalkan dengan
suara keras atau lirih?!
Secara logika mungkin dapat kita jawab. Bayangkan berapa banyak niat yang harus kita
hafal untuk mengerjakan shalat mulai dari shalat sunat sebelum shubuh, shalat fardhu
shubuh, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali
niat yang harus kita hafal karena harus dilafalkan. Karena ini pula banyak orang yang
meninggalkan amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini sungguh
sangat menyusahkan kita. Padahal Nabi kita shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,”Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari)
Ingatlah setiap ibadah itu bersifat tauqifiyyah, sudah paketan dan baku. Artinya setiap
ibadah yang dilakukan harus ada dalil dari Al Qur’an dan Hadits termasuk juga dalam
masalah niat.
Setelah kita lihat dalam buku tuntunan shalat yang tersebar di masyarakat atau pun di
sekolahan yang mencantumkan lafadz-lafadz niat shalat, wudhu, dan berbagai ibadah
lainnya, tidaklah kita dapati mereka mencantumkan ayat atau riwayat hadits tentang niat
tersebut. Tidak terdapat dalam buku-buku tersebut yang menyatakan bahwa lafadz niat ini
adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad, I/201,
”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat
tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan
menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari
petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk
yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.” Dan
sebelumnya beliau mengatakan mengenai petunjuk Nabi dalam
shalat,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak mendirikan shalat maka
beliau mengucapkan : ‘Allahu Akbar’. Dan beliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum
takbir dan tidak pula melafadzkan niat sama sekali.”
Maka setiap orang yang menganjurkan mengucapkan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb,
maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami
akan ikuti. Dan janganlah berbuat suatu perkara baru dalam agama ini yang tidak ada
dasarnya dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa
yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak.
(HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ’Niat kami kan baik’,
karena sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhuma mengatakan,”Betapa banyak orang
menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi, sanadnya shahih,
lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 92)
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/934-hukum-melafadzkan-niat-usholli-nawaitu-
2.html
Majelis Ulama Indonesia (disingkat MUI) adalah lembaga yang mewadahi para ulama, zu'ama, dan
cendikiawan Islam di Indonesiauntuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di
seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 17 Rajab 1395 Hijriah, atau
tanggal 26 HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/26_Juli"Juli 1975 di Jakarta, Indonesia,[1] untuk
membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut dengan umat Islam, seperti
mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan,[2] penentuan kebenaran sebuah aliran
dalam agama Islam,[3] dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang penganut agama Islam
dengan lingkungannya.
Sejarah
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan
dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang
ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan
unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Al_Washliyah"Washliyah, Mathla'ul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Al_Ittihadiyyah&action=edit&redlink=1"Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam,
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan
yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah
kesepakatan untuk membentuk wadah tempat musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan
muslim, yang tertuang dalam sebuah Piagam Berdirinya MUI, yang ditandatangani oleh seluruh
peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap
dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
Selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama, zu’amadan cendekiawan muslim berusaha untuk:
• memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah;
• memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya hubungan keislaman dan
kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa;
• menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah dan penerjemah timbal balik antara umat
dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan nasional;
• meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan
muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat
Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia disingkat LDII, merupakan organisasi dakwah kemasyarakatan
di wilayah Republik Indonesia. Sesuai dengan visi, misi, tugas pokok dan fungsinya, LDII
mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas peradaban, hidup, harkat dan martabat kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta turut serta dalam pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya yang dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa guna
terwujudnya masyarakat madani yang demokratis dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila,
yang diridhoi Allah Subhanahu Wa Ta'ala[2].
Awal mulanya, LDII bernama YAKARI (Yayasan Lembaga Karyawan Islam), kemudian berganti
nama menjadi LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) dan akhirnya berganti nama lagi menjadi LDII,
karena nama LEMKARI dianggap sama dengan akronim dari Lembaga Karate-Do Indonesia.
LDII adalah organisasi yang independen, resmi dan legal mengikuti ketentuan sebagai berikut :
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini
diambil dari nama Nabi MuhammadSAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai
orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam
proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang
lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan
statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala
aspeknya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan
tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah”
pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama
Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian
menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat
istikharah (Darban, 2000: 34).[2] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912-1923), pengaruh
Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan,
dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang
Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Karim_Amrullah"Amrullah membawa
Muhammadiyah ke Sumatera HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat"Baratdengan membuka cabang di Sungai
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Batang,_Tanjung_Raya,_Agam"Batang
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Batang,_Tanjung_Raya,_Agam", HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Batang,_Tanjung_Raya,_Agam"Agam. Dalam tempo yang
relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari
daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.
Nahdlatul 'Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU,
adalah sebuah organisasi Islamterbesar di Indonesia.[3] Organisasi ini berdiri pada 31 HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/31_Januari"Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan,
pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan
wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.
[4]
Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya
atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap
penjajah.[5] Hal ini didasarkan, berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri,
sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan
organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.[6]
Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang
muncul HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/1908"1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan
Nasional". Semangat kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.
Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk
pada 1916. Kemudian pada tahun HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/1918"1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul
Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan
kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad
hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti
konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari
para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/31_Januari"Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin
oleh K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kitab_Qanun_Asasi&action=edit&redlink=1"Qanun HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Qanun_Asasi&action=edit&redlink=1" HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Qanun_Asasi&action=edit&redlink=1"Asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kitab_I%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1"I'tiqad HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_I
%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1" HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_I
%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1"Ahlussunnah HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_I
%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1" Wal HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_I
%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1"Jamaah. Kedua kitab tersebut
kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU
dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.