Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah agama semua nabi,
agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk manusia, mengatur
hubungan antara manusia dengan Rabbnya dan manusia dengan lingkungannya. Agama rahmah
bagi semesta alam, dan merupakan satu-satunya agama yang diridhoi Allah, agama yang
sempurna.1 Dengan beragama Islam, setiap muslim memiliki landasan tauhidullah, dan
menjalankan peran dalam hidup berupa ibadah (pengabdian vertical) dan khilafah (pengabdian
horizontal) dan bertujuan meraih ridha dan karunia Allah. Islam yang mulia dan utama akan
menjadi kenyataan dalam kehidupan duniawi, apabila benar-benar diimani, dipahami, dihayati,
dan diamalkan oleh seluruh muslimin secara totalitas (Kaffah).2 (QS. Al-Fath : 29, al-Baqarah :
208).
Dengan pengamalan Islam sepenuh hati dan sungguh-sungguh, akan melahirkan manusia yang
memiliki kepribadian muslim, kepribadian mu’min, kepribadian muhsin dan muttaqin. Setiap
muslim yang memiliki kepribadian tersebut dituntut untuk memiliki aqidah berdasarkan Al-
Tauhid Al-Khalis (tauhid yang bersih) dan istiqomah terhindar dari kemusyrikan, bid’ah dan
khurafat. Memiliki cara berfikir bayani (paham yang komitmen terhadap nash al-Qur’an dan al-
hadits), burhani (rasional,logis dan ilmiah) dan irfani (Ketajaman hati nurani stabilitas emosi,
dan kekuatan spiritual intuisi), yang selanjutnya berimplikasi pada ucapan pikiran dan tindakan
yang mencerminkan akhlak karimah dan rahmatan lil alamin.
Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang
menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga
menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat
fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.
Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah
kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
‫َو ما َأْر َس ْلناَك ِإَّال َر ْح َم ًة ِلْلعاَلِم يَن‬
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka
Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa,
‫ الِّر َّقُة والَّتَع ُّطُف‬:‫الَّرْح مة‬
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul
Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada
seluruh manusia.

Pemahaman Yang Salah Kaprah


Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan,
bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan
makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya. Diantaranya pemahaman tersebut
adalah:
1. Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu
membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau
bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:
‫َو ما َأْر َس ْلناَك ِإَّال َر ْح َم ًة ِلْلعاَلِم يَن‬
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi
alam semesta” (QS. Al Anbiya: 107)
Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam
sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah
dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir,
bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang
menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari
penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.
Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci
segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan
terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, serta membenci orang-orang
yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
‫َال َتِج ُد َقْو ًم ا ُيْؤ ِم ُنوَن ِباللِه َو اْلَيْو ِم اآلِخ ِر ُيَو اُّد وَن َم ْن َح اَّد اللَه َو َر ُسوَلُه َو َلْو َك اُنوا آَباَء ُهْم َأْو َأْبَناَء ُهْم َأْو ِإْخ َو اَنُهْم َأْو َع ِش يَر َتُهْم‬
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-
Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau
menyakiti orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim
dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang
tidak boleh dilukai.
Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan
pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling
bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:
‫ِإَّن الِّد يَن ِع ْنَد الَّلِه اِإل ْسالُم‬
“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)
Juga firman Allah Ta’ala:
‫َو َم ْن َيْبَتِغ َغْي َر اِإل ْسالِم ِد يًنا َفَلْن ُيْقَبَل ِم ْنُه َو ُهَو ِفي اآلِخ َر ِة ِم َن اْلَخ اِس ِر يَن‬
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”
(QS. Al Imran: 85)
Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat
ini dengan ‘berserah diri’. Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan,
kata mereka. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam:
‫اإلسالم أن تشهد أن ال إله إال الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصالة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن‬
‫استطعت إليه سبيال‬
”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak
disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan
mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim
no.8)
Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adlalah bantahan telak terhadap pluralisme agama.
Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk
agama Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di
muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah
rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan
mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.
2. Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan
pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum
bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka
karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian
berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh.
Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini. Islam
sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran
dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari
dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk
dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu
‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan
amal mereka terhadap ajaran Allah”.
Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi
mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang
dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita
juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya
kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya
untuk melakukan amal kebaikan.
Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya
pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang,
bukan mendahulukan sikap kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam bersabda:
‫ وال ينزع من شيء إال شانه‬. ‫إن الرفق ال يكون في شيء إال زانه‬
“Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah
kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya” (HR. Muslim no.
2594)
3. Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik
dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut
adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata:
“Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah
Islam rahmatan lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan kasih sayang dan toleransi
terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang
sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian.
Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah
diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan
orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat
ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan semua agama sama. Diantara
bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan ada yang salah. Dan kita wajib
mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam. Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan tentang rahmat dalam surat Al Anbiya ayat
107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat
sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang
mengikuti golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa sallam.
Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’
hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:
‫ُقْل َيا َأُّيَها اْلَك اِفُروَن اَل َأْع ُبُد َم ا َتْعُبُد وَن َو اَل َأْنُتْم َعاِبُد وَن َم ا َأْع ُبُد َو اَل َأَنا َعاِبٌد َم ا َع َبْدُتْم َو اَل َأْنُتْم َعاِبُد وَن َم ا َأْع ُبُد َلُك ْم ِد يُنُك ْم َو ِلَي‬
‫ِد يِن‬
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku‘”
Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila
saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang
menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam
kebaikan?
‫َو اْلَع ْص ِر ِإَّن اِإْل ْن َس اَن َلِفي ُخ ْس ٍرِإاَّل اَّلِذ يَن آَم ُنوا َو َع ِم ُلوا الَّصاِلَح اِت َو َتَو اَص ْو ا ِباْلَح ِّق َو َتَو اَص ْو ا ِبالَّصْبِر‬
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al
‘Ashr: 1 – 3)
Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih
sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus
ke dalam penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
‫ كان كمن شهدها‬، ‫ ومن غاب عنها فرضيها‬. ‫إذا عملت الخطيئة في األرض كان من شهدها فكرهها كمن غاب عنها‬
“Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka
bumi, orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang
tidak melihat langsung (tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun ridha
terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat
dosa)” (HR. Abu Daud no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa
ditoleransi. Apakah kita mentoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima
waktu itu tidak wajib bagi orang yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian
orang kejawen yang menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus
melakukan shalat? Apakah kita mentoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan
bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua
pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang
berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama,
barulah dapat kita toleransi.
4. Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan
mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah
hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai
dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan lil ‘alamin:
“Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan kepada manusia yang
sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang
sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh
manusia”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh
manusia karena beliau membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum
beliau diutus berada dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain
Allah, walaupun mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para
Rasul. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
‫َو َلَقْد َبَع ْثَنا ِفي ُك ِّل ُأَّمٍة َر ُس واًل َأِن اْع ُبُدوا الَّلَه َو اْج َتِنُبوا الَّطاُغ وَت‬
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)
Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah
ia akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala berfirman:
‫ْأ‬
‫َّنُه َم ْن ُيْش ِر ْك ِبالَّلِه َفَقْد َح َّر َم الَّلُه َع َلْيِه اْلَج َّنَة َو َم َو اُه الَّناُر ۖ َو َم ا ِللَّظاِلِم يَن ِم ْن َأْنَص اٍر‬
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?
Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah
bentuk rahmat dari Allah Ta’ala. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat Allah, maka bagaimana
mungkin menjadi sebab perpecahan ummat? Justru kesyirikanlah yang sebenarnya
menjadi sebab perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
‫َو اَل َتُك وُنوا ِم َن اْلُم ْش ِر ِك يَن ِم َن اَّلِذ يَن َفَّر ُقوا ِد يَنُهْم َو َك اُنوا ِش َيًعا ۖ ُك ُّل ِح ْز ٍب ِبَم ا َلَد ْيِه ْم َفِر ُحوَن‬
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-
orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS.
Ar Ruum: 31-32)

Pemahaman Yang Benar


Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah yang
dapat kita ambil dari ayat ini adalah:
• Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah
adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
• Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
• Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih
sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
• Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
• Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
• Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
• Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau serta taat
kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
• Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang
melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan
menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
• Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum musliminjuga
mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
• Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang
menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada kaum
kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke
dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
• Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga
mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan
kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin
yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak
Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
• Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada
manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada
manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain
Allah.
• Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang
kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang
mendapatkannya.
• Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang
mu’min.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, yang
dengan sebab rahmat-Nya tersebut kita dikumpulkan di dalam Jannah-Nya.

Setiap Orang Pasti Berniat Tatkala Melakukan Amal

Niat adalah amalan hati dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya. Niat itu tempatnya di
dalam hati dan bukanlah di lisan, hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama
sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haroni dalam Majmu’
Fatawanya.

Setiap orang yang melakukan suatu amalan pasti telah memiliki niat terlebih dahulu. Karena
tidak mungkin orang yang berakal yang punya ikhtiar (pilihan) melakukan suatu amalan
tanpa niat. Seandainya seseorang disodorkan air kemudian dia membasuh kedua tangan,
berkumur-kumur hingga membasuh kaki, maka tidak masuk akal jika dia melakukan
pekerjaan tersebut -yaitu berwudhu- tanpa niat. Sehingga sebagian ulama
mengatakan,”Seandainya Allah membebani kita suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah
pembebanan yang sulit dilakukan.”

Apabila setan membisikkan kepada seseorang yang selalu merasa was-was dalam shalatnya
sehingga dia mengulangi shalatnya beberapa kali. Setan mengatakan kepadanya,”Hai
manusia, kamu belum berniat”. Maka ingatlah,”Tidak mungkin seseorang mengerjakan
suatu amalan tanpa niat. Tenangkanlah hatimu dan tinggalkanlah was-was seperti
itu.”(Lihat Syarhul Mumthi, I/128 dan Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)

Melafadzkan Niat

Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya mengucapkan niat
sambil bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah yang
banyak diajarkan oleh ustadz-ustadz kita bahkan telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak
Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala hendak shalat berniat
’Usholli fardhol Maghribi …’ atau pun tatkala hendak berwudhu berniat ’Nawaitu wudhu’a
liraf’il hadatsi …’. Kalau kita melihat dari hadits di atas, memang sangat tepat kalau setiap
amalan harus diawali niat terlebih dahulu. Namun apakah niat itu harus dilafalkan dengan
suara keras atau lirih?!

Secara logika mungkin dapat kita jawab. Bayangkan berapa banyak niat yang harus kita
hafal untuk mengerjakan shalat mulai dari shalat sunat sebelum shubuh, shalat fardhu
shubuh, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali
niat yang harus kita hafal karena harus dilafalkan. Karena ini pula banyak orang yang
meninggalkan amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini sungguh
sangat menyusahkan kita. Padahal Nabi kita shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,”Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari)

Ingatlah setiap ibadah itu bersifat tauqifiyyah, sudah paketan dan baku. Artinya setiap
ibadah yang dilakukan harus ada dalil dari Al Qur’an dan Hadits termasuk juga dalam
masalah niat.

Setelah kita lihat dalam buku tuntunan shalat yang tersebar di masyarakat atau pun di
sekolahan yang mencantumkan lafadz-lafadz niat shalat, wudhu, dan berbagai ibadah
lainnya, tidaklah kita dapati mereka mencantumkan ayat atau riwayat hadits tentang niat
tersebut. Tidak terdapat dalam buku-buku tersebut yang menyatakan bahwa lafadz niat ini
adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan sebagainya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad, I/201,
”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits saja dari Rasul dan para sahabat
tentang perkara ini (mengucapkan niat), tentu kami akan menerimanya. Kami akan
menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari
petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang patut diikuti kecuali petunjuk
yang disampaikan oleh pemilik syari’at yaitu Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam.” Dan
sebelumnya beliau mengatakan mengenai petunjuk Nabi dalam
shalat,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak mendirikan shalat maka
beliau mengucapkan : ‘Allahu Akbar’. Dan beliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum
takbir dan tidak pula melafadzkan niat sama sekali.”

Maka setiap orang yang menganjurkan mengucapkan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb,
maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami
akan ikuti. Dan janganlah berbuat suatu perkara baru dalam agama ini yang tidak ada
dasarnya dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa
yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak.
(HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ’Niat kami kan baik’,
karena sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhuma mengatakan,”Betapa banyak orang
menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi, sanadnya shahih,
lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 92)
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/934-hukum-melafadzkan-niat-usholli-nawaitu-
2.html

Majelis Ulama Indonesia (disingkat MUI) adalah lembaga yang mewadahi para ulama, zu'ama, dan
cendikiawan Islam di Indonesiauntuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di
seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 17 Rajab 1395 Hijriah, atau
tanggal 26 HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/26_Juli"Juli 1975 di Jakarta, Indonesia,[1] untuk
membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut dengan umat Islam, seperti
mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan,[2] penentuan kebenaran sebuah aliran
dalam agama Islam,[3] dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang penganut agama Islam
dengan lingkungannya.

Sejarah
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan
dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang
ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan
unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Al_Washliyah"Washliyah, Mathla'ul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Al_Ittihadiyyah&action=edit&redlink=1"Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam,
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan
yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah
kesepakatan untuk membentuk wadah tempat musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan
muslim, yang tertuang dalam sebuah Piagam Berdirinya MUI, yang ditandatangani oleh seluruh
peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap
dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
Selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama, zu’amadan cendekiawan muslim berusaha untuk:

• memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah;
• memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya hubungan keislaman dan
kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa;
• menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah dan penerjemah timbal balik antara umat
dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan nasional;
• meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan
muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat
Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia disingkat LDII, merupakan organisasi dakwah kemasyarakatan
di wilayah Republik Indonesia. Sesuai dengan visi, misi, tugas pokok dan fungsinya, LDII
mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas peradaban, hidup, harkat dan martabat kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta turut serta dalam pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya yang dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa guna
terwujudnya masyarakat madani yang demokratis dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila,
yang diridhoi Allah Subhanahu Wa Ta'ala[2].

Awal mulanya, LDII bernama YAKARI (Yayasan Lembaga Karyawan Islam), kemudian berganti
nama menjadi LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) dan akhirnya berganti nama lagi menjadi LDII,
karena nama LEMKARI dianggap sama dengan akronim dari Lembaga Karate-Do Indonesia.

LDII adalah organisasi yang independen, resmi dan legal mengikuti ketentuan sebagai berikut :

• Undang-undang No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan[3].


• Pasal 9 ayat (2), tanggal 4 April 1986 (Lembaran Negara RI 1986 nomor 24), serta
pelaksanaannya meliputi PP No. 18 tahun 1986[4].
• Peraturan Menteri HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Menteri_Dalam_Negeri"Dalam
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Menteri_Dalam_Negeri" Negeri No. 5 tahun 1986
• dan aturan hukum lainnya
LDII memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)[5] , Program Kerja dan
Pengurus mulai dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat Desa. LDII sudah tercatat di Badan
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang & Linmas) Departemen Dalam
Negeri[butuh rujukan]. LDII merupakan bagian komponen Bangsa Indonesia yang berada dalam Negara
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia"Kesatuan
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia" HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia"Republik HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia"
Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) berdiri
sesuai dengan cita-cita para ulama perintisnya yaitu sebagai wadah umat Islam untuk mempelajari,
mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam secara murni berdasarkan Alquran dan Hadis,
dengan latar belakang budaya masyarakat Indonesia, dalam bingkai Negara HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia"Kesatuan HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia" HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia"Republik HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Kesatuan_Republik_Indonesia"
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Republik_Indonesia"Republik HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Republik_Indonesia" Indonesia tahun HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/1945"1945.

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini
diambil dari nama Nabi MuhammadSAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai
orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam
proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang
lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan
statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala
aspeknya.

Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran,


di antaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh
Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam
secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup
berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang
mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.

Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan
tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad HYPERLINK


"https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan"Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada
tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).[1]

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk


memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan
ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian
Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan
sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan selanjutnya berganti
nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madrasah HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Muallimin"Mu'allimin HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Muallimin" Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat
di Jalan S Parman no 68 Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Madrasah HYPERLINK
"http://muallimaat.sch.id/"Mu'allimat HYPERLINK "http://muallimaat.sch.id/" Muhammadiyah
HYPERLINK "http://muallimaat.sch.id/"Yogyakarta khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta
yang keduanya skarang menjadi Sekolah Kader Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan
dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah”
pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama
Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian
menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat
istikharah (Darban, 2000: 34).[2] Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912-1923), pengaruh
Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan,
dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang
Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Karim_Amrullah"Amrullah membawa
Muhammadiyah ke Sumatera HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat"Baratdengan membuka cabang di Sungai
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Batang,_Tanjung_Raya,_Agam"Batang
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Batang,_Tanjung_Raya,_Agam", HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Batang,_Tanjung_Raya,_Agam"Agam. Dalam tempo yang
relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari
daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.

Nahdlatul 'Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU,
adalah sebuah organisasi Islamterbesar di Indonesia.[3] Organisasi ini berdiri pada 31 HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/31_Januari"Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan,
pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran NU merupakan salah satu upaya melembagakan
wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham Ahlussunnah wal Jamaah.
[4]
Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya
atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap
penjajah.[5] Hal ini didasarkan, berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri,
sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan
organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam umumnya.[6]

Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang
muncul HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/1908"1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan
Nasional". Semangat kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.

Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk
pada 1916. Kemudian pada tahun HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/1918"1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul
Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan
kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).

Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad
hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti
konferensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari
para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/31_Januari"Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin
oleh K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Ada banyak faktor yang HYPERLINK "http://www.nu.or.id/about/sejarah"melatar HYPERLINK


"http://www.nu.or.id/about/sejarah" HYPERLINK "http://www.nu.or.id/about/sejarah"belakangi
HYPERLINK "http://www.nu.or.id/about/sejarah" HYPERLINK
"http://www.nu.or.id/about/sejarah"berdirinya HYPERLINK "http://www.nu.or.id/about/sejarah" NU. Di
antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki
pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada
ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi
para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu
keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang
masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.

Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab
HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kitab_Qanun_Asasi&action=edit&redlink=1"Qanun HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Qanun_Asasi&action=edit&redlink=1" HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Qanun_Asasi&action=edit&redlink=1"Asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kitab_I%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1"I'tiqad HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_I
%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1" HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_I
%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1"Ahlussunnah HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_I
%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1" Wal HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_I
%27tiqad_Ahlussunnah_Wal_Jamaah&action=edit&redlink=1"Jamaah. Kedua kitab tersebut
kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU
dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham Keagamaan[sunting | sunting sumber]


NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber
hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal
ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu al-Hasan al- HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_al-Hasan_al-Asy
%27ari"Asy'ari dan Abu Mansur Al HYPERLINK
"https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Mansur_Al_Maturidi"Maturidi dalam
bidang teologi/Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab:
Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki,dan
Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara
dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke khittah pada tahun HYPERLINK "https://id.wikipedia.org/wiki/1984"1984,


merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan
kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah
pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Anda mungkin juga menyukai