Anda di halaman 1dari 14

Islam Sebagai Agama Yang rahmatan lil alamin Dan Metode

Pemahan Islam

Nama : Muhammad arsyal syah putra dan Muhammad ikhlas


Kelas : S1 TI-03-A
Mata Kuliah : PAI ( Pendidikan Agama Islam )
Dosen Pengampu : Herman wicaksono, S.Pd,I.,M.Pd.
PENGERTIAN ISLAM SEBAGAI AGAMA RAHMATAN LIL'ALAMIN. ... Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam,
maka Islam adalahrahmatan lil'alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia. rahmat
artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba.

Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang
menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga
menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat
fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.

Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah
kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,

‫َ و‬
‫َما‬ ‫لناك‬ ‫َر‬
َْ‫ْس‬ ‫َا أ‬
‫ِل‬ ‫َة‬
‫َ إ‬ ‫َح‬
‫ْم‬ ‫َ ر‬
‫ِين‬
‫عالم‬ ْ‫ل‬
َ ‫ِل‬

“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka
Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.

Secara bahasa,

َُّ
ُ
‫ف‬ ‫َط‬‫اع‬ ُ‫ا‬
‫ةَوالت‬ ‫اح‬
‫َالر‬:‫ْمة‬
‫ِق‬ ‫الر‬
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul
Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi,
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang
Allah kepada seluruh manusia.
Penafsiran Para Ahli Tafsir

1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:

“Rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:

Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.

Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya
pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya
akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka.
Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam
kekafiran.

Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup
didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada
orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa
terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan
sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.

Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang
menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat
dari diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima
rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir
menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun
mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang
sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”
2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:

“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa
hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau
alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami
mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu
dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”

3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:

“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia
yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya
manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh
manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu
Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini:

‫ ومن لم يؤمن باهلل‬, ‫من آمن باهلل واليوم اآلخر كتب له الرحمة في الدنيا واآلخرة‬
‫ورسوله عوفي مما أصاب األمم من الخسف والقذف‬
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia
dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk
rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu,
seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”

dalam riwayat yang lain:

‫ ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب‬, ‫تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا واآلخرة‬
‫األمم قبل‬
“Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada
Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka
adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman
saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:

‫ والعالمون‬. ‫ وقد جاء األمر مجمال رحمة للعالمين‬, ‫فهو لهؤالء فتنة ولهؤالء رحمة‬
‫ من آمن به وصدقه وأطاعه‬: ‫هاهنا‬
“Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat
rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat
bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang
beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”

Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana
riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang
mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke
dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi
orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang
mengingkari ajaran Allah” (diterjemahkan secara ringkas).

4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi

“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:

, ‫كان محمد صلى هللا عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد‬
‫ومن لم يؤمن به سلم مما لحق األمم من الخسف والغرق‬
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang
beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak
beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa
ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”

Ibnu Zaid berkata:


‫أراد بالعالمين المؤمنين خاص‬
“Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman”

5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir

“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad,


melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah
hadits:

‫إنما أنا رحمة مهداة‬

“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al
‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)

Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil
‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan
diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus
dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari
kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan
akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam
kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam
kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang
kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu
mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi,
atau ditenggelamkan dengan air”

Pemahaman Yang Salah Kaprah


Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan, bermodal
pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat agar
sesuai dengan hawa nafsunya. Diantaranya pemahaman tersebut adalah:

1. Berkasih sayang dengan orang kafir

Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci
mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan
menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:

َ‫س ْلنا َك إِالَّ َر ْح َمةً ِل ْلعالَ ِمين‬


َ ‫َوما أ َ ْر‬
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam
semesta” (QS. Al Anbiya: 107)

Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam
sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan
berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa
bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat
terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu
Abbas Radhiallahu’anhu.

Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala
bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap
ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, serta membenci orang-orang yang
melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

‫سولَهُ َولَ ْو َكانُوا‬


ُ ‫اآلخ ِر يُ َوادُّونَ َم ْن َحادَّ هللاَ َو َر‬ ِ ‫الَ ت َ ِجد ُ قَ ْو ًما يُؤْ ِمنُونَ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم‬
‫ِيرت َ ُه ْم‬
َ ‫عش‬َ ‫آبَا َءهُ ْم أ َ ْو أ َ ْبنَا َء ُه ْم أ َ ْو ِإ ْخ َوانَ ُه ْم أ َ ْو‬
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga
mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti
orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di
atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.

Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan
pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling
bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:

‫اإل ْسال ُم‬ َّ َ‫إِ َّن الدِينَ ِع ْند‬


ِ ِ‫َّللا‬
“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Juga firman Allah Ta’ala:

َ‫اآلخ َرةِ ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬


ِ ‫الم دِينًا فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي‬
ِ ‫اإل ْس‬ َ ِ‫َو َم ْن يَ ْبتَغ‬
ِ ‫غي َْر‬
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran:
85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini
dengan ‘berserah diri’. Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata
mereka. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam:
‫اإلسالم أن تشهد أن ال إله إال هللا وأن محمدا رسول هللا وتقيم الصالة وتؤتي الزكاة وتصوم‬
‫رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيال‬
”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke
Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adlalah bantahan telak terhadap pluralisme agama.
Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama
Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi.
Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah rahmat bagi setiap
manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia
dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.

2. Berkasih sayang dalam kemungkaran

Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan


pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan
membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena khawatir
para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan
rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh.

Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini. Islam sebagai rahmat Allah
bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka
dalam kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat
bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan
orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.

Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka
petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah,
sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang
kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari
maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.

Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran
terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan
sikap kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:

‫ وال ينزع من شيء إال شانه‬. ‫إن الرفق ال يكون في شيء إال زانه‬
“Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan
itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)

3. Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama

Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik
dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah
perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami
dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan lil’alamin?”.
Sungguh aneh.

Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan kasih sayang dan toleransi
terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang sangat
jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian.

Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan
sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan orang yang
mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda
dengan orang yang mengatakan semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut
tentu ada yang benar dan ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang
sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan
tentang rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih
kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah
kepada orang yang mengikuti golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku
kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:

َ ‫عابِدُونَ َما أ َ ْعبُد ُ َو َال أَنَا‬


‫عابِدٌ َما‬ َ ‫قُ ْل يَا أَيُّ َها ْال َكافِ ُرونَ َال أ َ ْعبُد ُ َما ت َ ْعبُدُونَ َو َال أ َ ْنت ُ ْم‬
‫ِين‬
ِ ‫يد‬ َ ‫عابِدُونَ َما أ َ ْعبُدُ لَ ُك ْم دِينُ ُك ْم َو ِل‬ َ ‫عبَ ْدت ُ ْم َو َال أ َ ْنت ُ ْم‬
َ

“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”

Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila
saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima
nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam kebaikan?

ِ ‫ص ْوا بِ ْال َح‬


‫ق‬ َ ‫ت َوت َ َوا‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫سانَ لَ ِفي ُخ ْس ٍرإِ َّال الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬ ْ َ‫َو ْالع‬
ِ ْ ‫ص ِر إِ َّن‬
َ ‫اإل ْن‬
‫صب ِْر‬ َ ‫َوت َ َوا‬
َّ ‫ص ْوا بِال‬

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)

Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang
kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam
penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
‫ ومن غاب‬. ‫إذا عملت الخطيئة في األرض كان من ش هدها فكرهها كمن غاب عنها‬
‫ كان كمن شهدها‬، ‫عنها فرضيها‬

“Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi,
orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat
langsung (tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan
tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud
no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi.
Apakah kita mentoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak
wajib bagi orang yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang
menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita
mentoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah?
Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama
ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang benar,
menggunakan kaidah para ulama, barulah dapat kita toleransi.

4. Menyepelekan permasalahan aqidah

Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan
aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-
belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam
adalah rahmatan lil ‘alamin.

Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan lil ‘alamin:


“Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan kepada manusia yang
sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang
sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh
manusia”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia
karena beliau membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus
berada dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun
mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala:

‫وت‬
َ ‫غ‬ َّ ‫اجتَنِبُوا‬
ُ ‫الطا‬ َّ ‫وال أ َ ِن ا ْعبُد ُوا‬
ْ ‫َّللاَ َو‬ ً ‫س‬ُ ‫َولَقَ ْد بَعَثْنَا فِي ُك ِل أ ُ َّم ٍة َر‬

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)

Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah ia
akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala berfirman:

‫ار‬
ٍ ‫ص‬َ ‫لظا ِل ِمينَ ِم ْن أ َ ْن‬ ُ َّ‫علَ ْي ِه ْال َجنَّةَ َو َمأ ْ َواهُ الن‬
َّ ‫ار ۖ َو َما ِل‬ َّ ِ‫نَّهُ َم ْن يُ ْش ِر ْك ب‬
َّ ‫اَّللِ فَقَ ْد َح َّر َم‬
َ ُ‫َّللا‬
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)

Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?

Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah
bentuk rahmat dari Allah Ta’ala. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin
menjadi sebab perpecahan ummat? Justru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab
perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

ٍ ‫َو َال ت َ ُكونُوا ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ ِمنَ الَّذِينَ فَ َّرقُوا دِينَ ُه ْم َو َكانُوا ِش َيعًا ۖ ُك ُّل ِح ْز‬
‫ب بِ َما لَدَ ْي ِه ْم‬
َ‫فَ ِر ُحون‬

“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang


yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar Ruum: 31-
32)

Anda mungkin juga menyukai