Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM
STUDI KRITIS TERHADAP SISTEM KERJA OUTSOURCING
DI INDONESIA

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshari,S.H.,M.H.

DISUSUN OLEH:

ENANG MUHAMAD FIRDAUS,S.H.

NIM. _______________

PASCASARJANA HUKUM
UNIVERSITAS JANABADRA
YOGYAKARTA
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Filsafat
Hukum Studi Kritis terhadap Sistem Outsourcing di Indonesia, ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Prof.Dr.Abdul
Ghofur Anshari,S.H.,M.H. selaku Dosen mata kuliah Filsafat Hukum yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai sistem outsourcing yang berkeadilan dan bermanfaat.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda
demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Yogyakarta, April 2017


Penyusun

Enang Muhamad Firdaus,S.H.

2
Bab I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pekerja antar waktu dan pekerja borongan yang kemudian pepuler dengan sebutan
pekerja outsourcing merupakan sistem kerja yang terbilang baru khususnya di Indonesia.
Sistem kerja outsourcing di terapkan di Indonesia pada tahun 2003 ketika pemerinthan
Megawati Sukarno Putri, melalui undang-undang Nomer 13 Tahun 2003 sebagai payung
hukumnya. Sebelumya, sistem kerja outsourcing tidak dikenal di Indonesia, karena sistem
kerja yang demikian itu dirasa merugikan para pekerja Indonesia.

Sejak diterapkan sistem kerja outsourcing pada tahun 2003 yang diatur dalam
undang-undang Nomer 13 Tahun 2003 banyak menuai pro dan kontra dikalangan
masyarakatan, khususnya masyarakat pekerja sebagai objek dari sistem kerja tersebut.
Pekerja merupakan pihak yang kontra dan menentang terhadap kebijakan pemerintah yang
dituangkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tersebut. Sedangkan pemerintah sendiri
merupakan pihak yang pro dan mendukung terhadap peraturan yang dibuatnya tersebut,
tentu dengan berbagai alasan pembenar yang telah dirancangnya.

Dari uraian diatas jelas menggambarkan betapa peliknya masalah ketenagakerjaan di


Indonesia ini, khususnya yang berkaitan dengan tenaga kerja outsourcing, dimana mereka
merasa sebagai pihak yang sangat dirugikan dengan kebijakan pemerintah tersebut,
sedangkan di pihak lain, pemerintah as the makers of policy merasa kebijakan tersebut
sangat penting untuk menjaring banyak pekerja dan investor. Oleh karena itu pemerintah
berada dalam posisi yang dilematis, di satu sisi harus melindungi pekerja dari kemiskinan
dan menciptakan pekerja yang sejahtera, sedangkan di sisi yang lain pemerintah juga harus
memberikan kesempatan kerja kepada semua lapisan masyarakat dan juga harus menarik
investor dengan kebijakan-kebijakan yang dapat menstimulus investor untuk datang ke
Indonesia.

Sebagaimana penjelasan yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomer


27/PUU-IX/2011 Huruf III bahwa, sebenarnya tidak ada masalah dengan pengaturan sistem
kerja outsourcing yang diatur dalam Undang-undang Nomer 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, hanya saja perakteknya atau penerapan dari sistem kerja outsourcing di
lapangan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Rumusan Masalah

1. Apa landasan filosofis dibentuknya undang-undang ketanagakerjaan Indonesia?


2. Bagaimana kedudukan hukum sistem outsourcing terhadap undang-undang
ketenagakerjaan di Indonesia?
3. Bagaimana implementasi penerapan sistem outsourcing di Indonesia?

3
4. Apakah penerapan sistem tersebut sudah memenuhi rasa keadilan bagi
pekerja/buruh?
5. Bagaimana solusi atas permasalahan tersebut?

Tujuan

1. Untuk mengetahui apa dasar filosofi dibentuknya undang-undang ketenagakerjaan


dan system outsourcing sebagai salah satu bentuk hubungan industrial.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dan dinamika social terhadap berlakunya
system outsourcing di Indonesia
3. Untuk memberikan masukan dan sumbangsih pemikiran terhadap permasalahan
yang terjadi di dalam masyarakat terkait pemberlakuan system outsourcing dalam
hubungan industrial.
4. Untuk menganalisis manfaat dan hambatan dalam mewujudkan cita cita keadilan
social sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

4
Bab II
PEMBAHASAN

1. Apa landasan filosofis dibentuknya undang-undang ketanagakerjaan Indonesia?

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibuat


untuk melancarkan proses pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu undang-undang nomor 13 Tahun 2003 diproyeksi untuk
menggantikan produk hukum yang lama termasuk sebagian yang merupakan produk
kolonial karena dianggap menempatkan pekerja pada posisi yang kurang
menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan dalam sistem
hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan
sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan masa
yang akan datang.

2. Bagaimana kedudukan hukum sistem outsourcing terhadap peraturan perundang-


undangan ketenagakerjaan di Indonesia?
- Apa itu Outsourcing?
Outsourcing atau alih daya berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain.
Outsourcing (Rajagukguk, 2002:79) dapat pula didefinisikan sebagai suatu
hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan
dengan system kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan
pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengarah/penyedia tenaga kerja.
Pada sistem outsourcing akan ditemukan tiga elemen, yaitu Perusahaan
penyedia atau pengirim tenaga kerja/ pekerja (Penyedia/Vendor), Perusahaan
pengguna tenaga kerja/pekerja (pengguna/user), dan tenaga kerja/pekerja.
Berdasarkan pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ditegaskan
bahwa outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja secara tertulis melalui dua
cara, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan, harus memenuhi ketentuan Pasal 65 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
a. Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain adalah:
1) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

5
2) Dilakukan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
3) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
4) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
b. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus berbentuk badan
hukum.
c. Memberikan perlindungan dan syarat-syarat kerja minimal sama dengan
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
d. Pelaksanaan hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan dan
pekerja/buruh diatur dalam perjanjian secara tertulis.
e. Hubungan kerja tersebut dalam butir d dapat dilakukan dengan perjanjian
kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu jika
memenuhi persyaratan PKWT (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003).
f. Jika butir a dan b tersebut di atas tidak terpenuhi, demi hukum hubungan
kerja beralih menjadi hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan
dan pekerja/buruh yang bersangkutan.

Secara yuridis pembuatan perjanjian pemborongan pekerjaan harus:

a. Dibuat dalam bentuk tertulis, tidak boleh secara lisan (tidak tertulis).
b. Untuk jenis atau sifat pekerjaan yang tidak memenuhi ketentuan PKWT (Pasal
59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) dibuat dengan perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT). Jadi, tidak boleh menggunakan PKWT karena
tidak memenuhi ketentuan PKWT.
2. Perjanjian Jasa Penyedia Pekerja/Buruh
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur
penyerahan pelaksanaan pekerjaan melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
sebagai berikut:
a. Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan produksi atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi.
Kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi adalah jelas bukan kegiatan penunjang dalam suatu
perusahaan. Yang termasuk kegiatan penunjang, antara lain, usaha
pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi
pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengamanan (security), usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh.
b. Penyedia jasa pekerja/buruh:
1) Harus memenuhi syarat-syarat:

6
a) Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh
b) Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua pihak,
melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu jika memenuhi
persyaratan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
c) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh.
Dalam hal ini pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) atas
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya sesuai dengan
yang berlaku di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.
Perlindungan tersebut minimal harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan
wajib memuat pasal-pasal sebagaimana di maksud dalam undang-
undang ini.
2) Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
c. Jika seluruh ketentuan di atas kecuali butir b.1)c) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

3. Bagaimana implementasi penerapan sistem outsourcing di Indonesia?


Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan lain adalah sebagai berikut:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Implementasi praktek outsourcing dewasa ini juga tidak hanya merambah


pada perusahaan swasta nasional (business to business), bahkan sektor
pemerintahan pusat maupun daerah dan BUMN hingga BUMD (government to
business) sudah melakukan praktik tersebut sehingga ketentuan proses pemberian
pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh atau perusahaan

7
pemborong tunduk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yakni
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan ke empat atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.

4. Apakah penerapan sistem tersebut sudah memenuhi rasa keadilan bagi


pekerja/buruh?

Sistem outsourcing memang menjadi alternatif yang terbaik pada sisi


pengusaha, namun banyak pihak utamanya dari sisi pekerja melihat sistem
outsourcing adalah sebagai perbudakan modern, hal tersebut bukan tanpa alasan
melihat beberapa praktik dilapangan masih sangat terasa ketidak adilan yang dialami
oleh pekerja/buruh.

Sebagai perbandingan pekerja/buruh yang terikat dengan sistem kerja


berdasarkan hubungan kerja menggunakan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT) terdapat kepastian hukum bahwa apabila yang bersangkutan pensiun maka
sudah pasti mendapatkan pesangon, berbeda dengan pekerja/buruh yang terikat
hanya dengan sistem hubungan kerja menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) yang biasanya hanya setiap 1 (satu) tahun sekali, karena pergantian
perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh yang mengikuti lelang/ tender di tahun
berikutnya, hal tersebut mengakibatkan berubah pula kebijakan mengenai
ketentuan pesangon bagi pekerja/buruh yang memasuki usia pensiun. Perusahaan
penerima pekerjaan yang baru pun biasanya tidak menghitung dan menanggung
biaya pesangon tersebut, sehingga hal tersebut sangat jelas membuat pekerja/buruh
tidak mendapatkan keadilan.

5. Bagaimana solusi atas permasalahan tersebut?


Baik pemerintah ataupun swasta/ pengusaha dalam hal ini perlu
memperhatikan nasib pekerja/buruh yang sudah bertahun-tahun bekerja, karena
sistem outsourcing masih memiliki kelemahan yang condong membuat ketidak
adilan dirasakan oleh pekerja/buruh.
Pemerintah perlu mengatur dan memperbaiki regulasi mengenai undang-
undang ketenagakerjaan khususnya mengenai poin hak-hak kesejahteraan
pekerja/buruh yang sudah bekerja bertahun-tahun lamanya namun tidak
mendapatkan kepastian hukum untuk mendapatkan hak pesangon.

Bab IV

8
PENUTUP
a. Kesimpulan
Sebagaimana penjelasan yang tertuang sebenarnya tidak ada masalah
dengan pengaturan sistem kerja outsourcing yang diatur dalam Undang-undang
Nomer 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, hanya saja perakteknya atau
penerapan dari sistem kerja outsourcing di lapangan tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan, sehingga sebenarnya yang perlu
ditekankan bukan penghapusan sistem kerja outsourcing tersebut, tetapi perbaikan
regulasi dan utamanya adalah pengawasan atas pelaksanaan sistem kerja
outsourcing tersebut yang perlu diperketat agar tidak terjadi penyalahgunaan.

b. Saran
Pemakalah dalam hal ini ingin memberikan beberapa saran yang bisa
dijadikan sebagai bahan diskusi atau bahkan usulan perbaikan atas undang-undang
ketenagakerjaan, diantaranya adalah:
1. Sebagaimana perubahan ekonomi dunia yang begitu cepat dengan adanya MEA
menjadi berita hangat akhir-akhir ini dengan tingkat persaingan dunia kerja ikut
meningkat, maka hukum sebagai dasar Negara menjadi penting kedudukannya
untuk selalu diperhatikan dan diperbaharui sejalan dengan kebutuhan
masyarakat.
2. Sistem outsourcing perlu dikaji dan diperbaiki dengan disinergikan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya, khususnya mengenai peraturan
pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah yang perlu juga
diperbaharui karena yang berlaku terakhir pun masih tidak dapat
mengakomodir kepentingan dan keadilan bagi pekerja/buruh.

DAFTAR PUSTAKA

9
1. Khakim, Abdul 2014.Dasar-dasar hukum Ketenagakerjaan , cet. Ke – iv, Penerbit PT.
Citra Adiyakta Bakti. Bandung
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

10

Anda mungkin juga menyukai