Anda di halaman 1dari 32

TUGAS PENGANTAR HUKUM INDONESIA

DENGAN JUDUL

HUKUM KETENAGAKERJAAN

OLEH : KELOMPOK 12

ACHMAD MIRZA APRIANSYAH 02011381823412

ATTARIK AQSA ANZALULHAQI 02011381823402

CINDY FATHIA HAPSARI 02011381823407

EMILIA 02011381823316

FARIDA OKTARIZA 02011381823409

MUHAMMAD LUTHFI AKMAL 02011381823408

NADHIFA NUR AFIDA 02011381823273

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PALEMBANG

2018
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................1

LATAR BELAKANG ............................................................................................... 1

RUMUSAN MASALAH .......................................................................................... 2

RUANG LINGKUP ..................................................................................................2

TUJUAN ....................................................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4

PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN .................................................4

RUANG LINGKUP HUKUM KETENAGAKERJAAN .........................................4

SIFAT HUKUM KETENAGAKERJAAN ............................................................... 9

ILMU PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN ......................................9

SUMBER HUKUM KETENAGAKERJAAN ........................................................ 12

SEJARAH HUKUM KETENAGAKERJAAN ...................................................... 16

TUJUAN HUKUM KETENAGAKERJAAN ........................................................ 19

ASAS HUKUM KETENAGAKERJAAN .............................................................. 19

BAB 3 PEMBAHASAN ...................................................................................................20

CONTOH KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA ....................................20

PEMBAHASAN KASUS ........................................................................................ 21

BAB 4 PENUTUP ............................................................................................................28

KESIMPULAN ........................................................................................................28

SARAN..................................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 29

i
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang giat

melakukan pembangunan dan pengembangan di segala bidang. Tentu saja

hal ini tidak mudah untuk dicapai. Banyak permasalahan yang dihadapi

dalam pelaksanaannya, salah satunya adalah masalah ketenagakerjaan.

Masalah ketenagakerjaan memang merupakan salah satu masalah yang

biasanya dihadapi negara berkembang. Salah satu alasan dari tingginya

tingkat pengangguran adalah jumlah penduduk yang meningkat tanpa

diiringi dengan adanya lapangan-lapangan kerja yang baru.

Kata bekerja mempunyai banyak makna yang dapat ditinjau dari

berbagai segi dan ada di dalam setiap unsur kehidupan. Secara umum

tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di

dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat1.

Sesuai dengan asas “Ubi societas ebi ius,” di bidang

ketenagakerjaanpun pastinya ada hukum yang mengatur. Seiring dengan

pekembangan masyarakat, hukum ketenagakerjaan atau yang dulu disebut

hukum perburuhan juga mengalami perkembangan karena beberapa

undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai

1
Fx. Djumialdi S.H., Himpunan Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan Bidang Jaminan Sosial,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993

1
lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh

karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali.2

Hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan antara semua pihak

yang berhubungan dengan proses produksi barang maupun jasa, dan

mengatur perlindungan tenaga kerja yang bersifat memaksa. Para pekerja

juga memiliki kesempatan kerja yang sama tanpa diskriminasi untuk

memperoleh pekerjaan sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pasal 5

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

B. RUMUSAN MASALAH

Untuk lebih dapat mengetahui tentang hukum ketenagakerjaan,

kami mengajukan beberapa rumusan masalah, yaitu :

 Apa saja tinjauan dari hukum ketenagakerjaan?

 Bagaimana UU No. 12 Tahun 1964 mengatur tentang hubungan kerja

dan bagaimana prosedur pemutusan hubungan kerja sebaiknya

dilakukan?

C. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pada pembahasan ini akan kami batasi sampai

tinjauan umum dari hukum ketenagakerjaan dan satu contoh kasus yang

berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan.

2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

2
D. TUJUAN

Kami sebagai tim penyusun berharap agar kita dapat lebih

mengerti tentang apa itu hukum ketenagakerjaan dan apa saja ruang

lingkup, tujuan, asas, sifat, sumber, dan sejarah dari hukum

ketenagakerjaan. Kami harap dengan contoh studi kasus yang telah

dibahas kita dapat memahami lebih dalam lagi tentang hukum

ketenagakerjaan.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

Terdapat beberapa pengertian hukum ketenagakerjaan yang

diambil dari beberapa sumber, yaitu :

a. Menurut Undang-Undang

Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 13 tahun 2003

tentang ketenagakerjaan (lembaran negara/Tahun 2003 Nomor 39,

tambahan lembaran negara Tahun 2003 Nomor 4279 yang

selanjutnya disingkat dengan UU no. 13 Tahun 2003), hukum

ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan

tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 2 UU No.13 Tahun 2003,

tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan

perkerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

b. Menurut Mr. Molenaar

“Arbeidrecht (Hukum Perburuhan) adalah bagian dari

hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan

antara buruh dan majikan, buruh dengan buruh, dan buruh dengan

penguasa.”

4
c. Menurut Imam Soepomo

“Hukum ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan, baik

tertulis maupun tidak tertulis yang berenaan dengan suatu kejadian

dimana seseorang berkerja pada orang lain dengan menerima

upah.”3

2. RUANG LINGKUP HUKUM KETENAGAKERJAAN

Menurut jha.Logemann dalam teori gebiesdleer, “ruang laku

berlakunya suatu hukum adalah suatu keadaan/bidang dimana

kaidah hukum itu berlaku.” Menurut teori ini, lingkup laku hukum

ketegakerjaan yaitu:

a. Lingkup laku pribadi (personengebied)

Lingkup laku pribadi dalam hukum ketenagkerjaan terdapat

kaitan erat dengan siapa (pribadi kodrati) atau apa (peran pribadi

hukum) yang dibatasi oleh kaidah hukum. Siapa atau apa yang

dibatasi oleh kaidah hukum yaitu:

1) Buruh (perkerja), mantan buruh (pekerja), serikat buruh

(pekerja)

2) Majikan (pengusaha), organisasi pengusaha

3) Negara/penguasa (pemerintah)

4) Buruh (pekerja) atau mantan buruh (pekerja) adalah manusia

yang berkerja pada orang lain untuk mendapatkan upah.4

3
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 1995) hlm 1
4
F. JHM Van Der Ven, Pengantar Hukum Kerdja, diterjemahkan oleh Sri Dadi, (Semarang:
Penerbit Yayasan Kanisius, 1956), hlm 45

5
Kemudian pengusaha tampil sebagi subjek hukum

perburuhan dalam kedudukkannya sebagai pribadi hukum atau

bukan pribadi hukum, dan sebagai pribadi kodrati. Sebagai pribadi

hukum ia tampil sebagai badan hukum (pt) dan sebagi bukan

pribadi hukum ia tampil sebagai cv, ud, firm, persekutuan perdata,

badan sosial, dan sebagainya. Sebagai pribadi kodrati ia tampil

sebagai penguasa perseorangan.

Akhirnya penguasa (pemerintah) tampil sebagau subjek

perburuhan karena atau dalam arti jabatan (ambt). Misalnya uu no.

13 tahun 2003 tentang hukum ketenagakerjaan, uu no 2 tahun 2004

tentang penyelesaian perselisihan industrial dan sebagainya.

b. Lingkup laku menurut waktu (tijdsgebied)

Menunjukkan kapan suatu peristiwa tententu diatur oleh

kaidah hukum. Dalam hukum ketenagakerjaan, ada peristiwa

tertentu yang timbul pada waktu yang berbeda, yaitu:5

1) Sebelum hubungan kerja terjadi, mencakup kegiatan

pengerahan dan penempatan tenaga kerja, dan berbagai upaya

dalam rangka pelatihan untuk dalam rangka memasuki pasar

kerja, serta berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum

berkerja

2) Pada saat hubungan kerja terjadi, mencakup melakukan

perkerjaan, pembayaran upah, waktu kerja, kesehatan dan

5
Agusmidah, Dinamika & Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor, Ghalia
Indonesia, 2010)

6
keselamatan kerja serta pembayaran ganti rugi kecelakaan

kerja, jaminan social dan sebagainya

3) Sesudah hubungan kerja terjadi, mencakup pembayaran uang

pension, pembayaran uang pesangon, santunan kematian, dan

sebagainya.

c. Lingkup laku menurut wilayah (ruimtegebied)

Lingkup ini berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa

hukum ada wilayah yang dibatasi oleh kaidah hukum. Batas-batas

wilayah berlakunya kaidah hukum ketenagakerjaan yaitu:

1) Regional

 Non-sektoral regional dibatasi pada suatu wilayah

tertentu

 Sektoral regional dibatasi tidak hanya wilayah

belakunya tetapi juga sector kerjanya

2) Nasional

 Non-sektoral nasional dibatasi oleh wilayah negara,

dengan kata lain wilayah berlakunya hukum perburuhan

adalah seluruh wilayah indonesia, tanpa memperhatikan

sektornya

 Sektoral nasional dibatasi oleh sector tertentu yang

berlaaku diseluruh wilayah indonesia

7
3) Internasional

Berlakunya hukum erburuhan melewati batas-batas

negara secara bilateral atau secara multilateral. Secara belateral

berlakunya hukum perburuhan melewati batas-batas dua

negara misalnya mou yang dibuat antara negara indonesia

dengan negara malaysia tentang hak dan kea=wajiban buruh

informal sedangkan secara multilateral melewati batas-batas

tiga negara atau lebih, misalnya ilo core convention yang

mengatur fundamental principles and rights at work yang

otomatis berlaku dinegara anggota ilo.

d. Lingkup laku menurut hal ihwal (zaakgebied)

Berkaitan dengan hal-hal apa saja yang menjadi objek

pengaturan dari suatu kaidah, digolongkan menjadi:

1) Hal-hal yang berkaitan dengan pengerahan dan pendayagunaan

tenaga kerja

2) Hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kerja dan hubungan

perburuhan

3) Hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan kerja dan

kesehatan kerja

4) Hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan jaminan sosial dan

asuransi tenaga kerja dan pengupahan

5) Hal-hal yang berkaitan dengan masalah penyelesaian

perselisihan perburuhan dan pemutusan hubungan kerja.

8
3. SIFAT HUKUM PERBURUHAN

Ditinjau dari sifatnya hukum perburuhan dapat bersifat

privat/perdata dan dapat pula bersifat publik. Bersifat privat karena

mengatur hubungan antara orang-perorangan (pembuatan perjanjian

kerja). Bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam

masalah-masalah perburuhan, serta adanya sanksi pidana dalam

peraturan hukum perburuhan.6

4. ILMU PENGERTIAN HUKUM PERBURUHAN

Ilmu pengertian hukum ketenagakerjaan meliputi:

a. Masyarakat hukum

Masyarakat hukum yang hak dan kewajibannya, hubungan

hukumnya, peristiwa hukumnya dan objek hukumnya tunduk pada

hukum perburuhan yang disebut masyarakat industri7. Dalam hal

ini mencakup masyarakat yang mempunyai unsur-unsur sebagai

berikut:

1) Buruh/pekerja atau serikat buruh/ pekerja

2) Pengusaha atau organisasi pengusaha

3) Pemerintah

4) Hak dan kewajiban hukum yang meliputi:

 Hak dan kewajiban buruh, misalnya: menerima hak atas

ganti rugi kecelakaan kerja dan sebagainya

6
Asri Wijayanti. 2009 Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi.Jakarta : Sinar Grafika.
7
John Bowers dan Simon Honeyball, Textbook on Labour Law, 6 thed, (London: Blackstone Press
Limited, 2000), hlm. 15

9
 Hak dan kewajiban organisasi peruruhan, misalnya: hak

berunding

 Hak dan kewajiban pengusaha, misalnya memperoleh hasil

kerja dan kewajiban membayar upah buruh

 Hak dan kewajiban pemerintah, misalnya: mengawasi

pelaksaan ketentuan hukum perburuhan, dan kewajiban

untuk menindak lanjuti pelanggaran peraturan perundang-

undangan perburuhan yang berlaku.

b. Hubungan hukum

Pada hakikatnya hubungan antara pekerja dan penguasa

bersifat timpang hal ini disebabkan posisi burh yang kurang

beruntung dibandingkan dengan posisi penguasa. 8 Lebih lanjut,

dalam hubungan kerja hubungan antara buruh dengan pengusaha

bersifat sub-ordinasi (hubungan diperatas/vertikal). Hal ini berbeda

dengan hubungan hukum pada umumnya (dalam suatu perikatan)

yang sifatnya koordinasi (horizontal).9

c. Peristiwa hukum

1) Peristiwa hukum dalam arti perilaku hukum adalah suatu

perilaku yang dibatasi oleh kaidah-kaidah hukum perburuhan,

8
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 8
9
R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia,
(Jakarta: Grahadika Binangkit Press, 2004), hlm. 15.

10
misalnya membayar uang pesangon, memutuskan hubungan

kerja, membayar ganti rugi perusahaan, dan sebagainya.

2) Peristiwa hukum dalam arti kejadian hukum adalah setiap

kejadian yang dibatasi oleh kaidah hukum perburuhan,

misalnya kecelakaan kerja, kematian buruh, pemutusan

hubungan kerja, buruh sakit dan sebagainya.

3) Peristiwa hukum dalam arti keadaan hukum adalah setiap

keadaan yang dibatasi oleh kaidah hukum perburuhan,

misalnya bekerja pada malam hari, bekerja pada siang hari,

bekerja setelah jam kerja, dan sebagainya.10

d. Objek Hukum

Objek hukum perburuan pada hakikatnya berkaitan dengan

sasaran yang hendak dicapai oleh hukum perburuhan yang

mencakup sanksi hukum pidana, sanksi hukum perdata dan sanksi

hukum administrasi.

1) Terpenuhinya pelaksanaan sanksi hukuman, baik yang bersifat

administrasi, maupun bersifat pidana sebagai akibat

dilanggarnya suatu ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan. Misalnya seorang buruh diputuskan terbukti

mencuri oleh putusan hakim, atau seorang direktur dipidana

karena ia telah membayar upah dibawah upah minimum dan

sebagainya.

10
Uwiyono,Aloysius, dkk. 2014 Asas- Asas Hukum Perburuhan. Jakarta : Rajawali Pers, hlm 11

11
2) Terpenuhinya pelaksanaan sanksi perdata bagi pihak yang

dirugikan sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan oleh

pihak lain terhadap perjanjian yang telah disepakati. Misalnya

seorang pengusaha membayar sisa kontrak, karena ia

mengakhiri hubungan kerja 5 ( lima) bulan sebelum kontrak

berakhir. Demikian juga sebaliknya buruh juga terkena

kewajiban mengembalikan gaji selama sisa kontrak.11

3) mengembalikan gaji selama sisa kontrak.12

5. SUMBER-SUMBER HUKUM

Sumber hukum adalah “segala apa saja yang dapat menimbulkan

aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni

atura-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas

dan nyata.” 13 Berbicara mengenai sumber hukum perburuhan maka

jelas yang dimaksudkan adalah sumber hukum perburuhan dalam

artian formal karena sumber hukum perburuhan dalam artian materiil

adalah pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum seperti

yang termasuk dalam ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, kemudian

diperkuat dengan ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 dan ketetapan

MPR Nomor IX/MPR/1978.

Adapun sumber-sumber hukum perburuhan dalam artian formal adalah

sebagai berikut:

11
Ibid, hlm 12
12
Ibid, hlm 12
13
CST.Kansil, Pengantai Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesi, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984,
hlm. 46.

12
a. Undang Undang

Undang-undang merupakan peraturan yang dibuat oleh

pemerintah berdasarkan persetujuan DPR (Pasal 5 Ayat 1 Jo Pasal

20 Ayat 1 UUD 1945). Peraturan yang berkaitan dengan hukum

perburuhan pada waktu itu adalah:

1) Wet= Undang-undang, dibuat oleh raja bersama-sama dengan

parlemen di Nederland. Misalnya BW dan WVK

2) Algemeen Maatregal van Bestuur, ditetapkan oleh pemerintah

Belanda sebagai pelaksana dari Wet, misalnya Algemeen

Maatregal van Bestuur 17-1-1938 (Stb.1938 Nomor 98)

tentang peratuan perburuhan diperusahaan perkebunan

3) Odonantic-ordonantie, peraturan ini ada dua macam, pertama

ditetapkan oleh Gubenur Jendral dengan atau tidak mendapat

persetujuan Read van Indie, dan kedua sejak tanggak 1 Januari

1926 ditetapkan oleh Gubenur Jendral dengan persetujuan

Volksraad, misalnya Ordonantie 17-9-1914 (Stb. 1941 Nomor

396) tentang pemutusan hubungan kerja bagi buruh Eropa.

b. Peraturan Lain

1) Peraturan pemerintah, misalnya Peraturan Pemerintah No.13

tahun 1950 tentang waktu kerja dan waktu istirahat, peraturan

No.21 Tahun 1954 tentang tahunan bagi buruh, peraturan No.

41 Tahun 1953 tentang kewajiban melaporkan perusahaan dan

sebagainya

13
2) Keputusan Presiden, misalnya keputusan Presiden tentang

pengangkatan ketua dan anggota Panitia Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan

3) Peraturan atau keputusan instasi lain, misalnya menurut Pasal 4

Arbeidsrregeling-Nijver-Heids-Bdrijven menetapkan bahwa

kepala instansi perburuhan berhak mengadakan peraturan

tentang pengurusan buku uang harus dikerjakan oleh pihak

majikan.

c. Kebiasaan

Dalam bidang hukum perburuahan kebiasaan ini sangat

berkembang karena:

1) Pembentukkan Undang-Undang dan peraturan lain dibawah

Undang-Undang tidak dapat dilakukan secepat

perkembangan masalah-masalah perburuhan yang harus

diatur

2) Peraturan dari zaman Belanda dahulu sudah tidak lagi

sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

d. Putusan

Keputusan dipegang oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan baik ditingkat daerah atau pusat, keputusan ini bersifat

mengikat oleh pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi

daerah tempat tinggalnya para pihak agar keputusan tersebut dapat

14
dijalankan (Pasal 10 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1957) sudah

dinyatakan sudah dapat dijalankan maka putusan itu dilaksanakan

menurut aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan

perdata.

e. Perjanjian

Merupakan suatu peristiwa dimana pihak yang satu berjanji

kepada pihak lainnya untuk melaksakan suatu hal, akibatnya pihak

yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang meraka adakan.

Dalam kaitannya dengan masalah perburuhan ini terdapat adanya

perjanjian yang dibuat oleh pihak atau subyek dari hukum

perburuhan tersebut yakni pejanjian perburuhan dan perjanjian

kerja. Perjanjian perburuhan adalah perjanjian yang diadakan oleh

satu atau beberapa serikat buruh yang telah terdaftar pada

Depatermen Perburuhan dengan seorang atau beberapa majikan

yang berbeda hukum yang umumnya memuat syarat-syarat

perburuhan yang harus perhatikan dalam perjanjian kerja.

f. Traktat

Khusus dalam bidang ketenagakerjaan perjanjian dengan

Negara lain belum pernah diadakan (kecuali KMB) yang banyak

kita jumpai adalah ketentuan internasional hasil dari konferensi

ILO. Ketentuan-ketentuan ini pun agar dapat mengikat harus

diratifikansikan terlebih dahulu oleh negar peserta, misalnya

Convention Nomor 19 tentang perlakuan yang sama bagi buruh

15
warga Negara dan asing mengenai hal pemberian ganti rugi pada

kecelakaan.

g. Doktrin/Pendapat Para Ahli

Pendapat pakar ilmu hukum dapat dipergunakan sebagai

landasan untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan

langsung atau tidak langsung dengan perburuhan.Karena itulah

dapat dikualifikasi sebagai salah satu sumber hukum atau tempat

menemukan dasar penyelesaian masalah.

6. SEJARAH HUKUM KETENAGAKERJAAN

a. Masa Sebelum Kemerdekaan Negara Indonesia

1) Zaman Perbudakkan

Budak tidak memiliki hak paapaun, hanya kewajiban

melakukan pekerjaan. Tidak ada aturan tenaga kerja atau

perburuhan dan berakhir pada tahun 1860.

2) Kerja Rodi

Awalnya merupakan pembagian kerja atau gotong royong

dan pada akhirnya menjadi lebih kejam dari perbudakkan,

berakhirnya 1880.

3) Masa Peonalle Sanksi (kuli kontrak)

Terdapat hukuman pidana bagi yang tidak mau

berkerja.Merupakan kebijakan pemerintah yang mengikat.

Berakhir pada tahun 1942.

16
4) Masa Pendudukkan Jepang

Pada masa ini diterapkan romusha dan kinrohoysi.Romusha

adalah tenaga kerja sukarela yang kenyataannya adalah kerja

paksa sedangkan Kinrohoysi adalah Romusha yang

dipekerjakan dalam jangka waktu yang pendek.

b. Masa Pasca Kemerdekaan Indonesia

1) Masa Pemerintahan Soekarno

Produk hukum dimasa pemerintahan Soekarno lebih

menunjukkan adanya penerapan teori, hukum perundang-

undangan yang baik, yaitu yang berlaku sama baik 40 atau 50

tahun yang akan datang.

2) Masa Pemerintahan Soeharto

Pada masa pemerintahan ini terjadi pengerahan TKI keluar

negeri yang berdasarkan pasal 2 TAP MPRS No.

XXVIII/MPRS-RI/1966 yaitu UU perburuhan menegenai

penempatan tenaga kerja tapi ketentuan ini tidak pernah

direalisasikan dan nyatanya sudah dicabut pada masa

pemerintahan Soeharto sebagai kelanjutan berdasarkan pasal 5

ayat 2 UU No. 14 Tahun 1969 ditetapkan tugas pemerintah

untuk mengatur penyebaran tenaga kerja. Akibatnya

penegerahan TKI tidak berdasarkan Undng-undang tetapi

cukup dengan keputusan menteri tenaga kerja.Kedudukkan

17
buruh semakin lemah dan hanay mendirikan satu serikat

pekerja yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

3) Zaman Reformasi

Pada masa pemerintahan BJ. Habibie ada tekanan dari luar

negeri maka Indonesia terpaksa meatifikasi Convention No.182

Concerning The Immidiate Action To Abolish And To

Elliminate The Worst Forms Of Child Labour (tindakkan

segera untuk menghapus dan mengurangi bentuk terburuk

pekerja anak diratifikasi dengan UU No.1 tahun 2000 tanggal 8

Maret 2000). Di masa ini juga tahanan politik banayak

dibebaskan

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, politik

hukum ketengakerjaan meneruskan BJ.Habibie dengan

penerapan demokrasi dan adanya UU No. 21 tahun 2000

tentang serikat pekerja. Sayangnya masyarakat Indonesia masih

belum matang untuk berdemokrasi sehingga membuat

hubungan industrial semakin buruk.

Pada masa Megawati Soekarnoputri perkembanagan tenaga

kerja hampir tidak ada gebrakkannya justru yang terlihat adalah

banyaknya kasus ketengakerjaan yang mengambang dan

kurang mendapat perhatian.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ada

sedikit perubahan dibidang ketengakerjaan.Ada pemangkasan

18
dan berbagai upaya peningkatan pelayanan, kinerja baik

perkerja maupun pegawai, dan adanya pemberantasan korupsi.

7. TUJUAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

Tujuan dari hukum ketenagakerjaan berdasarkan UU No. 13 Tahun

2003 adalah :

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal

dan manusiawi

b. Mewujudkan Pemerataan Kesempatan Kerja dan Penyediaan

Tenaga Kerja Sesuai Dengan Kebutuhan Pembangunan Nasional

dan Daerah

c. Memberikan Perlindungan kepada Tenaga Kerja Dalam

Mewujudkan Kesejahteraan

d. Meningkatkan Kesejahteraan Tenaga Kerja dan Keluarga

8. ASAS HUKUM KETENAGAKERJAAN

Asas ketenagakerjaan adalah:

a. Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan pancasila dan UUD

1945 (Pasal 2 UU. No. 13/2003)

b. Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas

keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan

daerah (Pasal 3 UU. No. 13/2003)

19
BAB 3

PEMBAHASAN

 Penjelasan Kasus Pemutusan Hubungan Kerja Sepanjang Tahun 2017 Di

PT. MNC Group

Sasmito Madrim selaku perwakilan dari Federasi Serikat Pekerja

Media Independen (FSPMI) mengatakan bahwa terdapat beberapa

pelanggaran yang dilakukan terhadap para karyawan diantaranya; prosedur

pemutusan hubungan kerja yang tidak benar, pemutusan hubungan kerja yang

tidak etis, dan tidak diberikannya uang pesangon sebagai ganti rugi

pemecatan. Diketahui, Kurang lebih 300 karyawan PT MNI yang di PHK

secara massal sepanjang tahun 2017. PHK ini merupakan akibat dari Koran

Sindo yang menutup biro di sejumlah daerah. Koran Sindo sendiri merupakan

perusahaan yang bernaung di bawah MNC Group.

Ada pun Biro Koran Sindo yang ditutup antara lain Biro Sumatera

Utara, Biro Sumatera Selatan, Biro Jawa Tengah/Yogyakarta, Biro Jawa

Timur, Biro Jawa Barat, Biro Sulawesi Selatan, dan Biro Sulawesi Utara.

Tabloid Genie serta Tabloid Mom and Kiddie juga berhenti beroperasi per Juli

2017, dan sedikitnya ada 42 karyawannya yang dipecat secara sepihak.

Disusul pemecatan sebanyak 90 karyawan MNC Channel, serta 8 orang

karyawan INews TV yang kasus pemecetannya masih bergulir di Suku Dinas

Ketenagakerjaan Jakarta Pusat.

20
Sekretaris Perusahaan MNC Group, Arya Sinulingga, tidak

mengangkat telepon dan menjawab pesan untuk mengkonfirmasi tudingan

yang dilakukan oleh para mantan karyawan MNC.

(sumber : CNNIndonesia.com)

 Pembahasan

Berita tersebut mengangkat kasus PHK yang dilakukan oleh PT.

MNI.Mereka melakukan PHK secara besar-besaran. Dalam berita tersebut

disebutkan beberapa indikasi pelanggaran dalam Undang-undang

ketenagakerjaan bagian PHK yakni:

1. Belum adanya musyawarah mufakat untuk melaksakan PHK

Pasal 1 Ayat 1 mengharuskan majikan supaya mengusahakan agar

jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun jika pemutusan

hubungan kerja tidak dapat dihindarkan maka majikan harus

merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan

organisasi yang bersangkutan atau dengan buruhnya sendiri jika buruh itu

tidak menjadi anggota salah satu organisasi buruh (pasal 2)14

Jika perundingan itu tidak menghasilkan persesuaian paham,

artinya organisasi buruh atau buruh yang bersangkutan tidak

menyetujuinya majikan hanya dapat memutuskan hubungan kerja itu

14
Undang –undang nomor 12 tahun 1964

21
setelah mendapat ijin dari panitian penyelesaian perselihan perburuhan

(Pasal 3).15

Pada kenyataannya banyak PHK yang dilaksanakan tanpa adanya

musyawarah tersebut. Berbagai alasan dipakai untuk mengurangi tenaga

kerja tanpa mau menerima konsenkuensi dari PHK. Pemutusan hubungan

kerja tanap ijin dimana ijin tersebut diharuskan, adalah batal karena

hukum (Pasal 10 UU No.12 th 1964), artinya hubungan kerja seharusnya

tidak dapat diputus secara sepihak, majikan yang tanpa ijin menghentikan

buruh wajib membayar terus upah kepada buruh yang bersangkutan.

Mengenai hal ini Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja nomor 362/67

memberi penjelasan yang tidak menjelaskan dengan mengatakan bahwa

bilamana disuatu perusahaan ada peraturan tentang schorsing atau tentang

pembayaran selama dalam tahanan maka dengan kewajiban seperti

tercantum dipasal 11 Undang-Undang nomor. 12 tahun 1964 diartikan

kewajiban berdasarkan peaturan schorsing atau peraturan pembayaran

selama dalam tahanan itu16

2. Tidak sesuainya prosedur PHK

Fungsi adanya surat peringatan (SP) membantu agar PHK tidak terjadi

secara mendadak, atau bahkan karyawan memperbaiki kinerjanya dan

mencapai standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Aturan surat

15
Undang –undang nomor 12 tahun 1964
16
Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Prof. Iman Soepomo SH,1990

22
peringatan untuk karyawan sendiri diatur pada Pasal 161, dengan bunyi

sebagai berikut:

(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan

yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang

bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan

ketiga secara berturut-turut.

(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan,

kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Berdasarkan peraturan di atas, jangka waktu berlakunya surat

peringatan adalah 6 (enam) bulan, yang dianggap cukup dalam menilai

apakah karyawan sudah melakukan perbaikan atas kesalahannya. Akan

tetapi, semisal karyawan telah mendapatkan SP pertama dan perilakunya

membaik. Lalu ia melakukan kesalahan lain setelah lewat 6 (enam) bulan

dari surat peringatan pertama, maka surat peringatan (yang kedua) tersebut

tetap dianggap sebagai surat peringatan pertama. Sebaliknya, pengusaha

diperbolehkan memberikan surat peringatan kedua atau ketiga, jika

memang karyawan melakukan pelanggaran berbeda sebelum masa SP

pertama berakhir. Pengusaha baru dapat melakukan pemutusan hubungan

23
kerja (PHK) setelah surat peringatan ketiga, yang artinya karyawan

dianggap tidak melakukan perbaikan sama sekali–atau justru perilakunya

semakin buruk. Langkah ini dapat diambil sekaligus untuk memberikan

‘pelajaran’ kepada karyawan lainnya.17

3. Jumlah Pesangon yang tidak sesuai

Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Pasal 156 ayat (1) terdapat tiga jenis pesangon yang

harusnya diterima karyawan yang di PHK. Berikut ini petikan dari pasal

156 UU Ketenagakerjaan:

“ Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha

diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan

masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”

Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja juga harus

membayarkan uang penghargaan masa kerja seperti yang terdapat di

dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 156 Ayat 3.

Selain kedua hak tersebut, menurut UU Ketenagakerjaan Pasal 156 Ayat 3

terdapat juga uang pengganti hak yang seharusnya diterima, seperti:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke

tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;


17
Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Hartono Widodo, SH., Judiantoro, SH., 1989

24
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan

15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang

penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

4. Tidak adanya kejelasan kenapa di PHK

PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu pengadilan

hubungan industrial (PHI) yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

Sebelum mem-PHK pekerja, pengusaha juga sebelumnya telah

memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga kepada pekerja

yang bersangkutan5. Dengan demikian, jika pengusaha tidak memiliki

alasan yang jelas maka buruh berhak untuk melaporkan tindakan

pengusaha kepada instansi ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota

karena merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 Ayat

(1) UU Ketenagakerjaan.

Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah

kemudian dapat ditempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang

sewenang-wenang ke PHI sebagaimana diatur dalam ketentuan UU

2/2004.

Pemutusan hubungan kerja oleh pihak majikan (dalam hal ini

perusahaan) ini ialah pemutusan yang maksudnya diatur dalam Undang-

25
Undang No.12 Tahun 1964. Menurut pertimbangannya, Undang-Undang

ini diadakan untuk lebih menjamin ketentraman dan kepastian bagi kaum

buruh (tenaga kerja).

Maksud Undang-Undang ini yang masih kurang dimengerti,

sebetulnya merupakan cetusan dari krida keempat hukum perburuhan,

yaitu membebaskan buruh Indonesia dari ketakutan kehilangan

pekerjaannya secara semena-mena 18 . Telah disebutkan dalam Pasal 51

Ayat 1 Undang-Undng Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 bahwa,

“Pengusaha, perkerja/buruh, serikat perkerja/serikat buruh dan pemerintah

harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.

Undang-undang ini menjadi dasar bahwa PHK sebaiknya tidak dilakukan.

 Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja Yang Benar

1. Pekerja harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum hubungan

kerjanya diputus. Pengusaha harus melakukan segala upaya untuk

menghindari memutuskan hubungan kerja.

2. Pengusaha dan pekerja beserta serikat pekerja menegosiasikan pemutusan

hubungan kerja tersebut dan mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan

hubungan kerja.

3. Jika perundingan benar-benar tidak menghasilkan kesepakatan, pengusaha

hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah

memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial. Penetapan ini tidak diperlukan jika pekerja yang sedang dalam

18
Penghantar Hukum PErburuhan, Prof. Iman Soepomo, SH. Halaman 26

26
masa percobaan bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis, pekerja

meminta untuk mengundurkan diri tanpa ada indikasi adanya tekanan atau

intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan

perjanjian kerja dengan waktu tertentu yang pertama, pekerja mencapai

usia pensiun, dan jika pekerja meninggal dunia.

4. Pengusaha harus mempekerjakan kembali atau memberi kompensasi

kepada pekerja yang alasan pemutusan hubungan kerjanya ternyata

ditemukan tidak adil.

5. Jika pengusaha ingin mengurangi jumlah pekerja oleh karena perubahan

dalam operasi, pengusaha pertama harus berusaha merundingkannya

dengan pekerja atau serikat pekerja. Jika perundingan tidak menghasilkan

kesepakatan, maka baik pengusaha maupun serikat pekerja dapat

mengajukan perselisihan tersebut kepada lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial.19

19
https://betterwork.org/in-labourguide/?page_id=2330

27
BAB 4

PENUTUP

 KESIMPULAN

Masalah ketenagakerjaan masih kurang dimengerti sebagian besar orang.

Di Indonesia, digunakan istilah ketenagakerjaan untuk masalah perburuhan..

Ketenagakerjaan meliputi pegawai pekerja formal, dan pekerja informal, serta

pengangguran. Perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia sudah

mengalami banyak kemajuan.

Jika diteliti, isi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sudah dengan jelas

menjelaskan tentang ketenagakerjaan, mulai dari definisi umum meliputi

ketenagakerjaan, jaminan sosial, hubungan kerja, dan sebagainya. Walaupun

isi dari UU No. 13 Tahun 2003 sudah cukup jelas, masih sering terjadi

penyelewengan seperti contoh kasus yang telah disebutkan.

 SARAN

1. Walaupun hukum ketenagakerjaan sudah berkembang, masih perlu

dilakukan pembaruan secara berkala mengingat salah satu dasar hukum

ketenagakerjaan yang terakhir diresmikan adalah pada tahun 2003 yaitu

UU No. 13 Tahun 2003.

2. Masyarakat perlu mengetahui perbedaan buruh dan tenaga kerja.

3. Perlu juga untuk megetahui prosedur pemutusan hubungan kerja yang

benar.

4. Seharusnya ada lebih banyak pembukaan lapangan kerja yang baru agar

dapat mengurangi pengangguran.

28
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Agusmidah, Dinamika & Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,

(Bogor, Ghalia Indonesia, 2010)

Asri Wijayanti. 2009 Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi.Jakarta : Sinar

Grafika.

CST.Kansil, Pengantai Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai

Pustaka, Jakarta, 1984

F. JHM Van Der Ven, Pengantar Hukum Kerdja, diterjemahkan oleh Sri Dadi,

(Semarang: Penerbit Yayasan Kanisius, 1956)

Fx. Djumialdi S.H., Himpunan Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan Bidang

Jaminan Sosial, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993

Hartono Widodo, SH., Judiantoro, SH., Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan, 1989

Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta:

Djambatan, 1995)

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Djambatan, 2003)

John Bowers dan Simon Honeyball, Textbook on Labour Law, 6thed, (London:

Blackstone Press Limited, 2000)

R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di

Indonesia, (Jakarta: Grahadika Binangkit Press, 2004)

29
Uwiyono,Aloysius, dkk. 2014 Asas- Asas Hukum Perburuhan. Jakarta : Rajawali

Pers

Sumber internet :

https://betterwork.org/in-labourguide/?page_id=2330

https://m.cnnindonesia.com

30

Anda mungkin juga menyukai