Anda di halaman 1dari 18

JURNAL KELOMPOK 2

“PARA PIHAK-PIHAK HUKUM


KETENAGAKERJAAN”

Dosen: Bapak Kosim Afendy S.H, M.H

Disusun oleh:

Ayu Lestari1, Dewi Adi Setyani2, Dewi Ratnasari Zendranto3, Fajar


Hardianto4, Fridolin Totonunu5, Hasrullah6, Herlangga Hermansyah7, Moh
Ridwan8, Mohammad Fikri9, Nadilla Adhani Cahyani10, Nur Holifah11,
Patrisio Marianus Raga12, Rahmalia Puspitasari13, Shiela Mitha Nurul
Fazri14, Shinta Destiani Chandra15, Tarisa Valbia Wisesa16

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG

Jl. Surya Kencana No.1 Pamulang Barat, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan Banten
Kode Pos 15417, Telp/Fax. (021) 7412566, Website: www.unpam.ac.id

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
Abstact
Labor Law is the law that regulates employment and collective agreements. The
parties involved in the work agreement are parties who are also involved in labor
law. The parties in labor law are very broad, not only involving workers/workers and
employers/employers, but also parties involved in industrial relations, legal
protection for workers or laborers to protect workers' rights as well as occupational
health and safety, matters This is regulated in Law no. 13 of 2003 concerning
Manpower. Labor law regulates all matters related to labor before, during and after
work.

Keywords: Employment, Employment Parties, Labor Protection

Abstrak
Hukum Ketenagakerjaan adalah Hukum yang mengatur tentang ketenagakerjaan
dan perjanjian bersama. Para pihak yang terlibat dalam suatu pejanjian kerja adalah
para pihak yang juga terlibat dalam hukum ketenagakerjaan. Para pihak dalam
hukum ketenagakerjaan sangat luas, tidak hanya melibatkan buruh/pekerja dengan
majikan/pengusaha, tetapi juga pihak-pihak yang terkait dalam hubungan industrial,
Perlindungan Hukum bagi Pekerja atau buruh untuk melindungi hak-hak pekerja
serta kesehatan dan keselamatan kerja, hal ini diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan mengatur tentang segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah kerja.

Kata Kunci: Ketenagakerjaan, Para Pihak Ketenagakerjaan,Perlindungan


Buruh

I. Pendahuluan
Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur Tentang
Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan awalnya dikenal dengan istilah
perburuhan. Setelah kemerdekaan Indonesia ketenagakerjaan Indoneia diatur
dengan ketentuan Undang-Undang No. 14 tahun 1969 Tentang Pokok-Pokok
Ketentuan Tenaga Kerja. Pada tahun 1997 Undang-Undang ini diganti dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
Undang-Undang No. 25 tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan ini menimbulkan
berbagai protes dari masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan masalah menara
jamsostek yang dibangun berdasarkan dugaan kolusi penyimpangan dana
jamsostek. 1
Keberadaan Undang-Undang No.25 tahun 1997 ini mengalami
penangguhan dan kemudian diganti dengan Undang-Undang No.13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (lembaran negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 4279 yang selanjutnya disingkat dengan UU
No. 13 tahun 2003). Hukum ketenagakerjaan dahulu hukum perburuhan merupakan
terjemahan dari arbeidsrechts. Terdapat beberapa pendapat dan batasan tentang
pengertian hukum perburuhan. Molenaar memberikan batasan pengertian
arbeidsrecht yakni bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur
tentang hubungan antara buruh dan majikannya, antara buruh dengan buruh dan
buruh dengan penguasa. Menurut Mr. MG Levenbach, arbeidsrecht sebagai sesuatu
yang meliputi hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu
dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung
bersangkut paut dengan hubungan kerja.2
Pengertian hukum perburuhan sendiri mengandung 3 unsur yaitu adanya
peraturan, bekerja pada orang lain dan upah.2 Peraturan mengenai hukum
ketenagakerjaan diantaranya adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.7 Tahun 2013 Tentang Upah
Minimum, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.21 Tahun 2016 Tentang
Kebutuhan Hidup Layak, Peraturan Gubernur Jawa Timur No.121 Tahun 2016
tentang Upah Minimum Kabupaten/ Kota di Jawa Timur, Peraturan Gubernur Jawa
Timur No.89 Tahun 2016 Tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Timur, Peraturan
Gubernur Jawa Timur No.6 Tahun 017 Tentang Upah Minimum Sektoral
Kabupaten/Kota Tahun 2017. Pembangunan Ketenagakerjaan dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil, makmur,dan merata. Dalam Pembangunan

1
Asri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.
hlm 2
2
Ibid hlm 3

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
ketenagakerjaan ada beberapa dimensi keterkaitan, salah satu diantaranya adalah
Pekerja/buruh itu sendiri. Berkaitan dengan hak nya untuk mewujudkan kehidupan
yang sejahtera. 3 Pekerja/buruh sebagai warga negara Indoesia memiliki Hak sesuai
dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 "Tiap-tiap warga Negara Indonesia
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’’ dan dalam
pasal 28D ayat (2) "setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Manusia yang ada di dunia ini mempunyai kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi. Salah satu cara untuk memenuhinya adalah dengan bekerja. Dengan
bekerja akan menghasilkan upah. Upah dalam Pasal 1 ayat 30 Undang-Undang No.
13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah hak buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi buruh
dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ataujasa yang telah atau akan dilakukan.

II. Pembahasan
A. Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan
1. Buruh (Pekerja)
Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan,
selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman
penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama
(sebelum Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan
dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan
pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Bule Collar”. Sedangkan
yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai
“karyawan/pegawai”. Pembedaan yang membawa konsekuensi pada perbedaan
perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari
upaya untuk memecah belah orang-orang pribumi.3

3
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006) hal. 33

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus
dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada
orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Undang-
Undang No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni
buruh adalah “barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah”
(pasal 1 ayat 1 a). Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah
buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang
diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu kongres FBSI II Tahun 1985.

Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan


kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu
ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan. Berangkat dari sejarah
penyebutan istilah buruh seperti tersebut di atas, menurut penulis istilah buruh
kurang sesuai dengan perkembangan sekarang, buruh sekarang ini tidak lagi
sama dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja pada sektor nonformal seperti
kuli, tukang dan sejenisnya, tetapi juga sektor formal seperti Bank, Hotel dan
lain-lain.

Karena itu lebih tepat jika menyebutkannya dengan istilah pekeja.


Istilah pekerja juag sesuai dengan penjelasan pasal 2 UUD 1945 yang
menyebutkan golongan-golongan adalah badan-badan seperti Koperasi, Serikat
Pekerja dan lain-lain badan kolektif.4

Namun karena pada masa Orde Baru istilah pekerja khususnya Serikat
Pekerja yang banyak diintervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan
buruh trauma dengan penggunaan istilah tersebut sehingga untuk mengakomodir
kepentingan buruh dan pemerintah, maka istilah tersebut disandingkan. Dalam
RUU Ketenagakerjaan ini sebelumnya hanya menggunakan istilah pekerja saja,
namun agar selaras dengan Undang-Undang yang lahir sebelumnya yakni
Undang-Undng No. 21 Tahun 2000 yang menggunakan istilah Serikat
Buruh/Pekerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
pasal 1 angka 4 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang

4
Ibid., 34

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun.

Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat
mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan,
persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk apa pun. Penegasan imbalan dalam bentuk apa pun ini
perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula
buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang. Untuk kepentingan
santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek) berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jamsostek, pengertian “pekerja” diperluas yakni termasuk:

a. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah
maupun tidak.
b. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah
perusahaan.
c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.5

2. Perusahaan
Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga
sangat populer karena perundang-undangan sebelum UndangUndang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah majikan. Dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan disebutkan bahwa Majikan adalah “orang atau badan hukum yang
memperkerjakan buruh”.

Sama halnya dengan istilah buruh, istilah majikan juga kurang sesuai
dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan
berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai lawan atau
kelompok penekan dari buruh, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis
merupakan mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Karena itu lebih
tepat jika disebut dengan istilah pengusaha.

5
Ibid., hal. 35

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
Sehubungan dengan hal tersebut, perundang-undangan yang lahir
kemudian seperti Undang-Undang No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek,
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menggunakan
istilah Pengusaha. Dalam pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menjelaskan pengertian pengusaha yakni:
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.6

Selain pengertian pengusaha Undang-Undang No. 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan juga memberikan pengertian Pemberian kerja yakni
orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain (Pasal 1 angka 4). Pengaturan istilah pemberian kerja ini muncul untuk
menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan
sebagai pengusaha khususnya bagi pekerja pada sektor informal.7

Sedangkan pengertian perusahaan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan adalah:
d. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan
pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun
milik negara yang memperkerjakan buruh/pekerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk apa pun;
e. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

6
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
7
Ibid., hal. 37

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
bentuk lain (Pasal 1 angka 6).8

3. Serikat Pekerja (Serikat Buruh)


Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan
dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan
dan menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh. Hak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh yang telah dijamin
dalam Pasal 28 UUD 1945.

Demikian pula telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia


Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya dasar-
dasar untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.

Kedua konvensi tersebut dapat dijadikan dasar hukum bagi pekerja/buruh untuk
berorganisasi dengan mendirikan serikat pekerja/serikat buruh.9
Suatu serikat pekerja/buruh harus mengandung sifat-sifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
f. Bebas, maksudnya bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat
pekerja/ serikat buruh tidak di bawah pengaruh dan tekanan dari pihak lain.
g. Terbuka bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi
serikat pekerja/ serikat buruh dalam menerima anggota dan atau
memperjuangkan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama,
suku bangsa, dan jenis kelamin.
h. Mandiri bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan
organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri, tidak dikendalikan oleh pihak
lain diluar organisasi.
i. Demokrasi bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus,
memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi

8
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
9
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal.20

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.
j. Bertanggung jawab bahwa hak dalam mencapai tujuan dan melaksanakan
kewajibannya serikat pekerja/ serikat buruh, federasi, dan konfederasi
serikat pekerja/ serikat buruh bertanggung jawab kepada anggota,
masyarakat, dan negara.10

Selain pengertian serikat pekerja/ serikat buruh dalam Undang-Undang


No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh disebutkan pula
pengertian federasi serikat pekerja/ serikat buruh dan konfederasi serikat
pekerja/ serikat buruh. Federasi serikat pekerja/ serikat buruh adalah gabungan
serikat pekerja/ serikat buruh, sedangkan konfederasi serikat pekerja/ serikat
buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/ serikat buruh.

4. Pemerintah (Penguasa)
Campur tangan pemerintah dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan
dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan/ketenagakerjaan yang
adil, karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda
secara sosial-ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan
untuk menciptakan keadilan dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan akan
sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah.
Atas dasar itulah pemerintah turut campur tangan melalui peraturan
perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban
para pihak. Sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap masalah
ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja juga dilengkapi dengan berbagai
lembaga yang secara teknis membidangi hal-hal khusus antara lain:
a. Balai Latihan Kerja; menyiapkan/memberikan bekal kepada tenaga kerja
melalui latihan kerja.
b. Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI); sebagai
lembaga yang menangani masalah penempatan tenaga kerja untuk bekerja
baik disektor formal maupun informal di dalam maupun di luar negeri.11

10
Ibid., hal. 21
11
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia., hal. 48

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
Pengawasan terhadap peraturan di bidang perburuhan/ketenagakerjaan
dilakukan oleh Depnaker (cq. Bidang Pengawasan). Secara normatif
pengawasan perburuhan diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1948 jo.
Undang-Undang No 3 Tahun 1951 tentang pengawasan perburuhan. Dalam
undang-undang ini pengawas perburuhan yang merupakan penyidik pegawai
negeri sipil memiliki wewenang:
a. Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan
pada khususnya;
b. Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja
dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluasluasnya guna membuat undang-
undang dan peraturan perburuhan lainnya.
c. Menjalankan pekerjaan lainnya yang diserahkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Di Indonesia, campur tangan negara dalam soal-soal ini telah ada sejak zaman
prakemerdekaan, yaitu sekitar tahun 1921 didirikanlah apa yang dinamakan
Kantor van Arbeid dengan Stb. Nomor: 813 Tahun 1921. Kantor van Arbeid ini
bernaung di bawah Departemen Kehakiman mula-mula terdiri dari tiga bagian,
yaitu:
a. perundang-undangan perburuhan dan statistik;
b. pengawasan perburuhan untuk Jawa dan Madura;
c. gerakan buruh.12
Peran pegawai pengawas sebagai penyidik PNS ini diakui dalam Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni selain penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas
ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik Pegawai
Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal
182 ayat 1).

Penyidik Pegawai Negeri Sipil ini berwenang:


a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan yang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

12
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja., hal. 43

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. Melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. Memhentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.

Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum di bidang


perburuhan/ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan hakhak normantif
pekerja, yang pada gilirannya mempunyai dampak terhadap stabilitas usaha.
Selain itu pengawasan perburuhan juga akan dapat mendidik pengusaha atau
pekerja untuk selalu taat menjalankan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku di bidang ketenagakerjaan sehingga akan tercipta suasana kerja yang
harmonis. Sebab seringkali perselisihan yang terajdi disebabkan karena
pengusaha tidak memberikan perlindungan hukum kepada pekerja sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Secara koantitas aparat pengawas perburuhan sangat terbatas jika
dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi, belum lagi
pegawai pengawas tersebut harus melaksanakan tugastugas administratif yang
dibebankan kepadanya. Demikian juga kualitas dalam melaksanakan tugas
sebagai penyidik yang masih terbatas.13

B. Perlindungan Buruh
Dalam berbagai tulisan tentang perburuhan seringkali dijumpai
adagium yang berbunyi “pekerj/buruh adalah tulang punggung perusahaan.”
Adagium ini nampaknya biasa saja, seperti tidak mempunyai makna. Tetapi

13
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, hal 51

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
kalau dikaji lebih jauh akan kelihatan kebenarannya. Pekerja dikatakan sebagai
tulang punggung, karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa
adanya pekerja tidak aka mungkin perusahaan itu bisa jalan, dan berpatisipasi
dalam pembangunan.
Menyadari akan pentingnya pekerja bagi perusahaan, pemerintah dan
masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga
keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan. Demikian pula perlu diusahakan
ketenangan dan kesehatan pekerja agar apa yang di hadapinya dalam pekerjaan
dapat diperhatikan semaksimal mungkin, sehingga kewaspadaan dalam
menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin. Pemikiran-pemikiran itu merupakan
program perlindungan pekerja, yang dalam praktik sehari-hari berguna untuk
dapat mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan. Perlindungan
pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunann, maupun
dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan
fsik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam
lingkungan kerja itu. Dengan demikian maka perlindungan pekerja ini akan
mencakup:14
a. Norma keselamatan kerja: yang meliputi keselamatan kerja yang bertalian
dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaannya,
keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan.
b. Norma kesehatan kerja dan heigine kesehatan perusahaan yang meliputi:
pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan
dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja yang sakit
Mengatur persediaan tempat, cara dansyarat kerja yang memenuhi heigiene
kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik
sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat
kesehatan bagi perumahan pekerja.
c. Norma kerja yang meliputi: perlindungan terhadap tenaga kerja yang
bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja
wanita, anak, kesusilaan ibadah menurut agama keyakinan masing-masing,
yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan

14
Kartasapoetra, G. dan Rience Indraningsih, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Cet. I, (Armico:
Bandung, 1982), hal. 43-44 dalam buku Zainal Asikin. dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Cet.
5, (PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004), hal. 96

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin
daya guna yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat
manusia dan moral.
d. Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita penyakit
kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi
akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak
mendapat ganti kerugian. Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Soepomo
sebagaimana yang dikutip oleh Zainal Asikin membagi perlindungan pekerja
ini menjadi tiga (3) macam yaitu:
a. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu
penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya,
beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu
bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan ini disebut
dengan jaminan sosial.
b. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan andengan
usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerjanya itu
mengenyam dan memperkembangkan prikehidupannya sebagai
manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota
keluarga atau yang biasa disebut kesehatan kerja.15
c. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan
yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainya atau
oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Didalam
pembicaraan selanjutnya, perlindungan jenis ini disebut dengan
keselamatan kerja.

C. Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Kerja


1. Pengertian Hukum Perburuhan
Dalam kehidupan manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka
ragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk
bekerja. Baik pekerjaan yang diusahakan sediri maupun bekerja pada orang lain.

15
Zainal Asikin. Dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan..., hal 97

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
Pekerjaan yang diusahakan sendiri maksudnya adalah bekerja atas usaha modal
dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan bekerja pada orang lain maksudnya
bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan
mengutusnya, karena ia harus tunduk dan patuh pada orang lain yang
memberikan pekerjaan tersebut. Kaitannya dengan hukum perburuhan bukanlah
orang yang bekerja atas usaha sendiri, tetapi yang bekerja pada orang atau pihak
lain.
Namun karena ketentuan ini sangat luas maka diadakan pembatasan-
pembatasan tentang macam pekerjaan yang tidak tercakup dalam hukum
perburuhan, yakni: “Hukum perburuhan adalah sebagian dari hukum yang
berlaku (segala peraturan-peraturan) yang menjadi dasar dalam mengatur
hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan atau perusahaannya,
mengenai tata kehidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan
hubungan kerja tersebut”.16
Mr. Molenaar menyatakan bahwa “Arbeidrechts (hukum perburuhan) adalah
bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara
buruh dan majikan, buruh dengan buruh, dan buruh dengan pengusaha”.17
Mr. Mok berpendapat, bahwa “Hukum perburuhan adalah hukum yang
berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan
dengan keadaan penghidupan yang berlangsung bergantung dengan pekerjaan
itu”.18
Mr. Soetikno dalam bukunya yang berjudul Hukum Perburuhan, mengatakan
bahwa “Keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang
mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah
perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang
langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut”.19
Prof. Imam Soepomo berpendapat bahwa “Hukum perburuhan adalah suatu
himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian
di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah”.18 20

16
G. Karta Sapoetra dan RG. Widianingsih, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Cet. 1, (Bandung:
Bina Aksara,1982) hal. 2
17
Ibid., hal. 2
18
Mr. Mok. Dikutip dari bukunya Halili Toha dan Hari Pramono, Hubungan Kerja antara Majikan
dan Buruh, Cet. I, (Bandung: Bina Aksara, 1987) hal. 2
19
G. Karta Sapoetra dan RG. Widianingsih, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, hal. 2
20
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. VI, (Jakarta: Djambatan,1983), hal.

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
Dari beberapa perumusan hukum perburuhan yang telah diberikan oleh beberapa
ahli tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa unsur perburuhan antara lain:
a. Adanya serangkaian peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis.
b. Peraturan tersebut mengenai suatu kejadian.
c. Adanya orang (buruh/pekerja) yang bekerja pada pihak lain (majikan).
d. Adanya upah.

Hukum perburuhan tidak meliputi Pegawai Negeri meskipun secara


yuridis teknis Pegawai Negeri dapat dikatakan sebagai buruh karena buruh
bekerja pada pihak lain (negara) dengan menerima upah tetapi secara yuridis
politis terhadap mereka tidak diperlakukan peraturan- peraturan tersendiri
seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
dan Peraturan-peraturan lainnya. 21

2. Hakikat Hukum Perburuhan


Dibandingkan dengan hubungan antara seorang penjual dan pembeli
barang atau orang yang tukar menukar maka hubungan antara buruh dan majikan
sangat berbeda sekali. Orang yang jual beli barang bebas untuk
memperjualbelikan barangnya, artinya seorang penjual tidak dapat dipaksa
untuk menjual barang yang dimilikinya kalau harga yang ditawarkan tidak
sesuai dengan kehendaknya. Dalam hubungan antara buruh dan majikan, secara
yuridis buruh adalah bebas karena prinsip negara kita tidak seorang pun boleh
diperbudak, maupun diperhamba.

Semua bentuk dan jenis perbudakan, peruluran dan perhambatan


dilarang, tetapi secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup yang lain selain tenaganya dan kadang-kadang terpaksa
untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun memberatkan bagi
buruh itu sendiri, lebih-lebih saat sekarang ini dengan banyaknya jumlah tenaga
kerja yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.

21
Zainal Asikin. dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2004)
hal. 4

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
Akibatnya tenaga buruh seringkali diperas oleh majikan dengan upah
yang relatif kecil. Oleh sebab itulah pemerintah mengeluarkan beberapa
peraturan perundangan-undangan untuk melindungi pihak yang lemah (buruh)
dari kekuasaan majikan guna menempatkannya pada kedudukan yang layak
sesui dengan harkat dan martabat manusia.

3. Sifat Hukum Perburuhan


Hukum perburuhan dapat bersifat privat/perdata dan dapat pula bersifat
publik. Dikatakan bersifat perdata karena hukum perburuhan mengatur pula
hubungan antara orang perorangan dalam hal ini antara buruh dengan majikan
di mana dalam hubungan kerja yang dilakukan membuat suatu perjanjian yang
lazim disebut perjanjian kerja, sedangkan ketentuan mengenai perjanjian ini
diatur dalam Buku III KUH Perdata. Di samping bersifat perdata seperti
disebutkan di atas hukum perburuhan juga bersifat publik karena:
a. Dalam hal-hal tertentu pemerintah ikut campur tangan dalam menangani
masalah-masalah perburuhan, misalnya dalam penyelesaian perselisihan
perburuhan dan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yakni dengan
dibentuknya P4D dan P4P.
b. Adanya sanksi pidana dalam setiap peraturan perundangundangan
perburuhan.22

4. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Menurut Pasal 1 butir 22 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat kerja/buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Setiap perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan
swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara pada
awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang
berselisih melalui (bipartit) perundingan bipartit. Sebagaimana disebutkan

22
Zainal Asikin. dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, hal. 7

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
dalam Pasal 1 angka 10 UndangUndang No. 2 Tahun 2004 yaitu: Perundingan
bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial.23
Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih gagal, maka salah satu
pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yaitu Pengadilan Hubungan
Industrial.

III. Penutup
A. Kesimpulan
Manusia yang ada di dunia ini mempunyai kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi. Salah satu cara untuk memenuhinya adalah dengan bekerja. Dengan bekerja
akan menghasilkan upah. Upah dalam Pasal 1 ayat 30 Undang-Undang No. 13 tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu

23
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2
pekerjaan dan/ataujasa yang telah atau akan dilakukan.
Hukum Ketenagakerjaan adalah Hukum yang mengatur tentang
ketenagakerjaan dan perjanjian bersama. Para pihak yang terlibat dalam suatu pejanjian
kerja adalah para pihak yang juga terlibat dalam hukum ketenagakerjaan. Para pihak
dalam hukum ketenagakerjaan sangat luas, tidak hanya melibatkan buruh/pekerja
dengan majikan/pengusaha, tetapi juga pihak-pihak yang terkait dalam hubungan
industrial, Perlindungan Hukum bagi Pekerja atau buruh untuk melindungi hak-hak
pekerja serta kesehatan dan keselamatan kerja, hal ini diatur dalam UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan mengatur tentang segala hal
yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah kerja.
Dengan adanya perjanjian kerja diharapkan dapat mewujudkan
terlaksananya hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan ketenagakerjaan dengan
adil. Berbicara tentang keadilan berarti adanya keseimbangan dan terjadinya kesamaan
hak dan kewajiban. Implikasi dari keseimbangan memberikan perlindungan para pihak
dan mewujudkan keadilan. Namun hal ini belum sepenuhnya terwujud dengan adanya
perjanjian kerja.
Agar perjanjian kerja dapat memberi perlindungan dan keadilan, maka
pengusaha harus memandang pekerja/buruh sebagai mitra, setiap permasalahan
diselesaikan melalui pendekatan win-win solution dengan memperhatikan
keseimbangan, perlindungan dan keadilan.
B. Saran
Agar keberadaan perjanjian kerja dapat diterima semua pihak dengan baik,
maka harus ada kepastian hukum, perlindungan dan keadilan, untuk itu dibutuhkan
peran atau intervensi pemerintah yaitu: a. Membuat regulasi yang berorientasi
melindungi para pihak terutama pihak yang lemah. b. Meningkatkan kesadaran melaui
edukasi bagi semua pihak yang terlibat. 2. Mengintensifkan pembinaan, pengawasan,
dan penegakan hukum.

JURNAL UNIVESRITAS PAMULANG


KELOMPOK 2

Anda mungkin juga menyukai