Anda di halaman 1dari 15

YAYASAN SASMITA JAYA

UNIVERSITAS PAMULANG (UNPAM)


SK. MENDIKNAS NO. 136/D/O/2001
Jl. Surya Kencana No. 1 Pamulang Barat Tangerang Selatan Banten Telp. (021) 741 2566

UJIAN TENGAH SEMESTER


TAHUN AJARAN: GANJIL 2022/2023

Mata Kuliah : Hukum Ketenagakerjaan Kelas : 07HUKE003

Fakultas : Hukum Ruang : V.902

Sifaat Ujian : Close Book Dosen : Kosim Afendy,

Waktu : 07.10 - 08.50 Shift : C

JAWABLAH PERTANYAAN DENGAN TELITI

1. Jelaskan sejarah hukum Ketenagakerjaan di Indonesia sejak Pra sampai dengan Pasca
Kemerdekaan
Jawaban:
Sejarah hukum Ketenagakerjaan di Indonesia sampai dengan Pasca Kemerdekaan adalah
sebagai berikut:
Pra Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pasca Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
1. Pra Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Sejarah Hukum Perburuhan pada zaman penjajahan dalam berbagai literatur selalu
dimulai dengan Zaman Perbudakan, Zaman Rodi (kerja paksa), Zaman Poenale Sanctie.
Zaman Perbudakan, Zaman Rodi (kerja paksa), Zaman Poenale Sanctie tidak terjadi secara
berurutan namun terjadi diwaktu yang hampir bersamaan pada zaman penjajahan
Belanda.
(1) Zaman Perbudakan
Muchtar Pakpahan menyatakan bahwa Indonesia mengenal perbudakan sebelum
datangnya penjajah ke Nusantara (wilayah Nusantara bekas jajahan Belanda menjadi
wilayah Indonesia). Pada zaman ini budak adalah orang yang bekerja di bawah orang
lain yang tidak memiliki hak apapun, bahkan hak terhadap hidupnya, sementara
pemilik budak merupakan satu-satunya pihak dalam hubungan kerja ini. Budak hanya
memiliki kewajiban yaitu melakukan pekerjaan, mematuhi semua perintah dari
pemilik budak dan pemilik budak tidak berkewajiban untuk memelihara budak yaitu
berupa pemberian pemondokan dan makan.
Perbudakan diawali dimana raja, pengusaha yang mempunyai ekonomi kuat,
membutuhkan pengabdi, sementara penduduk miskin yang tidak berkemampuan
secara ekonomis saat itu cukup banyak yang disebabkan karena rendahnya kualitas
sumber daya manusia, sehingga tidak mengherankan perbudakan hidup tumbuh
dengan subur. Namun secara rinci sebab-sebab terjadinya perbudakan di Indonesia
dikarenakan:
a. Kerajaan-kerjaan kecil terdahulu di tanah air kita sering melakukan peperangan,
dan manakala kerjaan yang kalah diwajibkan mengirimkan upeti dan rakyat dari
kerjaan Kerajaan yang kalah sebagai budak;
b. Kepala suku-suku menggunakan kharismanya sehingga banyak penduduk yang
lemah sebagai pengabdi secara terus menerus dan terikat serta harus tunduk
pada perintahnya;
c. Adanya saudagar-saudagar masa silam yang memelihara dan menjamin
kelangsungan hidup orang-orang yang ekonominya kurang seakan-akan telah
dibeli dari keluarga/ sukunya, dan nasib orang tersebut menjadi sangat
tergantung dan terikat;
d. Adanya orang-orang yang menyerahkan dirinya kepada orang-orang tertentu
yang tingkat kesejahteran hidupnya lebih baik.
Selain daripada tersebut di atas, dikenal pula isttilah perhambaan dan peruluran.
Perhambaan merupakan terjadi hubungan antara penerima gadai menyerahkan
dirinya sendiri atau orang lain yang ia kuasai, atas pemberian pinjaman sejumlah
uang kepada seseorag pemberi gadai. Untuk selanjutnya pemberi gadai memiliki hak
untuk meminta dari orang yang digadaikan untuk bekerja kepada dirinya sampai
uang pinjamannya lunas. Pekerjaan yang dilakukan bukan untuk mencicil utang
pokok tapi untuk kepentingan pembayaran bunga.
Berikutnya pelurulan adalah keterikatan sesorang untuk menanam tanaman
tertentu pada kebun/ ladang dan hasilnya harus dijual kepada Kompeni. Selama
mengerjakan kebun/ ladang ia dianggap sebagai pemiliknya, sedangkan bila
meninggalkannya ia kehilangan hak atas kebun tersebut.

(2) Zaman Rodi (kerja paksa)


Zaman kerja rodi sebenarnya sudah lama berjalan, khususnya di Jawa sejak adanya
kerajaan-kerajaan kuno, dimana para raja mengerahkan rakyat dalam jumlah besar
untuk dipekerjakan secara paksa membuat sesuatu demi kepentingan umum seperti
membuat jalan dengan telebih dahuku membuka hutan, membuat jembatan, selokan
istana, tempat-tempat ibadah dan kepentingan pribadi seperti rumah peristirahatan
raja dan bangsawan.
Dalam bukunya Imam Soepomo menyatakan rodi/ kerja paksa mula-mula merupakan
pekerjaan gotong royong oleh penduduk untuk kepentingan desa/ suku tersebut, yang
selanjutnya dimanfaatkan oleh penjajah menjadi suatu kerja paksa untuk kepentingan
Pemerintah Hindia Belanda. Rodi/ kerja paksa ini terbagi menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Rodi Gubernemen, yaitu Rodi pada Gubernur dan para pegawainya;
b. Rodi perorangan, yaitu rodi untuk kepentingan kepala dan pembesar-pembesar
Indonesia;
c. Rodi desa, yaitu rodi untuk kepentingan desa.
Dari penjelasan tersebut di atas rodi/ kerja paksa adalah suatu kehendak atau
perbuatan dari penguasa untuk mengerahkan sejumlah penduduk mengerjakan suatu
pekerjaan sebagai apa yang dikehendakinya/ dimaksudnya tanpa pemberian imbalan/
upah.
Penggunaan istilah rodi/ kerja paksa ini dikenal saat penjajahan Belanda, namun saat
penjajahan Belanda berakhir dan kemudian Jepang melakukan penjajahan terhadap
bangsa Indonesia istilah kerja paksa dikenal dengan istilah kerja romusha. Pengertian
daripada kerja romusha ini tidaklah berbeda dari kerja rodi, yaitu kerja secara terus
menerus tanpa upah, makanan kurang dan tidak jarang orang-orang yang dikirim ke
desa-desa tidak kembali ke tempat asal mereka, karena banyak yang mati kelaparan
atau dibunuh oleh Jepang sendiri. Dalam beberapa literatur, kerja romusha pada
zaman penjajahan Jepang di Indonesia amat sedikit ditemukan dalam riwayat Hukum
Perburuhan. Hal ini kemungkinan besar karena pemerintahan Jepang di Indonesia
bertujuan untuk mencari tentara melawan sekutu, disamping itu juga bertujuan politis
lainnya sehingga mengenai masalah perburuhan tidak diperhatikan sama sekali dan
tetap membiarkannya seperti pengaturan pada zaman penjajahan Belanda sampai
kemudian Jepang menyerah pada sekutu.

(3) Zaman Poenale Sanctie


Merupakan perkembangan dari zaman kerja paksa tersebut di atas. Dikatakan
demikian karena pada zaman poenale sanctie ini kedudukan buruh sudah diakui
sebagai tenaga kerja yang berhak menerima upah atau imbalan kerja dalam taraf yang
sangat kecil. Dalam melakukan hubungan kerja pada masa ini pengusaha diwajibkan
membuat perjanjian kerja dengan masa kerja maksimal tiga (3) tahun, mengurus
buruh-buruhnya dengan baik, membayarkan upah pada waktu tertentu, memberikan
pengobatan dan perumahan, menyediakan air mandi dan air minum, dan ketika
perjanjian berakhir wajib mengembalikan buruh ke daerah asalnya.
Namun dibalik hal-hal tersebut di atas, para buruh juga diikat dengan suatu masa kerja
yang telah diperjanjikan sebelumnya untuk terus siap bekerja di tempat kerja yang
bersangkutan. Apabila ada buruh yang melarikan diri sebelum habis masa kerja yang
telah diperjanjikan atau menolak melakukan pekerjaan akan dikenakan sanksi pidana
(poenale sanctie) berupa pidana denda antara Rp. 16 sampai Rp. 25 atau dengan kerja
paksa selama 7 sampai 12 hari. Karena itulah pada zaman ini dekenal dengan zaman
poenale sanctie.
Berkaitan dengan zaman poenale sanctie ini terdapat satu aturan yang dinamakan
Koeli Ordonantie Tahun 1880 (Stb. Nomor 133 Tahun 1880) yang pada intinya
menentukan:
a. Perjanjian kerja harus dilakuan secara tertulis untuk jangka waktu 3 tahunan;
b. Pekerja tanpa alasan apapun tidak diperkenankan mumutuskan hubungan kerja
secara sepihak;
c. Perjanjian kerja harus terdaftar pada daerah setempat;

2. Pasca Kemerdekaan 17 Agustus 1945


Dalam hukum perburuhan dikenal adanya Pancakrida Hukum Perburuhan yang
merupakan perjuangan yang harus dicapai, yaitu:
a. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan, perhambaan;
b. Pembebasan manusia Indonesia dari rodi atau kerja paksa;
c. Pembebasan buruh/ pekerja Indonesia dari poenale sanctie;
d. Pembebasan buruh/ pekerja Indonesia dari ketakutan kehilangan pekerjaan;
e. Memberikan posisi yang seimbang antara buruh/ pekerja dan pengusaha.
Dengan dicetuskannya proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari
kemudian yaitu tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkannya UUD 1945 Krida satu sampai
dengan Krida ketiga secara yuridis tidak berlaku dan Krida keempat dan kelima sampai
dengan saat ini masih belum dapat dicapai.
Terdapat 3 bagian setelah kemedekaan yaitu sejak kemerdekaan sampai dengan Orde
Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
(1) Sejak Kemerdekaan sampai dengan Orde Lama
Pada awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia ingin membentuk sebuah Negara
Kesejahteraan (welfare state), dimana kesejahteraan rakyat merupakan tanggung
jawab pemerintah. Hal ini dapat terlihat dalam Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD
1945. Pada masa ini pemerintah Indonesia melakukan berbagai nasionalisasi
terhadap perusahaan-perusahaan peninggalan Kolonial Belanda dan dalam
pengaturan perburuhan tetap menggunakan peraturan-peraturan yang ditinggalan
Belanda. Belum adanya peraturan perburuhan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia pada masa itu dikarenakan orientasi/ pemikiran pemerintah dan rakyat
Indonesia ditujukan kepada usaha mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia
yang ingin direbut kembali oleh Pemerintah Belanda.
Pada tahun 1948, saat Indonesia berhasil mempertahankan kedaulatannya baru
terlihat Pemerintah Indonesia memperbaiki hubungan perburuhan dengan cara
memperhatikan nasib pekerja/ buruh dengan mengeluarkan beberapa peraturan
perundang-undangan, yaitu antara lain:
a. Undang-Undang Kerja Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan
Antara Serikat Buruh dan Majikan;
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan;
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan
Swasta;
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 NR, 23 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia;
Perkembangan campur tangan Negara dalam tahap unifikasi di Indonesia terutama
terhadap penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja lebih pro buruh
karena kurang lebih separuh dari putusannya menolak PHK yang dilakukan oleh
Pengusaha. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi dan situasi Negara yang
sedang dalam usaha melakukan integrasi bangsa. Situasi politik unifikasi di Indonesia
seperti Negara-negara dalam tahap unifikasi, menyebabkan Negara tidak terlalu
mengatur dan campur tangan dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan
kerja , namun Negara membiarkan serikat pekerja tumbuh dan campur tangan Negara
timbul berkaitan dengan aksi – aksi buruh baik yang berupa pemogokan atau adanya
PHK massal.
(2) Orde Baru
Hubungan perburuhan yang dibangun pemerintah orde baru diberi nama Hubungan
Perburuhan Pancasila (HPP). Hubungan perburuhan Pancasila adalah hubungan di
antara para pihak yang berkaitan dengan proses produksi baik mengenai barang
maupun jasa yang dilandasi atas nilai-nilai yang merupakan perwujudan dari
keseluruhan Pancasila dan UUD 1945.
Penggunaan istilah Hubungan Perburuhan Pancasila dalam perkembangannya
berubah menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP), dikarenakan hubungan
perburuhan yang merupakan terjemahan dari labour relation pada permulaan
perkembangannya hanya membahas hubungan antara buruh dan majikan, namun
pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh masalah lain seperti ekonomi, social,
politik dan budaya, oleh karena itu istilah hubungan perburuhan tidak tepat lagi.
Hubungan Industrial Pancasila jelasnya hubungan industrial Pancasila adalah
hubungan industrial yang dijiwai oleh kelima sila Pancasila. Pancasila sebagai falsafah
bangsa dan negara, oleh karena itu di Indonesia sedemikian rupa mewujudkan
Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal ini pula yang menjadi kekhususan dan
keunikan dari Indonesia, karena pada faktanya setia negara di dunia memiliki falsafaj
bangsa dan negara yang berbeda-beda. Hubungan Industrial Pancasila (HIP) bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, penciptaan ketenangan bekerja dan
berusaha, menciptakan kondisi produksi dan produktivitas yang tinggi, peningkatan
kesejahteraan pekerja selayaknya martabat manusia seutuhnya, dan mewujudkan
kemerdekaan sebagai bagian dari ketertiban dunia. Konsep Hubungan Industrial
Pancasila (HIP) melihat pekerja sebagai manusia dengan segala martabat yang
melekat pada dirinya, dan tidak hanya semata dan sekedar sebagai faktor produksi.
Sifat gotong royong sangat mendasari dari keberlakuan konsep Hubungan Industrial
Pancasila (HIP), oleh karenanya friksi antara pekerja yang memperjuangkan
kesejahteraan dan pengusaha yang mencari keuntungan semata harusnya dapat
terjawab dan terselesaikan. Dialog dengan didasarkan pada kemampuan perusahaan
menjadi prinsip utama dalam menerapkan Hubungan Industrial Pancasila (HIP), oleh
karenanya sifat gotong royong dalam mewujudkan kesejahteraan dan keuntungan
perusahaan dapat terwujud.

Penjabaran lebih lanjut mengenai Hubungan Industrial Pancasila (HIP) berdasarkan


kelima sila dalam Pancasila dapat dilahat sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ini menjadi acuan dalam aturan ketenagakerjaan yang melarang bentuk
diskriminasi berdasarkan agama, dan hak pekerja yang melekat berdasarkan hari
raya keagamaan yang dianutnya.
b. Kemanusian Yang Adil Dan Beradab
Sila ini merupakan dasar keadilan yang merata berdasarkan prinsip-prinsip
kemanusiaan dalam keseimbangan antara pekerja dan pengusaha.
Pengejawantahan sila ini bertujuan untuk memanusiakan pekerja menjadi
manusia seutuhnya yang melekat didirinya.
c. Persatuan Indonesia
Menjadi acuan bagi pemerintah dalam mengelola fungsinya memberikan
informasi yang merata di seluruh Indonesia mengenai lowongan pekerjaan,
sehingga pemerataan kesempatan kerja akan didapat oleh seluruh rakyat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
d. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan
Merupakan acuan dari bentuk kebebasan berkumpul dan berorganisasi bagi
pekerja dalam membentuk serikat pekerja/ serikat buruh (SP/SB) sebagai wadah
kebersamaan dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi pekerja.
e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sila ini menjadi sumber utama yang erat dengan bentuk perselisihan dalam
hubungan industrial. Hal ini disebabkan dasar bagi pemerintah dalam
memberikan dan mewujudkan perlindungan terhadap pekerja dari segala macam
bentuk hubungan kerja yang tidak adil termasuk didalamnya eksploitasi pekerja.
Pemerintahan Orde Baru tetap memberlakukan produk hukum perburuhan pada
masa Orde Lama dan hanya mengeluarkan beberapa undang-undang dan
peraturan-peraturan tingkat Menteri yang pada dasarnya hanyalah sebagai
pelengkap, tetapi kenyataannya meniadakan ketiga undang-undang tersebut
serta nyata-nyata merugikan buruh.
Dalam laporan ILO, Lembaga Bantuan Hukum berpendapat bahwa:
“Analisa Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menemukan tiga tujuan dari sistem
hubungan industrial Orde Baru (Masduki, 1999).
Pertama, perangkat hukum ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem kontrol
pemerintah atas urusan perburuhan dengan memperkenalkan model korporatis dan
paksaan. Termasuk dalam ini adalah:
a) Kontrol secara keseluruhan atas segala aspek organisasi pekerja dan, khususnya,
dalam hal pengakuan dan pendaftaran serikat baru dimiliki oleh Departemen
Tenaga Kerja. Peraturan yang terpenting di sini adalah Kepmenaker No.3 tahun
1993. Peraturan ini mengisyaratkan bahwa suatu serikat pekerja harus diwakili di
lebih dari 100 tempat pekerjaan, 25 daerah dan 5 propinsi agar dapat terdaftar;
serta bahwa jumlah anggota yang diperlukan untuk industri tertentu adalah 10,000
orang, di mana industri tertentu tidak dijelaskan lebih lanjut. Peraturan ini juga
memberikan hak veto yang efektif kepada SPSI atas pendaftaran federasi serikat
yang baru. Hal ini berarti tidak mungkin serikat pekerja yang baru dapat diakui
kecuali apabila pemerintah menyetujuinya, dan jelas bahwa persetujuan ini tidak
mudah diperoleh.
b) Batasan yang keras terhadap hak mogok, berdasarkan perundingan bipartit dan
tripartit yang melibatkan Departemen Tenaga Kerja dan pihak keamanan serta
suatu mekanisme yang menyebabkan seorang pekerja dianggap mengundurkan
diri setelah tidak bekerja selama enam hari pada waktu mogok kerja. Peraturan-
peraturan kunci yang membentuk sistem pemutusan hubungan kerja yang
konstruktif adalah Kepmenaker No. 4 tahun 1986 dan No. 1108 tahun 1986 serta
Permenaker No. 62 tahun 1993.
c) Kontrol terhadap penyelesaian perselisihan perburuhan melalui lembaga arbitrase
pemerintah (sistem P4P)
d) Monopoli pemerintah atas manajemen dana jaminan sosial tenaga kerja
Jamsostek, melalui UU No. 3 tahun 1992.
Kedua, reformasi era pasar dimaksudkan untuk menjamin fleksibilitas pasar tenaga
kerja. Hal ini khususnya dimaksudkan untuk membantu pihak pengusaha dalam
melaksanakan sistem kerja subkontrak atau berjangka pendek berdasarkan fluktuasi
produksi, perubahan teknologi produksi atau mobilisasi modal. Di bawah sistem ini,
kekuatan para pekerja bersama diperlemah. Kontrak individu menyebabkan
perundingan bersama kurang efektif.
Ketiga, perangkat hukum ini bertujuan memfasilitaskan mobilisasi para pekerja oleh
pemerintah agar disesuaikan dengan keperluan mobilitas modal. Oleh karena jumlah
penduduknya yang begitu banyak (saat ini kira-kira 215 juta) berarti hampir selalu ada
tenaga kerja yang berlimpah ruah di Indonesia dan sejak bulan Juni 1997, ketika krisis
ekonomi mulai mengurangi perekonomian yang kuat, hampir 20 juta pekerja atau
kira-kira 40% dari seluruh jumlah tenaga kerja - telah kehilangan pekerjaannya
(Masduki, 1999), sehingga persaingan semakin meningkat. Mobilisasi pasar tenaga
kerja ini yang seharusnya mudah dikontrol telah memainkan peranan penting dalam
menekan biaya perburuhan pada tingkat yang serendah mungkin. Ketika biaya
perburuhan di satu bidang meningkat, pemerintah dapat mengalihkan tenaga kerja ke
bidang lain dengan upah yang lebih rendah (kadangkadang bersama dengan program
transmigrasi pemerintah) ataupun menggantikannya sama sekali. Metode ini semakin
produktif digunakan untuk menggantikan para pekerja yang mogok dengan pekerja
pengganti, suatu taktik sederhana oleh karena persyaratan pemutusan hubungan
kerja konstruktif yang telah dibahas di atas.
Campuran antara keamanan represif agresif dan syarat-syarat proinvestasi maupun
komitmen retorika yang secara transparan tidak jujur terhadap hak perburuhan yang
menandai kebijakan hubungan industrial pemerintah Indonesia pada tahun 1990-an,
dipertahankan Orde Baru sampai dengan bulan-bulan terakhir pemerintahan
Soeharto. Hal ini terjadi meskipun terbukti tidak efektif. Keseluruhan keanggotaan
serikat pekerja pemerintah, SPSI, tidak pernah melebihi satu juta (6% dari seluruh
jumlah tenaga kerja) (Fehring & Lindsey, 1995: 4) dan seluruh aparatur birokrasi,
militer dan intelijen yang opresif gagal mencegah aksi industrial. Malah, rupanya hal
ini justru mendorong serikat pekerja bawah tanah dan aksi mogok liar (wildcat strike-
action), di mana kira-kira 81% dari aksi ini terutama berhubungan dengan isu
pengupahan dan kesejahteraan dasar, yang menurut pemerintah sudah di bawah
kontrolnya. (Suwarno and Elliott, 2000, 139). Serikat pekerja yang aktif tetapi tidak
diakui, seperti SBSI dan Solidaritas terus bermunculan dan dalam kasus SBSI semakin
menguat meskipun usaha terbaik pemerintah, termasuk memenjarakan dan berlaku
brutal terhadap anggota dan pemimpin seperti Muchtar Pakpahan, seorang pemimpin
pekerja independen yang terkenal. (Suwarno and Elliott, 2000: 137; Zifcak, 1999)”
Perkembangan campur tangan dalam tahap industrilisasi di Indonesia pro pengusaha.
Negara meletakan buruh dalam pengawasan dan tekanan pemerintah. Keinginan
Negara untuk sebanyak mungkin mengundang minat investor asing untuk
menanamkan modalnya dan perlunya menggalakan ekspor non migas sebagai
dampak dari menurunnya harga minyak dunia, membuat Negara ingin mengontrol
semua bidang termasuk gerakan-gerakan partai politik dan organisasi
kemasyarakatan. Tujuannya adalah membatasi ruang gerak publik agar tidak terjadi
masalah-masalah yang dapat menggangu jalannya penanaman modal terutama
penanaman modal asing. Serikat buruh yang dalam tahap unifikasi berkembang dan
tumbuh pesat jumlahnya dijadikan dalam satu federasi oleh pemerintah dalam satu
federasi yaitu Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI). Untuk
mengeleminasi hal-hal yang dapat menggangu masuknya modal asing, Pemerintah
juga juga menerapkan larangan mendirikan partai dan mengatur serikat buruh untuk
bergabung menjadi satu federasi.

(3) Orde Reformasi.


Perburuhan pada masa orde reformasi dimulai pasca turunnya Soeharto. Reformasi
pemerintahan membawa dampak yang sigifikan termasuk di dalam perburuhan yang
salah satunya adalah dicabutnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 oleh
pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan kembali menggunakan undang-undang pada
zaman orde lama. Pemerintah juga meratifikasi beberapa konvensi dasar ILO
termasuk didalamnya Konvensi Nomor 87 yang menjamin kebebasan berserikat bagi
buruh.
Dalam perkembangannya Pemerintahan Abdurrahman Wahid mengesahkan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, dan pada
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengesahkan:
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pada awal diusulkannya ketiga rancangan undang-undang yaitu RUU Serikat Pekerja
(yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/ Serikat Buruh), RUU Pembinaan Dan Perlindungan Ketenagakerjaan (yang
kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan),
dan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (yang kemudian menjadi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial) mendapat reaksi keras dari buruh. Dua pihak yang berpolemik adalah
pengusaha dan buruh. Pihak buruh melihat pada mulanya dua RUU tentang
Ketenagakerjaan yang baru bila dibandingkan dengan Undang-Undang yang lama,
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 ternyata lebih memihak kepada
Pengusaha. Bahkan patut dicurigai pula dua RUU itu diajukan Pemerintah ke DPR
untuk disahkan menjadi Undang-Undang karena motif desakan International
Monetary Fund (IMF). Seperti diketahui IMF memberikan syarat supaya Pemerintah
mereview semua Undang-Undang yang berkaitan dengan perburuhan akarena selama
ini dinilai terlalu memproteksi buruh dan merugikan investor.
Dalam sejarah pembahasan RUU Ketenagakerjaan didapat fakta fraksi-fraksi
mayoritas di DPR RI pada saat itu memiliki arah dan pandangan politik RUU ini
bertujuan memberikan perlindungan kepada pekerja dalam menghadapi era
globalisasi. Pemerintah sebagai pihak yang mengusulkan RUU Ketenagakerjaan dalam
keterangannya di DPR RI menyatakan secara tegas tujuan dari RUU Ketenagakerjaan
adalah meningkatkan perlindungan kepada pekerja yang disertai dengan sanksi yang
tegas bagi pengusaha yang melanggar. Selaras dengan pandangan Fraksi PDIP
tertanggal 29 Juni 2000 menyatakan aturan dalam RUU Ketenagakerjaan merupakan
pengejawantahan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 dan Pasal 33 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang bertujuan memanusiakan pekerja sebagai
manusia seutuhnya yang melekat harkat dan martabat. Dikuatkan pula oleh fraksi
Golkar yang menegaskan fungsi dari RUU Ketenagakerjaan ini adalah mencegah segala
bentuk diskriminasi dalam dunia kerja. Selain daripada itu dapat dibuktikan pula
dalam nasakah Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan ini banyak sekali
pengaturan dan ancaman pidana bagi pengusaha yang melanggar hak-hak normative
pekerja. Walaupun pada akhirnya banyak sekali pasal-pasal yang bersifat ancaman
pidana terhadap pengusaha tersebut dihapus, namun tetap dominan aturan dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bersifat melindungi
pekerja.

2. Jelaskan sumber hukum ketenagakerjaan di Indonesia dan keterkaitan diantara keduanya.


Jawaban:
Sumber hukum dapat pula dikatakan sebagai “asal mulanya hukum” merupakan segala hal
yang menimbukan seperangkat aturan sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Zevenbergen membagi sumber hukum menjadi 2 yaitu sumber hukum materiil dan formil,
dimana sumber hukum materil merupakan sumber dari materi hukum tersebut diambil,
sedangkan hukum formil merupakan sumber yang membantu pembentukan dari hukum itu
sendiri memperoleh kekuatan hukum mengikat .
Berangkan dari 2 pembagian hukum tersebut, dalam konteks Indonesia sumber hukum
materiil adalah Pancasila yang terkandung didalamnya berupa muatan filosofis bangsa
Indonesia, identitas hukum nasional, dan muatan asas-asas fundamental bagi pembentukan
hukum (meta-juris) di Indonesia. Pancasila sebagai norma tertinggi yang menjadi sandaran
atau acuan bagi norma-norma hukum dibawahnya yang dalam pembentukannya telah
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam Negara Indonesia merupakan grundnorm
(norma dasar) sebagaimana teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan kemudian
dikembangkan oleh Nawiasky dengan istilah yang berbeda yaitu staatfundamentalnornm
(norma fundamental negara). Mengenai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
yang ada di Indonesia dilandasi oleh Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPR
No. V/MPR/1973 jo Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978.

3. Bagaimana yang Anda pahami, apakah untung ruginya bagi seorang pekerja dan pengusaha
dengan bekerjasama dengan Outsourching? sertakan alasannya
Jawaban:
Outsourcing tidak hanya memiliki kelebihan dan kekurangan bagi perusahaan saja.
Outsourcing adalah strategi yang manfaatnya bisa dirasakan oleh karyawan. Tidak hanya
kelebihan, sebagai karyawan kamu juga perlu memperhatikan kekurangan dari outsourcing.
1. Kelebihan outsourcing bagi karyawan
Salah satu kelebihan outsourcing adalah karyawan akan mendapatkan keahlian tambahan.
Hal itu karena biasanya penyedia layanan alih daya mengharuskan mereka untuk
mendapatkan berbagai macam training. Sehingga karyawan bisa lebih berkembang dan
kemampuan baru yang berguna dalam dunia kerja.
Manfaat lain terutama untuk fresh graduate dalam outsourcing adalah sebuah solusi untuk
segera memperoleh pekerjaan karena penerimaannya yang lebih mudah. Nah, keuntungan
untuk kamu yang memiliki keahlian khusus dengan menggunakan jasa outsourcing adalah
akan lebih mudah mendapatkan perusahaan yang membutuhkan kemampuanmu. Banyak
perusahaan yang mencari orang dengan keahlian khusus melalui jasa outsourcing.
2. Kekurangan outsourcing bagi karyawan
Sebelum bergabung dengan penyedia jasa outsourcing, terdapat beberapa hal yang perlu
kamu perhatikan terutama terkait tidak adanya jenjang karir. Sehingga tidak cocok untuk
kamu yang berambisi memiliki jenjang karir yang baik dan jelas. Kekurangan lain dari
outsourcing adalah mengenai kesejahteraan karyawan yang kurang terjamin. Berbeda dengan
pekerjaan tetap yang memiliki banyak benefit terkait kesejahteraan karyawan, tunjangan
untuk pekerja alih daya biasanya tidak banyak diberikan oleh perusahaan.

Salah satu kelemahan outsourcing adalah masa kerja yang kurang jelas dan rentan terhadap
PHK. Terkadang masa kerja karyawan outsourcing pendek, kamu bisa melakukan pekerjaan
atau pelatihan setelahnya. Namun, ada kemungkinan masa kerja panjang dengan gaji yang
kurang layak. Nah, penting untuk kamu memperhatikan isi kontrak dengan jelas untuk
mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.

4. Bagaimana yang Anda pahami dalam kebijakan pengupahan yang telah diterapkan oleh
pemerintah belum sepenuhnya dilaksanakan secara maksimal oleh perusahaan –
perusahaan terhadap pekerjanya?
Jawaban:
Si Penyebab utama terjadinya perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha
didominasi oleh masalah pengupahan, meskipun landasan hubungan perburuhan kita adalah
Hubungan Industrial Pancasila. Oleh karena itu, untuk mengurangi masalah tersebut
pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan. Semua peraturan tersebut sebagai pelaksana
dari UU Nomor 13 Tahun 2003 yang sifatnya imperative, oleh karenanya setiap pelanggaran
dapat dijatuhi sanksi berupa denda, pidana kurungan, atau pidana penjara. Sanksi ini
dimaksudkan agar pengusaha betul-betul memperhatikan masalah upah. Ada beberapa
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh, antara lain upah minimum dan upah
kerja lembur Dasar perhitungan upah minimum dan upah lembur adalah upah pokok dan
tunjangan tetap. Penangguhan upah minimum kepada gubernur, sedangkan masalah
perbedaan besarnya upah lembur diajukan ke lembaga pengawas ketenagakerjaan.

Berdasarkan pasal 88 ayat (3) UU 13/2003 jo. Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (UU 11/2020) dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 (PP 36/2021),
Kebijakan Pengupahan meliputi:
1. upah minimum;
2. struktur dan skala upah;
3. upah kerja lembur;
4. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
5. bentuk dan cara pembayaran upah;
6. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan
7. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

5. Bagaimana yang Anda pahami akibat hukumnya apabila di suatu perusahaan menggunakan
peraturan perusahaandan perjanjian kerja bersama?
Jawaban:
Dalam hukum ketenagakerjaan “peraturan perusahaan” dan “perjanjian kerja bersama”
adalah sesuatu yang berbeda. Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan perbedaan tersebut.

Berdasarkan Pasal 1 angka 20 UU No. 13 Tahun 2003, disebutkan Peraturan Perusahaan (PP)
adalah :

“Peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan
tata tertib perusahaan.”

Sedangkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU No. 13 Tahun
2003 adalah :

“Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja /serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggungjawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha, atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kevua belah pihak.”

Berdasarkan uraian diatas, maka pembuatan antara peraturan perusahaan dan perjanjian
kerja bersama sangatlah berbeda prosesnya. Jika peraturan perusahaan hanya dibuat sepihak
oleh pengusaha, sedangkan perjanjian kerja bersama dibuat oleh pengusaha bersama serikat
pekerja/serikat buru, yang notabenenya sebagai representasi pekerja/buruh dalam
perusahaan.

6. Bagaimana tindakan Anda misalkan sebagai pemilik perusahaan apabila para pekerja
melakukan mogok kerja, apa yang Anda lakukan?
Jawaban:
Mogok kerja merupakan hak yang dimiliki setiap pekerja. Akan tetapi, mogok kerja juga
mempunyai aturan dan ketentuan tersendiri sesuai dengan Undang-Undang Tenaga Kerja.
Lalu ketentuan apa saja yang membuat mogok kerja sah atau tidak sah?
Perindustrian di Indonesia semakin berkembang pesat, pemerintah pun harus dapat
mengontrol setiap kegiatan industri yang ada. Untuk itu, ditetapkanlah Undang-Undang No.13
tentang Ketenagakerjaan. Nah, dalam UU No.13 diatur juga mengenai proses penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, salah satunya adalah melalui proses perundingan. Namun
ketika proses perundingan tersebut gagal dan tidak mencapai kesepakatan, pekerja dapat
menggunakan haknya untuk melakukan mogok kerja.

Yang menjadi syarat sah mogok kerja yakni sebagai berikut:


Dalam pasal 137 UU No. 13/2003 disebutkan bahwa “mogok kerja harus dilakukan secara sah,
tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”.

“Sah” disini artinya adalah mengikuti procedural yang diatur oleh Undang-Undang. “Tertib
dan damai“ disini artinya adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum dan tidak
mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan, pengusaha atau milik
masyarakat.

“Akibat gagal perundingan” disini artinya adalah: Upaya perundingan yang dilakukan
menemui jalan buntu dan gagal mencapai kesepakatan atau Perusahaan menolak untuk
melakukan perundingan walaupun serikat pekerja atau pekerja telah meminta secara tertulis
kepada pengusaha 2 kali dalam tenggang waktu 14 hari.

Syarat administratif yang harus dipenuhi agar mogok kerja dikatakan sah adalah:
1. Pekerja atau Serikat Pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada
perusahaan/pengusaha dan Disnaker, 7 hari kerja sebelum mogok kerja dijalankan.
2. Dalam surat pemberitahuan tersebut, harus memuat :
• Waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja
• Tempat mogok kerja
• Alasan dan sebab mengapa harus melakukan mogok kerja
• Tanda tangan ketua dan sekretaris serikat pekerja sebagai penanggung jawab mogok
kerja. Apabila mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja yang tidak menjadi anggota
serikat pekerja, maka pemberitahuan ditandatangani oleh perwakilan pekerja yang
ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja
• Bagi pelaksanaan mogok kerja yang berlaku di perusahaan yang melayani
kepentingan umum atau perusahaan yang jenis kegiatannya berhubungan dengan
keselamatan jiwa manusia, pelaksanaan mogok kerja harus diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan membahayakan keselamatan
masyarakat.
• Instansi pemerintahan dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan
mogok kerja wajib memberikan tanda terima
• Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan
timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkanya dengan para
pihak yang berselisih
• Jika perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan
perjanjian bersama yang ditanda-tangani oleh para pihak dan pegawai yang
bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan sebagai saksi.
• Dan jika dalam perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai
dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan harus menyerahkan
masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
Menurut pasal 142, UU No.13/2003, dinyatakan bahwa apabila mogok kerja yang tidak
memenuhi persyaratan mogok kerja seperti yang diuraikan diatas, maka mogok kerja tersebut
tidak sah. Pada pasal 6 dan 7 Kepmenakertrans No.232/MEN/2003 tentang akibat mogok
kerja yang tidak sah, disebutkan bahwa mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah
dikualifikasikan sebagai mangkir. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok tidak
sah dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam
bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Pekerja yang tidak memenuhi panggilan
perusahaan untuk kembali bekerja dianggap mengundurkan diri.
Apabila mogok kerja dilakukan secara tidak sah pada perusahan yang melayani kepentingan
umum atau perusahaan yang jenis kegiatannya berhubungan dengan keselamatan jiwa
manusia dan mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan
pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.

7. Bagaimana yang Anda pahami tentang pemutusan hubungan kerja sepihak yang terkadang
dilakukan oleh suatu perusahaan terhadap pekerja?
Jawaban:
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
perusahaan/majikan. Artinya harus adanya hal/alasan tertentu yang mendasari pengakhiran
hubungan kerja ini.
Dalam aturan perburuhan, alasan yang mendasari PHK dapat ditemukan dalam pasal 154A
ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) jo. Undang-undang No.
11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2021) dan peraturan pelaksananya yakni pasal 36
Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).
Ketentuan dalam aturan perburuhan Nasional pada prinsipnya mengenai PHK menyatakan
bahwa berbagai pihak dalam hal ini pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah
harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK (pasal 151 ayat (1) UU 13/2003 jo. pasal 37 ayat
(1) PP 35/2021)

Lebih lanjut PP 35/2021 pada Bab V, khusus mengatur pemutusan hubungan kerja, dengan
rincian:

1. Pasal 36 mengenai berbagai alasan yang mendasari terjadinya PHK. Alasan PHK
mendasari ditentukannya penghitungan hak akibat PHK yang bisa didapatkan oleh
pekerja.
2. Pasal 37 sampai dengan Pasal 39 mengenai Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja
sejak tahap pemberitahuan PHK disampaikan hingga proses PHK di dalam perusahaan
dijalankan. Lebih lanjut bila PHK tidak mencapai kesepakatan tahap berikutnya
dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pasal 40 sampai dengan Pasal 59 mengenai Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja
yakni berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak,
dan uang pisah. Penghitungannya berdasarkan alasan/dasar dijatuhkannya PHK.
Instrumen hukum perburuhan internasional juga mengakui perlindungan dari PHK yang
sewenang-wenang. Konvensi ILO No. 158 tahun 1982 tentang Pemutusan Hubungan Kerja,
menyebutkan hal-hal yang harus diperhatikan pada tindakan PHK, yakni:

1. Pada dasarnya mengenai PHK harus dilakukan sehati-hati mungkin karena keputusan
PHK terhadap pekerja berpengaruh pada anggota keluarga (yang menjadi tanggungan
pekerja). Oleh karena efek sosial PHK berdampak sangat luas bagi kehidupan pekerja
dan keluarganya, maka diperlukan prinsip kehati-hatian.
2. Seorang pekerja tidak dapat diputus hubungan kerjanya kecuali ada alasan yang sah
untuk pemutusan tersebut dan diatur dalam perundang-undangan masing-masing
Negara.
3. Selain itu masing-masing Negara harus mengatur pula aturan PHK yang mencakup
prosedur dalam melakukan PHK, alasan PHK, dan kompensasi yang berhak diterima
pekerja menurut jenis alasan PHK yang dijatuhkan.
Menurut pasal 61 UU 13/2003 jo. UU 11/2021 perjanjian kerja dapat berakhir, atau artinya
hubungan kerja berakhir, apabila:

1. Pekerja meninggal dunia


2. Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir
3. Selesainya suatu pekerjaan tertentu
4. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
5. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.

Lebih lanjut pasal 154A ayat (1) UU 13/2003 jo. UU 11/2021 dan pasal 36 PP 35/2021 juga
mengatur berbagai alasan PHK dapat dilakukan/diperbolehkan.
Dalam hal PHK tidak dapat dihindari, berdasarkan pasal 37 PP 35/2021, pengusaha diwajibkan
untuk memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila Pekerja/Buruh yang bersangkutan
merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Pemberitahuan PHK dibuat dalam
bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada
Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sebelum PHK.

Bila PHK dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7
(tujuh) hari kerja sebelum PHK.

Apabila pekerja yang telah diberitahu mengenai PHK, menolak atas putusan tersebut, maka
pekerja harus membuat surat penolakan disertai alasan paling lama 7 hari kerja setelah
diterimanya surat pemberitahuan PHK. Dan kemudian harus melalui mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini perselisihan PHK, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (pasal 39 PP 35/2021).
Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran Hubungan Kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara Pekerja dan Pengusaha. Artinya
harus adanya hal/alasan tertentu yang mendasari pengakhiran hubungan kerja ini.

Menurut pasal 154A ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003)
jo. Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2021) dan peraturan
turunannya yakni Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP
35/2021), pada pasal 36 mengatur demikian:

Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:

1. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan


perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau
pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh.
2. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti
dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian.
3. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun.
4. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure).
5. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
6. Perusahaan pailit.
7. Adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh
dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
i. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/ buruh.
ii. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
iii. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu
sesudah itu.
iv. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh.
v. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
vi. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
8. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf
g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
9. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
i. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
ii. Tidak terikat dalam ikatan dinas, dan
iii. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
10. Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis.
11. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan
surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing
berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
12. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan
pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.
13. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan.
14. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
15. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Selamat Mengerjakan

Anda mungkin juga menyukai