PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Jas merah: jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.” (never
leave history) merupakan ungkapan penuh makna dari seorang
proklamator, sekaligus presiden pertama, RI Soekarno. Roso Daras dalam
bukunya “Pidato Terakhir Bung Karno - Jangan Sekali-kali Meninggalkan
Sejarah” merupakan fondasi bagi konstruksi sebuah bangsa dan menjadi
landasan pacu bagi perjuangan dan penghidupan masa depan bangsa.1
Dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.“2 Oleh karena itu, untuk
terwujudnya: pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil,
makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945; pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga
kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan; pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam
pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan
keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; dan
perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak
dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
1
Raso Daras, Aktualisasi pidato terakhir Bung Karno: Jangan Sekali-Kali Meningalkan
Sejarah! (Never Leave History!) (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. v.
2
Republik Indonesia, Undang‐undang Dasar 1945, pasal 27 ayat (2).
1
perkembangan kemajuan dunia usaha, dibentuklah suatu ketentuan yang
mengatur ketenagakerjaan di Indonesia3, yaitu, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Selanjutnya disebut “UU
Ketenagakerjaan”) yang telah memiliki sejarah yang cukup banyak dari
masa ke masa.
Disisi lain, hukum yang baik harus progresif. Hukum progresif
lahir untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan
sebaliknya.4 “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga
bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Satjipto Rahardjo juga menyebutkan
satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”.
Hukum progresif adalah gagasan besar yang lahir dari pergulatan. Begitu
juga kebutuhan akan pengaturan hukum di bidang ketenagakerjaan harus
terus progresif.5 Hukum Progresif menempatkan perilaku jauh lebih
penting sebagai faktor signifikan dalam ber-hukum daripada peraturan-
peraturan yang tidak lain adalah teks-teks.6 Lebih riil lagi adalah teks-teks
yang tertulis di atas kertas-kertas. Menurut Satjipto Rahardjo, teks-teks
hukum itu tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai representasi
kehidupan hukum yang otentik.7 Yang lebih otentik adalah perilaku,
sebuah entitas dimana hukum itu berada. Dengan perilaku manusia,
hukum menjadi hidup.8 Hukum sering kali jauh dari realitas sesungguhnya
dalam masyarakat yang selalu berubah. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum
bukanlah sesuatu yang statis, mutlak final, stagnan dan tidak berubah,
melainkan selalu dapat berubah atau mengalir, karena hukum berada
dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).
Melihat kilas balik hukum ketenagakerjaan di Indonesia, UU
Ketenagakerjaan sendiri sebenarnya sudah ada sejak masa perbudakan,
3
Republik Indonesia, Undang‐Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ,
ketentuan menimbang.
4
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal Hukum Progresif,
vol. 1. Nomor 1 / April 2005, PDIH Undip, hlm. 5-6.
5
Ibid.
6
Satjipto Rahardjo (I), op.cit, hlm. 10.
7
Satjipto Rahardjo (II), Hukum dan Perilaku (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 17.
8
Ibid., hlm. 21.
2
masa penjajahan Hindia Belanda, dan masa penjajahan Jepang, dan masa
setelah kemerdekaan yang mulai diatur sejak tahun 1948. Sehingga,
pengaturan hukum ketenagakerjaan berkembang dan berubah semakin
kompleks hingga saat ini dan menciptakan jejak sejarah yang menarik
untuk dipahami lebih dalam, baik dari segi periodisasi dan juga
momentum pada masa tersebut.
B. Rumusan Masalah
Penulis mengangkat sebuah rumusan masalah dalam pembahasan
ini: “Bagaimana sejarah hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dalam UU
Ketenagakerjaan?”
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan utama sebagai jawaban atas rumusan masalah
dalam pembahasan ini: “Memahami sejarah hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia dalam UU Ketenagakerjaan.”
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
kepada orang si kreditor, sebagai jaminan dan dianggap sebatas bunga dari
utang. Selanjutnya orang yang diserahkan untuk bekerja kepada orang
yang memberi utang sampai batas waktu si debitur dapat melunasi
utangnya. Penyerahan diri atau orang lain itu dimaksudkan untuk
membayar bunga dari utang itu. Bukan untuk membayar utangnya.
Keadaan ini pada dasarnya sama dengan perbudakan.
Lembaga peruluran (horigheid, perkhorrigheid) terjadi setelah Jan
Pieterszoon Coen pada tahun 1621 menguasai pulau Banda. Semua orang
yang ada di pulau itu dibunuh atau diangkut ke luar negeri sebagai budak.
Selanjutnya tanah-tanah yang masih kosong itu diberikan atau dibagi
bagikan kepada bekas pegawi kompeni atau orang lain. Orang yang diberi
kebun itu dinamakan perk (ulur). Kepemilikan hanya terbatas pada saat
orang itu tinggal di kebun wajib tanam. Hasil dari wajib tanam itu wajib
untuk dijual kepada kompeni saja dengan harga yang telah ditentukan oleh
kompeni. Apabila mereka pergi atau keluar dari kebun itu, ia akan
kehilangan hak atas kebun itu. Wajib tanam ini kemudian menjadi bagian
dari cultuurstelsel dan berlangsung hingga tahun 1863.10
10
Ibid.
11
Ibid., hlm.16.
5
Selanjutnya menurut Jan Breman12 poenale sanctie diterapkan
dalam kaitannya dengan penerapan Koeli ordonantie sera agrarisch wet
dalam melakukan hubungan kerja antara buruh yang bekerja di tanah
pertanian dan perkebunan. Politik hukum ketenagakerjaan berkaitan erat
dengan politik hukum agraria, mengingat banyak tenaga kerja Indonesia
yang bekerja di tanah pertanian. Poenalie sanctie itu bertujuan untuk
mengikat buruh supaya tidak melarikan diri setelah melakukan kontrak
kerja. Kontrak kerja saat itu dapat dikatakan semu karena setelah tanda
tangan, apabila buruh diperlakukan sewenang-wenang tidak dapat
mengakhiri hubungan kerja. Poenale Sanctie berakhir dengan disabutnya
Kuli Ordonantie 1931/1936 dengan Staatablad 1941 yang berlaku mulai
tanggal 1 Januari 1942.
12
Jan Breman, Koelies, Planters Enkoloniale Politiek, Het Arbeidsregime op de
Grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust (Menjikan sang kuli Politik
Kolonial pada Awal Abad ke-20 diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer),
(Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm i-xxxviii.
6
proyek-proyek militer mereka, baik yang ada di daerah pendudukan,
maupun di luar Indonesia. Para pekerja ini terdiri dari laki-laki desa
miskin, yang berusia antara 16-60 tahun. Sementara kaum lelaki dijadikan
romusha, kaum perempuan dipaksa membajak sawah, dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Sedang anak gadis mereka dijadikan
budak seks tentara Jepang yang ada di garis depan peperangan.13
1. Tahun 1948
Pada masa ini, ketiadaan perundang-undangan yang mengatur
perburuhan sangat dirasakan dan pemerintah perlu dengan segera
mengadakannya. Undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan
hanyalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 Tentang
Keselamatan di Tempat Kerja. Undang-undang ini memberi sinyal
beralihnya kebijakan dasar perburuhan dari negara baru ini, yang mana
sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung
liberal atau dipengaruhi perkembangan dasar dengan prinsip seperti
13
Hasan Kurniawan, “Romusha, Luka Bangsa yang Tidak Pernah Kering”, Minggu, 7 Agustus
2016 dalam situs daerah.sindonews.com, diakses pada Sabtu, 2 Maret 2019, pukul 16:53 WIB.
7
“no work no pay. Pada tahun 1948, dibuatlah suatu undang-undang
pertama yang mengatur perburuhan di Indonesia yang belum pernah
dibuat sebelumnya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang
Undang-Undang Kerja Tahun 1948 terdiri dari 22 pasal (termasuk 2
pasal tambahan). Undang-undang ini berisi tentang ketentuan umum,
pekerjaan anak dan orang muda, pekerjaan orang wanita, waktu kerja
dan waktu istirahat, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung
jawab majikan, sanksi (hukuman), pengusutan pelanggaran.
Selain itu, dibuatlah juga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948
Tentang Pengawasan Perburuhan. Undang-undang ini mencakup
banyak aspek perlindungan bagi buruh, seperti larangan diskriminasi
di tempat kerja, ketentuan 40 jam kerja dan 6 hari kerja seminggu,
kewajiban perusahaan untuk menyediakan fasilitas perumahan,
larangan mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun, termasuk juga
menjamin hak perempuan untuk mengambil cuti haid 2 hari dalam
sebulan dan cuti melahirkan 3 bulan.
2. Tahun 1951
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari
Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia terdiri dari 22 pasal
(termasuk 2 pasal tambahan). Tahun 1951 ini merupakan tanda
diberlakukannya undang-undang kerja, tiga tahun setelah lahirnya
undang-undang kerja 1948 diterbitkan.
3. Tahun 1954
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan didasari ketentuan
mengingat Pasal 36 dan 39 Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950. Undang-undang ini memiliki 22 pasal yang
mengatur secara terpisah tentang perjanjian perburuhan (perjanjian
8
waktu tertentu) yang tidak diatur dalam undang-undang sebelumnya.
Secara garis besar, undang-undang ini mengatur tentang definisi
perjanjian perburuhan, ruang lingkup perjanjian perburuhan, harus
dibuat tertulis, isi perjanjian, hak dan kewajiban majikan dan buruh,
anggota serikat buruh, perselisihan pernjanian, ganti kerugian, jangka
waktu (dua tahun saja dan bisa diperpanjang setahun lagi), dan
berakhirnya perjanjian.
4. Tahun 1958
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Asing didasari ketentuan mengingat Pasal 28 ayat (1) dan 89
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Tujuan
dibuatnya undang-undang ini adalah untuk menjamin bagian yang
layak dari kesempatan kerja di Indonesia bagi warga Indonesia,
sehingga pemerintah merasa perlu diadakan peraturan untuk
mengawasi pemakaian tenaga bangsa asing di Indonesia. Undang-
undang ini terdiri terdiri dari 16 pasal. Secara garis besar, undang-
undang ini mengatur tentang ketentuan umum, perizinan kerja orang
asing, kerahasiaan penugasan, sanksi, dan pengecualian pemberlakuan
untuk pegawai diplomatik dan konsuler dari perwakilan Negara Asing.
5. Tahun 1961
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja
Sarjana didasari ketentuan mengingat dari:
a. Pasal 5 ayat (1) jo. pasal 20 ayat (1) dan pasal 27 ayat (2) Undang-
Undang Dasar (karena pada tahun 1959, konstitusi kita telah
kembali ke UUD 1945 hasil dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959);
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
I/MPRS/1960 dan Nomor II/MPRS/1960;
c. Undang-undang Nomor 10 Prp. tahun 1960 (Lembaran Negara
tahun 1960 Nomor 31).
9
Undang-undang yang terdiri dari sembilan pasal ini mengatur
tentang ketentuan umum, departemen pengurusan perguruan tinggi,
ijazah bagi lulusan sarjana, dan sanksi. Adapun yang menjadi tujuan
dibuatnya undang-undang ini, yaitu, ilmu dan keahlian azasnya untuk
mengabdi kepada tanah air, karenanya perlu dikembangkan dan
dilaksanakan; dalam rangka pembangunan nasional semesta berencana
sangat diperlukan tenaga sarjana dari berbagai jurusan; dan agar
penempatan dan penggunaan tenaga sarjana tersebut teratur dan
merata.
6. Tahun 1969
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja didasari ketentuan
mengingat dari:
a. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) , Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28
Undang-undang Dasar 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
XXII/MPRS/1966, Nomor XXII/MPRS/1966 pasal-pasal 6, 8, 9,
10 dan 14 Nomor XXVIII/MPRS/1966 pasal 2.
Undang-undang ini lahir atas kesadaran pemerintah bahwa tenaga
kerja merupakan modal utama serta pelaksana dari pada pembangunan
masyarakat Pancasila; tujuan terpenting dari pada pembangunan
masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat, termasuk tenaga
kerja; dan tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus dijamin
haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya.
Undang-undang yang terdiri dari 19 pasal ini mengatur tentang
pengertian dan azas tenaga kerja, penyediaan penyebaran dan
penggunaan tenaga kerja, pembinaan keahlian dan kejuruan,
pembinaan perlindungan kerja, hubungan ketenagakerjaan,
pengawasan pelaksanaan, dan sanksi. Undang-undang ini juga mulai
10
mengubah beberapa kaidah dan ketentuan yang cukup jauh dari
undang-undang yang telah ada sebelumnya, seperti:
a. frasa “buruh” dan “orang kerja” menjadi “tenaga kerja”;
b. tenaga kerja juga lebih diperhatikan hak-haknya seperti, hak atas
upah, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk mogok, dan
sebagainya yang tidak diatur di ketentuan sebelumnya; dan
c. memuat sistem pengawasan untuk menjamin pemenuhan hak
tenaga kerja.
7. Tahun 1997
Tahun 1997 merupakan awal yang signifikan dalam reformasi
hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan lahir mengingat ketentuan Pasal
5 ayat (1) Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan undang-undang ini dibuat untuk:
a. pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan;
c. sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas dan
kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan
kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan dan
perlakuan tanpa diskriminasi untuk mewujudkan kesejahteraan
11
pekerja dan keluarganya dalam rangka hubungan industrial yang
berkeadilan;
e. beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan
pembangunan ketenagakerjaan, seperti:
1) Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun
1887 Nomor 8);
2) Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 peraturan tentang
Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam Bagi Wanita
(Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3) Ordonansi Tahun 1926 peraturan mengenai Kerja Anak-
anak Dan Orang Muda di Atas Kapal (Staatsblad Tahun
1926 Nomor 87);
4) Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi Untuk
Mengatur Kegiatan-kegiatan mencari Calon Pekerja
(Staatblad Tahun 1936 Nomor 208);
5) Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima Atau
Dikerahkan dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939
Nomor 545);
6) Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja
Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12
dari Republik Indonesia Untuk, Seluruh Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran
Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 598a);
12
9) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
10) Undang-undang Nomor 7 pnps Tahun 1963 tentang
Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) di
Perusahaan, Jawatan, dan Badan yang Vital (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 67); dan
11) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2912).
Secara sistematika, undang-undang ini memiliki 198 pasal disertai
penjelasan. Undang-undang ini mengatur ketentuan umum; landasan,
asas, dan tujuan; kesempatan dan Perlakuan Sama; Perencanaan
Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan; Hubungan dan Perjajian
Kerja; Hubungan Industrial Pancasila; Serikat Pekerja; Organisasi
Pengusaha; Lembaga Kerja Sama Bipartit; Lembaga Kerja Sama
Tripartit; Peraturan Perusahaan; Kesepakatan Kerja Bersama;
Penyelesaian Perselisihan Industrial; Mogok Kerja; Penutupan
Perusahaan (Lock-out); Pemutusan Hubungan Kerja; Penyuluhan dan
Pemasyarakatan Hubungan Industrial Pancasila; Perlindungan
Pengupahan dan Kesejahteraan; Pengupahan; Pelatihan Kerja;
Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja; Tenaga Kerja di dalam
Hubungan Kerja Sektor Informal dan di Luar Hubungan Kerja;
Pembinaan; Pembinaan; Pengawasan; Penyidikan; Sanksi; dan
Ketentuan Peralihan.
8. Tahun 1998
Pada tahun ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997
Tentang Ketenagakerjaan hanya mengubah satu pasal, yaitu, Pasal 199,
didalamnya disebutkan “Dengan berlakunya Undang-undang tentang
13
Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan, semua peraturan perundang-undangan yang
dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud dalam pasal 198
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan,
tetap berlaku.”
9. Tahun 2000
Pada tahun ini, diterbitkan tiga peraturan terkait ketenagakerjaan,
yaitu:
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 11 Tahun 1998
Tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun
1997 Tentang Ketenagakerjaan yang isinya mengubah ketentuan
Pasal 199 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan menjadi “Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober
2002.”
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2000
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Perubahan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan
yang isinya ditetapkan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan
Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan ditetapkan menjadi undang-undang;
c. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang masih berlaku hingga saat ini.14
14
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Selanjutnya
disebut: “UU Serikat Pekerja”) telah mengubah sistem keserikat buruhan di Indonesia. Dengan
diundangkannya UU ini maka sistem keserikat buruhan di Indonesia berubah dari single union
14
10. Tahun 2003
Tahun 2003 merupakan tahun lahirnya UU Ketenagakerjaan yang
dipakai hingga saat ini. Adapun yang menjadi tujuan pemerintah tahun
2003 membuat suatu UU Ketenagakerjaan yang baru, yaitu:
a. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai
peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan;
c. sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga
kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan;
d. perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan
serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. beberapa Undang-Undang di bidang ketenagakerjaan dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan
pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut
dan/atau ditarik kembali.
system menjadi multi union system. Hal ini disebabkan menurut menurut UU Serikat Pekerja,
sekurang-kurangnya sepuluh orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu perusahaan.
Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO Number 87, namun UU Serikat Pekerja
ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja melalui serikat pekerja/serikat buruh,
buruh diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan syarat-syarat kerja dan
kondisi kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan hukum perburuhan yang mengatur
keserikat buruhan mempunyai nilai positif.
15
Secara sistematis, UU Ketenagakerjaan memiliki 193 pasal disertai
penjelasan yang mengatur secara komprehensif terkait ketentuan
umum; asas dan tujuan; kesempatan dan perlakuan yang sama;
perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; pelatihan
kerja; penempatan tenaga kerja; perluasan kesempatan kerja;
penggunaan tenaga kerja asing; hubungan kerja; perlindungan,
pengupahan, dan kesejahteraan; penyandang disabilitas; pekerja anak;
pekerja wanita; waktu kerja; keselamatan dan kesehatan kerja;
pengupahan; jaminan sosial; hubungan industrial; serikat buruh;
organisasi pengusaha; bipartit; tripartit; peraturan perusahaan;
perjanjian kerja bersama; lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial; penutupan perusahaan (lock out); pemutusan hubungan
kerja; pembinaan; pengawasan; penyidikan; dan ketentuan pidana dan
sanksi administratif.
UU Ketenagakerjaan inilah yang menjadi dasar hukum pekerja di
Indonesia saat ini. Tentunya, isi UU Ketenagakerjaan yang tidak
relevan telah diujikan warga ke Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (Selanjutnya disebut “MK RI”) dan peraturan yang lebih
teknis diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Republik Indonesia atau kementrian lain yang terkait.
Uji Materil MK RI Tahun 2003, yaitu, uji materil MK RI Nomor
012/PUU-I/2003 mengabulkan sebagian pengujian pasal 158, 159,
160(1), 170, 171, 186 UU Ketenagakerjaan tentang dasar melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan pekerja.
Setahun setelah ini, yaitu, 2004, diterbitkanlah juga suatu Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial untuk menegakan hukum materil yang terdapat
pada UU Ketenagakerjaan.
16
Uji materil MK RI Nomor115/PUU-I/2009 mengabulkan sebagian
pengujian pasal 120(1), (2), (3) UU Ketenagakerjaan tentang
perserikatan pekerja dalam suatu perusahaan.
17
Uji materil MK RI Nomor 67/PUU-XI/2013 mengabulkan
sebagian pengujian pasal 95(4) UU Ketenagakerjaan tentang
klasifikasi upah dan hak lain pekerja dalam hal pemberi kerja pailit
atau telah dilikuidasi.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
Ketenagakerjaan tentang
jangka waktu menurut
hukum untuk melayangkan
gugatan ke PHI karena
pekerja di PHK.
- Penolakan atas pengujian
pasal yang sama atas
permohonan jangka waktu
menurut hukum untuk
melayangkan gugatan
dengan alasan pemecatan
yang dinilai tidak adil.
2014 Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan seluruhnya
Nomor 7/PUU-XII/2014 pengujian pasal 59(7), 65(8), dan
66(4) UU Ketenagakerjaan
tentang prosedur perjanjian kerja
waktu tertentu dalam outsourcing
dan pemborongan pekerjaan.
2013 Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan sebagian pengujian
Nomor 67/PUU-XI/2013 pasal 95(4) UU Ketenagakerjaan
tentang klasifikasi upah dan hak
lain pekerja dalam hal pemberi
kerja pailit atau telah dilikuidasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan sebagian pengujian
Nomor 50/PUU-XI/2013 pasal 59 UU Ketenagakerjaan
tentang prosedur perpanjangan
kontrak kerja untuk tenaga kerja
asing di Indonesia.
2012 Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan seluruhnya
Nomor 100/PUU-X/2012 pengujian pasal 96 UU
20
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
Ketenagakerjaan tentang abolisi
pembatasan secara hukum dalam
jangka waktu dua tahun untuk
mengajukan klaim terhadap
pembayaran upah dan hak
lainnya.
2011 Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan seluruhnya
Nomor 58/PUU-IX/2011 Tahun pengujian pasal 169(1c) UU
2011 Ketenagakerjaan tentang hak
pekerja untuk meminta pemutusan
hubungan kerja karena pekerja
tidak membayar renumerasi upah
selama tiga bulan berturut-turut.
Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan sebagian pengujian
Nomor 19/PUU-IX/2011 pasal 164(3) UU Ketenagakerjaan
tentang pemutusan hubungan
kerja terkait tindakan perusahaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan sebagian pengujian
Nomor 27/PUU-IX/2011 pasal 65(7) dan 66(2) UU
Ketenagakerjaan tentang
outsourcing.
Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan seluruhnya
Nomor 37/PUU-IX/2011 pengujian pasal 155(2) UU
Ketenagakerjaan tentang
kewajiban untuk mempekerjakan
pekerja dan membayar upah
pekerja sesuai dengan putusan
pengadilan.
2009 Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan sebagian pengujian
Nomor 115/PUU-VII/2009 Tahun pasal 120(1), (2), (3) UU
21
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
2009 Ketenagakerjaan tentang
· Mencabut sebagian perserikatan pekerja dalam suatu
Undang-Undang Nomor 13 perusahaan.
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
2003 Putusan Mahkamah Konstitusi Mengabulkan sebagian pengujian
Nomor 012/PUU-I/2003 Tahun pasal 158, 159, 160(1), 170, 171,
2003 186 UU Ketenagakerjaan tentang
Pengujian Undang-Undang dasar melakukan pemutusan
Nomor 13 Tahun 2003 hubungan kerja dengan pekerja.
22
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
Undang-Undang Nomor 13 UU Ketenagakerjaan memiliki
Tahun 2003 193 pasal disertai penjelasan yang
Ketenagakerjaan mengatur secara komprehensif
23
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
- Mencabut Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan Antara
Serikat Buruh dan Majikan
- Mencabut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-
Undang Kerja Tahun 1948
Nomor 12 dari Republik
Indonesia untuk Seluruh
Indonesia.
24
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
- Mengubah Undang-Undang menjadi undang-undang.
Nomor 11 Tahun 1998
- Perubahan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 Tentang
Ketenagakerjaan
1998 Undang-Undang Nomor 11 Perubahan Pasal 199 Undang-
Tahun 1998 Undang Nomor 25 Tahun 1997,
Perubahan Berlakunya Undang- “Dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1997 undang tentang Perubahan
Tentang Ketenagakerjaan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan, semua peraturan
perundang-undangan yang
dinyatakan tidak berlaku
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 198 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan, tetap berlaku.”
1997 Undang-Undang Nomor 25 Undang-undang ini memiliki 198
Tahun 1997 pasal disertai penjelasan. Secara
Ketenagakerjaan garis besar mengatur tentang
ketentuan umum; landasan, asas,
dan tujuan; kesempatan dan
Perlakuan Sama; Perencanaan
Tenaga Kerja dan Informasi
Ketenagakerjaan; Hubungan dan
Perjajian Kerja; Hubungan
Industrial Pancasila; Serikat
Pekerja; Organisasi Pengusaha;
25
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
Lembaga Kerja Sama Bipartit;
Lembaga Kerja Sama Tripartit;
Peraturan Perusahaan;
Kesepakatan Kerja Bersama;
Penyelesaian Perselisihan
Industrial; Mogok Kerja;
Penutupan Perusahaan (Lock-
out); Pemutusan Hubungan Kerja;
Penyuluhan dan Pemasyarakatan
Hubungan Industrial Pancasila;
Perlindungan Pengupahan dan
Kesejahteraan; Pengupahan;
Pelatihan Kerja; Pelayanan
Penempatan Tenaga Kerja;
Tenaga Kerja di dalam Hubungan
Kerja Sektor Informal dan di Luar
Hubungan Kerja; Pembinaan;
Pembinaan; Pengawasan;
Penyidikan; Sanksi; dan
Ketentuan Peralihan.
1969 Undang-Undang Nomor 14 Perubahan beberapa kaidah dan
Tahun 1969 ketentuan yang cukup jauh dari
Ketentuan-Ketentuan Pokok undang-undang yang telah ada
mengenai Tenaga Kerja sebelumnya, seperti:
1. Frasa “buruh” dan “orang
kerja” menjadi “tenaga
kerja”;
2. tenaga kerja juga lebih
diperhatikan hak-haknya
seperti, hak atas upah, hak
26
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
untuk mengembangkan
diri, hak untuk mogok,
dan sebagainya yang tidak
diatur di ketentuan
sebelumnya; dan
3. memuat sistem
pengawasan untuk
menjamin pemenuhan hak
tenaga kerja.
1961 Undang-Undang Nomor 8 Tahun Undang-undang yang terdiri dari
1961 9 pasal ini mengatur tentang
Wajib Kerja Sarjana ketentuan umum, departemen
pengurusan perguruan tinggi,
ijazah bagi lulusan sarjana, dan
sanksi.
1958 Undang-Undang Nomor 3 Tahun Undang-undang ini terdiri terdiri
1958 dari 16 pasal. Secara garis besar,
Penempatan Tenaga Asing undang-undang ini mengatur
tentang ketentuan umum,
perizinan kerja orang asing,
kerahasiaan penugasan, sanksi,
dan pengecualian pemberlakuan
untuk pegawai diplomatik dan
konsuler dari perwakilan Negara
Asing.
1954 Undang-Undang Nomor 21 Undang-undang ini memiliki 22
Tahun 1954 pasal yang mengatur secara
Perjanjian Perburuhan Antara terpisah tentang perjanjian
Serikat Buruh dan Majikan perburuhan (perjanjian waktu
tertentu) yang tidak diatur dalam
27
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
undang-undang sebelumnya.
Secara garis besar, undang-
undang ini mengatur tentang
definisi perjanjian perburuhan,
ruang lingkup perjanjian
perburuhan, harus dibuat tertulis,
isi perjanjian, hak dan kewajiban
majikan dan buruh, anggota
serikat buruh, perselisihan
pernjanian, ganti kerugian, jangka
waktu (dua tahun saja dan bisa
diperpanjang setahun lagi), dan
berakhirnya perjanjian.
1951 Undang-Undang Nomor 1 Tahun Terdiri dari 22 pasal (termasuk 2
1951 pasal tambahan). Merupakan
Pernyataan Berlakunya Undang- pernyataan berlakunya UU Kerja
Undang Kerja Tahun 1948 Tahun 1948. Isi pasal-pasalnya
Nomor 12 dari Republik sama.
Indonesia untuk Seluruh
Indonesia
28
Tahun Pencabutan/ Perubahan Keterangan
jawab majikan, sanksi (hukuman),
pengusutan pelanggaran.
29