Anda di halaman 1dari 34

BAB II

PEMBAHASAN

A. Bioteknologi dari Sudut PandangSosial


Masyarakat adalah sebuah organisme kompleks yang berkembang dalam
konteks khusus dimana terdapat lingkup agama, ekonomi, politik, sosial, budaya
dan etika secara konstan saling berhubungan satu sama lain dalam perilaku yang
berbeda.

Demikian

pula

unsur-unsur

masyarakat

yang

berbeda

juga

mempengaruhi bagaimana sebuah teknologi diadopsi dan disebarluaskan di


dalam masyarakat. Tampaknya budaya, etika, dan agama berpengaruh yang
sangat

kuat

dalam

menentukan

bagaimana

teknologi

diterapkan

dan

disebarluaskan dalam setiap masyarakat. Dalam kasus transgenik, dimensi etika


dan religius merupakan dua aspek yang sangat dominan di banyak negara di
mana agama tetap menjadi kekuatan sosial. Contohnya, apakah transgenik dapat
dipertimbangkan halal atau haram akan mewarnai perdebatan penerimaan publik
dalam komunitas Muslim (Safian dan Hanani, 2005).
Pertimbangan
sosial-ekonomi
secara

bebas

digambarkan

sebagai: menempatkan keprihatinan dalam spekturm luas atas konsekuensikonsekuensi bioteknologi yang aktual dan potensial, seperti dampaknya
terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani, budaya, kehidupan masyarakat,
tanaman dan varietas tradisional, pengetahuan dan teknologi domestik,
ketenagakerjaan pedesaan, perdagangan dan persaingan, peran perusahaanperusahaan transnasional, masyarakat asli, keamanan pangan, etika dan
agama, manfaat bagi konsumen, dan gagasan tentang pertanian, teknologi serta
masyarakat (Garforth, 2004).
Manfaat Bioteknologi dalam menyelesaikan masalah sosial misalnya molekul
DNA dapat diisolasi dari sel kemudian dideteksi sehingga memberikan gambaran
enzim retriksi yang khas pada setiap orang. Dalam kasus pembunuhan,

pengadilan bisa melacak pelakunya bila penjahat meninggalkan sampel darah


atau jaringan ditempat terjadinya kejahatan.Demikian pula kasus perebutan anak
di pengadilan dapat diselesaikan denganadanya hasil tes DNA, karena anak
memiliki kesamaan enzim retriksi dengan orang tuanya.
B. Bioteknologi dari Sudut Pandang Budaya dan Etika
Etika merupakan kata benda abstrak yang bersifat umum.Kata etika secara
khsusus digunakan dalam berbagai penyebutan dalam berbagai disiplin ilmu,
misalnya etika profesi, kode etik, perilaku etis, juga keputusan etik.Etika berasal
dari bahasa Latin (ethicus) yang berarti karakter atau berperilaku. Berbagai
definisi atau pengertian etika antara lain: Nilai, norma, dan moral yang dijadikan
pegangan orang/kelompok (Bertens 1993); Cara manusia memperlakukan sesama
dan menjalani hidup dan kehidupan dengan baik, sesuai aturan yang berlaku di
masyarakat (Algermond Black, 1993 dalam Machmud & Rumate, 2005); Ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang tidak sesuai dengan ukuran moral atau
akhlak yang dianut oleh masyarakat luas (Kamus Besar Bahasa Indonesia); Ilmu
tentang perbedaan tingkah laku yang baik dan buruk dalam kehidupan manusia,
atau Pengetahuan tentang moral, pengembangan studi tentang prinsip-prinsip
tugas manusia, atau Pengetahuan tentang kewajiban moral, atau lebih luas lagi,
pengetahuan tentang perilaku manusia yang ideal dan hasil akhir tindakan
manusia yang ideal (Machmud & Rumate, 2005).
Etika dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan mendasar : bagaimana saya menjalani hidup ini dan bagaimana saya
harus bertindak. Jawaban pertanyaan ini sebenarnya dapat diperoleh dari
berbagai pihak, misalnya orang tua, guru/dosen, dari adat istiadat dan tradisi,
teman, lingkungan sosial, agama, negara dan pelbagai ideologi. Akan tetapi
kembali timbul pertanyaan : apakah benar yang mereka katakan; lalu siapa yang
akan diikuti apabila masing-masing memberikan nasehat yang berbeda.
Disinilah etika berperan membantu kita dalam mencari orientasi, yang
tujuannya ialah bahwa kita hendaknya dapat mengambil keputusan sendiri

tentang bagaimana harus menjalani kehidupan, tentang mengapa kita harus


bersikap begini, dan agar kita dapat mengatur sendiri kehidupan kita, dan tidak
sekedar ikut-ikutan. Dengan kata lain, etika membantu kita agar lebih mampu
untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita sendiri.
Etika yang berkaitan dengan masalah biologi dikenal dengan nama bioetika
(Shannon, 1995). Bioetika atau bioethics atau etika biologi didefinisikan oleh
Samuel Gorovitz (dalam Shannon, 1995) sebagai penyelidikan kritis tentang
dimensi-dimensi moral dari pengambilan keputusan dalam konteks berkaitan
dengan kesehatan dan dalam konteks yang melibatkan ilmu-ilmu biologi.Jadi
bioetika menyelidiki dimensi etik dari masalah-masalah teknologi, ilmu
kedokteran, dan biologi yang terkait dengan penerapannya dalam kehidupan
(Shannon, 1995). Jenie (1997) mengemukakan bahwa bioetika berperan antara
lain sebagai pengaman bagi riset bioteknologi, sedangkan Djati (2003),
menegaskan bahwa bioetika tidak untuk mencegah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi antara lain bioteknologi, tetapi menyadarkan bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai batas-batas dan tanggung jawab
terhadap manusia dan kemanusiaan
C. Pendekatan bioetika dalam pengembangan produk-produk bioteknologi
Sebagaimana yang telah dijelaskan bioetika merupakan cabang ilmu biologi dan
ilmu kedokteran yang menyangkut masalah di bidang kehidupan, tidak hanya
memperhatikan masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga
memperhitungkan kemungkinan timbulnya pada masa yang akan datang. Tiga
etika dalam bioetika:
1. Etika sebagai nilai-nilai dan asas-asas moral yang dipakai seseorang atau
suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya.
2. Etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan molaritas (apa
yang di anggap baik atau buruk) misalnya kode etik kedokteran , kode etik
rumah sakit.
3. Etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma
dan nilai-nilai norma.

Menurut Fransese Abel bioetika adalah studi Interdisipliner tentang problemproblem yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu
kedokteran baik pada skala mikro maupun makro lagi pula tentang
dampaknya atas masyarakat luas serta sistem nilainya kini dan masa datang.
Contoh masalah etik yang ada dalam pengembangan produk bioteknologi
yaitu dampak lain yang dapat ditimbulkan oleh bioteknologi adalah
persaingan internasional dalam perdagangan dan pemasaran produk
bioteknologi. Persaingan tersebut dapat menimbulkan ketidakadilan bagi
negara berkembang karena belum memiliki teknologi yang maju.
Kesenjangan teknologi yang sangat jauh tersebut disebabkan karena
bioteknologi modern sangat mahal sehingga sulit dikembangkan oleh negara
berkembang.Ketidakadilan, misalnya, sangat terasa dalam produk pertanian
transgenik yang sangat merugikan bagi agraris berkembang.Hak paten yang
dimiliki produsen organisme transgenik juga semakin menambah dominasi
negara maju.
Bahaya bioteknologi tersebut misalnya digunakan untuk senjata biologis dan
memunculkan organisme strain jahat. Bakteri dan virus berbahaya dapat
dikembangbiakkan dalam medium tertentu yang selanjutnya digunakan
untuk senjata biologis. Sedangkan munculnya organisme strain jahat berasal
dari fenotipe suatu organisme yang diubah menjadi organisme yang
berbahaya dengan menyisipkan gen jahat melalui rekayasa genetika. Selain
itu, bioteknologi juga mengganggu keseimbangan lingkungan. Hal ini
dikarenakan banyaknya organisme yang dimanipulasi genetiknya sehingga
mempengaruhi kehidupan organisme lain.
"Pengaruh dan dampak yang timbul dari bioteknologi untuk bidang genomik
adalah kepemilikan dan privasi atas hasil pendataan gen. Analisis DNA dapat
menimbulkan masalah privasi dan pemantauan yang berlebihan terhadap
data DNA yang digunakan dalam penyelidikan kasus kriminal, penolakan

klaim asuransi dan diskriminasi pegawai. Karena itu, perlu diatur kebijakan
yang mengatur penggunaan data DNA dalam asuransi dan kepegawaian,"
Risiko pelepasan tanaman transgenik ke lingkungan menjadi isu yang ramai
dibicarakan antara pihak-pihak yang pro dan kontra. Menurut Myhr and
Traavik (1999), beberapa risiko ekologis tanaman transgenik yang
dikhawatirkan berupa:
1. Potensi perpindahan gen ke tanaman kerabat
2. Potensi perpindahan gen ke organisme lain bukan kerabat
3. Pengaruh tanaman transgenik terhadap organisme bukan sasaran
4. Pengurangan keanekaragaman hayati ekosistem
5. Perkembangan resistensi serangga terhadap tanaman transgenik.
Indikasi risiko tanaman transgenik tersebut tidak dapat diremehkan dengan
alasan data pendukung yang tersedia belum cukup. Risiko penggunaan
pestisida novel yang paling ditakuti oleh pemerintah, petani dan juga industri
pestisida adalah timbulnya resistensi hama sasaran terhadap produk-produk
teknologi novel adalah timbulnya resistensi hama terutama terhadap tanaman
transgenik tahan hama/penyakit serta resisten terhadap jenis-jenis pestisida
baru. Apabila petani dalam menggunakan produk teknologi novel/baru masih
sama dengan sebelumnya seperti perlakuan tidak tepat , terus menerus ,
berlebihan dalam areal pertanaman yang luas, maka hama sasaran akan
segera mampu berkembang menjadi populasi yang resisten.
Salah satu propagadanya juga menyebutkan bahwa kalau petani menanam
tanaman yang tahan penyakit (benih transgenik), berarti bisa menurunkan
pestisida.Namun penelitian menunjukkan bahwa di Amerika sebagai pusat
pengembangan rekayasa genetik, penggunaan pestisida meningkat 55 %
sejak 1996-2004.
Penerapan bioteknologi seperti manipulasi gen pada tanaman budidaya telah
memberikan manfaat yang tidak terbatas. Secara alamiah tumbuhan
mengalami perubahan secara lambat sesuai dengan keberhasilan adaptasi

sebagai hasil interaksi antara tekanan lingkungan dengan variabilitas


genetika. Campur tangan manusia melalui rekayasa genetik telah
mengakibatkan revolusi dalam tatanan gen. Perubahan drastis ini telah
menimbulkan kekhawatiran akan munculnya dampak produk transgenik baik
terhadap lingkungan, kesehatan maupun keselamatan keanekaragaman
hayati.
Dalam banyak hal bahaya produk transgenik yang diduga akan muncul
terlalu dibesar-besarkan. Tidak ada teknologi yang tanpa resiko, demikian
pula dengan produk rekayasa genetik. Resiko dari produk transgenik tidak
akan lebih besar dari produk hasil persilangan alamiah. Beberapa resiko
pangan transgenik yang mungkin terjadi antara lain resiko alergi, keracunan
dan tahan antibiotik (Fagan 1997). Pangan transgenik berpotensi
menimbulkan alergi pada konsumen yang memiliki sensitivitas alergi tinggi.
Keadaan itu dipengaruhi sumber gen yang ditransformasikan. Kasus ini
pernah terjadi pada kedelai transgenik dengan kandungan methionin tinggi,
sehingga produknya tidak diedarkan setelah penelitian menunjukkan adanya
unsur alergi. Kekhawatiran keracunan didasarkan pada sifat racun dari gen
Bt terhadap serangga. Kecemasan tersebut tidak beralasan karena gen Bt
hanya aktif bekerja dan bersifat racun bila bertemu sinyal penerima dalam
usus serangga yang sesuai dengan kelas virulensinya. Gen tersebut tidak
stabil dan tidak aktif lagi pada pH di bawah 5 dan suhu 65 C , artinya
manusia tidak akan keracunan gen Bt terutama untuk bahan yang harus
dimasak

terlebih

dahulu.

Kemungkinan

lain

adalah

resistensi

mikroorganisme dalam tubuh menjadi lebih kuat. Kejadian ini peluangnya


kecil karena gen yang ditranfer melalui rekayasa genetik akan terinkorporasi
ke dalam genom tanaman.
Kekhawatiran bahaya terhadap keselamatan sumber daya hayati diduga
terjadi melalui beberapa cara seperti 1) terlepasnya organisme transgenik ke

alam bebas, dan 2) tranfer gen asing dari produk transgenik ke tanaman lain
sehingga terbentuk gulma yang dapat merusak ekosistem yang ada sehingga
mengancam keberadaan sumber daya hayati. Perubahan tatanan gen dapat
mengakibatkan perubahan perimbangan ekosistem hayati dengan perubahan
yang tidak dapat diramalkan (Hartiko 1995). Prinsip dasar biologi molekuler
menunjukkan 2 sumber utama resiko yang mungkin timbul. Pertama,
perubahan fungsi gen melalui proses rekayasa genetik. Penyisipan gen
berlangsung secara acak sehingga sulit untuk dikontrol dan diprediksikan
apakah gen tersebut akan rusak atau berubah fungsi. Kedua transgen dapat
berinteraksi dengan komponen seluler.Kompleksitas kehidupan organisme
mengakibatkan kisaran interaksi tersebut tidak dapat di ramalkan atau
dikontrol (Fagan 1997).
Secara teoritis tanaman transgenik merupakan bagian dari masa depan
karena sampai saat ini bukti-bukti ilmiah menunjukkan tidak ada alasan
kuat untuk mempercayai adanya resiko unik yang berkaitan dengan
produk transgenik. Produk bioteknologi modern sama aman atau
berbahayanya dengan makanan yang dihasilkan melalui teknik-teknik
tradisional (Chassy 1997). Bagaimanapun di masa yang akan datang,
bioteknologi modern berpotensi sebagai alat untuk menjawab tantangan dan
membuka kesempatan dalam mengembangkan bidang pertanian terutama
untuk memperoleh bahan makanan yang lebih banyak (Moeljopawiro 2002)
dengan kualitas yang lebih baik.
D. Peraturan yang mengatur pengembangan produk-produk bioteknologi
Pentingnya pengetahuan tentang ilmu rekayasa genetika.Pemberi informasi
yang tidak dibekali dasar pengetahuan tentang rekayasa genetika biasanya
cenderung menelan mentah-mentah ulasan pers asing sehingga objektifitas
permasalahan dan validitas data sulit diperoleh. Sebagai contoh adalah
penolakan negara barat terhadap padi transgenik yang menghasilkan

provitamin A. Penolakan ini terjadi karena mereka bisa memperoleh vitamin


A dari sumber lain. Bagi negara-negara berkembang yang rawan pangan
bahan pangan yang kaya vitamin A sangat dibutuhkan.Oleh sebab itu penting
untuk memahami terlebih dahulu latar belakang penolakan produk transgenik
di suatu negara (Suwanto, 2000).
Preferensi pribadi.Preferensi pribadi lebih baik tidak ditanggapi secara
umum.Diperlukan informasi yang seimbang dan kebijakan yang hati-hati dari
pemerintah dan pihak terkait yang dapat dijadikan acuan bagi orang awan
untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan terhadap produk
transgenik.Penilaian

terhadap

tanaman transgenik

dapat

mengandung

persaingan bisnis yang terselubung (Suwanto 2000a). Pestisida kimiawi tidak


terlalu diperlukan lagi dalam budidaya tanaman transgenik yang tahan
serangan hama dan penyakit, sehingga pihak-pihak berkepentingan akan
berusaha menuntun masyarakat dalam menentukan sikap sesuai tujuan mereka
masing-masing.
Bukti ilmiah diperlukan untuk menghilangkan keraguan. Salah satu
kekhawatiran yang paling menonjol adalah terjadinya transfer gen dari
organisme transgenik ke mikroorganisme. Secara alamiah transfer gen sangat
jarang terjadi. Frekuensi pengambilan DNA linier oleh permukaan sel 10-5
atau lebih kecil, untuk terintegrasi ke dalam genom resipien memerlukan
illegitimate recombination dengan frekuensi 10-8 atau lebih kecil dan
kemudian untuk ekspresinya dibutuhkan aktivasi oleh elemen loncat dengan
frekuensi 10-5 atau lebih kecil sehingga total frekuensi suatu gen
ditransformasikn di alam adalah 10-18. Bakteri dalam usus besar manusia
tidak lebih dari 1015 dan dalam satu gram tanah hanya sekitar 1010, oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa kejadian transformasi gen di alam tadi
probabilitasnya mendekati nol. Dalam kondisi tanpa tekanan seleksi, frekuensi
gen sebesar 10-6 sulit terjadi karena jumlah bakteri yang mendapat transfer

gen tidak sebanding dengan bakteri yang tidak mendapatkannya (Suwanto


2000b).
Tekanan seleksi yang menguntungkan bakteri penerima gen, maka transfer
gen tersebut akan memberikan akibat yang nyata. Dalam melakukan penilaian
terhadap produk transgenik pertimbangan ada tidaknya tekanan seleksi pada
suatu kejadian yang jarang terjadi perlu mendapat perhatian serius.
Perkembangan pengetahuan saat ini belum memungkinkan untuk menghitung
semua probabilitas kejadian transfer gen secara tepat. Pada dasarnya belum
tersedia informasi untuk membuat perhitungan kemungkinan suatu tahapan
transfer gen. Data seperti itu diperkirakan belum dapat tersedia dalam waktu
dekat karena variasi prokariota yang luar biasa (Suwanto 2002) atau mungkin
terdapat mekanisme tranfer gen yang baru. Analisis resiko yang fair dapat
dilakukan dengan membandingkan produk yang akan dianalisis dengan
aplikasi yang secara umum telah dierima. Misalnya bila pemberian antibiotik
untuk hewan dalam waktu yang lama dan terus menerus dianggap aman maka
pemberian produk transgenik sebagai pakan dianggap lebih aman. Kedua
kejadian itu mengambil resiko teoritis yang sama yaitu pengambilan DNA
oleh bakteri usus melalui transformasi alamiah dan integrasi DNA ke dalam
genom resipien. Pendekatan evaluasi seperti ini tidak diskrimanatif dalam
menilai produk yang berbeda (Suwanto, 2000).
Penggunaan bioteknologi telah diakui sebagai teknologi yang memberi
manfaat (Hartiko 1995; Suwanto 2000a) terutama dalam aktivitas pertanian
(Zohrah 2001).Meskipun demikian aplikasi tersebut harus tetap diiringi
dengan langkah langkah yang perlu diambil untuk memastikan produk
tersebut tidak membahayakan kehidupan manusia.Protokol keamanan hayati
Cartagena adalah salah satu upaya global yang dapat dipakai masyarakat
dunia

untuk

mematuhi

peraturan

yang

berkaitan

dengan

produk

transgenik.Keberadaan peraturan-peraturan ini diharapkan tidak menghalangi


pertumbuhan dan perkembangan bioteknologi (Zohrah 2001).

Issue bioteroris. Setahun terakhir ini issue bioteroris menjadi fenomena baru
yang muncul akibat banyaknya aksi teror yang terjadi pada saat teknik
rekayasa genetika berkembang sangat pesat. Prestasi gemilang rekayasa
genetika yang telah dicapai dibayangi penyalahgunaan oleh teroris.
Kebebasan mengakses data genetika pada genbank dikhawatirkan akan
dimanfaatkan para teroris sebagai sarana menciptakan senjata yang berbahaya
bagi keselamatan manusia. Presiden Amerika pada pertengahan tahun lalu
telah menandatangani UU bioterorisme yang mencakup kesanggupan Amerika
terhadap kontrol zat biologi berbahaya dan racun, keselamatan dan keamanan
pasokan makanan, obat-obatan dan air minum.Kekhawatiran penyalahgunaan
data genetika ini diragukan karena tidak ada pakar yang mumpuni untuk
mengubah informasi tersebut menjadi senjata berbahaya. Database yang ada
tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan bakteri atau virus
pembunuh. Upaya menyembunyikan data genetika justru akan mendorong
kepada sains yang membahayakan. Sebagai tindakan kewaspadaan, data akan
diklasifikasikan khususnya data dari sejumlah organisme yang dikenal
berbahaya. Membuka akses publik terhadap data tersebut dianggap lebih
banyak manfaat karena akan merangsang berbagai penelitian untuk mencapai
kemajuan dari pada kerugiannya, seperti yang dikemukakan oleh Baber dalam
Suriasoemantri (1988) bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan
hasil penemuan apapun bentuknya dari masyarakat luas dan apapun yang
menjadi konsekuensinya.
Dalam menyikapi masalah bioteroris masyarakat diharapkan memahami
setiap tahap perkembangan ilmu dan teknologi yang selalu memiliki nilai
positif maupun negatif. Ilmu pengetahuan yang tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya tidak akan membawa berkah bagi kemanusiaan,
bahkan dapat menjadi malapetaka dimuka bumi karena pada dasarnya
pengetahuan ditujukan untuk kemakmuran manusia dan kemanusiaan
(Suriasoemantri 1988).

E. Undang-Undang Etika Penelitian Bioteknologi di Indonesia


Berdasarkan Pasal 19 Kep. Menristek No.112 Tahun 2009, harus dibentuk suatu
Komite Etik Penelitian, Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber daya Hayati
yang bersifat independen, multidisiplin dan berpandangan plural. Keanggotaan
Komite Etik Penelitian, Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber daya Hayati
harus terdiri dari para ahli dari berbagai departemen dan institusi yang relevan.
Tindak

lanjut

dan

implementasi

prinsip-prinsip

bioetika

penelitian,

pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya hayati dilakukan oleh Komite


Bioetika Nasional yang dibentuk oleh pemerintah.
Perkembangan bioetika di Indonesia ditunjukkan dengan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang penelitian. Perundang-undangan tersebut antara
lain:
a. Perubahan Keempat UUD 45 Pasal 31 ayat (5) yang menyatakan bahwa
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban
serta kesejahteraan umat manusia
b. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 13 yang
mengantisipasi produk pangan yang dihasilkan melalui rekayasa genetika.
c. Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman yang memberikan batasan-batasan perlindungan.
d. Keputusan Bersama Menristek, MenKes dan Mentan Tahun 2004 tentang
Pembentukan Komisi Bioetika Nasional.
e. UU No. 18/2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan Iptek (RPP Penelitian Beresiko Tinggi) yang isinya adalah sebagai
berikut:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan


dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu
yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif,
kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam
dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.

2.

Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang
dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan,
kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.

3.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis adalah berbagai cabang


ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki keterkaitan yang luas
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh, atau
berpotensi

memberikan dukungan

yang

besar bagi

kesejahteraan

masyarakat, kemajuan bangsa, keamanan dan ketahanan bagi perlindungan


negara, pelestarian fungsi lingkungan hidup, pelestarian nilai luhur budaya
bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusiaan.
4.

Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode


ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan
yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau
ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

5.

Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang


bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah
terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan
teknologi baru.

6.

Invensi adalah suatu ciptaan atau perancangan baru yang belum ada
sebelumnya yang memperkaya khazanah serta dapat dipergunakan untuk
menyempurnakan atau memperbarui ilmu pengetahuan dan teknologi yang
telah ada.

7.

Penerapan adalah pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan, dan/atau


ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam kegiatan
perekayasaan, inovasi, serta difusi teknologi.

8.

Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi


dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai,
produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan
sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya,
dan estetika.

9.

Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan


yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu
pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses
produksi.

10.

Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara
lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan
untuk meningkatkan daya guna potensinya.

11.

Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan


menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau
orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal
dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.

12.

Lembaga penelitian dan pengembangan yang selanjutnya disebut lembaga


litbang adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan/atau
pengembangan.

13.

Badan usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan
kegiatan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

14.

Organisasi profesi adalah wadah masyarakat ilmiah dalam suatu cabang


atau lintas disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi, atau suatu bidang
kegiatan profesi, yang dijamin oleh negara untuk mengembangkan
profesionalisme dan etika profesi dalam masyarakat, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

15.

Hak kekayaan intelektual yang selanjutnya disebut HKI adalah hak


memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

16.

Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat


Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta
para menteri.

17.

Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom


yang lain sebagai badan eksekutif daerah.

18.

Menteri adalah menteri yang membidangi penelitian, pengembangan, dan


penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 2
Pengertian peristilahan dalam Pasal 1 yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berpikir, kebebasan
akademis, dan tanggung jawab akademis.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3

Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi dikembangkan berdasarkan asas iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, asas tanggung jawab negara, asas kesisteman dan percepatan, asas kebenaran
ilmiah, asas kebebasan berpikir, asas kebebasan akademis, serta asas tanggung jawab
akademis.

Pasal 4
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi bertujuan memperkuat daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi bagi
keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing
dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan
internasional.

BAB III
FUNGSI, KELEMBAGAAN, SUMBER DAYA, DAN JARINGAN
Bagian Pertama
Fungsi

Pasal 5

(1)

Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan


dan Teknologi berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat
antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(2)

Unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur kelembagaan,
unsur sumber daya, dan unsur jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bagian Kedua
Kelembagaan
Pasal 6
(1)

Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan


tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang.

(2)

Kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi:


a.

mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian,


pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi;

b.

membentuk iklim dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi


penyelenggaraan

penguasaan,

pemanfaatan,

pengetahuan dan teknologi.

Pasal 7

dan

pemajuan

ilmu

(1)

Perguruan tinggi sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
berfungsi membentuk sumber daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2)

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan


tinggi bertanggung jawab meningkatkan kemampuan pendidikan dan
pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 8
(1)

Lembaga litbang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
berfungsi menumbuhkan kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

(2)

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga


litbang bertanggung jawab mencari berbagai invensi di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menggali potensi pendayagunaannya.

(3)

Lembaga litbang dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari
organisasi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha,
lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat.

Pasal 9

(1)

Badan usaha sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
berfungsi menumbuhkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi
teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis.

(2)

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), badan


usaha bertanggung jawab mengusahakan pendayagunaan manfaat keluaran
yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang.

Pasal 10
(1)

Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem


Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang
kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2)

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga


penunjang bertanggung jawab mengatasi permasalahan atau kesenjangan yang
menghambat sinergi dan pertumbuhan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan
badan usaha.
Bagian Ketiga
Sumber Daya
Pasal 11

(1)

Sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas keahlian, kepakaran,
kompetensi manusia dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan
informasi, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2)

Setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab


meningkatkan secara terus menerus daya guna dan nilai guna sumber daya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12
(1)

Dalam meningkatkan keahlian, kepakaran, serta kompetensi manusia dan


pengorganisasiannya, setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan
teknologi bertanggung jawab mengembangkan struktur dan strata keahlian,
jenjang karier sumber daya manusia, serta menerapkan sistem penghargaan dan
sanksi yang adil di lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

(2)

Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi


profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta
kode etik profesi.

Pasal 13

(1)

Pemerintah mendorong kerja sama antara semua unsur kelembagaan ilmu


pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan jaringan informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.

(2)

Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan penyebaran


informasi hasil-hasil kegiatan penelitian dan pengembangan serta kekayaan
intelektual yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan perlindungan
kekayaan intelektual.

(3)

Dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan


lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan
kapasitas dan kemampuannya.

(4)

Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan,


perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah
daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi,
lembaga litbang, dan badan usaha yang melaksanakannya.

Pasal 14
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan,
pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk
memfasilitasi sinergi dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan
budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat.

Bagian Keempat
Jaringan
Pasal 15

(1)

Jaringan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu


Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk jalinan hubungan interaktif
yang memadukan unsur-unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar dari keseluruhan
yang dapat dihasilkan oleh masing-masing unsur kelembagaan secara sendirisendiri.

(2)

Untuk mengembangkan jaringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang, wajib
mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi, melengkapi,
memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang merupakan
pemborosan.

Pasal 16

(1)

Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi


kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yang
dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah
kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan.

(2)

Apabila sebagian biaya kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dibiayai oleh pihak lain, selain pemerintah dan/atau
pemerintah daerah, pengalihan teknologi dilaksanakan berdasarkan perjanjian
yang telah diatur sebelumnya dengan pihak lain tersebut.

(3)

Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan


pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri.

(4)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1)

Kerja sama internasional dapat diusahakan oleh semua unsur kelembagaan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan alih teknologi dari negaranegara lain serta meningkatkan partisipasi dalam kehidupan masyarakat ilmiah
internasional.

(2)

Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan atas
dasar persamaan kedudukan yang saling menguntungkan dengan tidak
merugikan kepentingan nasional, serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

(3)

Pemerintah bertanggung jawab memberikan dukungan bagi perguruan tinggi


dan lembaga litbang dalam rangka kerja sama internasional di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.

(4)

Perguruan tinggi asing, lembaga litbang asing, badan usaha asing, dan orang
asing yang tidak berdomisili di Indonesia yang akan melakukan kegiatan
penelitian dan pengembangan di Indonesia harus mendapatkan izin tertulis dari
instansi pemerintah yang berwenang.

(5)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB IV
FUNGSI DAN PERAN PEMERINTAH
Bagian Pertama
Fungsi Pemerintah

Pasal 18

(1)

Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi


dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi di Indonesia.

(2)

Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan
pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai
kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 19

(1)

Menteri wajib mengoordinasikan perumusan kebijakan strategis sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dengan mempertimbangkan segala masukan
dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

(2)

Untuk mendukung Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan


kerangka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah membentuk Dewan
Riset Nasional yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

(3)

Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek


kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi, Menteri wajib memperhatikan pentingnya upaya:
a.

penguatan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi


yang strategis, dan peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan
yang merupakan tulang punggung perkembangan kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta penguatan penguasaan ilmu-ilmu sosial
dan budaya yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;

b.

penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan


kemampuan

perekayasaan,

memperkuat

tarikan

pasar

inovasi,
bagi

dan

hasil

difusi
kegiatan

teknologi
penelitian

serta
dan

pengembangan;
c.

penguatan kemampuan audit teknologi impor yang dikaitkan dengan


penguatan Standar Nasional Indonesia untuk melindungi konsumen dan
memfasilitasi pertumbuhan industri dalam negeri.

Pasal 20

(1)

Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan


stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi
pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu
pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(2)

Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


pemerintah daerah wajib merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan
strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya.

(3)

Dalam merumuskan kebijakan strategis yang dimaksud dalam ayat (2),


pemerintah daerah harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang
diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4)

Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan


penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pemerintah daerah membentuk Dewan Riset Daerah yang beranggotakan
masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi di
daerahnya.

Bagian Kedua
Peran Pemerintah
Pasal 21

(1)

Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen


kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).

(2)

Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebagai


bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan
sinergi semua unsur Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(3)

Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat
berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif,
penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan
lembaga.

(4)

Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang dan
lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai Lembaga Pemerintah Non
Departemen maupun sebagai unit kerja departemen atau pemerintah daerah
tertentu.

(5)

Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)


diselenggarakan secara adil, demokratis, transparan, dan akuntabel.

Pasal 22

(1)

Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta


keseimbangan tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan
hidup.

(2)

Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian,
pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko
tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan
yang berlaku secara internasional.

(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
(1)

Pemerintah menjamin perlindungan bagi HKI yang dimiliki oleh perseorangan


atau lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)

Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai


budaya asli masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia.

(3)

Pemerintah menjamin perlindungan bagi masyarakat sebagai konsumen,


terhadap penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 24

(1)

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk berperan serta dalam
melaksanakan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)

Setiap warga negara yang melakukan penelitian, pengembangan, dan penerapan


ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai hak memperoleh penghargaan
yang layak dari pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat sesuai
dengan kinerja yang dihasilkan.

(3)

Setiap orang mempunyai hak untuk menggunakan dan mengendalikan


kekayaan intelektual yang dimiliki sesuai dengan peraturan perundangundangan.

(4)

Setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh informasi secara


mudah dengan biaya murah tentang HKI yang sedang didaftarkan dan telah
dipublikasikan secara resmi oleh pihak yang berwenang atau yang telah
memperoleh perlindungan hukum di Indonesia.

Pasal 25
(1)

Masyarakat wajib memberikan dukungan serta turut membentuk iklim yang


dapat mendorong perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(2)

Masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab untuk berperan


serta mengembangkan profesionalisme dan etika profesi melalui organisasi
profesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3)

Setiap organisasi profesi wajib membentuk dewan kehormatan kode etik sesuai
dengan ketentuan Pasal 12 ayat (2).

BAB VI

PEMBIAYAAN

Pasal 26
Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama
antara masyarakat dan pemerintah.

Pasal 27
(1)

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar


jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan,
pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2)

Anggaran yang dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membiayai


pelaksanaan fungsi dan peran pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1).

(3)

Perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, lembaga penunjang, organisasi


masyarakat dan inventor mandiri berhak atas dukungan dana dari anggaran
pemerintah

dan

pemerintah

daerah

untuk

meningkatkan

penguasaan,

pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan


peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

(1)

Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan


kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan
kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan.

(2)

Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam


lingkungan sendiri dan dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan
kemitraan dengan unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain.

(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif

Pasal 29
Pelanggaran ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2)
dijatuhi sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan, pemberhentian sementara
kegiatan, sampai dengan pembatalan atau pencabutan izin oleh instansi pemberi izin.

Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 30

(1)

Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


ayat (2) tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin diancam pidana denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan/atau penjara paling lama
6 (enam) bulan.

(2)

Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


ayat (2) yang mengakibatkan bahaya bagi keselamatan manusia, kesehatan
masyarakat, kelestarian fungsi lingkungan hidup, kerukunan bermasyarakat,
keselamatan bangsa, dan merugikan negara, dijatuhi sanksi pidana penjara
dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan lain
yang berhubungan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak sesuai
dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bioteknologi dari sudut pandang sosial memiliki beberapa manfaat
diantaranya dapat menyelesaikan masalah sosial seperti contoh molekul
DNA dapat diisolasi dari sel kemudian dideteksi sehingga memberikan
gambaran enzim retriksi yang khas pada setiap orang. Dalam kasus
pembunuhan,
meninggalkan

pengadilan
sampel

bisa

darah

melacak
atau

pelakunya

jaringan

bila

ditempat

penjahat
terjadinya

kejahatan.Demikian pula kasus perebutan anak di pengadilan dapat


diselesaikan denganadanya hasil tes DNA, karena anak memiliki kesamaan
enzim retriksi dengan orang tuanya.

2. Bioteknologi dari sudut pandang budaya/etika dapat memberikan dampak


yang bertentangan diantaranya dalam hal menyisipkan gen makhluk hidup
kepada makhluk hidup lain yang tidak berkerabat dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hukum alam dan sulit diterima masyarakat.
3. UU yang mengatur mengenai etika penelitian bioteknologi di Indonesia
diantaranya adalah UU No. 18 Tahun 2002, UU NO.21 Tahun 2004, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik.

Anda mungkin juga menyukai