Anda di halaman 1dari 57

Makalah

ILMU LINGKUNGAN

“Permasalahan Lingkungan Local ”


Disusun Oleh
Sri utami lakoro
432417044
Kls: B

JURUSAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya.Makalah ini berisikan penjelasan tentang
“permasalahan lingkungan local ”.Saya menyadari bahwa Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang.


Tidak ada yang salah dengan manusia yang mencoba memanfaatkan alam
untuk mendukung kehidupan mereka karena memang alam diciptakan untuk
mendukung kehidupan manusia. Akan tetapi, pemanfaatan alam menjadi hal yang
salah ketika pemanfaatan alam tidak diimbangi dengan pelestarian lingkungan
terlebih dengan fakta bahwa perkembangan teknologi yang kian hari kian pesat
dan menjadi tumpuan kehidupan bagi banyak manusia modern rupanya
merupakan salah satu faktor yang menggerus alam dalam waktu yang tidak begitu
lama.
Masalah lingkungan merupakan isu nyata yang sudah menjadi perbincangan
ramai dalam Konferensi PBB mengenai lingkungan hidup yang diadakan di
Stockholm, Swedia 15 Juni 1972. Di tahun yang sama pada tanggal 15-18 Mei,
Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh
Universitas Pajajaran membahas isu mengenai masalah lingkungan hidup untuk
pertama kalinya di Indonesia. Kenyataan mengenai laju pertumbuhan populasi
penduduk yang kian tahun kian meningkat merupakan salah satu faktor yang
paling penting dalam masalah lingkungan. Pertumbuhan penduduk membuat
pembangunan dan industri semakin diperlukan sementara itu pembangunan dan
industri juga memberikan dampak yang negatif terhadap lingkungan yang
kemudian akan berimbas kepada manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimna permasalahan lingkungan local ?
2. jenis – jenis kerusakan lingkungan local ?
1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui permasalahan lingkungan local
2. Mengetahui jenis – jenis kerusakan lingkungan local

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian permasalahan Lingkungan Lokal.
Permasalahan lingkungan lokal merupakan hal yang sangat mudah dilihat
bahwa Indonesia masih mempunyai kesadaran yang rendah terhadap isu
lingkungan terutama masyarakatnya yang kebanyakan masih terlalu terfokus pada
usaha untuk bertahan hidup dan mendapatkan kehidupan yang lebih layak secara
ekonomi sehingga mereka melakukan segala upaya untuk mendapatkan uang lebih
meskipun hal ini berarti mereka harus mengancam lingkungan dan alam.
Kegiatan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan kini masyarakat
mulai merasakan imbas atas apa yang mereka lakukan terhadap alam. Berbagai
macam isu lingkungan muncul di berbagai wilayah di Indonesia dan tentu saja
banyak masyarakat yang merasakan derita baik secara langsung maupun tidak
langsung atas kerusakan alam yang terjadi di wilayah mereka. Boleh saja kita
tidak memberikan tanggapan serius terhadap isu lingkungan global seperti
kerusakan lapisan ozon karena pada dasarnya daerah yang terimbas pertama kali
bukan Indonesia melainkan kutub bumi meskipun kemudian tentu ada imbas besar
yang akan dirasakan oleh rakyat Indonesia. Kini, banyak peristiwa yang
membawa derita yang harus dialami oleh banyak orang di daerah asalnya masing-
masing dan hal ini terjadi bukan tanpa sebab yang berkaitan dengan ulah manusia
terhadap alam.
Saat ini masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Sebagaimana
telah diketahui bersama bahwa lapisan ozon kini semakin menipis. Dengan terus
menipisnya lapisan itu, sangat dikhawatirkan bila lapisan itu tidak ada atau
menghilang sama sekali dari alam semesta ini. Tanpa lapisan ozon sangat banyak
akibat negatif yang akan menimpa makhluk hidup di muka bumi ini, antara lain:
penyakit-penyakit akan menyebar secara menjadi-jadi, cuaca tidak menentu,
pemanasan global, bahkan hilangnya suatu daerah karena akan mencairnya es
yang ada di kutub Utara dan Selatan. Jagat raya hanya tinggal menunggu masa
kehancurannya saja.

4
Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para
ilmuwan memberikan berbagai masukan untuk mengatasi masalah ini sesuai
dengan latar belakang keilmuannya. Para sastrawan pun tak ketinggalan untuk
berperan serta dalam menanggulangi masalah yang telah santer belakangan ini.
2.1 Contoh Dan Dampak permasalahan Lingkungan Lokal.
Ada banyak berita mengenai dampak lingkungan yang terjadi di berbagai
wilayah di Indonesia salah satunya Aceh yang terkenal dengan potensi alam dan
potensi wisata alam kini keadaanya sangat memprihatinkan. Kerusakan
lingkungan sudah menjadi pemandangan biasa dimana-mana. Eksploitasi tambang
yang berlebihan, perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit,
kebakaran hutan serta sejumlah isu lingkungan lainnya dituding menjadi penyebab
utama. Aceh sendiri tidak lepas dari akibat kerusakan lingkungan tersebut. Berikut
beberapa isu lingkungan di Aceh :
a. Kebakaran Hutan Di Aceh
Proses kebakaran hutan dapat terjadi karena proses alami atau ulah dari
manusia. Kebakaran oleh ulah manusia biasanya bermaksud untuk pembukaan
lahan untuk perkebunan. Manusia dengan sengaja membakar hutan supaya
memudahkan proses clearing. Di Aceh selama beberapa tahun terakhir sering
terjadi kebakaran hutan, Lokasi kebakaran lahan berada di Aceh. Kejadian ini
berlangsung sporadis dan dalam waktu yang hampir bersamaan di setiap lokasi.
Pemicu kebakaran diduga berasal dari aktivitas pembukaan lahan pertanian.
Dampak kebakaran hutan.
Dampak dari pembakaran hutan adalah memberikan kontribusi CO2
diudara, hilangnya keanekaragaman hayati, ekonomi hasil hutan dan Asap. Asap
yang dihasilkan dapat menganggu kesehatan (system pernafasan) dan dapat
mengganggu aktivitas lainnya seperti penerbangan. Dampak asap ini tidak hanya
bersifat local akan tetapi bisa berdampak pada Negara lain.Contoh kebakaran
hutan asapnya sampai ke Negara singapura dan Malaysia.

5
b. Sampah di Perkotaan dan di Pemukiman.
Sampah - sampah di perkotaan dan di pemukiman sudah sangat meresahkan
warga dikarenakan tempat pembuangannya yang belum juga tertata rapi dengan
bau yang sangat menggangu serta masih kurang nya kesadaran masyrakat akan
sampah, membuat masyrakat membuang sampah tidak pada tempatnya, contoh :
sungai, parit, tepi jalan.
Dampak negatif sampah :
Dampak terhadap Kesehatan.
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah
yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme
dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menjadi
sumber penyebaran penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan
adalah terjangkitnya penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena
virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur
air minum, penyakit demam berdarah dapat juga meningkat dengan cepat di
daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
Dampak terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi
Dampaknya akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi
masyarakat, bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah
bertebaran dimana-mana. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat
menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum
seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain. Infrastruktur lain dapat juga
dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, seperti tingginya
biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan sampah
kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan.
Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaiki.

6
c. Kekeringan
Kekeringan adalah kekurang air yang terjadi akibat sumber air tidak dapat
menyediakan kebutuhan air bagi manusia atau mahluk hidup lainnya.
Dampak kekeringan :
Dampak dari kekeringan bisa menyebabkan gangguan pada kesehatan,
keterancaman pangan.
d. Banjir
Di Aceh tiga kabupaten yaitu aceh selatan, aceh singkil dan simeuleu
terendam banjir sedalam 2,5 m. penyebab banjir didaerah tersebut karena adanya
tekanan rendah disebelah barat laut Aceh disekitar Samudera Hindia yang
menyebabkan cuaca ekstrim di Aceh.Banjir merupakan fenomena alam ketika
sungai tidak dapat menampung limpaan air hujan karena proses infiltrasi
mengalmi penurunan.Hal tersebut terjadi karena daerah hijau sebagai penahan
larian air hujan berkurang.
Dampak banjir :
Dampak dari banjir menyebabkan gangguan kesehatan, keterkendalaan
kegiatan aktivitas manusia, penurunan produktivitas. Dampak banjir merupakan
dampak lokal, akan tetapi bisa juga menjadi skala nasional seperti banjir dijakarta
yang menghambat aktivitas nasional karena bandara terisolasi.
e. Longsor
Longsor yang terjadi di Aceh tengah menyebabkan terkurungnya ribuan warga
kecamatan Rusip Antara. Longsor adalah terkikisnya daratan oleh air lairan (run
off) karena penahan air larian (daerah hijau) berkurang.
Dampak longsor :
Dampak dari longsor bisa berdampak terjadinya kerusakan tempat tinggal atau
tempat kegiatan aktivitas seperti ladang, sawah dan juga bisa menganggu
transportasi kegiatan perekonomian. Dampaknya sangat dirasakan bagi daerah
lokal dan ada kemungkinan berantai kedaerah lainnya.

7
f. Erosi Pantai ( Abrasi ).
Erosi di kawasan Ujong Mangki Kecamatan Bakongan dan Ujong Pulo Rayek
kecamatan Bakongan Timur Kabupaten aceh selatan kian meluas, bahkan rumah
warga yang berada di pesisir pantai mulai terkikis ombak.Erosi adalah terkikisnya
lahan daratan pantai akibat gelombang air laut. Erosi ini terjadi karena kurangnya
vegetasi seperti bakau yang biasa tumbuh di bibir pantai. Kurangnya vegetasi ini
disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kelestarian pantai.
Dampak erosi pantai :
Dampak erosi pantai berdampak lokal dan dapat menyebabkan kerusakan
tempat tinggal, dan hilang potensi ekonomi seperti kegiatan pariwisata.
g. Intrusi Air Laut
Masuknya air laut (asin) mengisi ruang bawah tanah akibat air tanah telah
banyak digunakan oleh manusia dan tidak adanya tahanan intrusi air laut seperti
kawasan mangrove.
Dampak intrusi air laut :
Dampak dari intrusi air laut adalah terjadinya kekurangan stok air tawar,
menganggu kesehatan.

8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab dan dampak
lingkungan lokal :
• Kekeringan : kekeringan adalah kekurangan air yang terjadi akibat sumber
air tidak dapat menyediakan kebutuhan air bagi manusia dan makhluk hidup
yang lainnya. Dampak: menyebabkan ganggungan kesehatan, keterancaman
pangan.
• Banjir : merupakan fenomena alam ketika sungai tidak dapat menampung
limpahan air hujan karena proses influasi mengalami penurunan. Itu semua
dapat terjadi karena hijauan penahan air larian berkurang. Dampak:
ganggungan kesehatan, penyakit kulit, aktivitas manusia terhambat,
penurunan produktifitas pangan, dll.
• Longsor : adalah terkikisnya daratan oleh air larian karena penahan air
berkurang. Dampaknya : terjadi kerusakan tempat tinggal, ladang, sawah,
mengganggu perekonomian dan kegiatan transportasi
• Erosi pantai : terkikisnya lahan daratan pantai akibat gelombang air laut.
Dampak : menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan hilangnya potensi
ekonomi seperti kegiatan pariwisata.
• Instrusi Air Laut : air laut (asin) mengisi ruang bawah tanah telah banyak
digunakan oleh manusia dan tidak adanya tahanan instrusi air laut seperti
kawasan mangrove. Dampaknya: terjadinya kekurangan stok air tawar, dan
mengganggu kesehatan.

9
DAFTAR PUSTAKA
Basahona sumanto, 2010. 10 isu lingkungan. http://sumanto basahona .blogspot.
com/2010/12/10-isu- lingkungan .html diakses 26 Mei 2012 http:// humairah
world.word press. Com /2011 /02 /12 /isu-lingkungan/, diakses 26 Mei 2012
kamil ridwan, 2012.Isu lingkungan lokal. http://juju bandung.wordpress. com
/2012/10/18/isu-lingkungan-lokal/ diakses 26 Mei 2012
Sutrisno adi, 2013.Identifikasi Penyebab Dan Dampak Permasalahan Lingkungan
baik Lokal, Nasional, Maupun Global. http://bidang keilmuan fisika.
Wordpress .com /2013 /03 /04 / adisutrisno budak ketapang / diakses 26 Mei
2012
Kamil ridwan, 2012. Isu lingkungan lokal. http://juju bandung. Wordpress .com
/2012/10/18/ isu-lingkungan-lokal/ diakses 26 Mei 2012

10
Study kasus tentang permasalahan lingkungan local : kekeringan
STUDI PENDAHULUAN TENTANG PENERAPAN METODE AMBANG
BERTINGKAT UNTUK ANALISIS KEKERINGAN HIDROLOGI
PADA 15 DAS DI WILAYAH JAWA TIMUR
Application of Threshlod Level Method for Hydarulogical Drougth Analysis:
Preleminarty
Study at 15 Watershed in Eastern Part of East Java
Pendahuluan
Kekeringan merupakan salah satu masalah serius yang sering muncul ketika
musim kemarau tiba. Banyak tempat di Indonesia mengalami masalah kekurangan
air atau defisit air atau kekeringan. Dari perspektif kebencanaan kekeringan
didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan dalam periode waktu tertentu
(umum-nya dalam satu musim atau lebih) yang menyebabkan kekurangan air
untuk berbagai kebutuhan (UN-ISDR, 2009). Kekurangan air tersebut
berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan pada suatu DAS. Pada
umumnya bencana kekeringan tidak dapat diketahui mulainya, namun dapat
dikatakan bahwa kekeringan terjadi saat air yang ada sudah tidak lagi mencukupi
untuk kebutuhan sehari-hari. Kerusakan lahan dan dampak kerugian yang
diakibatkan oleh kejadian kekeringan sangat luas dan nilai ekonomi kerugian
cukup besar. Secara umum kejadian kekeringan dapat ditinjau dari aspek:
hidrometeorologi, pertanian, dan hidrologi (Wilhite, 2010).
Dari aspek hidrometeorologi kekeringan timbul dan disebabkan oleh
berkurangnya curah hujan selama periode tertentu. Dari aspek pertanian
dinyatakan kekeringan jika lengas tanah berkurang sehingga tanaman kekurangan
air. Lengas tanah (soil moisture) merupakan parameter yang menentukan potensi
produksi tanaman. Kekeringan merupakan salah satu bencana hidrometeorologis
yang silih berganti terjadi di Indonesia. Kekeringan adalah ketersediaan air yang
jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi
dan lingkungan

11
Metode penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan angket, wawancara, observasi, dan
dokumentasi.
Hasil dan pembahasan
Kekeringan menimpa seluruh wilayah (kota/desa). Pengecualiaan wilayah
lembah sepanjang aliran sungai/dataran rendah/rawa/pesisir pantai, tetapi
memiliki permasalahan penurunan kualitas, sehingga tidak layak sebagai air
minum tanpa perlakuan khusus. Wilayah perkotaan mengalami kekeringan lebih
parah dari pedesaan. Peta Indeks Risiko Bencana Kekeringan Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung (BNPB, 2010), menunjukkan hampir semua kabupaten/kota
mempunyai resiko tinggi, pengecualian Kabupaten Bangka Selatan dengan resiko
sedang. Kekeringan menyebabkan sektor perkebunan (sayuran dan lada),
perikanan tawar mengalami kerugian. Kekurangan air dipenuhi dari sumber lain,
seperti kolong bekas tambang, air sungai, penggalian sumur baru pada wilyah
pesisir/hutan/sungai/kebun.Sebagian kecil penduduk membeli air.
Faktor penyebab kekeringan
Faktor geogenik (alami) merupakan penyebab utama kekeringan. Pemukiman
di Bangka umumnya tidak dibangun pada cekungan air tanah (CAT), dan juga
diakibatkan faktor musim kemarau yang panjang. Pembukaan lahan untuk
pertambangan dan perkebunan menjadi penyebab lain (antropogenik).
Risiko Bencana Kekeringan
Berdasarkan hasil perhitungan risiko kekeringan, beberapa daerah yang
memiliki tingkat risiko tinggi adalah Kecamatan Cidaun dengan luas 2640,3 ha,
Kecamatan Karangtengah dengan luas 1606 ha, Kecamatan Cilaku dengan luas
1295,9 ha, dan Kecamatan Cianjur dengan luas 1274,6 ha. Berdasarkan luas
wilayah risiko kekeringan, Kecamatan Cidaun menjadi daerah yang paling luas,
hal ini tidak terlepas dari wilayahnya yang memang cukup besar di banding
kecamatan-kecamatan yang berapa di daerah utara.

12
Upaya penanggulangan kekeringan
Mitigasi masyarakat Terhadap Bahaya Kekeringan kabupaten Grobogan
Mitigasi yang dilakukan untuk menghadapi kekeringan dalam memenuhi air
untuk kebutuhan sehari-hari di Kabupaten Grobogan antara lain dilakukan dengan
cara:
Pembuatan sumur bor
Upaya mitigasi dalam menghadapi kekeringan dilakukan dengan cara
pembuatan sumur bor. Sumur bor dibuat dengan sumber air yang sangat dalam
sehingga diharapkan ketika musim kemarau panjang berlangsung, sumur tersebut tidak
mengalami kekeringan.

Pembuatan sumur resapan


Upaya mitigasi kekeringan juga dilakukan oleh masyarakat dengan pembuatan
sumur resapan. Sumur resapan dibuat untuk menampung air pada saat terjadi
hujan. Masyarakat menjelaskan bahwa saat terjadi kekeringan, masyarakat
menyedot air dari sungai dan kemudian airnya dimasukkan ke dalam sumur
resapan tersebut agar kemudian mengalir ke sumur melalui tanah. Saat sumber air
sudah mengering, masyarakat membeli air dari pihak swasta dan kemudian
mengalirkannya ke sumur resapan tersebut.

13
Pembangunan tampungan air
Di Kabupaten Grobogan, telah dilaksanakan pembangunan tampungan air
dari program Pamsimas (Program Sanitasi Masyarakat) dari PU Cipta Karya.
Masyarakat juga ikut membantu dalam pembuatan tampungan air yang diadakan
PU Cipta Karya. Sebagian warga masyarakat juga mempunyai tandon air pribadi
untuk menghadapi kekeringan di musim kemarau.

Sosialisasi/ penyuluhan tentang mitigasi kekeringan


Sosialisasi tentang mitigasi kekeringan pernah dilakukan di Kabupaten
Grobogan. Sebagian besar warga masyarakat telah mengikuti sosialisasi/
penyuluhan tentang mitigasi kekeringan. Sosialisasi dilakukan oleh PU Cipta
Karya dalam rangka pelaksanaan program Pamsimas. Namun, belum ada
perkumpulan rutin untuk membahas penanggulangan kekeringan.
Mempersiapkan program bantuan air bersih kepada masyarakat
Mitigasi yang dilakukan pemerintah dalam jangka pendek yaitu melalui
BPBD yang memberikan bantuan air bersih dengan truk-truk tangki air. BPBD
memberikan bantuan air bersih dengan bekerja sama dengan pihak PDAM. Pihak
BPBD memberikan daftar desa-desa yang akan diberikan bantuan air bersih
kepada pihak PDAM. Pihak PDAM menentukan jadwal pemberian bantuan air
bersih kepada desa-desa tersebut.

14
Reboisasi
Berdasarkan informasi dari BPBD, upaya pengurangan dampak dari
kekeringan selain dengan pembuatan embung, sumur resapan dan sumur bor, juga
dilakukan dengan reboisasi. Reboisasi dilakukan pemerintah agar hutan tidak
gundul sehingga akar tanaman dapat menyerap dan menyimpan air. Dengan
demikian, kekeringan dapat menjadi berkurang karena ada akar tanaman yang
mampu menyerap dan menyimpan air.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari beberapa referensi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa Kekeringan merupakan salah satu masalah serius yang
sering muncul ketika musim kemarau tiba. Banyak tempat di Indonesia
mengalami masalah kekurangan air atau defisit air atau kekeringan. Dari
perspektif kebencanaan kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan
dalam periode waktu tertentu,dan Faktor geogenik (alami) merupakan penyebab
utama kekeringan. Pemukiman di Bangka umumnya tidak dibangun pada
cekungan air tanah (CAT), dan juga diakibatkan faktor musim kemarau yang
panjang. Pembukaan lahan untuk pertambangan dan perkebunan menjadi
penyebab lain (antropogenik). Kerusakan lahan dan dampak kerugian yang
diakibatkan oleh kejadian kekeringan sangat luas dan nilai ekonomi kerugian
cukup besar. Secara umum kejadian kekeringan dapat ditinjau dari aspek:
hidrometeorologi, pertanian, dan hidrologi dan Mitigasi masyarakat Terhadap
Bahaya Kekeringan kabupaten Grobogan Mitigasi yang dilakukan untuk
menghadapi kekeringan dalam memenuhi air untuk kebutuhan sehari-hari di
Kabupaten Grobogan antara lain dilakukan dengan cara: pembuatan sumur bor,
reboisasi, dan sosialisasi atau penyuluhan mitigasi kekeringan.

15
Lampiran jurnal referensi

16
Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

Studi Pendahuluan Potensi Bencana Alam (Geo-Disaster)


Di Pulau Bangka
(Preliminary Study of Geo-Disaster in Bangka Island)

Irvani1, Indra Gunawan2


1
Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Bangka Belitung
2
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Bangka Belitung

Abstract
The study area is a tin mining region in hundred years, located in Bangka Island, Bangka Belitung
Archipelago Province. Identifying geo-disaster potential, in order that to know the the type, spatial
distribution of geo-disaster that caused by geogenic or antropogenic factor. The research is done by
observing all of geo-disaster potential, with geological and geomophological additional condition. Geo-
disaster potential is ilustratrated in a map as result of work using geographic information system (GIS)
software that is supported from Landsat TM7 analysis. Erosion, sedimentation, lanslide and
abration disaster mainly caused by antropogenic factors from tin mining activities and landfarming, but
for dryness, flood, hurricane and earthquake caused by geogenic factors. For flood and dryness also
influenced by antropogenic factor. Dryness, erosion and sedimentation has the large spatial
distribution in Bangka Island.
Keywords: Antrophogenic, Geo-Disaster, Geogenic

1. Pendahuluan pemetaan potensi bencana alam secara


detail, termasuk melalui studi pendahuluan
Pulau Bangka sebagai daerah sebagai langkah awalnya. Adapun penelitian
pertambangan timah memiliki sedikit catatan pendahuluan bencana alam (geo-disaster) di
kejadian bencana alam (geo-disaster), tetapi Pulau Bangka menitikberatkan pada
tidak benar-benar terbebas dari bencana pendeteksian, mencari faktor penyebab dan
alam. Menurut catatan PNPB (2011) Indeks memetakan pola sebaran keruangan/spatial
rawan bencana Pulau Bangka tergolong (tidak detail) bencana alam.
sedang-tinggi tetapi tidak menimbulkan
kerugian harta maupun jiwa yang siknifikan,, Lokasi Penelitian
sehingga belum menjadi fokus perhatian Lokasi penelitian pendahuluan bencana
pemerintah maupun masyarakat. Padahal alam (geo-disaster) mencakup keseluruhan
jika dihitung secara menyeluruh kerugian wilayah Pulau Bangka seperti diilustrasikan
akibat bencana alam relatif jauh lebih besar, Gambar 1. Penelitian bersifat tidak detail
terutama kerugian terhadap lingkungan terhadap suatu potensi bencana alam,
Lembaga pendidikan bersama sehingga pemetaannya masih berupa
pemerintah perlu berperan aktif gambaran umum.
mendeteksi/mengkaji potensi bencana alam,
baik yang diakibatkan oleh faktor alami Tinjauan Pustaka
(geogenik) maupun sebagai dampak dari
aktivitas manusia (antropogenik). Hasil Geologi Pulau Bangka
pengkajian berguna dalam mitigasi/ Secara fisiografi Pulau Bangka
manajemen bencana alam. Melalui merupakan pulau yang terletak di Paparan
manajemen bencana alam, dampak negatif Sunda (Van Bemmelen, 1970), bagian Tin
bencana alam dapat dikurangi. Manajemen Islands pada Sundaland Craton (Barber et
bencana alam disusun berdasarkan al., 2005). Mangga dan Djamal (1994),
pemetaan Margono dkk (1995) memetakan batuan dari
* Korespodensi Penulis: (Irvani) Jurusan Teknik
Pertambangan, Universitas Bangka Belitung. Kampus
urutan tua - muda meliputi batuan metamorf
Terpadu UBB, Balun Ijuk, Merawang, Kab. Bangka. Kompleks Malihan Pemali (CPp), Diabas
E-mail: irvani@ubb.ac.id Penyabung (PTrd), batuan sedimen Formasi
HP. 081220191369 Tanjung Genting (Trt), batuan beku asam

1
Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

Granit Klabat (TrJkg), batuan sedimen belum pengenalan wilayah (reconnaissance),


terkompaksikan Formasi Ranggam (TQr), pengumpulan data sekunder/primer, analisis
dan Endapan Kuarter (Qa). Struktur geologi data dan diskusi.
meliputi lipatan, kekar dan patahan.
Data Sekunder dan Primer
Bencana Alam (Geo-Disaster)
Data sekunder yang dikumpulkan berupa
Latar belakang pentingnya penelitian
Peta Geologi Regional, Geomorfologi,
dikemukakan oleh Undang-Undang No. 24
Topografi, Indeks Rawan Bencana,
Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Cekungan airtanah (CAT) dan penelitian
Bencana. Bencana merupakan peristiwa
bencana alam. Data primer yang
yang mengancam dan mengganggu
dikumpulkan meliputi data bencana alam,
kehidupan dan penghidupan masyarakat,
data geologi/ geomorfologi, Wawancara dan
disebabkan faktor alam dan atau faktor non
kuesioner.
alam maupun faktor manusia yang
mengakibatkan korban jiwa, kerusakan Pengumpulan dan Analisis Data
lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis (BNPB, 2011). Penelitian dilakukan melalui observasi
Indonesia terletak pada pertemuan 3 lapangan untuk mendeteksian gejala alam
(tiga) lempeng bumi memiliki potensi bencana. Deskripsi lapangan, pembuatan
bencana alam yang besar. Perilaku sketsa/pengambilan foto, pengukuran dan
masyarakat memperparah bencana dengan pengambilan perconto, serta pencatatan
merusak hutan, sungai dan gunung. koordinat objek bencana merupakan bagian
Tintakan pencegahan diperlukan untuk teknik pengumpulan data. Interpretasi citra
mengurangi resiko bencana yang akan Landsat TM7 membantu pengidentifikasian
merugikan masyarakat (BAKORNAS PB, sebaran bencana.
2007 dan BNPB, 2010). Analisis bencana meliputi erosi,
sedimentasi, banjir, abrasi pantai,
Mitigasi Bencana Alam
kekeringan, banjir, longsoran, angin puting
Menurut Rachmat (2006) dan beliung dan gempa bumi. Analisis
BAKORNAS PB (2007) mitigasi bencana geologi/struktur geologi, geomorfologi dan
alam mencakup tahapan perencanaan analisis laboratorium perconto
dan pelaksanaan tindakan aksi untuk batuan/sedimen untuk mendukung analisis.
mengurangi berbagai resiko/dampak dari Selanjutnya ditafsirkan karakteristik bencana,
suatu bencana sebelum kejadian bencana, sebaran serta faktor penyebab/pemicu.
termasuk tahap kesiapan dan tindakan Hasilnya digambarkan menggunakan
pengurangan resiko untuk jangka panjang. Software ArcGIS 10.1
Sistem Informasi Geografis (SIG)
3. Hasil dan Pembahasan
Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat
didefinisikan sebagai sistem dalam Potensi Bencana Alam di Pulau Bangka
mengumpulkan, menyimpan, memanipulasi,
menganalisis dan menyajikan data spatial Pulau Bangka memiliki potensi bencana
yang memiliki ferensi geografis (Johnson, alam (geo-disaster) erosi, sedimentasi, banjir,
1996). SIG memiliki visualisasi khas kekeringan, gempa bumi, longsoran, abrasi
dengan teknologi yang mengintegrasikan pantai dan angin puting beliung. Bencana
pengolahan data berbasis database dan kekeringan, erosi, sedimentasi, dan abrasi
analisis statistik (Prahasta, 2001). tersebar luas. Longsoran terbatas
berasosiasi dengan pertambangan timah,
2. Metode Penelitian sedangkan bencana angin puting beliung
umumnya menimpa daerah pesisir pantai.
Penelitian bersifat kualitatif dilakukan Peristiwa gempa bumi dengan magnitude
dengan pendeteksian, mencari faktor kecil tercatat satu kali kejadiannya pada
penyebab dan pemetaan pola sebaran (tidak Tahun 2007. Sebaran umum (tidak detail)
detail) bencana alam (geo-disaster). daerah berpotensi bencana alam di Pulau
Tahapan penelitian meliputi persiapan, Bangka dapat dilihat pada Gambar 1.

© Teknik Pertambangan, Univ. Bangka Belitung 2


Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan sebaran umum bencana alam (geo-disaster)

Erosi utama erosi berupa pembukaan lahan untuk


penambangan timah, disamping sektor
Secara geologi, proses pelapukan, erosi
perkebunan. Tanah pada lokasi eks lokasi
dan sedimentasi Pulau Bangka telah
penambangan timah (tailing) berupa material
memasuki tahap lanjut (denudasional). Fakta
lepas (loose material) berukuran pasir dan
lapangan menunjukkan perbedaan potensi
kerikil, serta sebagian kecil tanah lempung.
erosi alami terhadap tingginya erosi yang
Mineral penyusun utama berupa kuarsa dan
terdapat di Pulau Bangka. Berdasarkan hasil
sejumlah mineral ikutan lainnya dalam
pengamatan lapangan dan interpretasi Citra
jumlah kecil - sangat kecil.
Landsat TM 7, diperkirakan terdapat lebih
Upaya penanggulangan erosi melalui
dari 50.000 ha lahan terbuka sangat rentan
reklamsi lahan tambang telah dilakukan PT
tererosi.
Timah (persero) Tbk dan PT Kobatin di
Kabupaten Bangka memiliki estimasi
berbagai tempat, tetapi belum menunjukkan
luas wilayah tererosi paling besar (18.285
hasil yang optimal, terutama disebabkan
ha), kemudian disusul Kabupaten Bangka
oleh remaining eks lokasi penambangan
Tengah (12.118 ha), Bangka Barat (11.132
timah oleh masyarakat. Skala
ha), Bangka Selatan (8.537 ha) dan Kota
penanggulangan erosi yang dilakukan masih
Pangkalpinang (955 ha). Faktor
dalam skala sangat kecil.
antropogenik (manusia) sebagai penyebab

© Teknik Pertambangan, Univ. Bangka Belitung 3


Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

Sedimentasi panjang aliran sungai utama dan sungai


intermiten mengalami sedimentasi.
Kondisi aliran sungai di Pulau Bangka
Aktivitas penambangan timah disekitar
sangat memprihatinkan. Proses sedimentasi
aliran sungai, terutama yang dilakukan
sungai berintensitas tinggi mudah dijumpai,
masyarakat, menyebabkan perubahan
tingkat perkiraan kondisi sedimentasi tinggi –
bentang alam dan merusak daerah aliran
sedang (kualitatif). Air sungai berwarna
sungai (DAS). Sebagai contoh berdasarkan
keruh oleh suspensi dan sedimen
penelitian Irvani dan Tono (2014), di
menumpuk di dasar sungai. Analisis
Kecamatan Jebus dan Parit Tiga Kab.
mineralogi sample sedimen secara
Bangka Barat terobservasi cukup banyak
mikroskopis menunjukkan kandungan
dijumpai sungai (sungai kecil) yang hilang
mineral kuarsa mencapai >95%, diikuti oleh
serta terpotong alirannya oleh aktivitas
mineral kasiterit dan zirkon serta tourmalin
penambangan. Sebagian kecil sedimentasi
dalam jumlah sangat kecil yang
juga diperkirakan berasal dari pembukaan
menunjukkan endapan sedimen
lahan/hutan untuk sektor perkebunan.
dimungkinkan berasal dari aktivitas
Penanggulangan sedimentasi belum
penambangan timah.
dilakukan. Walaupun pada tempat-tempat
Berdasarkan observasi dan interpretasi
tertentu secara sporadis dilakukan
secara tidak langsung Citra Landsat TM 7
pengerukan sungai yang diusahakan oleh
terhadap luasan area erosi yang berasosiasi
masyarakat dan pemerintah, tetapi skalanya
dengan sedimentasi, dapat diidentifikasi/
masih sangat kecil.
diperkirakan sekitar 70% dari keseluruhan

Gambar 2. Foto lahan tererosi dan tersedimentasi tinggi: (A) Sungai Selan, Kab. Bangka
Tengah, (B) Gn. Muda Belinyu, Kab. Bangka

Bencana Banjir Tanjung dan Kp. Baru menimbulkan


kerugian harta yang besar.
Banjir di Pulau Bangka dalam beberapa
2. Titik banjir di Kabupaten Bangka seperti di
tahun terakhir menunjukkan peningkatan
Kampung Nelayan, Desa Rambak dan Aik
frekuensi. Hampir seluruh wilayah
Anyut Kec. Sungailiat, serta Kp. Gedong
kabupaten/kota memiliki titik banjir dengan
Desa Lumut Kec. Belinyu. Kejadian banjir
kejadian hampir setiap tahun. Tidak tercatat
sering terjadi di Aik Anyut Sungailiat,
adanya korban nyawa manusia, tetapi
sedangkan di Kp. Gedong Lumut
kerugian harta yang ditimbulkan diperkirakan
kejadiannya tergolong besar dan
cukup besar. Luas perkiraan sebaran setiap
menimbulkan kerugian harta yang banyak.
lokasi banjir didapat dari interpolasi topografi
3. Bencana banjir di Kota Pangkalpinang
menggunakan Software ArcGis. Berikut
terjadi setiap tahun, tetapi lebih bersifat
kejadian banjir di Pulau Bangka (Tabel 1):
sebagai genangan. Lokasi kejadian di
1. Kabupaten Bangka Barat mempunyai titik
Kelurahan Bukit Intan dan Jalan Balai.
banjir di Pal 6 dan Kp. Tanjung Kec.
4. Kabupaten Bangka Tengah memiliki
Muntok, Kp. Baru Desa Sinar Manik Kec.
potensi banjir paling banyak, yaitu
Parit Tiga dan Desa Sungai Buluh pada
dijumpai di Desa Alisamit (Sinar Mulia),
Kec. Jebus, serta Desa Mayang Kec.
Gang Beta dan Sungai Air Nibung Kec.
Simpang Teritip. Banjir yang menimpa Kp.
Koba, Kp. Lubuk Lingkuk, SMAN 1 Lubuk,
Lubuk Pabrik, Belingai, dan Desa Sungai

© Teknik Pertambangan, Univ. Bangka Belitung 4


Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

Trubus Kec. Lubuk Besar. Kec. Lubuk 5. Frekuensi banjir di Kabupaten Bangka
Besar memiliki potensi bencana banjir Selatan setiap tahun terjadi di Desa Rawa
paling banyak dengan dampak kerugian Bangun, Suka Damai dan Air Lingga, Kec.
harta paling besar. Toboali. Desa Rawa Bangun sering
ditimpa banjir karena datarannya rendah.

Tabel 1. Rekapitulasi bencana banjir di Pulau Bangka

Luas (ha)
Lokasi Lama kejadian Frekuensi
perkiraan
Kabupaten Bangka Barat
Pal 6 Muntok 1 hari 44,98? 1x dalam 2 tahun
Kp. Tanjung, Muntok 5-12 jam 13,86 setiap tahun
Kp.Baru, Parit Tiga 2-6 jam 23,51 setiap tahun berapa x
Sungai Buluh, Jebus 1 hari 28,69 setiap tahun
Mayang, Simpang Teritip mak 7 jam 4,19 setiap tahun
Pasar, Parit Tiga 1 hari ? setiap tahun
Kabupaten Bangka
Kp. Nelayan, Sungailiat 1- 2 hari 17,64 setiap tahun
Kp. Rambak, Sungailiat 1-3 hari 7,48 1x dalam 3-4 tahun
Aik Anyut, Sungailiat 2 jam - 3 hari ? 1-3 x setahun
Gedong Desa Lumut, Belinyu 1-3 hari 25,87 1x dalam setahun
Kota Pangkalpinang
Bukit Intan, Pangkalpinang Sehari 29,22? 6-7x dalam setahun
Jalan Balai, Pangkalpinang Mak 5 hari 40,88? setiap tahun
Kabupaten Bangka Tengah
Alisamit, Koba Mak 3 hari 20,86 1x dalam 2-3 tahun
Sinar Mulia, Koba 2-3 hari Idem 1x dalam 2 tahun
Lubuk Lingkuk, Lubuk Besar Mak 3 hari 16,42 setiap tahun
Smansa, Lubuk Besar Mak 3 hari 14,33 setiap tahun
Pabrik, Lubuk Besar Mak 3 hari 41,54 setiap tahun
Belingai, Lubuk Besar 1 hari - setiap tahun
Sungai Trubus Mak 3 hari 17,96 setiap tahun
Sungai di Air Nibung Mak 2 hari 21,52 setiap tahun
Gang Beta, Koba 2 hari 51,23? 1x pada tahun 2015
Kabupaten Bangka Selatan
Rawa Bangun, Taboali Mak 3 jam- 1 hari 5,14 3x dalam setahun
Sukadamai, Taboali Mak 3 hari 60,5 setiap setahun ?x
Air Lingga, Taboali 4-5 jam 2,14 setiap tahun
Jalan raya Toboali - Koba berhari-hari ? setiap tahun

Faktor antropogenik (manusia) berperan pengaliran/dranase telah mengalami


besar terhadap bencana banjir. Pada penyempitan dan pendangkalan akibat
umumnya banjir terjadi pada saat curah sedimentasi yang berasal dari penambangan
hujan tinggi di atas normal, sehingga sistem timah, penyumbatan drainase, normalisasi
pengaliran air yang terdiri dari sungai dan sungai, penebangan hutan untuk
anak sungai alamiah serta sistem saluran perkebunan dan penimbunan rawa-rawa
drainase buatan tidak mampu menampung menjadi pemukiman telah berkontribusi
akumulasi air hujan. Sistem besar pada peningkatan debit banjir. Faktor

© Teknik Pertambangan, Univ. Bangka Belitung 5


Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

geogenik (alam) lain yang berperan tetapi kekeringan. Pemahaman dan kesadaran
tidak siknifikan terhadap bencana banjir penduduk untuk menjaga kelestarian hutan
adalah keadaan lokasi banjir umumnya disepanjang aliran sungai masih rendah,
memiliki geomorfologi dataran rendah yang serta manajemen pengelolaan sumberdaya
datar/peneplain, sehingga air hujan sangat air belum diimplementasikan dengan baik.
mudah untuk tergenangkan dan lambat
mengalir. Abrasi Pantai
Penanggulangan bencana banjir tidak
Abrasi pantai terjadi secara luas di Pulau
dilakukan dengan baik. Pada beberapa Bangka. Sekitar sebesar 86 % dari
lokasi dilakukan pengerukan sedimen sungai keseluruhan panjang garis patai mengalami
dan normalisasi aliran sungai, akan tetapi
abrasi pada tingkat tinggi-sedang (kualitatif),
pada beberapa upaya penanggulangan dan hanya sekitar 14 % yang mengalami
semakin memperparah bencana banjir. abrasi tingkat rendah/tidak terabrasi.
Bantuan diberikan secara insidensial pada Wilayah pesisir yang mengalami tingkat
saat kejadian bencana oleh pihak
abrasi tinggi-sedang umumnya memiliki ciri
pemerintah daerah. berforfologi pantai bersudut kearah lautan,
memiliki area pertambangan timah laut
Bencana Kekeringan
disekitarnya atau daerah pesisir tanpa hutan
Kekeringan menimpa seluruh wilayah bakau. Tingkat abrasi rendah/tanpa abrasi
(kota/desa). Pengecualiaan wilayah lembah terdapat pada wilayah pesisir yang masih
sepanjang aliran sungai/dataran rimbun/banyak tumbuhan bakaunya.
rendah/rawa/pesisir pantai, tetapi memiliki Faktor antropogenik merupakan
permasalahan penurunan kualitas, sehingga penyebab utama abrasi. Penambangan
tidak layak sebagai air minum tanpa timah secara serampangan pada daerah
perlakuan khusus. Wilayah perkotaan pesisir pantai mengakibatkan kerusakan
mengalami kekeringan lebih parah dari pantai dan bakau, bahkan terjadi penyusutan
pedesaan. Peta Indeks Risiko Bencana garis pantai ke arah daratan. Berdasarkan
Kekeringan Provinsi Kepulauan Bangka penelitian yang dilakukan Irvani dan Tono
Belitung (BNPB, 2010), menunjukkan hampir (2014) terhadap abrasi di Kecamatan Jebus
semua kabupaten/kota mempunyai resiko dan Parit Tiga, diperkirakan keseimbangan
tinggi, pengecualian Kabupaten Bangka sedimentasi menjadi terganggu oleh aktivitas
Selatan dengan resiko sedang. penambangan timah di lepas pantai. Adapun
Kekeringan menyebabkan sektor faktor geogenik diperkirakan berasal dari
perkebunan (sayuran dan lada), perikanan kenaikan muka laut secara global.
tawar mengalami kerugian. Kekurangan air Penanggulangan abrasi secara parsial
dipenuhi dari sumber lain, seperti kolong telah dilakukan pemerintah, PT Timah
bekas tambang, air sungai, penggalian (Persero) Tbk, PT Kobtin (Persero) Tbk,
sumur baru pada wilyah LSM dan masyarakat dengan pembuatan
pesisir/hutan/sungai/kebun. Sebagian kecil konstruksi penahan ombak di tepi pantai.
penduduk membeli air. Cara lain yang diusahan dengan penanaman
Faktor geogenik (alami) merupakan pohon bakau, akan tetapi skalanya masih
penyebab utama kekeringan. Pemukiman di kecil dan tidak berkesinambungan.
Bangka umumnya tidak dibangun pada
cekungan air tanah (CAT), dan juga Gempa Bumi
diakibatkan faktor musim kemarau yang Pada tahun 2007 yang lalu pada daerah
panjang. Pembukaan lahan untuk
penelitian terjadi peristiwa gempa bumi.
pertambangan dan perkebunan menjadi Berdasarkan arsip rekaman USGS (US
penyebab lain (antropogenik). Geology Survey) (2007), kejadian gempa di
Penanggulangan bencana kekeringan
Kec. Jebus pada tanggal 1 Desember 2007
belum dilakukan. Pemerintah daerah, memiliki magnitude sebesar 4,1 Skala
perusahaan air minum (PDAM) dan Richter pada kedalaman 10 km, dengan
masyarakat sebatas melakukan koordinat 1,626 LS dan 105,577 BT. Tidak
penanggulangan jangka pendek dengan
tercatat adanya korban jiwa saat kejadian.
usaha menyedikan air bersih saat

© Teknik Pertambangan, Univ. Bangka Belitung 6


Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

Berdasarkan data BMG Pusat dan Tg. Adapun penanggulangan longsoran tidak
Pandan, episenter diperkirakan berada di dilakukan dengan baik dikarenakan
perairan Jebus bagian barat, tepatnya kesadaran rendah penambang terhadap
disekitar zona patahan naik yang melalui keselamatan kerja.
Pantai Bembang, Kec. Jebus Kab. Bangka
Barat. Berdasarkan Analisis stereografi Angin Puting Beliung
kekar pada Stasiun Pantai Bembang dan Daerah pesisir Bangka memiliki potensi
Masjid Sungai Buluh, menunjukkan pola
angin puting beliung sangat besar. Tercatat
arah tegasan utama relatif timurlaut- cukup banyak kejadiannya di seluruh
baratdaya. kabupaten dan kota. Kabupaten Bangka
Barat memiliki kejadian angin puting beliung
Longsoran
di Kel. Tg. Kec. Muntok, Kel. Kelapa dan
Pulau Bangka memiliki potensi Desa Kacung Kec. Kelapa. Kab. Bangka
kelongsoran alamiah rendah. Sebagian mempunyai kejadian angin puting beliung di
besar daratan memiliki kemiringan lereng Desa Maras Senang Kec. Bakam, Kampung
kecil dan rendah. Disusun Satuan Bantam Kecamatan Belinyu dan wilayah
Geomorfologi Dataran (peneplain), Pelempang, Desa Air Buluh Kec. Mendo
Geomorfologi Pedataran Agak Landai dan Barat.
Bergelombang, sebagian kecil berupa bukit Kota Pangkalpinang merupakan wilayah
bersatuan Geomorfologi Perbukitan Agak yang relatif jarang dilanda angin puting
Landai - Agak Curam. Formasi batuan beliung, tercatat dua lokasi yang pernah
memiliki daya tahan tinggi terhadap mengalami kejadian angin putting beliung
longsoran. Bukit-bukit disusun oleh batuan yaitu Kel. Temberan dan Air Itam. Kab.
formasi tua terkompaksikan baik (Mangga Bangka Tengah merupakan wilayah paling
dan Djamal, 1994 dan Margono dkk, 1995). sering dilanda angin puting beliung. Menurut
Peta Indeks Risiko Bencana Gerakan data BNPB dari tahun 2007-2015
Tanah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (dibi.bnpb.com) terjadi bencana angin puting
menunjukkan tingkat risiko rendah terhadap beliung sebanyak delapan kali diantaranya di
longsoran tanah (BNPB, 2010). Pada sisi Kel. Padang Mulya dan Desa Penyak Kec.
lain tidak ada data pencatatan kejadian Koba, Desa Keretak dan Keretak Atas Kec.
longsoran yang baik, mengakibatkan sulit Sungaiselan. Kab. Bangka Selatan
menelusuri kerugian/korban yang mempunyai kejadian bencana angin puting
ditimbulkan, karena pada kenyataannya beliung di Kampung Ketapang dan Desa
potensi longsoran membentang luas Suka Damai Kec. Toboali. Kejadiannya
(daratan/lautan) pada lokasi penambangan menimbulkan banyak kerugian berupa
timah, seperti di Kec. Jebus Kab. Bangka kerusakan rumah (ringan - berat) namun
Barat, Kec. Belinyu Kab. Bangka, Kec. tanpa korban jiwa.
Lubuk Kab. Bangka Tengah dan Kec. Air Tabel 2 merupakan rekapitulasi bencana
Gegas Kab. Bangka Selatan. angin puting beliung di Pulau Bangka yang
Aktivitas penambangan timah, kadang- diperoleh berdasarkan survei lapangan dan
kadang menimbulkan korban jiwa catatan berbagai sumber referensi data
penambangnya (tidak tercatat) karena (dibi.bnpb.com, bangkapost, skalanews).
tertimbun tanah di lubang tambang “camui”. Kerugian yang ditimbulkan berupa harta
Penambangan timah laut (TI apung) memiliki benda berupa kerusakan infrastruktur
kontribusi resiko paling tinggi terhadap berupa rumah dan fasilitas umum lainnya
longsoran. Penambangan timah membentuk dengan tingkat kerusakan ringan sampai
lubang bukaan dalam dan terjal pada berat. Tidak tercatat adanya korban jiwa
horizon tanah dan batuan yang belum yang ditimbulkan oleh kejadian angin puting
terkompaksikan, menyebabkan longsoran beliung.
tanah terutama pada musim penghujan.

© Teknik Pertambangan, Univ. Bangka Belitung 7


Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

Tabel 2. Rekapitulasi bencana angin puting beliung di Pulau Bangka

No. Lokasi Kerugian Keterangan


Kapupaten Bangka Barat
20 rumah rusak berat, 29 rumah
1 Kel. Tanjung, Kec. Muntok, November 2013
rusak ringan
16 rumah, 2 gudang ikan, 1
2 Kp. Tanjunglaut, Kec. Muntok gudang minyak mengalami Agustus 2015
kerusakan
3 rumah dan 1 bengkel rusak
berat, 1 rumah dan bengkel
3 Kelurahan Kelapa, Kec. Kelapa April 2015
rusak sedang, dan 2 rumah
rusak ringan
4 Desa Kacung, Kec. Kelapa, 1 rumah rusak parah Juni 2015
Kabupaten Bangka
5 Desa Maras Senang Kec. Bakam 2 rumah rusak September 2015
6 Kampung Bantam Kec. Belinyu September 2015
Pelempang, Desa Air Buluh Kec.
7 8 rumah rusak September 2015
Mendo Barat
Kota Pangkalpinang
Kelurahan Air Itam, Kota 24 rumah rusak, 2 rumah rusak
8 November 2014
Pangkalpinang berat
Kelurahan Temberan Kota 4 rumah rusak, 1 rumah rusak
9 November 2014
Pangkalpinang berat
Kabupaten Bangka Tengah
10 Desa Penyak, Kec. Koba 13 rumah rusak pada atap Mei 2013
55 rumah rusak dengan 10
11 Desa Kretak, Kec. Sungaiselan Juni 2014
diantaranya rusak berat
Bebarapa rumah rusak,
12 Kel. Padang Mulya Kec. Koba kerugian materi ditaksir dalam Januari 2015
ratusan juta
Kabupaten Bangka Selatan
13 Desa Suka Damai, Kec. Toboali 5 unit rumah rusak Oktober 2013
14 Kp. Ketapang, Kec. Toboali 10 unit rumah rusak Desember 2011

Gambar 3. Foto kejadian bencana : (A) Kekeringan sungai di Muntok Bangka Barat, (B)
Abrasi pantai di Jebus Bangka Barat, (B) Angin puting beliung (Bangka Post),
(D) Potensi longsoran di Belinyu Bangka.

© Teknik Pertambangan, Univ. Bangka Belitung 8


Jurnal Promine, Desember 2015, Vol. 3 (2), hal. 1 - 9

4. Kesimpulan Koordinasi Nasional Penanggulangan


Bencana, Jakarta.
Bencana alam (geo-disaster) di Pulau Barber, A.J., Crow, M.J. and De Smet,
Bangka berupa erosi, sedimentasi, banjir, M.E.M. 2005. Tectonic Evolution. In
kekeringan, abrasi, longsoran, angin puting Barber, A.J., Crow, M. J. and Milsom, J. S.
beliung, dan gempa bumi. bencana erosi, (ed.) Sumatra : Geology, Resources and
sedimentasi, kekringan dan abrasi memiliki Tectonic Evolution. Geological Society
sebaran yang luas. Memoir, No. 31.
Faktor utama penyebab/memicu dibi.bnpb.com (diakses pada Desember
bencana erosi, sedimentasi, longsoran, 2015).
abrasi dan banjir akibat aktivitas manusia Irvani dan Tono, E.P.S.B.T., 2014.
(faktor antropogenik) dari penambangan Pemetaan Potensi Bencana Alam (Geo-
timah, perkebunan, perubahan fungsi lahan Disaster) Akibat Penambangan Bijih
rawa menjadi pemukiman. Bencana Timah di Kec. Jebus dan Parit Tiga
kekeringan, banjir, angin puting beliung dan Kabupaten Bangka Barat. Jurnal Promine
gempa bumi disebabkan faktor alam Vol. 2 (1). Pangkalpinang.
(geogenik). Adapun untuk bencana banjir John, A. Howard., 1996. Pengindraan Jauh
dan kekeringan juga dipengaruhi faktor Untuk Sumber Daya Hutan, Teori dan
antropogenik. Aplikasi. Gajah Mada University Press.
Jogjakarta.
Ucapan Terimakasih Mangga, A.S. dan Djamal, B. 1994. Peta
Geologi Lembar Bangka Utara, Sumatra.
Kami sampaikan terimakasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan
RISTEKDIKTI yang telah mensponsori Geologi, Bandung.
penelitian “Studi Pendahuluan Potensi Margono, U., Supandjono, R.J.B. dan
Bencana Alam (Geo-Disaster) di Pulau Partoyo, E., 1995. Peta Geologi Lembar
Bangka”, demikian juga diucapkan terima Bangka Selatan, Sumatra. Pusat
kasih kepada semua pihak yang telah Penelitian dan Pengembangan Geologi,
membantu. Bandung.
Prahasta, E., 2001. Konsep-Konsep Dasar
Sistem Informasi Geografis. Penerbit
informatika Bandung.
Rachmat, A., 2006. Manajemen dan Mitigasi
Bencana. Badan Penanggulangan
Lingkungan Hidup (BPLHD) Propinsi Jawa
Barat.
Undang - Undang Republik Indonesia
Daftar Pustaka Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
BNPB, 2010, Rencana Nasional USGS, 2007: earthquake.usgs.gov (diakses
Penanggulangan Bencana 2010-2014. pada Desember 2015).
Badan Nasional Penanggulangan Van Bemmelen, R.W., 1970. The Geology of
Bencana, Jakarta. Indonesia. General Geology Volume I A.
BNPB, 2011, Indeks Rawan Bencana Martinus Nighoff, The Hague, Netherland.
Indonesia, Direktorat Pengurangan Risiko Van Gorsel, J.T., 2012. Sundaland :
Bencana, Badan Nasional Bibliography of The Geology of Indonesia
Penanggulangan Bencana, Jakarta. and Surrounding Areas. Edition 4.1.,
BNPB, 2012, Tanggap Tangkas Tangguh Bibliography of Indonesian Geology.
Menghadapi Bencana. Badan Nasional www.bangkapost.com (diakses pada
Penanggulangan Bencana, Jakarta. Novemver 2015).
BAKORNAS PB, 2007. Pengenalan www.skalanews.com (diakses pada
Karakteristik Bencana dan Upaya November 2015).
Mitigasinya di Indonesia. Badan

© Teknik Pertambangan, Univ. Bangka Belitung 9


Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

Kajian Risiko Bencana Kekeringan Di Kabupaten Cianjur

M.Galih Permadi1, dan Agung Adiputra2


1
Fakultas Teknik Pertanian Universitas Musamus Marauke.
2
Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Institut Pertanian Bogor.

*E-mail: galih@unmus.ac.id
Received: 09 10 2018 / Accepted: 11 12 2018 / Published online: 17 01 2019

ABSTRAK
Kejadian kekeringan merupakan masalah rutin di Kabupaten Cianjur yang perlu di
tanggulangi melalui persiapan dan perencanaan. Penanggulangan kekeringan dapat
diumlai dengan kajian risiko bencana, sehingga dapat mengurangi tingginya dampak
kerugian. Kajian risiko bencana merupakan penilaian (assessment) pra bencana yang
dilakukan dengan metode analisis keruangan melalui pemberian skor pada setiap
parameter berdasarkan pada kontribusi relatif terhadap kekeringan. Parameter yang
dipergunakan adalah curah hujan, ketersediaan sumber air, penggunaan lahan, jenis
tanah dan kemiringan lereng. Hasil analisis menunjukkan wilayah dengan kelas bahaya
tinggi seluas 23.263,4 ha, dan wilayah dengan tingkat bahaya sedang seluas 314.145,6
ha. Kekeringan umumnya terjadi di wilayah bagian selatan dan tenggara Kabupaten
Cianjur yang lebih dekat ke arah laut. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah
topografi wilayah yang tidak terjangkau pasokan air dari pegunungan, dan curah hujan
yang lebih rendah dari wilayah utara. Wilayah yang memiliki kerentanan tinggi adalah
Kecamatan Cidaun, Kecamatan Takokak, Kecamatan Sukaresmi, dan Kecamatan Naringgul.
Keterpaparan menurut jarak dari ibukota kabupaten Cianjur adalah wilayah Karang Tanah
sebagai yang terluas, disusul oleh Kecamatan Pacet dan Kecamatan Cibeber.

Kata Kunci: Risiko Kekeringan, Bahaya, Kerentanan, dan Keterpaparan.

ABSTRACT
Drought is a routine problem in Cianjur Regency that needs to be addressed through
preparation and planning. Counter measures begin with disaster risk assessment, so as
to reduce the impact of losses that are too severe. Disaster risk assessment is a pre-
disaster assessment carried out using spatial methods through weighted overlays and
scoring of parameters based on contributions relative to drought. The results of the
analysis show areas with hazard class highest covering an area of 23,263.4 ha and
areas with moderate hazard levels covering an area of 314,145.6 ha. Drought is
generally in the south and southeast of Cianjur Regency which is closer to the sea.
Some of the factors that affect it are the topography of the area that is not affordable,
the water supply from the mountains and lower rainfall from the northern region. Areas
with high vulnerability are Cidaun Subdistrict, Takokak District, Sukaresmi District,
and Naringgul District. Exposure according to distance from the town center of Cianjur

34
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

district is the Karang Tanah area as the widest, followed by the Pacet District and
Cibeber District.

Keywords: Risk of Drought, Hazard, Vulnerability, and Exposure.

PENDAHULUAN penanggulangan melalui analisa kerawa-


Musim kemarau identik dengan nan, sehingga dapat ditentukan langkah
kondisi berkurangnya curah hujan, jika tepat dalam mengurangi dampak kerugian
kondisi curah hujan pada musim kemarau yang terlalu parah. Kajian risiko bencana
berlangsung lebih panjang dari normalnya kekeringan Kabupaten Cianjur menjadi
atau curah hujan berada di bawah normal, modal utama dalam penanganan bencana
maka dipastikan pada beberapa wilayah ini. Kajian risiko bencana di kabupaten
seperti di Jawa Barat terjadi kekeringan. Cianjur ini bertujuan untuk memetakan
Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah bahaya kekeringan pertanian dan
yang rawan mengalami kekeringan melakukan analisis kerentanan dan me-
meteorogi dan kelangkaan air bersih. metakan risiko kekeringan di Cianjur.
Kondisi tersebut berdampak lanjut pada
menurunnya ketersediaan air untuk METODE PENELITIAN
kebutuhan konsumsi masyarakat, maupun Penelitian kajian risiko bencana
untuk pertanian. Menurut World kekeringan ini merupakan penelitian
Meteorological Organization (2012) kewilayahan bersifat kuantitaif dengan
dalam Supratono (2016), kekeringan data yang tidak diambil langsung dari
merupakan salah satu variasi iklim yang lapangan atau secara sekunder
lazim, dan dapat terjadi di segala zona menggunakan metode analisis spasial.
iklim. Data spasial sekunder diperoleh dari
Rata-rata kejadian bencana di penyedia data maupun pewali data resmi.
Indonesia selama tahun 2002–2016, Untuk mengetahui keabsahan hasil
menunjukkan bahwa kekeringan menem- penelitian dilakukan survey lapangan.
pati urutan ke dua yaitu setelah kejadian
banjir, dengan rata-rata kejadian sebanyak Waktu dan Lokasi Penelitian
156 kejadian per tahun (BNPB, 2016). Kajian Risiko bencana kekeringan
Data indeks bencana BNPB 2016 ini dilakukan di Kabupaten Cianjur,
mencatat kekeringan di Kabupaten Provinsi Jawa Barat dengan Luas wilayah
Cianjur pernah terjadi pada 2014, 50 daratan 3.501,48 Km2. Kabupaten Cianjur
persen wilayah pertanian atau lebih dari terdiri dari 32 kecamatan dan terbagi
1.500 hektar areal persawahan mengalami menjadi 348 desa. Kajian ini dilakukan
kekeringan akibat curah hujan yang dari bulan Januari hingga Juli 2017.
sangat rendah. Kekeringan meteorologi
pada saat itu telah menjalar menjadi Alat dan Bahan
kekeringan hidrologi dan pertanian. Bahan yang digunakan dalam
Beberapa wilayah yang merupakan daerah penelitian ini berkaitan dengan lokasi
rawan kekeringan adalah Kecamatan serta kajian kekeringan yang ada di
Agrabinta, Cidaun, Tanggeung, Kadu- Kabupaten Cianjur. Bahan penelitian
pandak, Pasirkuda, Cianjur, Karang berupa peta penggunaan lahan kabupaten
tengah, Sukaresmi, dan Haur-wangi. Cianjur tahun 2014, peta curah hujan
Kejadian kekeringan merupakan Kabupaten Cianjur, peta tanah, peta
masalah rutin yang membutuhkan jaringan sungai dan drainase serta bahan

35
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

lain yang dapat menunjang analisis semua parameternya harus sam-sama


kekeringan seperti data kependudukan memiliki total skala 100.
untuk menganalisis kondisi kerentanan Penentuan kriteria dan bahaya
akibat kekeringan. Alat yang digunakan kekeringan di Kabupaten Cianjur,
dalam kajian ini adalah laptop dengan dilakukan penentuan parameter penyebab
perangkat lunak Arcgis 10 dengan kekeringan dan memberikan masing-
kemampuan raster calculator yang mampu masing parameter tersebut bobot. Pada
menghitung nilai data spasial dan penelitian ini diperoleh 5 parameter yang
Microsoft Office Excel. paling berpengaruh terhadap bahaya
kekeringan. 5 parameter tersebut
Teknik Analisis Data diantaranya: Curah hujan, penggunaan
Analisis Bahaya lahan, sumber air (jaringan irigasi), jenis
Analisis data dalam perhitungan tanah, dan elevasi (kemiringan lereng).
bahaya kekeringan dilakukan analisis Parameter yang digunakan untuk
pembobotan data raster (weighted menetukan bahaya kekeringan mengambil
overlay). Data raster dengan satuan pixel acuan yang disusun oleh Syarif (2013)
diberikan skor dan pembobotan setiap dan Darojati (2015) yang dimodifikasi
pixel akan memiliki nilainya masing- kembali sesuai dengan ketersediaan data
masing. Tumpang tindih data raster yang ada.
menggunakan skala bobot sesuai Penilaian (assesment) dilakukan
kepentingannya sebagai parameter dengan cara pembobotan dan pemberian
analisis dalam ini. skor terhadap parameter yang digunakan
Penggunaan Weighted Overlay dan didasarkan pada kontribusi relatif tiap
memiliki beberapa persyaratan dian- parameter (besarnya potensi) tiap
taranya: parameter terhadap kekeringan.
1. Data raster yang di input harus Pembobotan pada penelitian ini merujuk
memiliki nilai integer. Suatu data pada rumusan yang digunakan oleh Ikra
raster floating-point atau yang (2012) dalam BNPB (2016) sebagai
memiliki nilai pecahan desimal berikut :
terlebih dahulu harus dikonversi ke
raster bilangan bulat, sebelum dapat Wj = n – rj +1
digunakan dalam pengoolahan data ∑(n – rj + 1)
secara weighted overlay. Perangkat
reklasifikasi yang terdapat pada Wj adalah nilai bobot yang dinormalkan,
software Arcgis 10 menyediakan cara n adalah jumlah parameter (1,2,3...n) dan
yang efektif untuk melakukan rj adalah posisi urutan parameter. Skor
konversi data menjadi integer. parameter indeks bahaya kekeringan
2. Setiap kelas nilai dalam raster yang di dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2:
input diberi nilai baru berdasarkan
pada skala evaluasi. Tabel 1. Skor masing-masing parameter
3. Setiap raster yang di input untuk Parameter Kelas Skor/Kelas
Curah
penimbang diberi skor menurut Hujan
>3000 1
kepentingan atau tingkat (mm/thn) 2500 - 3000 2
pengaruhnya. Bobot adalah <2500 3
persentase relative atau jumlah dari Penggunaan Tubuh Air, Hutan dan
1
persentase pengaruh bobot yang Lahan Semak Belukar
Perkebunan, Pertanian
2
Lahan Kering

36
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

Sawah, Pemukiman, menghasilkan risiko kekeringan.


Lahan Terbangun dan 3
Terbuka, Tegalan
Kerentanan yang di analasis adalah
Sumber Air 0 – 250 m 1 kerentana sosial dan ekonomi (Tabel 3).
(Jaringan
250 – 500 m 2
Sungai) Tabel 3. Indikator dalam menentukan
>500 m 3
Tanah Inceptisols, vertisols 1
kerentanan sosial di Kabupaten Cianjur.
Kerenta Indikator Kelas Skor Bobot
Ultisols, alfisols 2 nan Indeks
Entisols, Andisols 3 Seks rasio Rendah 1
Elevasi/ Sedang 2 10
0 – 8% 1
Lereng Tinggi 3
8 – 15% 1 Kepadatan Rendah 1
Kerentan penduduk
15 – 25% 2 30
an Sosial Sedang 2
25 – 40% 3 Tinggi 3
>40% 3 Usia rentan Rendah 1
Sedang 2 10
Tinggi 3
Tabel 2. Bobot Parameter Indeks Bahaya PDRB Hutan 1
Kekeringan Tanaman
Parameter Kelas Nilai Nor- Bobot Industri
Kepentingan Bobot malisasi (HTI)
dan
Curah Hujan 1 5 33 perkebun
Penggunaan an
2 4 27 Kerentan
Lahan Pertanian 2
an 50
Sumber air 3 3 20 lahan
Ekonomi
Jenis Tanah 4 2 13 kering
dan
Elevasi/Lereng 5 1 07 sawah
Pertanian 3
lahan
Analisis bahaya kekeringan kering
melalui weighted overlay mengacu pada campuran
rumusan Hadmoko et al (2010), seperti Sumber : BNPB, 2016
berikut di bawah ini:
Terdapat 3 parameter dalam
LS = ∑ {W (a) + W (b) + W (c)} kerentanan sosial dan hanya 1 paramater
..............................+ W (n) dalam kerentanan ekonomi, namun
dimana LS adalah bahaya kekeringan, demikian dalam penelitian ini bobot di
a,b,c….n adalah subparameter kekeringan bagi merata pada 2 kerentanan tersebut,
dan W adalah bobot parameter yang dengan 50% pada kerentanan sosial dan
dinormalkan. Tingkat bahaya kekeringan 50% pada kerentanan ekonomi.
dikategorikan menjadi 3 zona yaitu zona
Kerentanan = 10 (SR) + 30 (KP) + 10
aman, sedang dan tinggi, dan penentuan
kelas bahaya didasarkan pada nilai (UR) + 50 (PDRB)
interval yang diperoleh dari persamaan Atau
sebagai berikut (Dibyosaputro, 1999)
yaitu: Kerentanan = 50% kerentanan Sosial +
Interval Kelas = Nilai Tertinggi – Nilai Terendah Interval
50% Kerentanan Ekonomi
Jumlah Kelas
Keterangan:
Analisis Kerentanan SR = Seks rasio
KP = Kepadatan penduduk
Pada analisis kerentanan terdapat UR = Usia rentan
2 kerentanan yang dihitung untuk

37
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

PDRB (kerentanan ekonomi, semakin padatnya penggunaan lahan


khususnya di sektor Hutan pemukiman sehingga dapat diasumsikan
Tanaman Industri (HTI) dan pada wilayah tersebutlah kelas tertinggi
perkebunan, Pertanian lahan dari keterpaparan.
kering dan sawah Pertanian lahan
Analisis Risiko Kekeringan
kering campuran)
Analisis risiko kekeringan adalah
hasil interaksi antara bahaya (hazard),
Hasil dari peta juga akan kerentanan dan keterpaparan. Hasil
dikelaskan menggunakan pembagian analisis bahaya, kerentanan serta
interval yang tertera pada analisis bahaya. keterpaparan yang sebelumnya telah
dilakukan, selanjutnya ditumpang
Analisis Keterpaparan tindihkan untuk mengetahui nilai risiko
bencana kekeringan di wilayah tersebut.
Peta keterpaparan pada dasarnya Formulasi yang digunakan untuk
dihasilkan dari aspek politis yang mendapatkan risiko kekeringan adalah:
mengutamakan kepentingan satu daerah
atas daerah lainnya berdasarkan situs, R=HxVxE
fasilitas berharga, pusat administrasi, Keterangan
ataupun hal penting lainnya. Adanya R = Risk / risiko
keterbatasan data terhadap situs maupun H = Hazard /bencana
V = Vulnerability /kerentanan
fasilitas penting, analisis keterpaparan E = Keterpaparan
hanya dilakukan dengan pendekatan
wilayah administrasi terpenting yaitu Untuk memudahkan kelas risiko
Ibukota Kabupaten Cianjur. Rentang yang bencana, masing-masing peta dibobot,
digunakan untuk kelas keterpaparan dapat karena pada dasarnya peta bahaya,
dilihat pada Tabel 4: kerentanan, dan keterpaparan masing-
Tabel 4. Rentang kelas keterpaparan
masing sudah memiliki kelas. Rumusan
dan bobot yang digunakan adalah sebagai
No Kelas Rentang/jarak
dari ibukota
berikut:
1 Kelas tiga/tinggi 15 kilometer
2 Kelas dua/sedang 15 – 30 kilometer
3 Kelas satu/rendah >30 kilometer R = 35 (H) + 35 (V) + 30 (E)
Tabel 5. Elemen Risiko Bencana Kekeringan
Dari tabel 4, diasumsikan bahwa Elemen Risiko Kelas Skor Bobot
semakin dekat wilayah tersebut dengan Peta Bahaya
Rendah 1
Sedang 2 35
ibukota kabupaten, maka semakin tinggi Kekeringan
Tinggi 3
pula tingkat keterpaparan wilayah Tidak rentan 0
tersebut. Rentang kelas keterpaparan Rendah 1
Peta Kerentanan 35
Sedang 2
dibuat dengan menggunakan buffer, Tinggi 3
kemudian hasilnya di- masukan pada skor Nol 0
parameter pemukiman. Asumsi yang Peta Rendah 1
30
Keterpaparan Sedang 2
dibangun adalah pemukiman dengan tinggi 3
berbagai pusat ekonomi merupakan objek
vital yang menjadi prioritas. Kedekatan
dengan pusat pelayanan menyebabkan

38
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

HASIL DAN PEMBAHASAN


Curah Hujan
Berdasarkan data rata-rata tahunan
stasiun curah hujan periode 1995-2015
sekitar wilayah Kabupaten Cianjur rata-
rata tahunan di Kabupaten Cianjur
berkisar antara 2.500-4000 mm dengan
jumlah hari hujan 150 hari pertahun.
Curah hujan tertinggi (>4000 mm/tahun)
terkonsentrasi di kawasan Gunung Gede
bagian barat, di sekitar Cipanas. Adapun
suhu udara Kabupaten Cianjur berkisar
antara 15o. Suhu terendah terjadi di
Cianjur bagian utara dan suhu tertinggi
terjadi di Cianjur bagian selatan.
Berdasarkan klasifikasi Oldeman, zona Gambar 1. Distribusi Curah Hujan Kab.
agroklimat di Kabupaten Cianjur dapat Cianjur
dikelompokkan berdasarkan kondisi Jenis Tanah
fisiografinya, yaitu: (a) pada satuan Bahan induk tanah di wilayah
dataran rendah dengan ketinggian <500 m Kabupaten Cianjur sebagian besar
dpl, temperatur udara berkisar antara terbentuk dari batuan beku dan sedimen.
25.8o-27.2o C, curah hujan antara 1.000- Tanah-tanah yang dijumpai di Kabupaten
4.500 mm/tahun, hujan tersebar merata, Cianjur diantaranya Alfisols, Andisols,
jumlah bulan basah antara 3-9 bulan Entisols, Inceptisols, Ultisols, dan
basah per tahun; (b) pada satuan dataran Vertisols (Gambar 2).
tinggi dengan ketinggian >500 mdpl,
temperatur udara rerata 22oC, curah hujan
antara 3.000-4.000 mm/tahun, dan >9
bulan basah.
Iklim di Kabupaten Cianjur
termasuk iklim tropis. Musim kemarau
dimulai antara bulan April sampai Mei,
dan memuncak pada bulan Juni sampai
Agustus. Musim hujan dimulai pada bulan
November atau Desember dengan angin
barat dan barat laut yang berubah-ubah.
Peralihan musim atau musim pancaroba
terjadi pada bulan April dan Oktober.
Rerata curah hujan selama 10 tahun
terakhir sebesar 2.904 mm/tahun, dan
jumlah hari hujan rata-rata 231 hari/tahun.
Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada Gambar 2. Peta Jenis Tanah
bulan Mei dengan rata-rata 584 mm/ Kabupaten Cianjur
bulan dalam 23 hari hujan. Curah hujan
terendah terjadi pada bulan Agustus
dengan rata-rata 47 mm/tahun dalam 16
hari hujan (Gambar 1).

39
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

Penggunaan Lahan Selanjutnya, dilakukan analisis


tumpang tindih dengan menggunakan
Beberapa penggunaan lahan yang
masing-masing nilai dan bobot dari
dijumpai di Kabupaten Cianjur
parameter. Nilai hasil dari overlay
diantaranya hutan seluas 63.633 ha,
tersebut di bagi menjadi 3 kelas. Hal ini
pemukiman seluas 28.404 ha, perkebunan
dikarenakan pembagain kelas bahaya
seluas 44.151 ha, pertanian lahan kering
kekeringan di Kabupaten Cianjur
seluas 125.185 ha, sawah seluas 67.380
dilakukan dengan membagi kepada kelas
ha, semak belukar seluas 28.430 ha dan
rendah, sedang dan tinggi. Berikut peta
tubuh air dengan luas 2.688 ha (Gambar
sebaran bahaya (hazard) kekeringan di
3).
Kabupaten Cianjur (Gambar 4).

Gambar 4. Sebaran wilayah rawan


Gambar 3. Peta Penggunaan Lahan
Kekeringan di Kabupaten Cianjur
Kabupaten Cianjur

Bahaya Kekeringan Berdasarkan peta di atas,


diperoleh luasan wilayah kekeringan di
Penilaian bahaya berdasarkan Cianjur dengan bahaya kekeringan kelas 3
bobot dan skor yang dilakukan dalam atau tertinggi seluas 23.263,4 ha, bahaya
analisis ini adalah: kekeringan kelas 2 atau sedang seluas
314.145,6 ha dan wilayah dengan
Bahaya kekeringan = 33 (CH) + 27 (PL)
kekeringan kelas 1 atau rendah seluas
+ 20 (TNH) + 13 (SA) + 7 (LRG)
22.452,6 ha. Bahaya kekeringan di
Keterangan: masing-masing kecamatan dapat dilihat
CH = Curah Hujan pada tabel 6:
PL = Penggunaan Lahan
Tabel 6. Bahaya kekeringan pada masing-
SA = Sumber air masing kecamatan di Kabupaten Cianjur
TNH = Jenis Tanah
LRG = Lereng Bahaya Bahaya Bahaya
Kecamatan Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
Agrabinta 1589.25 18091.40 25.01

40
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

Bojongpicung 75.69 8727.90 6.20 kerentanan ekonomi seperti perhitungan


Campaka 2466.08 11821.86 44.26 berikut.
Campakamulya 543.03 6785.65 72.78
Kerentanan = 10 (SR) + 30 (KP) + 10 (UR) +
Cianjur 456.52 2152.07
50 (PDRB)
Cibeber 1140.49 10784.44 514.85
Atau
Cibinong 55.57 18244.42 5183.64
Kerentanan = 50% kerentanan Sosial + 50%
Cidaun 23086.57 6755.55
Kerentanan Ekonomi
Cijati 220.40 4614.60 18.00
Keterangan:
Cikadu 84.03 17586.98 1148.55 SR = Seks rasio
Cikalongkulon 1589.38 12259.71 5.83 KP = Kepadatan penduduk
Cilaku 294.65 4946.55 UR = Usia rentan
Cipanas 900.49 5775.30 31.05
PDRB (kerentanan ekonomi, khususnya
di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI)
Ciranjang 38.92 3084.05 dan perkebunan Pertanian lahan kering
Cugenang 1379.12 6213.36 3.19 dan sawah Pertanian lahan kering
Gekbrong 824.33 4221.23 0.24 campuran)
Haurwangi 147.15 4291.43 36.09
Kadupandak 1045.84 9175.74 213.01 Gambar 5 merupakan diagram
Karangtengah 187.44 4654.02 bagaimana peta kerentanan sosial dan
Leles 255.73 10100.92 1046.60 ekonomi diperhitungkan sebagai
Mande 648.77 8242.78 27.38 parameter dalam risiko bencana
Naringgul 5.64 23705.28 4311.60 kekeringan.
Pacet 863.11 3296.47 0.36
Pagelaran 1017.97 18753.44 130.14
Pasirkuda 8814.06 2666.40
Sindangbarang
Sukaluyu
24.54
210.44
15530.90
4486.11
803.61
+
Sukanagara 2859.64 14504.12
Sukaresmi 1881.67 7264.89 44.38
Takokak 330.89 13743.55 94.91
Tanggeung 307.74 5583.66 75.13 Kerentanan Kerentanan
Warungkondang 983.87 3526.39 0.18 Ekonomi Sosial
Kerentanan
Analisis kerentanan di Kabupaten Gambar 5. Peta Kerentanan Ekonomi dan
Cianjur menggunakan parameter seks Kerentanan Sosial
rasio, kepadatan penduduk, usia rentan Hasil analisis tumpang tindih dari
dan PDRB di Kabupaten Cianjur. Namun, penjumlahan nilai kerentanan ekonomi
fokus penelitian ini hanya pada dua dan kerentanan sosial adalah kerentanan
kerentanan saja, yaitu kerentanan total. Hasil dapat dilihat pada Gambar 6.
ekonomi dan kerentanan sosial. Terdapat
3 parameter dalam kerentanan sosial dan
hanya 1 paramater dalam kerentanan
ekonomi, namun demikian dalam
penelitian ini bobot di bagi merata pada 2
kerentanan tersebut, dengan 50% pada
kerentanan sosial dan 50% pada

41
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

Cianjur. Cakupan wilayah yang


digunakan adalah 15 km untuk kelas 3, 15
sampai 30 km untuk kelas 2 dan lebih dari
30 km untuk kelas 3. Keterpaparan hanya
mengambil area pemukiman sehingga di
luar area pemukiman wilayah tersebut
dianggap tidak memiliki kelas
keterpaparan. Hasil dari pemetaan
keterpaparan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 6. Kerentanan di Kabupaten Cianjur

Berdasarkan Gambar 6,
kerentanan tertinggi berada pada wilayah
Kecamatan Cidaun dengan luas wilayah
9384 ha, Kecamatan Takokak seluas
6647,3 ha, Kecamatan Sukaresmi seluas
5786 ha dan Kecamatan Naringgul
dengan luas 4454,8 ha. Apabila dicermati,
pembobotan kerentanan sangat
dipengaruhi oleh kerentanan ekonomi
dengan parameter Hutan Tanaman
Industri (HTI) dan perkebunan Pertanian
lahan kering dan sawah Pertanian lahan
kering campuran. Area-area ini umumnya
sangat luas hingga hampir mencakup Gambar 7. Peta Keterpaparan di Kabupaten
seluruh wilayah Cianjur, berbeda dengan Cianjur
kerentanan sosial yang hanya terfokus Wilayah dengan keterpaparan
pada wilayah-wilayah pemukiman. terluas adalah Kecamatan Karang Tengah
Keterpaparan seluas 1645,9 ha, Kecamatan Pacet seluas
Seperti yang telah dikemukakan 1541,6 ha, dan Kecamatan Cibeber seluas
dalam metodologi, keterpaparan pada 1378,6 ha.
dasarnya dihasilkan dari aspek politis Risiko Bencana Kekeringan
yang mengutamakan kepentingan satu
daerah atas daerah lainnya berdasarkan Berdasarkan hasil perhitungan
situs, fasilitas berharga, pusat risiko kekeringan, beberapa daerah yang
administrasi, ataupun hal penting lainnya. memiliki tingkat risiko tinggi adalah
Adanya keterbatasan data terhadap situs Kecamatan Cidaun dengan luas 2640,3
maupun fasilitas penting, analisis ha, Kecamatan Karangtengah dengan luas
keterpaparan hanya dilakukan dengan 1606 ha, Kecamatan Cilaku dengan luas
pendekatan wilayah administrasi 1295,9 ha, dan Kecamatan Cianjur
terpenting yaitu Ibukota Kabupaten dengan luas 1274,6 ha. Berdasarkan luas
wilayah risiko kekeringan, Kecamatan

42
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

Cidaun menjadi daerah yang paling luas, Tabel 7. Risiko kekeringan pada masing-
hal ini tidak terlepas dari wilayahnya yang masing kecamatan di Kabupaten Cianjur
memang cukup besar di banding No Kecamatan kelas 1 kelas 2 kelas 3
kecamatan-kecamatan yang berapa di 1 Agrabinta 1623.3 18032.2
daerah utara. Pada wilayah utara wilayah 2 Bojongpicung 90.0 7644.1 1071.0
administrasi relatif lebih kecil, namun 3 Campaka 1286.2 12999.2 3.7
demikian sebaran risiko sebenarnya lebih
4 Campakamulya 151.3 7243.6
tinggi dari wilayah tenggara (Gambar 8).
5 Cianjur 11.4 1322.6 1274.6
6 Cibeber 194.3 12235.8 0.2
7 Cibinong 386.7 23095.0 1.6
8 Cidaun 6941.8 20255.7 2640.3
9 Cijati 89.0 4763.3
10 Cikadu 3819.1 14972.1 28.2
11 Cikalongkulon 2500.0 10181.8 793.1
12 Cilaku 7.5 3937.8 1295.9
13 Cipanas 1666.7 3805.7 1211.2
14 Ciranjang 59.5 1980.9 1082.6
15 Cugenang 887.7 6701.2 3.3
16 Gekbrong 833.7 4192.5 0.2
17 Haurwangi 582.5 3889.7 0.6
18 Kadupandak 518.9 9875.7 37.7
19 Karangtengah 9.6 3225.6 1606.2
20 Leles 1037.7 10365.5

Gambar 8. Peta Risiko Bencana Kekeringan 21 Mande 757.0 6907.9 957.4


Di Kabupaten Cianjur 22 Naringgul 8050.0 18983.7 981.6
23 Pacet 587.1 3245.3 327.6
Wilayah utara Cianjur sebenarnya
24 Pagelaran 1204.6 18679.8
memiliki tingkat bahaya kekeringan yang
25 Pasirkuda 565.7 10703.4 210.7
relatif rendah dan sedang. Hasil analisis
26 Sindangbarang 3938.8 12409.2 3.4
risiko menunjukkan bahwa daerah
27 Sukaluyu 44.7 3522.5 1129.4
tersebut memiliki sebaran risiko yang
28 Sukanagara 3686.9 13662.4
tinggi di banding wilayah lain. Beberapa
29 Sukaresmi 412.9 8077.5 691.5
faktor yang mempengaruhi besarnya
30 Takokak 635.5 13400.3 40.2
risiko di wilayah utara adalah adalah
31 Tanggeung 492.7 5473.7 0.1
posisi wilayah yang cenderung padat dan
32 Warungkondang 474.8 4033.0 1.3
menjadi pusat ibu kota kabupaten,
Total 43547.7 299818.8 15393.5
sehingga kerentanan dan keterpaparan
menjadi lebih tinggi. Peta kerentanan dan
Kesimpulan
keterpaparan dominan mempengaruhi
Berdasarkan hasil penelitian,
wilayah tersebut. Sebaran risiko
meskipun curah hujan di wilayah
kekeringan masing-masing kecamatan di
Kabupaten Cianjur termasuk kategori
Cianjur dapat dilihat pada tabel 7.
tinggi, masih terdapat beberapa daerah
yang memiliki potensi tingkat risiko

43
Jurnal Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL) Vol. 3, No. 1, Januari 2019:34-44
P-ISSN: 2579–8499; E-ISSN: 2579–8510
DOI: https://doi.org/10.29405/jgel.v3i1.2991
Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel

kekeringan tinggi. Hasil dari analisis Darojati, N.W. 2015. Pemantauan Bahaya
weighted overlay menunjukkan wilayah Kekeringan dan Analisis Risiko
yang masuk ke kelas rawan 3 (tertinggi) Kekeringan di Kabupaten
seluas 23.263,4 ha dan wilayah dengan Indramayu. Tesis. Institut
tingkat rawan sedang seluas 314.145,6 ha. Pertanian Bogor (ID). Bogor
Kekeringan umumnya berada di wilayah
Handoko. 1994. Klimatologi Dasar.
selatan dan tenggara Cianjur yang lebih
Jakarta (ID): Pustaka Jaya.
dekat ke arah laut. Beberapa faktor yang
mempengaruhi adalah topografi wilayah Husein Z. 2014. Analisis Kerentanan dan
yang tidak terjangkau pasokan air dari Risiko Banjir Terhadap Pertanian
pegunungan dan curah hujan yang lebih di Kabupaten Gorontalo. Tesis
rendah dari wilayah utara. Institut Pertanian Bogor (ID).
Bogor
Pada peta kerentanan, hasil yang
diperoleh didominasi oleh kerentanan Suprtono D. 2016 Pendugaan Potensi
ekonomi dengan PDRB pertanian sebagai Kekeringan Meteorologis Terha-
parameternya. Wilayah yang memiliki dap Kebakaran Hutan dan Lahan
kerentanan tinggi adalah Kecamatan dengan Metode Indeks Presi-
Cidaun, Kecamatan Takokak, Kecamatan pitasi Terstandarisasi di Kabu-
Sukaresmi, dan Kecamatan Naringgul. paten Banjar, Enviro Scienteae
Peta keterpaparan hanya dinilai Vol. 12 No. 3, Nopember 2016
dari 1 parameter yaitu jarak dari ibukota p.194-206 Universitas lambung
kabupaten Cianjur. Berdasarkan penilaian mangkurat (ID). Kalimantan
ini wilayah Karang Tanah menjadi Selatan.
wilayah dengan keterpaparan terluas,
disusul oleh Kecamatan Pacet dan World Meteorological Organization
Kecamatan Cibeber. (WMO). (2012). International
Glossary of Hydrology, WMO
no.385. Secretariat of the World
Meteorological Organization.
DAFTAR PUSTAKA
World Meteorological Orga-
Arifin Z. 2010. Pola Spasial Kerentanan nization. (2012). Standardized
Bencana Alam (Studi Kasus Precipitation Index User Guide.
Kabupaten Cianjur). Universitas WMO-No.090. Geneva, (iD).
Indonesia (ID). Jakarta Yudarwati. 2016. Perubahan Penggunaan
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Lahan dan Arahan Pen-
Bencana. 2012. Pedoman Umum gendaliannya di Kabupaten
Pengkajian Risiko Bencana. Bogor dan Cianjur. Insttitut
Jakarta (ID): BNPB Pertanian Bogor. Bogor

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan


Bencana. 2016. Indeks Rawan
Bencana Indonesia Tahun 2016.
Jakarta (ID): BNPB.

44
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 47-57
MITIGASI, KESIAPSIAGAAN, DAN ADAPTASI MASYARAKAT
TERHADAP BAHAYA KEKERINGAN, KABUPATEN GROBOGAN
(Implementasi Sebagai Modul Konstektual Pembelajaran Geografi SMA
Kelas X Pokok Bahasan Mitigasi Bencana)

Dwi Hastuti1, Sarwono 2, Chatarina Muryani3


Email: dwie.dh@gmail.com

ABSTRACT
Mitigation, preparedness, and public adaptation for drought hazard in Grobogan regency
(implementation as a contextual learning module of High School Geography Class X in the disaster
mitigation subject). Postgraduate thesis. Supervisor I: Dr. Sarwono, M.Pd, II: Prof. Dr. Chatarina Muryani,
M.Si. Graduate Program in Population and Environmental Education. Sebelas Maret University Surakarta.
The goals of this study are to determine: (1) public mitigation for drought hazard (2) public preparedness for
drought hazard (3) public adaptation for drought hazard in Grobogan regency (4) the implementation of
public mitigation, preparedness, and adaptation in Grobogan regency as supplement of contextual learning
module on disaster mitigation material in class X Social Science Program.This research is descriptive
qualitative. The subject of this research was the residents of Grobogan which experience drought and the
government (BPBD). The sample was collected using cluster random sampling technique.The sample for this
research was 120 respondens of 5 districts.The result of this research reveals: (1) drought mitigation in
Grobogan resident is done by residents and government by constructing retention basins, creating drilled
wells, building water tank, reforesting, and improving irrigation channels. The government also conducting
socialization of drought mitigation and implementing community sanitation program (Pamsimas) (2) public
preparedness to face drought is done by residents by creating personal water tank, deepening their well, and
preparing reserve fund before the drought. The socialization of preparedness to face the drought is also done
by the government. (3) the adaptations which are done to face the drought are: cropping pattern adaptation,
efficient water usage, provision of allocation of funds to purchase clean water from private, and maintaining
health and providing medicine to face the disease due to drought. (4) the implementation in education, this
research is then implemented as contextual learning modules of mitigation and drought adaptation strategy
which is can be used in disaster mitigation material in class X second semester in 2013 curriculum. In the
tried out of the module which is conducted for second semester students of class X SMA N 1 Wirosari,
Grobogan regency. The responses given by a team of experts, geography teachers and the students were
good.

Keywords: mitigation, preparedness, adaptation, implementation

PENDAHULUAN pencaharian, dan kerusakan lingkungan,


Indonesia merupakan negara yang misalnya: tanah longsor, banjir, kekeringan,
kaya sumberdaya alam. Posisi geografis dan kebakaran, dan lain-lain. Menurut Undang-
geodinamik Indonesia telah menempatkan Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana
tanah air kita sebagai salah satu wilayah yang alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
rawan terhadap bahaya alam maupun bencana peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
alam. Bahaya alam merupakan fenomena disebabkan oleh alam antara lain berupa
alam yang luar biasa yang berpotensi merusak gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
atau mengancam kehidupan manusia, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
kehilangan harta benda, kehilangan mata

47
*1 Mahasiswa S2 PKLH FKIP UNS
*2,3 Staff Mengajar Prodi S2 PKLH FKIP UNS
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
Kekeringan merupakan salah satu Fenomena kekeringan juga terjadi di
bencana hidrometeorologis yang silih berganti Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa Tengah.
terjadi di Indonesia. Kekeringan adalah Berdasarkan pemberitaan RRI online tanggal
ketersediaan air yang jauh di bawah 24 September 2014 (www.rri.co.id) sebanyak
kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, 67 Desa yang tersebar di 19 Kecamatan se-
pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan Kabupaten Grobogan mengalami bahaya
(http://www.bnpb.go.id/pengetahuan- kekeringan, akibatnya sebanyak 71.000
bencana). Bahaya kekeringan adalah dampak kepala keluarga (KK) mengalami kesulitan air
dari perubahan iklim global El Nino dan La bersih. Dari Pemberitaan media online
Nina. El Nino sebagai penyimpangan iklim kedaulatan rakyat tanggal 22 September 2014
yang mengakibatkan kemarau panjang, (http://krjogja.com/ read/231289/grobogan-
sedangkan La Nina yang menyebabkan darurat-kekeringan.kr) disebutkan bahwa dari
musim penghujan panjang. Keduanya 19 kecamatan, hanya 4 kecamatan yang relatif
merupakan fenomena alam yang bersifat aman dari bencana alam tahunan tersebut,
normal dan selalu terulang pada pola tertentu yaitu Kecamatan Godong, Gubug, Klambu
(Kodoatie: 2011). dan Tegowanu. Sedangkan kecamatan yang
Kekeringan tidak dapat dielakkan dan mengalami kekeringan adalah Gabus,
secara perlahan berlangsung lama hingga Kradenan, Ngaringan, Wirosari,
musim hujan tiba. Berdasarkan penyebabnya, Tawangharjo, Pulokulon, Purwodadi,
bahaya kekeringan termasuk kedalam kategori Grobogan, Brati, Toroh, Geyer, Penawangan,
bahaya yang disebabkan oleh alam. Karangrayung, Tanggungharjo dan
Karakteristik bahaya kekeringan cukup Kedungjati.
berbeda dari bahaya yang lain, karena Bahaya kekeringan telah
datangnya yang tidak tiba-tiba namun timbul menimbulkan banyak kerugian-kerugian dan
secara perlahan dan mudah diabaikan. penderitaan yang cukup berat. Untuk itu
Dampaknya akan terasa ketika lahan-lahan diperlukan upaya-upaya yang dapat
produktif seperti pertanian tiba-tiba menanggulangi bahaya kekeringan. Kegiatan
mengalami kegagalan panen maupun penanggulangan bahaya kekeringan terdiri
penurunan kualitas. Akibat yang lebih ekstrim atas kesiapsiagaan, mitigasi, peringatan dini,
lagi adalah rusaknya sistem tanah yang tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi
berujung tidak termanfaatkannya guna lahan (LIPI: 2006). Mitigasi dilakukan untuk
yang optimal, kelaparan, dan rusaknya sistem mengurangi risiko/ dampak yang ditimbulkan
sektor pertanian. oleh bahaya khususnya bagi penduduk,seperti
korban jiwa, kerugian ekonomi,dan kerusakan

48
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
sumberdaya alam. Dengan mitigasi bahaya pembelajaran geografi pada materi mitigasi
kekeringan diharapkan dampak dari bencana di kelas X SMA dengan kurikulum
kekeringan di Kabupaten Grobogan dapat 2013. Modul kontekstual pembelajaran
berkurang sehingga dapat memperkecil geografi merupakan suatu bahan
kerugian akibat kekeringan. pembelajaran geografi yang sesuai dengan
Kesiapsiagaan merupakan bagian dari situasi nyata di dalam kehidupan sehari-hari
strategi pengurangan resiko bencana yang sehingga mendorong siswa menjadi antusias
mendahulukan aspek pencegahan terhadap dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-
dampak dari bencana. Untuk dapat hari.
mengurangi potensi bencana yang akan terjadi Tujuan penelitian ini adalah untuk
disekitar tempat tinggal rawan bencana maka mengetahui tindakan mitigasi, kesiapsiagaan,
perlu dilakukan peningkatan kesiapsiagaan. dan adapatsi masyarakat terhadap bahaya
Kesiapsiagaan merupakan usaha yang dapat kekeringan di Kabupaten Grobogan.
dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya Penelitian ini kemudian diiplementasikan
bencana. Selain dilakukan penanggulangan dalam modul pembelajaran berupa modul
prabencana dengan mitigasi dan pembelajaran kontekstual mitigasi dan
kesiapsiagaan bahaya kekeringan, perlu juga strategi adaptasi kekeringan yang dapat
dilakukan penanggulangan pada saat terjadi digunakan dalam pembelajaran materi
bahaya kekeringan dengan cara adaptasi mitigasi bencana di kelas X semester 2
terhadap bahaya kekeringan. Adaptasi kurikulum 2013.
bencana merupakan upaya untuk
METODE PENELITIAN
menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan
Penelitian ini merupakan jenis
melakukan perubahan yang mengarah pada
penelitian deskriptif kualitatif. Teknik
peningkatan daya tahan terhadap perubahan.
pengumpulan data dilakukan dengan angket,
Pembelajaran geografi di sekolah,
wawancara, observasi, dan dokumentasi.
sebagian besar guru geografi hanya
Teknik sampling yang digunakan adalah
menggunakan buku teks yang kemudian
cluster random sampling (sampel acak
diajarkan dengan pembejaran konvensional.
kelompok). Cluster pertama, dari 14
Siswa menjadi bosan dengan buku teks yang
Kecamatan yang mengalami kekeringan,
dipelajarinya. Dalam implementasi dari
diambil 5 kecamatan dengan cara
penelitian mitigasi, kesiapsiagaan, dan
Proportional sampling. Cluster kedua, dari 5
adaptasi masyarakat terhadap bahaya
kecamatan, masing-masing kecamatan
kekeringan, dapat dibuat sebuah sumber
diambil dua desa dengan cara Proportional
belajar yang berupa modul kontekstual

49
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
sampling. Jumlah sampel setipa kecamatan tinggi
Sangat
16.993 53.244 67.866 78,45
5 Gabus tinggi
sebanyak 2 desa. Cluster ketiga, masing 6 Geyer 3.001 9.304 60.194 15,46 Rendah
7 Wirosari 7.972 26.025 85.807 30,33 Sedang
masing desa diambil 2 dusun dengan cara 8 Purwodadi 3.751 14.143 134.354 10,53 Rendah
9 Ngaringan 2.246 7.700 66.242 11,62 Rendah
acak (random). Jumlah dusun yang menjadi 10 Karangrayung 2.263 7.825 89.700 8,72 Rendah
11 Tawangharjo 2.283 8.822 54.507 16,19 Rendah
sampel pada masing-masing kecamatan 12 Penawangan 2.070 7.999 58.784 13,61 Rendah
13 Tegowanu 260 772 53.271 1,45 Rendah
sebanyak 4 dusun. Cluster keempat, masing- 14 Kedungjati 1.152 4.391 39.821 11,03 Rendah
15 Klambu 0 0 0 0 Rendah
masing dusun diambil 1 RW dengan cara acak 16 Brati 0 0 0 0 Rendah
17 Gubug 0 0 0 0 Rendah
(random). jumlah RW yang menjadi sampel Tanggungharj
0 0 0 0
Rendah
18 o
pada masing-masing kecamatan sebanyak 4 19 Godong 0 0 0 0 Rendah
335.4 1.068.23 Sedang
100.954 31,40
RW. Cluster kelima, masing-masing RW Jumlah 57 4
Sumber: BNPB Kabupaten Grobogan Tahun 2015 yang
diambil 2 RT dengan cara acak (random). dianalisis

Jumlah RT yang menjadi sampel pada Berdasarkan tabel tingkat kekeringan


masing-masing kecamatan sebanyak 8 RT. di Kabupaten Grobogan, dapat dibuat peta
Setiap RT diambil 3 responden secara tingkat kekeringan sebagai berikut:
accidental sampling sehingga jumlah
responden sebanyak 120 responden.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHA-


SAN
Deskripsi daerah Kekeringan Kabupaten
Grobogan
Gambar 1. Peta Tingkat Kekeringan di Kabupaten
Berdasarkan data kekeringan yang Grobogan

diperoleh dari BNPB, dari 19 kecamatan Mitigasi masyarakat Terhadap Bahaya


terdapat 14 kecamatan yang mengalami Kekeringan kabupaten Grobogan
kekeringan.
Mitigasi yang dilakukan untuk
Tabel 1. Tingkat Kekeringan di Kabupaten
menghadapi kekeringan dalam memenuhi air
Grobagan Tahun 2015
Jumla
untuk kebutuhan sehari-hari di Kabupaten
h
Jumlah
Pendu Grobogan antara lain dilakukan dengan cara:
KK yang
duk Jumlah Perse
Mengala Klasifik
No. Kecamatan yang Pendudu ntase
mi asi
Kekerin
Menga k (%) a. Pembuatan sumur bor
lami
gan
Kekeri Upaya mitigasi dalam
ngan
1 Grobogan 7.808 27.035 74.606 36,24 Sedang
2 Toroh 10.994 39.794 106.773 37,27 Sedang
menghadapi kekeringan dilakukan
Sangat
3 Pulokulon
23.698 76.163 100.687 75,64
tinggi dengan cara pembuatan sumur bor.
4 Kradenan 16.463 52.240 75.622 69,08 Sangat

50
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
Sumur bor dibuat dengan sumber air
yang sangat dalam sehingga diharapkan
ketika musim kemarau panjang
berlangsung, sumur tersebut tidak
mengalami kekeringan.

Gambar 3. Sumur Resapan

Gambar 2. Pembuatan Sumur Bor di Desa Boloh c. Pembangunan tampungan air


Kecamatan Toroh
Di Kabupaten Grobogan, telah
Berdasarkan informasi dari dilaksanakan pembangunan tampungan
masyarakat, sumur bor dibuat dari dana air dari program Pamsimas (Program
kas RT dan bantuan sukarela dari warga Sanitasi Masyarakat) dari PU Cipta
masyarakat. Karya. Masyarakat juga ikut membantu

b. Pembuatan sumur resapan dalam pembuatan tampungan air yang

Upaya mitigasi kekeringan juga diadakan PU Cipta Karya. Sebagian

dilakukan oleh masyarakat dengan warga masyarakat juga mempunyai

pembuatan sumur resapan. Sumur tandon air pribadi untuk menghadapi

resapan dibuat untuk menampung air kekeringan di musim kemarau. Upaya

pada saat terjadi hujan. Masyarakat mitigasi dengan pembuatan tandon air

menjelaskan bahwa saat terjadi dapat digunakan untuk menampung air

kekeringan, masyarakat menyedot air dari ketika mendapat bantuan air bersih dari

sungai dan kemudian airnya dimasukkan pemerintah maupun saat masyarakat

ke dalam sumur resapan tersebut agar membeli air bersih dari pihak swasta.

kemudian mengalir ke sumur melalui Selain itu upaya pembuatan tandon air

tanah. Saat sumber air sudah mengering, dilakukan untuk menampung air hujan

masyarakat membeli air dari pihak swasta saat terjadi kekeringan. Pada musim

dan kemudian mengalirkannya ke sumur kemarau panjang dan terjadi hujan, maka

resapan tersebut. air hujan ditampung pada tandon air

51
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
tersebut untuk memenuhi kebutuhan bantuan air bersih kepada desa-desa
sehari-hari. tersebut.

f. Reboisasi
Berdasarkan informasi dari
BPBD, upaya pengurangan dampak dari
kekeringan selain dengan pembuatan
embung, sumur resapan dan sumur bor,
Gambar 4. Air Hujan Ditampung di Tampungan air juga dilakukan dengan reboisasi.
Milik Warga
Reboisasi dilakukan pemerintah agar
d. Sosialisasi/ penyuluhan tentang mitigasi
hutan tidak gundul sehingga akar
kekeringan
tanaman dapat menyerap dan menyimpan
Sosialisasi tentang mitigasi
air. Dengan demikian, kekeringan dapat
kekeringan pernah dilakukan di
menjadi berkurang karena ada akar
Kabupaten Grobogan. Sebagian besar
tanaman yang mampu menyerap dan
warga masyarakat telah mengikuti
menyimpan air.
sosialisasi/ penyuluhan tentang mitigasi
kekeringan. Sosialisasi dilakukan oleh Mitigasi yang dilakukan untuk

PU Cipta Karya dalam rangka menghadapi kekeringan dalam memenuhi air

pelaksanaan program Pamsimas. Namun, untuk pertanian di Kabupaten Grobogan

belum ada perkumpulan rutin untuk antara lain dilakukan dengan cara:

membahas penanggulangan kekeringan.


a. Pembuatan embung

e. Mempersiapkan program bantuan air Pembangunan embung atau

bersih kepada masyarakat waduk merupakan salah satu solusi

Mitigasi yang dilakukan jangka panjang menghadapi kekeringan.

pemerintah dalam jangka pendek yaitu Pengurangan dampak kekeringan dengan

melalui BPBD yang memberikan bantuan embung sudah dilakukan di Kabupaten

air bersih dengan truk-truk tangki air. Grobogan, tetapi upaya tersebut masih

BPBD memberikan bantuan air bersih tidak bisa mengurangi dampak

dengan bekerja sama dengan pihak kekeringan. Pada musim kemarau

PDAM. Pihak BPBD memberikan daftar embung mengering, sehingga tidak dapat

desa-desa yang akan diberikan bantuan dimanfaatkan warga masyarakat untuk

air bersih kepada pihak PDAM. Pihak memenuhi kebutuhan pertanian.

PDAM menentukan jadwal pemberian

52
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
embung tidak terjadi dan cadangan air
dalam waduk/ embung menjadi lebih
banyak.

Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap


Bahaya Kekeringan Kabupaten Grobogan

a. Pengetahuan dan sikap


Gambar 5. Embung Mengalami Kekeringan di Desa Kesiapsiagaan masyarakat dalam
Plosoharjo Kecamatan Toroh
menghadapi kekeringan di Kabupaten
b. Perbaikan saluran dan sarana irigasi
Grobogan dilakukan melalui peningkatan
Upaya mitigasi kekeringan juga
pengetahuan masyarakat terhadap tanda-
dilakukan warga masyarakat dengan
tanda terjadinya kekeringan. Kekeringan
melakukan perbaikan saluran irigasi dan
berkaitan dengan menurunnya tingkat
sarana irigasi. Banyak yang tidak
curah hujan di bawah normal dalam satu
menyadari, bahwa saluran irigasi yang
musim. Masyarakat di Kabupaten
rusak dapat menyebabkan air terbuang
Grobogan sudah mengetahui tanda-tanda
percuma. Memperbaiki saluran irigasi
terjadinya kekeringan.
dapat mempertahankan jumlah air dari
hulu ke hilir, sehingga air dapat Masyarakat mengetahui dampak

dimanfaatkan secara maksimal untuk yang terjadi akibat kekeringan. Dampak

mengairi sawah penduduk. yang terjadi akibat kekeringan yang


dialami masyarakat yaitu kekurangan
c. Menyelamatkan waduk/ embung dari
pasokan air untuk keperluan pertanian.
pendangkalan
Kekeringan juga mengakibatkan lahan
Upaya yang dilakukan masyarakat
pertanian mengalami kekurangan
untuk menghadapi kekeringan lahan
pasokan air sehingga mengakibatkan
pertanian juga dilakukan dengan cara
produktivitas lahan pertanian menjadi
memelihara waduk agar tidak terjadi
berkurang bahkan terjadi gagal panen.
pendangkalan. Cara mengatasi
pendangkalan waduk, adalah dengan b. Rencana Tanggap Darurat

melakukan penghijauan, serta Organisasi yang mengelola

mengurangi konversi lahan di area hulu. kekeringan di masing-masing wilayah di

Dengan sedikitnya sedimentasi pada Kabupaten Grobogan belum ada karena

waduk/ embung, pendangkalan waduk/ kekeringan dianggap suatu kejadian yang


tidak begitu membahayakan seperti

53
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
bencana-bencana alam lain yang bahwa kekeringan datangnya perlahan-
dampaknya sangat besar dan langsung lahan dan baru terasa saat sumber air
seketika dirasakan masyarakat seperti mengering. Banyak masyarakat yang
gunung meletus, gempa bumi, dan mengabaikan kekeringan karena
tsunami. Sosialisasi tentang tanggap dianggap sebagai kejadian yang
kekeringan sudah pernah dilakukan di dampaknya tidak berbahaya dan tidak
sebagian wilayah di Kabupaten begitu mengancam jiwa manusia.
Grobogan.
d. Mobilisasi sumberdaya
Pos yang menyediakan air bersih Pemerintah membuat kebijakan-
bagi masyarakat di sebagian besar kebijakan untuk kesiapsiagaan
wilayah di Kabupaten Grobogan belum kekeringan dan untuk mengurangi
ada. Bantuan air bersih dari pemerintah dampak kekeringan. Salah satu
biasanya lokasinya tidak sama setiap kebijakannya yaitu dengan pemberian
periodenya walaupun masih dalam satu bantuan air bersih untuk daerah-daerah
desa. yang mengalami kekeringan melalui
BNPB. Perhatian pemerintah terhadap
bahaya kekeringan tergolong belum
cukup memuaskan. Masyarakat sebagian
besar menganggap belum memuaskan
karena bantuan air dari masyarakat hanya
sedikit dan jangka waktunya lama
sehingga saat persediaan air habis
bantuan dari pemerintah belum datang
Gambar 6. Pemberian Bantuan Air Bersih Kepada
Masyarakat di Desa Putatsari sehingga harus membeli air bersih sendiri
Dalam bidang pertanian, dari pihak swasta.
berdasarkan informasi dari masyarakat
Masyarakat menjelaskan bahwa
terdapat organisasi yang mengelola
hubungan antara masyarakat pemerintah
pertanian yaitu kelompok tani dan
belum cukup transparan. Masyarakat
gabungan kelompok tani (Gapoktan).
sebagian besar tidak mengetahui
c. Peringatan dini kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
Peringatan dini terhadap bahaya pemerintah dalam menghadapi bahaya
kekeringan belum ada di Kabupaten kekeringan. Masyarakat sebagian besar
Grobogan. Masyarakat menjelaskan juga tidak mengetahui jadwal rutin

54
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
pemberian bantuan air bersih dari
pemerintah.

Mobilisasi sumberdaya dalam


bidang pertanian dengan pemberian
kredit dari pemerintah kepada petani
melalui organisasi kelompo tani dan
gabungan kelompok tani (Gapoktan). Gambar 7. Adaptasi kekeringan dengan
Menanam Jagung
Data sosialisasi materi dan bahan b. Adaptasi dalam bidang ketersediaan air
kesiapsiagaan kepada masyarakat seperti Usaha adaptasi dalam
brosur, poster, ataupun leaflet tentang ketersediaan air dilakukan dengan cara
kekeringan belum ada. Hanya surat kabar penggunaan air secara efisien dan efektif.
yang menjelaskan daerah-daerah di Masyarakat menyebutkan bahwa dalam
Kabupaten Grobogan yang mengalami adaptasi persediaan air, mereka hanya
kekeringan serta pemberian bantuan dari menggunakan air untuk mandi dan
pemerintah dalam menghadapi kekeringan. keperluan memasak. Warga tidak

Adaptasi Masyarakat Terhadap Bahaya menggunakan air untuk mencuci

Kekeringan Kabupaten Grobogan kendaraan dan memandikan hewan


ternak. Selama musim kemarau warga
a. Adaptasi dalam bidang pertanian
tidak mencuci kendaraan dan hewan
Kekeringan mengakibatkan
ternak.
penurunan produksi pertanian. Adaptasi
dalam bidang pertanian yang dilakukan c. Adaptasi dalam bidang ekonomi

masyarakat di Kabupaten Grobogan yaitu Adaptasi yang dilakukan dalam

dengan adaptasi pola tanam. Pola tanam bidang ekonomi yaitu dengan cara

yang diterapkan untuk menghadapi menyediakan alokasi dana khusus untuk

kekeringan yaitu pola tanam padi, menghadapi kekeringan. Pada saat terjadi

kemudian palawija, dan setelah itu bera. puncak kekeringan, bantuan air dari
pemerintah masih belum dapat
mencukupi kebutuhan seluruh
masyarakat sehingga masyarakat
membeli air sendiri untuk keperluan
sehari-hari. Masyarakat membeli air

55
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
setiap satu tangki mobil seharga Rp. modul ini dapat melangkah ke tahap yang
200.000,00. selanjutnya. Berdasarkan hasil penskoran
validasi tim ahli modul mitigasi dan strategi
d. Adaptasi dalam bidang kesehatan
adaptasi kekeringan termasuk dalam kategori
Dalam bidang kesehatan adaptasi
layak. Berdasarkan hasil penskoran validasi
dilakukan dengan menjaga kesehatan
dari uji kelompok besar di kelas X IPS 2,
dengan penyediaan obat-obatan karena
modul mitigasi dan strategi adaptasi
masyarakat mudah terserang penyakit
kekeringan termasuk dalam kategori layak.
seperti panas dalam dan penyakit yang
Dengan demikian, modul ini dapat digunakan
lain yang dapat mengganggu aktivitas
dalam pembelajaran geografi.
sehari-hari.
KESIMPULAN
Implementasi dari Mitigasi, Kesiapsiagaan,
1. Mitigasi kekeringan di Kabupaten
dan Adaptasi Masyarakat di Kabupaten
Grobogan dilakukan masyarakat dan
Grobogan Sebagai Suplemen Kontekstual
pemerintah dengan embung, sumur
Modul Pembelajaran pada Materi Mitigasi
resapan, sumur bor, pembuatan tandon
Bencana di Kelas X Program IPS
air, reboisasi, serta perbaikan saluran
Setelah dilakukan penelitian terhadap irigasi. Pemerintah juga melakukan
Mitigasi, Kesiapsiagaan, dan Adaptasi penyuluhan tentang mitigasi kekeringan
Masyarakat Terhadap Bahaya Kekeringan serta pelaksanaan program sanitasi
Kabupaten Grobogan, maka untuk masyarakat (Pamsimas).
memberikan dukungan di bidang pendidikan, 2. Kesiapsiagaan dalam menghadapi
hasil penelitian ini diimplikasikan sebagai kekeringan dilakukan masyarakat dengan
modul pembelajaran kontekstual berupa membuat tandon air pribadi untuk
modul Mitigasi dan Strategi adaptasi menampung air saat musim kemarau,
kekeringan. memperdalam sumur, serta menyiapkan
Langkah yang dilakukan dalam dana khusus untuk menghadapi
mengimplementasikan modul ini adalah kekeringan. Pemerintah melakukan
dengan validasi modul ini dengan tim ahli, kesiapsiagaan dengan mengalokasikan
validasi dengan praktisi (guru mata pelajaran), dana untuk pemberian bantuan air bersih
dan validasi dengan siswa. Berdasarkan hasil kepada masyarakat saat terjadi
penskoran validasi tim ahli modul mitigasi kekeringan. Pemerintah juga melakukan
dan strategi adaptasi kekeringan termasuk sosialisasi kesiapsiagaan dalam
dalam kategori layak. Dengan demikian, menghadapi kekeringan.

56
Jurnal GeoEco ISSN: 2460-0768
Vol. 3, No. 1 (Januari 2017) Hal. 46-56
3. Adaptasi yang dilakukan dalam Carter WN. 1991. Disaster Management. A
disaster Manager’s Handbook.
menghadapi kekeringan yaitu dengan
National Library of The
adaptasi pola tanam, penggunaan air Philiphines CIP Data: Asian
Development Bank
secara efisien, penyediaan alokasi dana
Departemen Pendidikan Nasional. 2002.
untuk membeli air bersih dari swasta, Teknik Belajar dengan Modul. Jakarta:
Dirjen Pendidikan Dasar dan
serta menjaga kesehatan dan
Menengah.
menyediakan obat untuk menghadapi
Dewan Nasional Perubahan Ilkim (DNPI).
penyakit akibat musim kemarau 2012. Rencana Aksi Nasional Adaptasi
(kekeringan). Perubahan Iklim Indonesia. Jakarta:
Bappenas.
4. Sebagai implementasi dalam bidang
Hidayati. 2009. Kesiapsiagaan Masyarakat
pendidikan, penelitian ini kemudian
Menghadapi Bencana Gempa Bumi
diimplementasikan dalam modul dan Tsunami. Jakarta: Prosiding.
pembelajaran berupa modul pembelajaran Hisdal, H Tallaksen. 2000. Drought Even
kontekstual mitigasi dan strategi adaptasi Definition. Oslo: Technical Report
Number 6 ARIDE (Assesment of the
kekeringan yang dapat digunakan dalam Regional Impact of Drought in
pembelajaran materi mitigasi bencana di Europe).

kelas X semester 2 kurikulum 2013. Kodoatie, Robert J. 2011. Pengantar


Manajemen Infrastruktur. Yogyakarta:
Dalam uji coba modul dilakukan pada Penerbit Pustaka Pelajar.
siswa kelas X IPS 2 SMA N 1 Wirosari
LIPI-UNESCO/ISDR. 2006. Kajian
Kabupaten Grobogan. Respon yang Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam
diberikan oleh tim ahli, guru geografi, Mengantisipasi Bencana Gempa dan
Tsunami. Jakarta: Deputi Ilmu
dan siswa adalah modul ini layak untuk Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu
pembelajaran geografi. Pengetahuan Indonesian.
Smit, B. dan Wandel, J. 2006. “Adaptation,
Adaptive Capacity and Vulnerability”.
DAFTAR PUSTAKA Journal Global Environmental
Change. 16: 282-292.
BAKORNAS PB. 2007. Pengenalan
Karakteristik Bencana dan Upaya Wilhite, D. A; Svoboda, Mark D; Hayes,
Mitigasi di Indonesian. Jakarta: Michael J. 2007. Understanding the
Direktorat Mitigasi Lakhar. Complex Impacts of Drought: A Key to
Enhancing Drought and Preparedness.
BNPB. 2008. Peraturan Kepala Badan
Journal Water Resour Manage 21:763–
Nasional Penanggulangan Bencana
774.
Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Umum Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana. Jakarta:
BNPB.

57
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

STUDI PENDAHULUAN TENTANG PENERAPAN METODE AMBANG


BERTINGKAT UNTUK ANALISIS KEKERINGAN HIDROLOGI
PADA 15 DAS DI WILAYAH JAWA TIMUR
Application of Threshlod Level Method for Hydarulogical Drougth Analysis: Preleminarty
Study at 15 Watershed in Eastern Part of East Java

Indarto1)*, Sri Wahyuningsih1), Muhardjo Pudjojono1), Hamid Ahmad1), Ahmad Yusron1)


1)
Lab. Teknik Pengendalaian dan Konservasi Lingkungan, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jalan Kalimantan No. 37 Kampus Tegalboto, Jember 68121
*E-mail: indarto.ftp@unej.ac.id

ABSTRACT

This research deals with identification of potential hydrological drought at 15 watersheds in


Eastern part of East Java Province. Hydrological drought events is indicated by water deficits at the
main river of the watersheds during certain period of record. Discharge data from 15 watersheds in
East Java are used as main input for this analysis. TLM modul based on HydroOffice platform is
used to calculate the deficit. Deficit event is counted when the discharge during more than > 7 days
is below the threshold level. The threshold level is set up using percentile 90% (Q90). The value of
Q90 is determined from discharge times series. Furthermore, the discharge is rangked from high to
low flow. Results from TLM are then imported to EXCEL for further analysis. Furthermore, GIS
software package (Quantum GIS) is used for mapping the spatial variation of discharge values
(avarage, maximum, Q90), frequency and duration of deficits events. This analysis produces the
spatial maps of discharge value and deficit events ( averaged annually).

Keywords: TLM, hydrological drougth, percentile 90 (Q90), discharge

PENDAHULUAN Kerusakan lahan dan dampak kerugian


yang diakibatkan oleh kejadian kekeringan
Definisi Kekeringan sangat luas dan nilai ekonomi kerugian
Kekeringan merupakan salah satu cukup besar.
masalah serius yang sering muncul ketika Secara umum kejadian kekeringan
musim kemarau tiba. Banyak tempat di dapat ditinjau dari aspek: hidro-
Indonesia mengalami masalah kekurangan meteorologi, pertanian, dan hidrologi
air atau defisit air atau kekeringan. (Wilhite, 2010). Dari aspek hidro-
Dari perspektif kebencanaan meteorologi kekeringan timbul dan
kekeringan didefinisikan sebagai disebabkan oleh berkurangnya curah hujan
kekurangan curah hujan dalam periode selama periode tertentu. Dari aspek
waktu tertentu (umum-nya dalam satu pertanian dinyatakan kekeringan jika
musim atau lebih) yang menyebabkan lengas tanah berkurang sehingga tanaman
kekurangan air untuk berbagai kebutuhan kekurangan air. Lengas tanah (soil
(UN-ISDR, 2009). Kekurangan air moisture) merupakan parameter yang
tersebut berpengaruh terhadap besarnya menentukan potensi produksi tanaman.
aliran permukaan pada suatu DAS. Ketersediaan lengas tanah juga erat
Pada umumnya bencana kekeringan kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah.
tidak dapat diketahui mulainya, namun Secara hidrologi kekeringan ditandai
dapat dikatakan bahwa kekeringan terjadi dengan berkurang-nya air pada sungai,
saat air yang ada sudah tidak lagi waduk dan danau (Nalbantis et al., 2008).
mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

112
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

Berbagai macam indek untuk


menyatakan kekeringan telah diusulkan Metode Ambang Bertingkat (MAB)
dan digunakan, misalnya Percent of Metode ambang bertingkat (MAB)
Normal (PN) (Willeke et al., 1994), atau Thershold Level Method (TLM)
Standardized Precipitation Index (SPI) (Tallaksen et al., 1997; Hisdal &
(McKee et al., 1993), Palmer Drought Tallaksen, 2000; Thallaksen et al., 2004)
Severity Index (PDSI) (Palmer, 1965), menyatakan kekeringan hidrologi sebagai
Palmer Hydrological Drought Index defisit atau berkurang-nya air sungai
(PHDI) (Karl and Knight 1985). Crop sampai di bawah batas atau ambang
Moisture Index (CMI) (Palmer, 1968), tertentu. TLM menggunakan data debit
Surface Water Supply Index (SWSI) rekaman dari suatu DAS sebagai masukan
(Shafer and Dezman, 1982), Reclamation utama untuk analisis surplus atau defisit
Drought Index (RDI), Deciles (Gibbs and air. Debit yang berpotensi menghasilkan
Maher, 1967) and TLM (Tallaksen et al., banjir atau kekeringan diidentifikasi secara
1997; Lanen et al., 2008). statistik menggunakan metode ambang
Penelitian ini bertujuan menguji bertingkat.
metode TLM sebagai dasar untuk Gambar 1, menampilkan potongan
menyatakan potensi kekeringan di Jawa hidrograf aliran sungai dan prinsip kerja
Timur. Adapun tujuan khususnya adalah metode TLM untuk menganalisis kejadian
(1) menentukan nilai ambang batas debit kekeringan. Garis merah pada Gambar 1
(Q90) pada 15 DAS; (2) menentukan menunjukkan debit ambang yang
frekuensi dan lama kejadian kekeringan ditentukan. Selanjutnya, sepanjang periode
pada tiap DAS, dan (3) memetakan rekaman, debit yang ada diidentifikasi
variabilitas spasial nilai ambang batas secara statistik nilai debit yang berada di
debit, frekuensi dan lama kejadiam bawah ambang batas tersebut. Periode
kekeringan pada 15 DAS sampel tersebut. rekaman dimana debit berada di bawah

Ambang batas
TLM = 90% FDC
(m3/s)
Debit

Surplus Air

Defisit Volume

Defisit Air

X
Waktu
(Tahun)
Peristiwa Kekeringan Defisit Maksimum

Awal Akhir

Gambar 1. Ilustrasi cara kerja metode TLM (Sumber: adaptasi dari Gregor, 2010)

113
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

ambang batas disebut sebagai deficit air mengalir tidak terus menerus sepanjang
yang berpotensi menghasilkan kekeringan. tahun. Umumnya, aliran air sungai= 0
Debit harian yang berada di bawah ketika musim kemarau, maka dapat
ambang-batas, dinyatakan sebagai kondisi digunakan persentil 70 (Q70) digunakan
kekurangan debit. Kekurangan debit dapat sebagai penentu nilai ambang batas
mengakibatkan kejadian kekeringan untuk mengetahui indeks
(drought event) saat periode kekurangan kekeringannya.
airnya berlangsung cukup lama. Nilai Metode TLM sangat penting
ambang batas dapat diatur dalam waktu digunakan untuk menentukan kondisi awal
yang tetap sepanjang tahun (konstan), dan akhir musim kemarau. Metode TLM
musiman (1-4 musim), bulanan, N-hari
sangat efektif dalam operasi penyimpanan
dan setiap hari. Pada kasus nilai ambang air pada suatu DAS. Penyimpanan air
yang konstan, Threshold atau nilai ambang dimaksud-kan sebagai upaya alokasi air
batas untuk menyatakan kekeringan dapat yang sesuai dengan kebutuhan dan
ditentukan menggunakan nilai persentil menghindari kejadian defisit air untuk
dari input data debit. periode waktu tertentu pada suatu DAS.
Tallaksen et al., (2004) membedakan Adanya ambang-batas debit, maka nilai
nilai ambang berdasarkan jenis sungainya, debit harian pada suatu DAS dapat
yaitu: dikondisikan agar tidak sampai berada di
1. Pada sungai abadi (perennial), dimana bawah nilai ambang-batas tersebut. Modul
pada sungai tersebut selalu ada debit TLM sudah termuat dalam paket aplikasi
setiap harinya (berair sepanjang tahun). HidrOffice (Gregor, 2010). Aplikasi
Nilai ambang ditentukan menggunakan metode ini misalnya dijumpai dalam
persentil 70% (Q70) sd Persentil 95 % tulisan Hisdal & Tallaksen (2000) yang
(Q95). menggunakan TLM untuk mengkaji
2. Pada sungai periodik (intermittent), periode atau lamanya kekurangan air yang
dimana ada saat tertentu air di sungai dapat dianggap sebagai kejadian
tersebut kering atau sungai yang airnya kekeringan di wilayah Amerika Serikat

Gambar 2. Grafik TLM-drought assessment (Sumber: Hasil analisis): = debit, = defisit air,
= Threshold (ambang batas)

114
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

dan Inggris. Penelitian tersebut program TLM menggunakan menu TLM –


menggunakan sumber data debit harian Drought Statistic (Gambar 3). Waktu
sebagai input utama untuk analisis. terjadinya kekeringan dan nilai defisit
Di Jawa Timur dan di wilayah volume tergantung pada data debit yang
Indonesia, umumnya data debit tersedia diinputkan pada program TLM.
pada interval waktu harian. Hal ini Berdasarkan Gambar 3, maka
memungkinkan analisis menggunakan deficit start dan deficit end berarti waktu
TLM pada wilayah yang cukup luas, terjadinya peristiwa kekeringan pada
karena ketersediaan data debit. Nilai periode tertentu. Periode length
defisit air pada TLM ditunjukkan pada menunjukkan lamanya waktu kejadian
grafik TLM drought assessment (Gambar kekeringan. Deficit volume menunjukkan
2). Defisit air berarti kekurangan air yang jumlah kekurangan debit yang terjadi pada
terjadi pada waktu tertentu. Sehingga saat peristiwa kekeringan yang dihitung per
debit berada di bawah garis ambang batas, hari. Sedangkan maximal deviation
maka terjadi defisit air yang berakibat menunjukkan nilai kekurangan debit yang
pada peristiwa kekeringan. terbesar selama peristiwa kekeringan.
Penentuan awal dan akhir kejadian
kekeringan serta defisit volume pada

Gambar 3. TLM-drought Statistic

115
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

METODE PENELITIAN Rancangan Percobaan


Percobaan dilakukan dengan
Lokasi & Waktu Penelitian menguji metode TLM pada 15 DAS
Penelitian pendahuluan ini dilakukan terpiih sebagai sampel pengujian.
pada 15 DAS di wilayah timur Jawa
Timur. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Tahapan Penelitian
Gambar 4. Inventarisasi dan persiapan data
Semua data debit yang terekam oleh Data debit harian dan data hujan
stasiun pengukur debit atau AWLR dari berasal dari Dinas PU Pengairan Provinsi
masing-masing DAS digunakan dalam Jawa Timur dan sumber lainnya. Data
penelitian ini. Data hujan untuk masing- tersebut dikoleksi sejak tahun 2004 sd
masing DAS dihitung dari nilai rerata data 2012. Selanjutnya, data diformat ke dalam
hujan harian yang diperoleh dari sejumlah Excel sebagaimana format data
stasiun yang ada di dalam DAS. Panjang sumberdaya air yang berlaku di Dinas.
periode rekaman bervariasi antara satu Data dari Excel tersebut, selanjutnya
lokasi dengan lokasi lain, dengan rentang diformat ke dalam file text dua kolom
sekitar 10 tahun (1996 sd 2005). (x,y), dimana kolom_x berisi tanggal (urut
Keterbatasan data dan ketidakseragaman dari awal sampai dengan akhir periode
periode rekaman data diabaikan dalam rekaman) dan kolom_y menyatakan nilai
penelitian ini dengan asumsi bahwa data harian tersebut. Selanjutnya, data dua
penelitian lebih menekankan pada aspek kolom tersebut diformat ke dalam aplikasi
nilai rerata dalam hal interval waktu dan River Analysis Package (RAP) ( Marsh et
sebaran data dalam skala ruang, sehingga al., 2003) dan HydroOffice (Gregor,
panjang periode rekaman yang berbeda 2010).
tetap dapat digunakan.

Gambar 4. Lokasi penelitian

116
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

Analisis statistik Dalam studi ini, nilai ambang batas


Analisis statistik umum mencakup Q90 ditentukan konstan sepanjang periode
nilai (rerata, maksimum, minimum, analisis. Selanjutnya, frekuensi kejadian
median, standar deviasi, Kuantil 10% (Q10) kekeringan sepanjang periode rekaman
sd Kuantil 90(Q90) dilakukan secara dihitung secara statistik menggunakan
simultan menggunakan modul “Time HydroOffice.
Series Analyist” di atas platform RAP Selanjutnya, TLM dapat digunakan
(Mars et al., 2003). Analisis ini untuk analisis statistik data debit DAS,
menghasilkan nilai statikstik debit pada 15 menentukan kondisi awal dan akhir musim
DAS tersebut. kemarau, menentukan frekuensi dan lama
kejadian kekeringan per interval waktu
Penentuan ambang batas kekeringan yang bervariasi (bulanan, tahunan) dan
Nilai Q90 untuk masing-masing analisis terkait dengan frekuensi dan lama
DAS, digunakan sebagai dasar untuk kejadaian kekeringan.
penentuan ambang batas kekeringan. Nilai
debit pada (Q90) dicari dengan Interpretasi dan pembuatan peta tematik
mengurutkan data debit harian sepanjang Proses interpretasi dilakukan
periode rekaman yang tersedia. dengan mengekspor hasil analisis dari
Selanjutnya, debit harian tersebut HydrOffice ke dalam excel dan
dirangking secara statistik dari yang paling dipresentasikan dalam bentuk tabel dan
besar ke yang terkecil (Walpole, 1995). grafik. Pembuatan peta tematik dilakukan
Ambang batas kekeringan atau nilai Q90, di atas platform QGIS/ArcGIS. Hasil
dihitung menggunakan rumus (pers. 1): analisis dari Excel, RAP dan Hydroofice
dijadikan masukan bagi tabel atribut untuk
………. (pers. 1 ) layer-layer tematik yang menggambarkan
distribusi spasial variabel hidrologi dan
Keterangan: kejadian kekeringan pada DAS-DAS di
Qxi = rangking data yang menunjukkan Jawa Timur.
persentil ke-xi Selanjutnya pure diangkat kemudian
Xi = persentil yang akan dicari dituangkan pada loyang yang telah dilapisi
N = jumlah data. plastik tahan panas, dan diratakan sesuai
Jika Qxi menghasilkan bilangan ukuran loyang. Pure yang telah menjendal,
desimal maka dilakukan interpolasi kemudian dikeringkan dengan tunnel dryer
meggunakan persentil terdekat (di atas dan selama 9 jam dengan suhu 60°C.
di bawah nilai persentil yang dicari), Kemudian leather dikelupas dari plastik,
menggunakan rumus sebagai berikut: dan dipotong sesuai dengan bentuk yang
diharapkan, kemudian ditaburi gula kastor.
Q = (Qxi ) (P2 – P1) + P1................ (pers. 2) Dan selanjutnya dikeringkan lagi pada
tunnel dryer dengan suhu 50°C selama 5
Dengan: jam.
Q = nilai debit (ambang batas)
Qxi = nilai desimal dari persentil ke- HASIL DAN PEMBAHASAN
xi
P1 = nilai 1 debit hasil pencarian Penelitian ini menghasilkan database
persentil hasil analisis Debit DAS di Jawa Timur,
P2 = nilai 2 debit hasil pencarian yang berisi antara lain: (1) nilai
persentil. karakteristik fisik DAS, (2) nilai statistik
debit, (3) nilai statistik hujan di dalam
DAS, (4) hasil analisis terkait dengan

117
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

kejadian banjir, (5) hasil analisis morfometrik dan hidrologi DAS.


kekeringan hidrologi, dan (6) peta tematik Peta pada Gambar 5 (a) memper-
terkait dengan variabilitas data hidro- lihatkan distribusi spasial debit rerata dan
meteorologi DAS di Jawa Timur. maksimal pada 15 DAS tersebut.
Tabel 1 menampilkan hasil analsis Selanjutnya Gambar 5 (b) memuat
statistik debit pada ke 15 DAS tersebut. distribusi spasial nilai debit pada percentile
Analisis statistik dapat diperpanjang untuk 90 (Q90) yang digunakan sebagai ambang
berbagai parameteter yang dapat batas kekeringan.
menyatakan: karakteristik fisik,

Tabel 1. Luas, Q-min, Q-max, Q-rata-rata 15 DAS yang digunakan sebagai sampel pengujian
Debit (m3/s)
Luas DAS
No. DAS
(km2) Qmin Qmax
Qrrt
1. Rawatamtu 783 0.1 588 35.25
2. Mayang 219 0.01 70.45 4.99
3. Wonorejo 215 2.07 196.06 17.94
4. Mujur 183 0.2 51.5 4.77
5. Sanenrejo 291 0.03 184 10.16
6. Bomo Bawah 138 0.07 89.62 3.93
7. Bomo Atas 38 0.02 99 2.31
8. Karangdoro 479 0.07 205.35 17.73
9. Kloposawit 686 1.29 242.78 10.39
10. Setail 219 0.11 498 9.24
11. Kadalpang 206 0.04 69.04 2.91
12. Welang 387 0.25 32.55 3.89
13. Kramat 178 0.11 193.03 2.63
14. Pekalen 166 3.35 94.3 10.95
15. Rondodingo 136 0.25 101 5.03

(a). Debit Rerata (b). Debit maksimal

Gambar 5. Distribusi spasial nilai debit rerata dan maksimum DAS-DAS di Jawa Timur

118
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

Gambar 6 memuat distribusi spasial Gambar 7 menampilkan potensi


nilai debit pada percentile 90 (Q90) yang kejadian kekeringan pada tiap DAS
digunakan sebagai ambang batas dinyatakan dalam rerata frekuensi defisit
kekeringan. Peta tematik terkait dengan air selama setahun. Defisit air, dimana
variasi atau distribusi spasial tentang: nilai debit di bawah Q90 lebih dari tujuh
karakteristik fisik, variabel hidrologi dan hari lamanya dan dalam satu periode
hujan di dalam DAS dapat dibuat dan terjadi antara 1 sampai dengan 3 kali
ditampilkan dengan cara yang serupa. dalam setahun.

Gambar 6. Distribusi spasial nilai debit pada precentile 90 (Q90 )

Gambar 7. Distribusi spasial rerata frekuensi kejadian defisit air (kekeringan) > 7 hari
119
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

Gambar 8. Distribusi spasial rerata tahunan durasi kejadian defisit air (kekeringan)

Durasi tiap kejadian (defisit air atau hidrologi, potensi kejadain banjir dan
kekeringan ) dapat dinyatakan dalam rerata kekeringan di Jawa Timur.
lama kejadian defisit air per tahun
(Gambar 8). Durasi atau lama tiap DAFTAR PUSTAKA
kejadian deficit dapat berlangsung antara 5 Gibbs, W. J. and J. V. Maher, 1967. Rainfall
sd 46 hari. deciles as drought indicators. Bureau of
Meteorology Bulletin, No. 48,
KESIMPULAN Commonwealth of Australia,
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Melbourne.
dengan meneggunakan ambang batas debit Golnaraghi, M., A WMO Fachtsheet 2013.
pada kuantile 90%, kejadian deficit air WMO Disaster Risk Reduction
pada DAS – DAS yang diteliti, terjadi Programme. http://www.wmo.int.
antar 1 sd 3 kali dalam setahun dengan Gregor, M. 2010. User Manual TLM 2.1.
durasi bervariasi antara 5 sd 46 hari per Department of Hydrogeology - Faculty
kejadaian. Metode TLM dapat digunakan of Natural Science - Comenius.
untuk menyatakan potensi kejadain University of Slovakia.
kekeringan, namun demikian hasilnya Hisdal, H and Tallaksen, L. M. 2000. Jurnal :
akan lebih valid jika data lebih panjang Assessment of the Regional Impact of
periode nya. Hasil penelitian juga perlu Droughts in Europe: Drought Event
dicek dengan indicator yang dipakai di Definition. Department of Geophysics,
lapangan untuk menyatakan kekeringan. University of Oslo, Norwegia.
Secara umum, database dan peta-peta Karl, T. R. and R. W. Knight, 1985. Atlas of
tematik yang dihasilkan dapat bermanfaat Monthly Palmer Hydrological Drought
untuk menyatakan variabiitas spasial data Indices (1931-1983) for the Contiguous

120
Studi Pendahuluan tentang Penerapan Metode Ambang Bertingkat…
Jurnal Agroteknologi, Vol. 08 No. 02 (2014)

United States. Historical Climatology http://dx.doi.org/10.1623/hysj.48.6.857.


Series 3-7, National Climatic Data 51421.
Center, Asheville, NC.
Tallaksen, L. M. Van Lanen, H. A. J. van eds.
Lanen, Kundzewicz, Tallaksen, Hisdal, 2004. Hydrological drought – processes
Fendekova, dan Prudhomme. 2008. and estimation methods for streamflow
Indice for Different Types of Drought and groundwater. Developments in
and Flood at Different Scale. Water and water Science, 48. Amsterdam: Elsevier
Global Change. Technical Report No. Science B.V, ISBN 0-444-51688-3, pp.
11. 579.
Marsh, N. A., Stewardson, M. J., Kennard, M. Tallaksen, L.M., madsen, H ‘, Clausen, B.
J. 2003. River Analysis Package, 1997. On the definition and modelling
Cooperative Research Centre for of streamflow drought duration and
Catchment Hydrology. Monash, deficit volume. Hydrological Sciences-
University Melbourne. Journal-des Sciences Hydrologiques,
42(1) February, 1997.
McKee, T. B., Doesken N. J., and Kleist, J.
1993. The relationship of drought UN-ISDR, 2009. Drought Risk Reduction
frequency and duration to time scales. Framework and Practices. United
Preprints, 8th Conference on Applied Nations International Strategy for
Climatology, 17-22 January, Anaheim, Disaster Reduction.
CA, pp. 179-184.
Walpole E. Ronald. 1995. Pengantar Statistik.
Nalbantis, I, and Tsakiris, G. 2008. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Assessment of Hydrological Drought
Wilhite, D. A. 2010. Quantification of
Revisited. Water Resources
agricultural drought for effective
Management 23 (5) (July 22): 881-897.
drought mitigation, in agricultural
Palmer, W. C., 1968. Keeping track of crop drought indices, Proceedings of an
moisture conditions, nationwide: the Expert Meeting 2-4 June. Murcia, Spain,
new Crop Moisture Index, Weatherwise, WMO, Geneva.
21:156-161.
Willeke, G., J. R. M. Hosking, J. R. Wallis,
Palmer, W. C., 1965. Meteorological Drought. and N. B. Guttman, 1994. The National
Research Paper No. 45, U.S. Drought Atlas. Institute for Water
Department of Commerce Weather Resources Report 94-NDS-4, U.S.
Bureau, Washington, D.C. Army Corps of Engineers.
Shafer, B. A. and L. E. Dezman, 1982.
Development of a Surface Water Supply
Index (SWSI) to assess the severity of
drought conditions in snowpack runoff
areas. Proceedings of the Western Snow
Conference, pp. 164-175.
Sivapalan, M , K. Takeuchi , S. W. Franks ,
V. K. Gupta , H. Karambiri , V.
Lakshmi , X. Liang , J. J. Mcdonnell , E.
M. Mendiondo , P. E. O'Connell , T.
Oki, J. W. Pomeroy , D. Schertzer , S.
UhlenbrooK and Zehe. 2003. IAHS
Decade on Predictions in Ungauged
Basins (PUB), 2003–2012: Shaping an
exciting future for the hydrological
sciences. Hydrological Sciences
Journal, 48:6, 857-880,

121

Anda mungkin juga menyukai