Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN : PRAGMATISME,


EKSTENSIALISME DAN PROGRESSIVISME”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Philosophy of Education

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
DHEA ANNISAH PUTRI
ELFINA SIAHAAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA BILINGUAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan
karunia Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah Aliran Filsafat Pendidikan :
Pragmatisme, Eksistensialisme dan Progressivisme.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Pd. yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pemahaman dan pengetahuan kami tentang
Aliran Filsafat Pendidikan : Pragmatisme, Eksistensialisme dan Progressivisme.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Prof.
Dr. Ibnu Hajar, M.Pd. Banyak kendala yang kami alami dalam menyusun makalah ini.Namun,
itu semua tidak menyurutkan niat kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati, semua kritik dan saran yang membangun kami harapkan
dari Bapak Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Pd. dan teman-teman yang sudi meluangkan waktunya
untuk menyimak isi dari makalah ini. Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya.

Medan, 19 Agustus 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1

1.2 Rumusan Permasalahan ........................................................... 1

1.3 Tujuan ...................................................................................... 2

1.4 Metode Penulisan ..................................................................... 2

BAB II KAJIAN TEORI ........................................................................... 3

2.1 Aliran Pragmatisme .................................................................. 3

2.1.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Pragmatisme ........ 3

2.1.2 Kekurangan & Kekurangan Aliran ................................. 3

2.1.3 Implementasi Aliran Terhadap Pendidikan .................... 4

2.2 Aliran Ekstensialisme .............................................................. 7

2.2.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Ekstensialisme..... 7

2.2.2 Kekurangan & Kelebihan Aliran .................................... 8

2.2.3 Implementasi Aliran Terhadap Pendidikan .................... 8

2.3 Aliran Progressivisme .............................................................. 10

2.3.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Progressivisme .... 12

2.3.2 Kekurangan & Kelebihan Aliran .................................... 12

2.3.3 Implementasi Aliran Terhadap Pendidikan .................... 13

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 14

3.1 Kesimpulan ............................................................................... 14

3.2 Saran ........................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Filsafat berasal dari bahasa yunani “Philos” yang memiliki arti kecintaan dan “Sophia”
yang memiliki arti kebijaksanaan. Jika diterjemahkan dari dua kata ini, maka filsafat dapat
diartikan sebagai kecintaan akan kebijaksanaan. Jika diartikan secara lengkap maka filsafat
dapat diartikan sebagai kajian mendalam yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan
didasarkan atas kecintaan seseorang terhadap ilmu pengetahuan tersebut.
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau
para filosofi sepanjang kurun waktu dengan objek permasalahan hidup di dunia, telah
melahirkan berbagai berbagai macam pandangan. Pandangan-pandangan para filosofi itu, ada
kalanya satu dengan yang lain hanya bersifat saling menguatkan, tapi tidak jarang pula yang
berbeda. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai para ahli berbeda,
walaupun objek permasalahannya sama. Karena itu, memunculkan beberapa pendapat atau
filsafat yang dapat disebut sebagai aliran.
Jika diterapkan dalam pendidikan, maka lahirlah apa yang disebut dengan filsafat
pendidikan yang artinya adalah sebuah ilmu filsafat yang terfokus pada bidang pendidikan.
Dalam hal ini, filsafat benar-benar difokuskan di setiap bagian dari bidang pendidikan dari
mulai kulit hingga akar-akarnya. Filsafat pendidikan akan membahas ilmu mengenai
pendidikan itu sendiri secara mendalam dan meluas di setiap bagian dari ilmu pendidikan yang
dimana terbagi dalam beberapa aliran.
Adapun berbagai aliran filsafat pendidikan yang ada di dunia ini.Namun pada tulisan ini
hanya menjelaskan tentang aliran pragmatisme, ekstensialisme dan progressivisme.Ketiga
aliran tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda serta pendapat-pendapat para ahli
filsafat yang berbeda-beda.
Sedikit penjelasan mengenai ketiga aliran tersebut, dimana aliran pragmatisme menuju
kepada kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia kearah hal-hal yang bersifat praktis,
kemampuan kecerdasan dan individual serta perbuatan dalam masyarakat.Aliran
ekstensialisme mengarah kepada mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan
keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.Sedangkan aliran progresivisme
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia serta bertahan menghadapi
semua tantangan hidup.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan aliran pragmatisme, eksistensialisme dan progressivisme?


2. Bagaimana pendapat para ahli filsafat mengenai aliran pragmatisme, eksistensialisme
dan progressivisme?
3. Bagaimana hubungan aliran pragmatisme, eksistensialisme dan progressivisme dalam
dunia pendidikan?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini adalah
1. Mengetahui pengertian aliran pragmatisme, eksistensialisme dan progressivisme.
2. Mengetahui arti pendapat para ahli filsafat mengenai aliran pragmatisme,
eksistensialisme dan progressivisme.
3. Mengetahui hubungan aliran pragmatisme, eksistensialisme dan progressivisme dalam
dunia pendidikan.

1.4 Metode Penulisan


Cara yang digunakan pada penelitian ini adalah metode pustaka, yaitu metode yan
dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan
dengan alat berupa informasi di internet.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Aliran Filsafat Pragmatisme


2.1.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action)
atau tindakan (practice). Isme di sini yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan
demikian pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti
tindakan yaitu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasil yang
bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang
penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.

Pragmatisme dapat disebut dengan filsafat praktis atau filsafat aplikasi praktis asal mula
penamaan filsafat ini adalah oleh filsuf Amerika Charles Sanders Peirce (1839-1914 M).
Pragmatisme adalah filsafat asli Amerika. Ketika anda mendengar kata pragmatisme, maka
akan terlintas di benak anda pemikiran tentang Amerika, karena keduanya mempunyai
keterkaitan antara sifat dan objek yang disifati. Filsafat ini menggambarkan masyarakat
Amerika, dimana kedudukan individu bersatu bukan atas dasar asal-usulnya, tapi atas dasar
kerja dan produksi yang dilakukannya.

Filsafat kerja atau pragmatisme ini bukan barang baru yang terputus dari historisitas
masa lalu. Ilmuan paling masyhur dari filsafat ini adalah William James, yang menyebutkan
dalam salah satu bukunya bahwa filsafat pragmatisme adalah nama baru untuk cara berpikir
(episteme) lama.

Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di
Amerika. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjembatani dua kecenderungan
berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni
pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang
spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui
idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.
Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan
pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio
tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya
sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan
sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan termasuk di
dalamnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

2.1.2 Kekurangan dan Kelebihan Aliran Pragmatisme


1. Kelebihan Teori Kebenaran Pragmatis
a. Obyek yang dikaji nyata (faktual)
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan di mana apa yang ditampilkan pada
manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama
lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja sehingga memiliki
landasan yang kokoh dan semakin berkembang.
b.Dapat menyelesaikan masalah secara cepat
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan
atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi
yang penuh keraguan dan keresahan, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang. Kaum
pragmatis menolak terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan
nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.Dalam
usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan
berbagai filosofi, kaum pragmatis menemukan suatu metode yang spesifik, yaitu dengan
mencari konsekwensi praktis (akibat yang berguna) dari setiap konsep atau gagasan dan
pendirian yang dianut masing-masing pihak. Menurut pragmatis, pelaksanaan atau praktek
hiduplah yang penting bukan pendapat atau teori.

2. Kelemahan Teori Kebenaran Pragmatis


a. Kebenaran bersifat dinamis (tidak tetap atau berubah-ubah)
Menurut teori kebenaran pragmatis tidak ada kebenaran mutlak dan bersifat statis (tetap).
Pengalaman dan pengetahuan kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
pengalaman senantiasa berkembang atau berubah, karena dalam prakteknya apa yang kita
anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman atau pengetahuan berikutnya. Dan apa yang
benar atau berguna kemarin, mungkin tidak benar atau tidak berguna untuk hari esok, tidak ada
jaminan untuk menetapkan bahwa pengetahuan yang sukses kemarin akan tetap sukses,
berguna, dan benar bagi hari esok.
b. Dapat membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat
dikerjakan (workability), dan akibat yang memuaskan (satisfactor consequence). Sedang
akibat yang memuaskan itu sendiri adalah apabila sesuatu itu sesuai dengan keinginan dan
tujuan, sesuai atau teruji benar dengan suatu eksperimen,dan ikut membantu dan mendorong
perjuangan biologis manusia untuk tetap eksis (ada). Hal ini dikarenakan, menurut pragmatis
tujuan semua kegiatan berpikir adalah kemajuan hidup, sehingga orang akan senantiasa survive
(bertahan hidup), memajukan dan memperkaya kehidupannya, baik secara rohani maupun
jasmani. Dan hal ini tentunyaakan mendorong manusia untuk berbuat apapun untuk mencapai
tujuan tersebut, meskipun cara tersebut salah menurut teori kebenaran yang lain khususnya
teori kebenaran religius. Yang terpenting menurut pragmatis adalah hasil akhir dari apa mereka
kerjakan, bukan proses yang sedang mereka kerjakan.
c. Kebenarannya bersifat subjektif
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala
sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau
hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari
pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan individu-
individu. Kebenarannya relatif bergantung pada pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki
oleh individu dalam memahami maupun memecahkan suatu masalah.

2.1.3 Implementasi Pragmatisme dalam Pendidikan

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat


belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di
sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan
untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan
pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan
lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan
melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi
dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasila.

1. Instrumemtalisme

Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan masalah. Dengan
demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung berkaitan
dengan kehidupan konkret.

2. Eksperimentalisme

Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan.Dengan demikian


maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya:
suatu UU terus menerus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai
pedoman untuk bertindak?Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan
kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.

3. Pendidikan

Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan pelajaran yang
diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan yang demikian
maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu
berbeda-beda.Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan kepada
anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.

4. Moral

Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia
dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah
”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi
proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah
serangkaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan
secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau
tidak

Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara
berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah
dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban
masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator.Model
pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih
berpikir secara logis.Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa,
implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup
tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:

 Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman


untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
 Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu
organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
 Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat
diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat
menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan
kebutuhan anak tersebut.
 Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif,
yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah
(problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and
discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang
memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan
terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan
bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh
siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
 Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.

Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang
mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan
bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga
diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada.
Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial
yang ada.
2.2 Aliran Filsafat Ekstensialisme
2.2.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Ekstensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis.Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang
biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji.
Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga
filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang
telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

a. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti
halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya,
pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan
kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.

b. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.

c. Situasi dan Kondisi Dunia


Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa
Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak
menentu.Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual.Penampilan manusia
penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang
disebut konvensi atau tradisi.Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang
mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama
di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.

2.2.2 Kekurangan dan Kelebihan Aliran Ekstensialisme


a. Kelebihan Eksistensialisme
 Menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna.
 Memberi semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan.

b. Kekurangan Eksistensialisme
 Sangat tidak puas dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan
jauh dari kehidupan.
 Penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu.
2.2.3 Implementasi Eksistensialisme dalam Pendidikan
Menurut A. Chaedar alwashilah, di dalam kelas, guru berperan sebagai fasilitator untuk
membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai bentuk jalan
untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensilis menganjurkan
pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembengunan
nalar. Sejalan dengan tujuan itu kuriklum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah
pilihan untuk dipilih siswa. Dapat ditebak bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan
mendapat penekanan relatif besar. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan
siswa melakukan ekspresi diri, atara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu
merupakan alat untuk memungkinkan siswa “berfilsafat” tentang makna dari pengalaman
hidup, cinta, dan kematian. Pendidikan vokasional lebih sebagai cara mengajar siswa mengenal
dirinya bukan untuk mendapatkan penghidupan. Dalam bidang seni, aliran ini mendorong
kreatifitas dan imaginasi siswa bukan sekedar meniru dan membeo apa yang sudah ada. Siswa
dilihat sebagai individu, dan belajar seyogianya disesuaikan dengan kecepatan siswa dan siswa
mengarahkan belajar untuk kepentingan dirinya sendiri.

Uyoh Sadulloh dalam bukunya Filsafat Pendidikan, menjelaskan tentang implikasi


filsafat eksistensialisme dalam pendidikan sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan
dan perhatian yang spesifik berkaitan dnegan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan
kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secar umum.

2. Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hali itu berkontribusi
pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal
disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan
para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih
penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat
menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan
seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi
dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh
pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori.
Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.

3. Proses belajar-mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan
dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi
dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber
kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak
guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan
dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan
merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya
dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari
transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat
dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan.
Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi
guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi
dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan
kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi
miliknya sendiri.

4. Peranan guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam
semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun
demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri
pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine
Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika
kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga
yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan
proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa
memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka
menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan
banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam
suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide
lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan
melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih
dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus
belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga
siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak
mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas
agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode
utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi
guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog
dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan
dirinya.

2.3 Aliran Filsafat Progressivisme


2.3.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Progressivisme
Progresisvisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan
kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan, progressivisme
merupakan suatu aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya
pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik , tetapi hendaklah berisi berbagai
aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh,
sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti penyediaan
ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis, pertimbangan dan pembuatan
kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan
masalah yang tengah dihadapi. Dengan kemampuan berpikir yang baik, subjek didik akan
menghasilkan keputusan-keputusan terbaik pula untuk dirinya dan masyarakat serta mudah
beradaptasi dengan lingkungan.

Para progresivis berkeyakinan bahwa manusia secara ilmiah memiliki kemampuan-


kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan atau mengatasi berbagai problem
kehidupannya menuju suatu perkembangan yang lebih baik, yang mengarah kepada
suatu progress. Pendidikan dalam hal ini dipaandang sebagai suatu motor
bagi penumbuhkembangan kemampuan dasar subjek didik agar mampu memecahkan
kesulitan-kesulitan yang memiliki hubungan strategis dengan pertumbuhan sikap kemandirian
subjek didik dalam pengambilan keputusan berdasarkan cara-cara yang logis dan dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Slogan yang pantas untuk aliran ini adalah bahwa dari
kepekaan subjek didik terhadap berbagai problem yang ada disekitarnya, akan muncul
keinginan; dari keinginan akan muncul kreativitas dari kreativitas akan muncul prediksi dan
dari prediksi akan muncul aksi yang akan membawa pada perubahandan kemajuan.

Secara historis, progresivisme telah muncul pada abad ke 19, namun baru berkembang
secara pesat pada abad ke-20, terutama di negara Amerika Serikat.Bahkan pemikiran yang
dikembangkan aliran ini pun sesungguhnya memiliki benang merah yang secara tegas dapat
dilihat sejak zaman Yunani Kuno, seperti Heraklitos (544-450 M), Protagoras (480-410 M),
Socrates (469-391 M), dan Aristoteles (384-322 M).

Sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap
kebijakan-kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah
diwariskan oleh filsafat abad ke-19 yang dianggap kurang kondusif dalam melahirkan manusia-
manusia sejati. Aliran ini memndang bahwa metodologi pendidikan konvensional yang
menekankan pelaksanaan pendidikan melalui mental dicipline, passive learning yang telah
menjadi karakteristik pendidikan selama ini tidak sesuai dengan watak humanitas manusia
yang sebenarnya

Progresivisme muncul dari tokoh-tokoh filsafat pragmatis seperti Charles S. Peirce,


William James dan John Dewey dan eksperimentalisme, seperti Francis Bacon. Tokoh lain
yang juga ,memicu lahirnya aliran ini adalah John Locke dengan ajaran filsafatnya tentang
kebebasan politik dan J.J Rousseau dengan ajarannya yang meyakini bahwa kebaikan berada
dalam diri manusia dan telah dibawanya sejak lahir dan oleh karena itu ialah yang harus
mempertahankan kebaikan itu agar selalu ada dalam dirinya.

Dalam konteks pendidikan, perkembangan progresivisme tidak dapat dilepaskan dari


pemikiran John Dewey yang menyatakan bahwa hidup selalu berubah dan selalu
menuju pembaharuan-pembaharuan.oleh karena itu pendidikan mestilah dianggap sebagai alat
sekaligus juga pembaharuan hidup, sehingga dalam hal ini, sekolah juga mesti dianggap
sebagai kebutuhan manusia untuk hidup dan sebagai pertumbuhan bagi gerak maju suatu
masyarakat.

Progresivisme beranggapan bahwa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh


manusia tidak lain adalah karena kemampuan manusia dalam mengembangkan berbagai ilmu
pengetahuan berdasarkan tata logis dan sistematisasi berpikir ilmiah. Oleh karena itu, tugas
pendidikan adalah melatih kemampuan-kemampuan subjek didiknya dalam memecahkan
berbagai masalah kehidupan yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan yang
berguna bagi kehidupannya dalam masyarakat.
Manusia pada hakikatnya akan selalu menunjuk ke arah kemajuan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan mestilah berfungsi sebagai wahana tumbuh kembang daya kreativitas
subjek didiknya.Semangat berbuat dan mengadakan perubahan yang tentu berguna bagi
pengembangan diri dan masyarakatnya.Semangat mengadakan pendidikan tanpa tanpa
memberikan perhatian penuh pada kemampuan subjek didik secara individu.Oleh karena itu,
azas kebebasan individu dan demokrasi mestilah pula menjadi landasan bagi keseluruhan
aktivitas pembelajaran pada lembaga pendidikan.

Progressivisme berpendapat bahwa akal manusia bersifat aktif dan selalu ingin mencari
tahu dan meneliti, sehingga ia tidak mudah menerima begitu saja suatu pandangan atau
pendapat sebelum ia benar-benar membuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu
pengetahuan lahir berdasarkan pada pembuktian-pembuktian eksperimentasi di dunia empris.

2.3.2 Kekurangan dan Kelebihan Aliran Progressivisme


Kekurangan Aliran Progressivisme :
1. Mengabaikan kurikulum yang telah ditentukan, yang menjadi tradisi sekolah.
2. Mengurangi bimbinan dan penaruh guru. Siswa memilih aktivitas sendiri.
3. Siswa menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, ia menjadi manusia yang tidak
memiliki self discipline, dan tidak mau berkorban demi kepentingan umum.

Kekurangan Aliran Progressivisme :


1. Siswa diberi kebebasan untuk mengembankan bakat dan kemempuannya
2. Siswa diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya
3. Siswa belajar untuk mencari tahu sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang
timbul di awal pembelajaran. Dengan mendapatkan sendiri jawaban itu, siswa pasti
akan lebih mengingat materi yang sedang dipelajari.
4. Membentuk output yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah memiliki keahlian dan
kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.

2.3.3 Implementasi Progressivisme dalam Pendidikan


Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan mestilah dimaknai sebagai sebuah proses
yang berlandaskan pada asas pragmatis. Dengan asas ini pendidikan bertujuan untuk
memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu
belajar dan berbuat.Belajar mesti pula terpusat pada anak didik, buka pada pendidik.Pendidik
progresif selalu melatih anak didiknya untuk mampu memecahkan problem-problem yang ada
dalam kehidupan.Seorang progresif mesti menggiring pemahaman kepada anak didiknya,
bahwa belajar adalah suatu kebutuhan anak didik dan ialah yang ingin belajar. Oleh karena itu,
anak didik progresif mesti selalu mampu menghubungkan apa yang ia pelajari dengan
kehidupannya.
Inti proses pendidikan bagi aliran ini terdapat pada anak didik, karena anak didik dalam
konsepnya adalah manusia yang memiliki potensi rasio dan intelektual yang akan berkembang
melalui pengkondisian pendidikan. Kendatipun demikian, anak didik mesti menentukan sendiri
proses belajarnya. Eksistensinya memerlukan bimbingan dan pengarahan dari para pendidik.
Penerapan aliran progresivisme dalam pengembangan pendidikan Indonesia sangat
berpengaruh besar, karena progresivisme disini merupakan pendidikan yang berpusat pada
siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik” dan
aliran ini juga telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik.
Anak didik diberi kebaikan, baik fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh
orang lain dan ini sangat bagus dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Peran pendidikan progresivisme selalu menekankan akan tumbuh dan berkembangnya
pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan kepada diri
sendiri bagi peserta didik.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

…………….

Aliran Progresivisme dapat diartikan secara umum sebagai aliran yang menginginkan
kemajuan-kemajuan secara cepat. Progresivisme disebut juga instrumentalisme, karena aliran
ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
mengembangkan kepribadian manusia.Filsafat progresivisme dalam pendidikan adalah suatu
aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan
pengetahuan kepada subjek didik tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada pelatihan kemampuan berpikir mereka. Dengan demikian mereka dapat berpikir secara
sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti memberikan analisis, pertimbangan dan
pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk
pemecahan masalah yang dihadapi. Progresivisme berakar pada pragmatism yaitu sasaran
pendidikan ialah meningkatkan kecerdasan praktis (kompetensi) dalam rangka efektivitas
pemecahan masalah yang disajikan melalui pengalaman dan nilai bersifat relative, terutama
nilai duniawi, menjelajah aktif, evolusioner dan konsekuensi perilaku.

3.2 Saran

……..
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_pendidikan

https://lenterakecil.com/hubungan-filsafat-dan-pendidikan/

http://supriadiucuptea.blogspot.com/2012/04/aliran-aliran-filsafat-pendidikan.html

https://awnurul.wordpress.com/2016/12/14/aliran-aliran-filsafat-pendidikan/

http://lumoshine.com/2009/09/filsafat-pendidikan-progresivisme.html

http://rasailal-murakkab.blogspot.com/2013/11/makalah-filsafat-umum-pragmatisme.html

http://fitrianahadi.blogspot.com/2014/05/makalah-filsafat-pragmatisme.html

http://blog.unnes.ac.id/arismuhtarom/2015/11/21/aliran-filsafat-pragmatisme-dalam-
pendidikan/

http://popiamalia21.blogspot.com/2015/10/makalah-eksistensialisme.html

http://singokalijogo.blogspot.com/2014/04/aliran-eksistensialisme-dalam-pandangan.html

Anda mungkin juga menyukai