D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
DHEA ANNISAH PUTRI
ELFINA SIAHAAN
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan
karunia Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah Aliran Filsafat Pendidikan :
Pragmatisme, Eksistensialisme dan Progressivisme.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Pd. yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pemahaman dan pengetahuan kami tentang
Aliran Filsafat Pendidikan : Pragmatisme, Eksistensialisme dan Progressivisme.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Prof.
Dr. Ibnu Hajar, M.Pd. Banyak kendala yang kami alami dalam menyusun makalah ini.Namun,
itu semua tidak menyurutkan niat kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati, semua kritik dan saran yang membangun kami harapkan
dari Bapak Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Pd. dan teman-teman yang sudi meluangkan waktunya
untuk menyimak isi dari makalah ini. Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Pragmatisme dapat disebut dengan filsafat praktis atau filsafat aplikasi praktis asal mula
penamaan filsafat ini adalah oleh filsuf Amerika Charles Sanders Peirce (1839-1914 M).
Pragmatisme adalah filsafat asli Amerika. Ketika anda mendengar kata pragmatisme, maka
akan terlintas di benak anda pemikiran tentang Amerika, karena keduanya mempunyai
keterkaitan antara sifat dan objek yang disifati. Filsafat ini menggambarkan masyarakat
Amerika, dimana kedudukan individu bersatu bukan atas dasar asal-usulnya, tapi atas dasar
kerja dan produksi yang dilakukannya.
Filsafat kerja atau pragmatisme ini bukan barang baru yang terputus dari historisitas
masa lalu. Ilmuan paling masyhur dari filsafat ini adalah William James, yang menyebutkan
dalam salah satu bukunya bahwa filsafat pragmatisme adalah nama baru untuk cara berpikir
(episteme) lama.
Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di
Amerika. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjembatani dua kecenderungan
berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni
pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang
spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui
idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.
Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan
pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio
tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya
sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan
sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan termasuk di
dalamnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
1. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan masalah. Dengan
demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung berkaitan
dengan kehidupan konkret.
2. Eksperimentalisme
3. Pendidikan
Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan pelajaran yang
diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan yang demikian
maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu
berbeda-beda.Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan kepada
anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
4. Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia
dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah
”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi
proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah
serangkaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan
secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau
tidak
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara
berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah
dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban
masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator.Model
pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih
berpikir secara logis.Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa,
implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup
tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang
mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan
bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga
diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada.
Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial
yang ada.
2.2 Aliran Filsafat Ekstensialisme
2.2.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Ekstensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis.Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang
biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji.
Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga
filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang
telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
a. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti
halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya,
pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan
kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
b. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
b. Kekurangan Eksistensialisme
Sangat tidak puas dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan
jauh dari kehidupan.
Penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu.
2.2.3 Implementasi Eksistensialisme dalam Pendidikan
Menurut A. Chaedar alwashilah, di dalam kelas, guru berperan sebagai fasilitator untuk
membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai bentuk jalan
untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensilis menganjurkan
pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembengunan
nalar. Sejalan dengan tujuan itu kuriklum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah
pilihan untuk dipilih siswa. Dapat ditebak bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan
mendapat penekanan relatif besar. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan
siswa melakukan ekspresi diri, atara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu
merupakan alat untuk memungkinkan siswa “berfilsafat” tentang makna dari pengalaman
hidup, cinta, dan kematian. Pendidikan vokasional lebih sebagai cara mengajar siswa mengenal
dirinya bukan untuk mendapatkan penghidupan. Dalam bidang seni, aliran ini mendorong
kreatifitas dan imaginasi siswa bukan sekedar meniru dan membeo apa yang sudah ada. Siswa
dilihat sebagai individu, dan belajar seyogianya disesuaikan dengan kecepatan siswa dan siswa
mengarahkan belajar untuk kepentingan dirinya sendiri.
2. Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hali itu berkontribusi
pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal
disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan
para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih
penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat
menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan
seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi
dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh
pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori.
Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
3. Proses belajar-mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan
dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi
dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber
kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak
guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan
dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan
merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya
dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari
transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat
dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan.
Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi
guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi
dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan
kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi
miliknya sendiri.
4. Peranan guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam
semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun
demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri
pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine
Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika
kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga
yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan
proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa
memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka
menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan
banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam
suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide
lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan
melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih
dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus
belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga
siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak
mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas
agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode
utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi
guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog
dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan
dirinya.
Secara historis, progresivisme telah muncul pada abad ke 19, namun baru berkembang
secara pesat pada abad ke-20, terutama di negara Amerika Serikat.Bahkan pemikiran yang
dikembangkan aliran ini pun sesungguhnya memiliki benang merah yang secara tegas dapat
dilihat sejak zaman Yunani Kuno, seperti Heraklitos (544-450 M), Protagoras (480-410 M),
Socrates (469-391 M), dan Aristoteles (384-322 M).
Sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap
kebijakan-kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah
diwariskan oleh filsafat abad ke-19 yang dianggap kurang kondusif dalam melahirkan manusia-
manusia sejati. Aliran ini memndang bahwa metodologi pendidikan konvensional yang
menekankan pelaksanaan pendidikan melalui mental dicipline, passive learning yang telah
menjadi karakteristik pendidikan selama ini tidak sesuai dengan watak humanitas manusia
yang sebenarnya
Progressivisme berpendapat bahwa akal manusia bersifat aktif dan selalu ingin mencari
tahu dan meneliti, sehingga ia tidak mudah menerima begitu saja suatu pandangan atau
pendapat sebelum ia benar-benar membuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu
pengetahuan lahir berdasarkan pada pembuktian-pembuktian eksperimentasi di dunia empris.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
…………….
Aliran Progresivisme dapat diartikan secara umum sebagai aliran yang menginginkan
kemajuan-kemajuan secara cepat. Progresivisme disebut juga instrumentalisme, karena aliran
ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
mengembangkan kepribadian manusia.Filsafat progresivisme dalam pendidikan adalah suatu
aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan
pengetahuan kepada subjek didik tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah
pada pelatihan kemampuan berpikir mereka. Dengan demikian mereka dapat berpikir secara
sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti memberikan analisis, pertimbangan dan
pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk
pemecahan masalah yang dihadapi. Progresivisme berakar pada pragmatism yaitu sasaran
pendidikan ialah meningkatkan kecerdasan praktis (kompetensi) dalam rangka efektivitas
pemecahan masalah yang disajikan melalui pengalaman dan nilai bersifat relative, terutama
nilai duniawi, menjelajah aktif, evolusioner dan konsekuensi perilaku.
3.2 Saran
……..
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_pendidikan
https://lenterakecil.com/hubungan-filsafat-dan-pendidikan/
http://supriadiucuptea.blogspot.com/2012/04/aliran-aliran-filsafat-pendidikan.html
https://awnurul.wordpress.com/2016/12/14/aliran-aliran-filsafat-pendidikan/
http://lumoshine.com/2009/09/filsafat-pendidikan-progresivisme.html
http://rasailal-murakkab.blogspot.com/2013/11/makalah-filsafat-umum-pragmatisme.html
http://fitrianahadi.blogspot.com/2014/05/makalah-filsafat-pragmatisme.html
http://blog.unnes.ac.id/arismuhtarom/2015/11/21/aliran-filsafat-pragmatisme-dalam-
pendidikan/
http://popiamalia21.blogspot.com/2015/10/makalah-eksistensialisme.html
http://singokalijogo.blogspot.com/2014/04/aliran-eksistensialisme-dalam-pandangan.html