Anda di halaman 1dari 21

A.

Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya.


Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita
memerlukan sumber daya alam dari ingkungan untuk memenuhi
kebutuhan. Kebutuhan sandang, pangan, papan semuanya
memerlukan lingkungan. Namun dalam pemanfaatan sumber daya
tersebut, terkadang manusia tidak memperhatikan dampak yang akan
ditimbulkan juga serakah dalam pemanfaatan lingkungan tersebut.
Sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan dan
pencemaran lingkungan. Pada akhirnya berdampak pada manusia itu
sendiri. Sehingga akan mengancam kelestarian makhluk hidup di
dalamnya termasuk manusia.
Salah satu pencemaran lingkungan adalah pencemaran udara.
Semua makhluk hidup memerlukan udara. Udara merupakan salah
satu kebutuhan paling penting dalam kehidupan, maka udara perlu
dijaga agar tidak tercemar oleh bahan-bahan yang bersifat racun.
Udara dimana di dalamnya terkandung sejumlah oksigen, merupakan
komponen esensial bagi kehidupan, baik manusia maupun makhluk
hidup lainnya. Udara merupakan campuran dari gas, yang terdiri dari
sekitar 78 %Nitrogen, 20 % Oksigen; 0,93 % Argon; 0,03 % Karbon
Dioksida
(CO2)
dan
sisanya
terdiri
dari Neon (Ne), Helium (He), Metan (CH4)
dan Hidrogen (H2).
Udara
dikatakan "Normal" dan dapat mendukung kehidupan manusia apabila
komposisinya seperti tersebut diatas. Sedangkan apabila terjadi
penambahan gas-gas lain yang menimbulkan gangguan serta
perubahan komposisi tersebut, maka dikatakan udara sudah
tercemar/terpolusi. Pencemaran udara berwujud gas dalam pertikelpartikel. Pencemaran udara yang berwujud gas antara gas metana, gas
belerang oksida, gas hidrogen sulfida, dan karbon monoksida dari
kendaraan bermotor, adapun pencemaran udara berwujud partikel
antara lain debu, abu, dan asap.
Akibat aktifitas perubahan manusia udara seringkali menurun
kualitasnya. Perubahan kualitas ini dapat berupa perubahan sifat-sifat
fisis maupun sifat-sifat kimiawi. Perubahan kimiawi, dapat berupa
pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang
terkandung dalam udara, yang lazim dikenal sebagai pencemaran
udara. Kualitas udara yang dipergunakan untuk kehidupan tergantung
dari lingkungannya. Kemungkinan disuatu tempat dijumpai debu yang
bertebaran dimana-mana dan berbahaya bagi kesehatan. Demikian
juga suatu kota yang terpolusi oleh asap kendaraan bermotor atau
angkutan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Kebakaran hutan merupakan proses yang paling dominan dalam
kemampuannya menimbulkan polusi udara di samping juga proses
atrisi dan penguapan. Karena dari pembakaran itulah akan
meningkatkan bahan berupa substrat fisik atau kimia ke dalam

lingkungan udara normal yang mencapai jumlah tertentu, sehingga


dapat dideteksi dan memberikan efek terhadap manusia, hewan,
vegetasi dan material.
Dampak kebakaran yang sangat dirasakan manusia berupa
kerugian ekonomis yaitu hilangnya manfaat dari potensi hutan seperti
tegakan pohon hutan yang biasa digunakan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya akan bahan bangunan, bahan makanan, dan obatobatan, serta satwa untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani
dan rekreasi. Kerugian lainnya berupa kerugian ekologis yaitu
berkurangnya luas wilayah hutan, tidak tersedianya udara bersih yang
dihasilkan vegetasi hutan serta hilangnya fungsi hutan sebagai
pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi.
Dampak global dari kebakaran hutan dan lahan yang langsung
dirasakan adalah pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan
mengakibatkan gangguan pernapasan dan mengganggu aktifitas
sehari-hari. Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada
tahun 1997 1998 dan 2002 2005 dan 2015 menghasilkan asap yang
juga dirasakan oleh masyarakat Malaysia, Singapura, dan Brunei
Darussalam serta mengancam terganggunya hubungan transportasi
udara antar negara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah diatas, maka dapat di rumuskan sebagai
berikut ;
1. Apakah penyebab Kebakaran hutan di Indonesia ?
2. Apa saja dampak kebakaran hutan bagi manusia, hewan dan
tumbuhan ?
3. Bagaimana cara menanggulangi kebakaran hutan ?
4. Bagaimana cara mengatasi dampak dari kabut asap yang di
sebakan oleh kebakaran hutan ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan
karya ilmiah ini adalah sebagai berikut ;
1. Mengetahui penyebab kebakaran hutan di Indonesia
2. Mengetahui dampak kebakaran hutan bagi manusia, hewan, dan
tumbuhan
3. Mengetahui cara menanggulangi kebakaran hutan
4. Mengetahui cara mengatasi dampak dari kabut asap yang di
sebakan oleh kebakaran hutan
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dari karya ilmiah ini adalah untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah pencemaran lingkungan yang
membahas tentang pencemaran udara juga sebagai media informasi
kepada para pemaca untuk mengetahui sebab akibat serta solusi dari
bencana kabut asap yang di sebabkan oleh kebakaran hutan saat ini.
E. Kajian Teori

1. Penyebab kebakaran hutan di Indonesia


Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan
sama sekali. Beberapa gas seperti Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen
Dioksida (NO2), Karbon Monoksida (CO) dan Ozon (O3) selalu
dibebaskan ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses
alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman,
kebakaran hutan dan lain sebagainya. Selain disebabkan oleh
polutan alami tersebut, polutan udara juga dapat disebabkan oleh
aktivitas manusia ( Indah, 2014).
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia
untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai
pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai
teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi
perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka
hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu
satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api
unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan
bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya
sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi
secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim
saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10
ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka
lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah
lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa
kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia
(Schweithelm, J dan D. Glover, 1999).
Menurut Fachmi Rasyid (2014) dalam Journalnya yang telah di
muat dalam Widyaswara Network Journal, Kebakaran hutan dan
lahan terjadi disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama yaitu faktor
alami dan faktor kegiatan manusia yang tidak terkontrol. Faktor
alami antara lain oleh pengaruh El-Nino yang menyebabkan
kemarau berkepanjangan sehingga tanaman menjadi kering.
Tanaman kering merupakan bahan bakar potensial jika terkena
percikan api yang berasal dari batubara yang muncul dipermukaan
ataupun dari pembakaran lainnya baik disengaja maupun tidak
disengaja. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kebakaran bawah
(ground fire) dan kebakaran permukaan (surface fire).
Dua tipe kebakaran tersebut merusak semak belukar dan
tumbuhan bawah hingga bahan organik yang berada di bawah
lapisan serasah seperti humus, gambut, akar pohon ataupun kayu
yang melapuk. Apabila lambat ditangani kebakaran dapat terjadi
meluas sehingga menimbulkan kebakaran tajuk (crown fire) dimana
kebakaran ini merusak tajuk pohon. Akan tetapi tipe kebakaran
terakhir ini dapat terjadi juga karena adanya sembaran petir.
Faktor kegiatan manusia yang menyebabkan kebakaran hutan
dan lahan antara lain adanya kegiatan pembuatan api unggun di
dalam hutan, namun bara bekas api unggun tersebut tidak
dipadamkan. Adanya kegiatan pembukaan lahan dengan teknik

tebang-tebas-bakar yang tidak terkontrol, biasa dilakukan oleh


perusahaan HTI dan peladang berpindah ataupun menetap.
Pembakaran secara disengaja untuk mendapatkan lapangan
penggembalaan atau tempat berburu, membuang puntung rokok
yang menyala secara sembarangan serta akibat penggunaan
peralatan/mesin yang menyebabkan timbulnya api.
Secara umum kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia
disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu kondisi bahan bakar, cuaca,
dan sosial budaya masyarakat. Kondisi bahan bakar yang rawan
terhadap bahaya kebakaran adalah jumlahnya yang melimpah di
lantai hutan, kadar airnya relatif rendah (kering), serta ketersediaan
bahan bakar yang berkesinambungan.
Faktor iklim berupa suhu, kelembaban, angin dan curah hujan
turut menentukan kerawanan kebakaran. Suhu yang tinggi akibat
penyinaran matahari langsung menyebabkan bahan bakar
mengering dan mudah terbakar, kelembaban yang tinggi (pada
hutan dengan vegetasi lebat) mengurangi peluang terjadinya
kebakaran hutan, angin juga turut mempengaruhi proses
pengeringan bahan bakar serta kecepatan menjalarnya api
sedangkan curah hujan mempengaruhi besar kecilnya kadar air
yangterkandung dalam bahan bakar.
Faktor sosial budaya masyarakat mempunyai andil yang paling
besar terhadap adanya kebakaran hutan. Beberapa faktor
penyebab kebakaran hutan antara lain :
a. Penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan

Masyarakat di sekitar kawasan hutan seringkali


menggunakan api untuk persiapan lahan, baik untuk
membuat lahan pertanian maupun perkebunan seperti kopi
dan coklat. Perbedaan biaya produksi yang tinggi menjadi
satu faktor pendorong penggunaan api dalam kegiatan
persiapan lahan. Metode penggunaan api dalam kegiatan
persiapan lahan dilakukan karena murah dari segi biaya
dan efektif dari segi waktu dan hasil yang dicapai cukup
memuaskan.

b. Adanya kekecewaan terhadap sistem pengelolaan hutan


Berbagai konflik sosial sering kali muncul di tengahtengah masyarakat sekitar kawasan hutan. Konflik yang dialami
terutama masalah konflik atas sistem pengelolaan hutan yang
tidak memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat. Adanya
rasa tidak puas sebagian masyarakat atas pengelolaan hutan
bisa memicu masyarakat untuk bertindak anarkis tanpa
memperhitungkan kaidah konservasi maupun hukum yang ada.
Terbatasnya pendidikan masyarakat dan minimnya pengetahuan
masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan sangat berpengaruh
terhadap tindakan mereka dalam mengelola hutan yang
cenderung desdruktif.
c. Pembalakan liar atau illegal logging.
Kegiatan pembalakan liar atau illegal logging lebih banyak
menghasilkan lahan-lahan kritis dengan tingkat kerawanan

kebakaran yang tinggi. Seringkali, api yang tidak terkendali


secara mudah merambat ke areal hutan-hutan kritis tersebut.
Kegiatan pembalakan liar atau illegal logging seringkali
meninggalkan bahan bakar (daun, cabang, dan ranting) yang
semakin lama semakin bertambah dan menumpuk dalam
kawasan hutan yang dalam musim kemarau akan mengering
dan sangat bepotensi sebagai penyebab kebakaran hutan.
d. Kebutuhan akan Hijauan Makanan Ternak (HMT)

Kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan tidak


lepas dari ternak dan penggembalaan. Ternak (terutama
sapi) menjadisalah satu bentuk usaha sampingan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebutuhan akan
HMT dan areal penggembalaan merupakan salah satu hal
yang harus dipenuhi. Untuk mendapatkan rumput dengan
kualitas yang bagus dan mempunyai tingkat palatabilitas
yang tinggi biasanya masyarakat membakar kawasan
padang rumput yang sudah tidak produktif. Setelah areal
padang rumput terbakar akan tumbuh rumput baru yang
kualitasnya lebih bagus dan kandungan gizinya tinggi.

e. Perambahan hutan
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya sebagai agen
penyebab kebakaran hutan adalah migrasi penduduk dalam
kawasan hutan (perambah hutan). Disadari atau tidak bahwa
semakin lama, kebutuhan hidup masyarakat akan semakin
meningkat seiring semakin bertambahnya jumlah keluarga dan
semakin kompleknya kebutuhan hidup. Hal tersebut menuntut
penduduk untuk menambah luasan lahan garapan mereka agar
hasil pertanian mereka dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
f. Sebab lain

Sebab lain yang bisa menjadi pemicu terjainya


kebakaran adalah faktor kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap bahaya api. Biasanya bentuk kegiatan yang
menjadi penyebab adalah ketidaksengajaan dari pelaku.
Misalnya masyarakat mempunyai interaksi yang tinggi
dengan hutan. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah
kebiasaan penduduk mengambil rotan yang biasanya
sambil bekerja mereka menyalakan rokok. Dengan tidak
sadar mereka membuang puntung rokok dalam kawasan
hutan yang mempunyai potensi bahan bakar melimpah
sehingga memungkinkan terjadi kebakaran.
2. Dampak Kebakaran Hutan Bagi Keanekaragaman Hayati
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber
plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur
tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu

pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD


45, UU No. 5 tahun 1990, UU No. 41 tahun 1999, UU No 32 tahun
2009, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri
Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen
Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan
terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20
%. Ini sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah
satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan
pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu
lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan
meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang
sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata
1oC akan lebih panas menjelang tahun 2025. Peningkatan
permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi
cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan
taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya
dapat terjadi.
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang
makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis,
menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi
hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun
global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta
mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara.
Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini
telah melintasi batas negara.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran
hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum
(undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum
memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup
besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran
hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat
beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987,
1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian
yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran
hutan (Rasyid, 2014).
Kepala
Pusat
Data
dan
Informasi
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho
mengatakan, luas area kebakaran huan dan lahan (karhutla) yang
terjadi tahun 2015 sudah setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI
Jakarta
atau
empat
kali
Pulau
Bali.
Pernyataan tersebut ia dasarkan pada data Terra Modis per 20
Oktober lalu. Total hutan dan lahan yang terbakar sudah sebesar
2.089.911
hektare.
Sutopo memaparkan, luas area tersebut sebenarnya belum setara
dengan sebaran karhutla tahun 1997. Meski demikian, karhutla
tahun ini lebih parah dibandingkan bencana 18 tahun silam
tersebut.

Gambar 1. Peta titik penyebaran kebakaran hutan di Indonesia


pada tanggal 19 Oktober 2015
Hingga 20 Oktober, BNPB mencatat lahan gambut yang
terbakar paling banyak terjadi di Kalimantan dengan luas 267.974
hektare. Provinsi Kalimantan Tengah menyumbang besaran lahan
gambut terbakar terbanyak dengan 196.987 hektare. Kebakaran
gambut itu paling banyak terjadi Kabupaten Seruyan dan
Kotawaringin Timur. Menyusul Kalimantan, Sumatra berada di posisi
kedua sebagai pulau yang lahan gambutnya paling banyak
terbakar, yaitu 267.974 hektare. Lahan gambut yang dilahap api di
Sumatra Selatan mencapai 144.410 hektare. Kabupaten Ogan
Komering Ilir memiliki titik api terbanyak di wilayah tersebut.
Tidak hanya terjadi di Kalimantan dan Sumatra, kebakaran
gambut juga terjadi di Papua, yakni seluas 31.214 hektare. Provinsi

Merauke, Mappi, dan Boven Digul menyumbang titik api terbanyak


di Papua. Menurut data BNPB, karhutla tahun 2015 sebenarnya
tidak didominasi lahan gambut. Lahan non-gambut yang terbakar
hingga 20 Oktober lalu telah mencapai 1.471.337 hektare.
Dampak negatif pada lingkungan fisik antara lain meliputi
penurunan
kualitas
udara
akibat
kepekatan
asap
yang
memperpendek jarak pandang sehingga mengganggu transportasi,
mengubah sifat fisika-kimia dan biologi tanah, mengubah iklim
mikro akibat hilangnya tumbuhan, bahkan dari segi lingkungan
global ikut memberikan andil terjadinya efek rumah kaca. Dampak
pada lingkungan hayati antara lain meliputi menurunnya tingkat
keanekaragaman
hayati,
terganggunya
suksesi
alami,
terganggunya produksi bahan organik dan proses dekomposisi.
Dampak pada kesehatan yaitu timbulnya asap yang
mengganggu kesehatan masyarakat terutama masyarakat miskin,
lanjut usia, ibu hamil dan anak balita seperti infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia, iritasi
mata dan kulit. Dampak sosial yaitu hilangnya mata pencaharian,
rasa keamanan dan keharmonisan masyarakat lokal (Kantor Meneg
L.H., 1998). Selain itu, diduga kebakaran hutan ini dapat
menghasilkan racun dioksin, yang dapat menyebabkan kanker dan
kemandulan bagi wanita. Kabut asap sangat berbaya untuk
kesehatan. Berikut ini adalah beberapa penyakit yang dapat dipicu
oleh paparan kabut asap yang terlalu lama atau intens:
a. Asma
Pada pasien dengan riwayat atau kecenderungan asma,
serangan sesak nafas dapat terjadi karena adanya benda asing
pemicu alergi, terutama yang terhirup saluran nafas. Partikel
kecil yang terkandung dalam kabut asap dapat masuk ke dalam
saluran pernapasan, serperti rokok, sehingga memicu terjadinya
proses peradangan di saluran nafas dan memicu sesak nafas.
Penduduk yang mengidap asma, terutama anak-anak, adalah
kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap ancaman
kabut asap.
b. PPOK
PPOK (penyakit Paru Obstruktif Kronik) merupakan
penyakit yang ditandai dengan keterbatasan jalan udara yang
progresif dan tidak dapat sepenuhnya bisa pulih kembali, seperti
bronkhitis kronis dan emfisema. Menurut Yayasan Paru-paru
Kanada, kabut asap yang disebabkan kebakaran hutan bisa
berakibat fatal pada penderita PPOK, karena mengurangi kinerja
paru-paru. Semakin lama pasien terpapar kabut asap, semakin
besar juga risiko kematian akibatnya.
c. ISPA dan Pneumonia
Pada dasarnya, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
serta peneumonia disebabkan oleh adanya infeksi bakteri/virus.
Kabut asap membawa partikel dan gas yang dapat menganggu,
misalnya senyawa yang mengandung zat-zat berbahaya seperti
karbon monoksida. Akibat paparan kabut asap, biasanya

kemampuan paru-paru untuk menangani infeksi menjadi lebih


rendah. Selain itu hal ini juga ditambah dengan adanya
peradangan pada saluran nafas, penurunan daya tahan tubuh,
serta faktor lingkungan, sehingga tubuh menjadi lebih mudah
terkena infeksi.
d. Jantung
Menurut suatu studi yang dipublish oleh Journal of the
American Heart Association,kabut asap dapat memicu gangguan
jantung, seperti henti jantung dan gangguan jantung iskemik.
Hal ini dapat terjadi dengan paparan singkat (beberapa jam)
atau paparan jangka panjang (beberapa tahun). Berdasarkan
suatu penelitian, partikel kecil hasil pembakaran yang beruku
2,5 mikrometer atau kurang dapat terhisap dan masuk ke dalam
aliran darah. Partikel yang disebut dengan PM2,5 ini
dihubungkan dengan terjadinya proses inflamasi dan gangguan
jantung.
e. Iritasi
Kabut asap terdiri dari udara kotor dan partikel kecil. Dalam
bentuk yang paling ringan, paparan kabut asap bisa
menyebabkan iritasi pada mata, tenggorokan, hidung serta
menyebabkan sakit kepala atau alergi. Asosiasi Paru-paru
Kanada mengingatkan, masker wajah tidak melindungi tubuh
dari partikel ekstra kecil yang dibawa kabut asap.
Sedangkan
dampak
ekonomi
antara
lain
meliputi
dibatalkannya jadwal transportasi darat-air dan udara, hilangnya
tumbuh-tumbuhan terutama tumbuhan yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi, biaya pengobatan masyarakat, turunnya produksi
industri dan perkantoran, serta anjloknya bisnis pariwisata.
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada
keanekaragaman hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit
dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan.
Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka,
sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir.
Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir
pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar.
Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.
Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang
menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak spesies yang
saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohonpohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan
tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda
akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada
sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahuntahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan
cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak
mudah digantikan bila rusak.
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas
permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis

yang ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa


hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keaneka ragaman
hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang
relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat
perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 %
dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,
meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total
jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total jenis
burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini
menyebabkan
Indonesia
menjadi
pusat
perhatian
dunia
internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+
tahun 2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91
juta ha kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar
kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta
ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam
kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan
lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non
hutan 39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %).
(BAPLAN, 2005).
Kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah
menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi
di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul
Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta
hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi,
2003). Kebakaran hutan setiap tahunnya telah memberikan dampak
negatif bagi keaneka ragaman hayati.
Berbagai jenis kayu kini telah menjadi langka. Kayu eboni
(Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon
zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti
(Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis kayu yang sudah
sulit ditemukan di alam. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang
dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi
langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan
sifat-sifatnya.
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbedabeda, ada yang tergolong fast growing spesies terutama untuk
jenis-jenis pioner, tetapi ada yang termasuk dalam slow growing
spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis
pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S.
seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon
zwageri, maka diperlukan kegiatan konservasi keanekaragaman
hayati.
Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam
jenis tertentu akibat kebakaran ataupun pembakaran hutan. Jenisjenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir
dari suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang
sudah memiliki kanopi yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas
sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran rendah sampai kaki
pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku

Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling


berharga di dunia.
Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di
Indonesia sering mengalami kebakaran baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja yang berdampak langsung dengan
hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna tertentu. Kehilangan
keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies
yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum
mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang
bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk
selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan
tropis mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang
berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara
kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang
penting.
3. Cara menanggulangi kebakaran hutan
Upaya pengendalian kebakaran hutan dan gambut yang sering
dilakukan adalah kegiatan pemadaman kebakaran hutan yang
terjadi. Pemadaman kebakaran hutan dan gambut dilakukan secara
terintegrasi dengan Manggala Agni dari Departemen Kehutanan
dibantu instansi lainnya dan masyarakat. Namun upaya tersebut
kadangkala tidak optimal hasilnya terutama di lahan gambut.
Pengendalian kebakaran hutan dan gambut akan efektif apabila
diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi luas kebakaran hutan
dan gambut (Cahyono, 2015).
Upaya pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan oleh
masyarakat adalah sebagai berikut :
a. Membuat peta kerawanan kebakaran. Peta kerawanan
kebakaran dapat dibuat dengan bantuan citra satelit yang
memanfaatkan saluran termal seperti citra NOAA. Berdasarkan
citra satelit tersebut dari beberapa titik-titik api/ hot spot pada
wilayah tertentu.
b. Memantau cuaca, akumulasi bahan bakar dan gejala rawan
kebakaran. Kegiatan yang dimaksud adalah memantau tingkat
kerawanan api.
c. Penyiapan regu pemadam. Satu regu pemadam kebakaran
hutan adalah 20 orang dengan seorang pemimpin regu.
d. Membangun menara pengawas. Pengawasan terhadap hutan
juga perlu dilakukan secara rutin untuk mendeteksi kebakaran
hutan lebih dini.Pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan
membangun menara pengawas.
e. Penyiapan peralatan pemadam. Peralatan tersebut dipersiapkan
agar ketika terjadi kebakaran kita sudah siap segera untuk
memadamkan apinya.
f. Membuat sekat bakar. Sekat bakar adalah jalur yang berfungsi
sebagai pemutus api (fire break). Biasanya sekat bakar
dipisahkan atas dua jalur yakni jalur kuning dan jalur hijau.Jalur
kuning adalah sekat yang dibuat dengan lebar tertentu yang
umumnya 12-20 m dan mengelilingi areal sampai ketemu

gelang serat sekat dalam kondisi bersih dari bahan bakar. Jalur
hijau dibedakan dengan jalur kuning terletak pada penanaman
pohon yang tahan api pada jalur hijau. g). Membentuk organisasi
penanggulangan kebakaran hutan. Satuan pengendalian
kebakaran hutan dan lahan tersusun atas tiga tingkat, yaitu
tingkat
nasional
(Pusdalkarlahutnas),
tingkat
daerah
(Pusdalkarlahutda) dan tingkat operasional (Satlak).
Upaya-upaya pencegahan tersebut diharapkan untuk dilakukan
agar dapat mengurangi tingkat kebakaran hutan yang terjadi di
Indonesia (Sakdiyah, 2013).
El nino dan krisis ekonomi mempengaruhi luas areal hutan
yang terbakar di umatera,Kalimantan dan Papua, namun
dampaknya relatif kecil yang itunjukkan besaran elastisitasnyayang
dibawah satu. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya el nino dan
krisis ekonomi kurangberdampak besar terhadap kebakaran hutan.
Sebaliknya, meningkatnya jumlah hot spot secarasignifikan
meningkatkan luas areal kebakaran hutan baik di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua.Peningkatan jumlah hot spot di Sumatera
sebesar 10% direspon dengan peningkatan luaskebakaran hutan di
Sumatera sebesar 17,53% dalam jangka pendek dan 19,84 %
dalam jangka panjang.
Peningkatan jumlah hot spot di Kalimantan sebesar 10% akan
direspon denganpeningkatan luas kebakaran hutan di Kalimantan
sebesar 20,00% dalam jangka pendek dan 22,59% dalam jangka
panjang. Peningkatan jumlah hot spot di Papua sebesar 10%
direspon denganpeningkatan luas kebakaran hutan di Papua
sebesar 15,42% dalam jangka pendek dan 16,03 %dalam jangka
panjang. Informasi ini menunjukan bahwa peningkatan jumlah
hotspot yang terjadiditiap pulau lebih besar dampaknya terhadap
luas kebakaran hutan dibandingkan denganpengaruh terjadinya
krisis ekonomi ataupun el nino. Implikasi kebijakannya adalah
upayapengendalian kebakaran hutan lebih diarahkan pada
penanganan dan pengendalian jumlahhotspot menjadi seminimal
mungkin.
Artinya,
upaya
penanganan
kebakaran
hutan
diarahkanpada pencegahan terjadinya hot spot dibandingkan
penanganan pemadaman kebakaran hutan.Target penurunan emisi
karbon dari kebakaran hutan akan efektif apabila pengendalian
hotspotdapat dilakukan secara efektif dan efisien (Cahyono,2015).
F. Alat, Bahan dan Prosedur Kerja
1. Alat dan Bahan
Salah satu upaya pengendalian pencemaran udara ambien yaitu
dimulai dari inventarisasi dan pemantauan kualitas udara ambien
dengan pengukuran ISPU menggunakan stasiun pengukuran
pencemaran udara permanen (SPKU) permanen secara otomatis
dan berkesinambungan. Pengadaan SPKU ini dilaksanakan pada
tahun anggaran 2014, dan direncanakan akan di sosialisasikan
pemasangannya di 11 Kawasan Industri yang ada di Kabupaten
Karawang pada tahun-tahun mendatang.

Dibandingkan dengan pemantauan dengan cara manual,


pemantauan secara otomatis memiliki keuntungan berupa
perolehan data yang kontinyu 24 jam secara terus menerus.
Pengiriman data hasil pengukuran dilakukan secara otomatis dari
stasiun ke pusat data di BPLH Kabupaten Karawang. Data
selanjutnya diolah lebih lanjut menjadi Indeks Standar Pencemar
Udara (ISPU) dan ditampilkan di layar display.
Selain dihitung menjadi ISPU, data SPKU juga dimanfaatkan
untuk validasi Model Pencemaran Udara Kabupaten Karawang.
Model Pencemaran Udara Kabupaten Karawang merupakan
perhitungan dan penggambaran (plot) kualitas udara di seluruh
Kabupaten Karawang. Perhitungan model menggunakan simulasi
komputer yang mempertimbangkan berbagai aspek data seperti
data emisi, data meteorologi, proses adveksi, difusi, reaksi dan
deposisi pencemar udara.
a. Alat
1) Panel Surya
2) PM
3) Meteoroligis
4) Data Transmission
5) Komputer
6) ISPU Display
b. Bahan
1) Baterai
2) Main Board
3) Gas Sensor

2. Teknis Perhitungan Pencemaran Udara


PARAMETER-PARAMETER DASAR UNTUK INDEKS STANDAR PENCEMAR
UDARA (ISPU) DAN PERIODE WAKTU PENGUKURAN

Catatan :
1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga
rata-rata tertinggi waktu pengukuran.
2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari data
rata-rata sebelumnya (24 jam sebelumnya).
3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00
Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB).
4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke
depan (pkl 15.00 tgl (n) sampai pkl 15.00 tgl (n+1))
ANGKA DAN KATEGORI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA (ISPU)

Indeks

Kategori

1 - 50

Baik

51 - 100

Sedang

101 - 199

Tidak Sehat

200 - 299

Sangat Tidak Sehat

300 - lebih

Berbahaya

PENGARUH INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA UNTUK SETIAP


PARAMETER PENCEMAR

Katego Renta
ri
ng
Baik

0-50

Carbon
Monoksida
(CO)

Nitrogen
Ozon O3
(NO2)

Tidak ada
efek

Sedikit
berbau

Luka pada
Beberapa
spesies
tumbuhan
akibat

Sulfur
Partikula
Dioksida
t
(SO2)
Luka
Tidak ada
pada
efek
Beberapa
spesies
tumbuhan

Kombinas
i dengan
SO2
(Selama 4
Jam)

akibat
kombinas
i dengan
O3
(Selama 4
Jam)

Sedang 51 100

Perubahan
kimia darah
tapi tidak
terdeteksi

Berbau

Luka pada
Babarapa
spesies
tumbuhan

Luka
pada
Beberapa
spesies
lumbuhan

Terjadi
penuruna
n pada
jarak
pandang

Tidak
Sehat

101 199

Peningkatan
pada
kardiovaskul
arpada
perokok yang
sakit jantung

Bau dan
kehilanga
n warna.
Peningkat
an
reaktivita
s
pembuluh
tenggorok
an pada
penderita
asma

Penurunan
kemampu
an pada
atlit yang
berlatih
keras

Bau,
Meningka
tnya
kerusakan
tanaman

Jarak
pandang
turun dan
terjadi
pengotora
n debu di
manamana

Sangat 200Tidak 299


Sehat

Maningkatny
a
kardiovaskul
ar pada orang
bukan
perokok yang
berpanyakit
Jantung, dan
akan tampak
beberapa
kalemahan
yang terlihat
secara nyata

Meningka
tnya
sensitivita
s pasien
yang
berpenya
klt asma
dan
bronhitis

Olah raga
ringan
mangakib
atkan
pengaruh
parnafasa
n pada
pasien
yang
berpenyak
lt paruparu
kronis

Meningka
tnya
sensitivita
s pada
pasien
berpenya
kit
asthma
dan
bronhitis

Meningka
tnya
sensitivita
s pada
pasien
berpenya
kit
asthma
dan
bronhitis

Berbah
aya

300 lebih

Tingkat yang berbahaya bagi semua populasi yang terpapar

BATAS INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA DALAM SATUAN SI


a). Dalam bentuk tabel

Indeks
Standar
Pencemar
Udara

24 jam
PM10
ug/m3

10

50

80

100

150

200

24 Jam
B jam CO
SO2 ug/m3
ug/m3

1 jam O3
mg/m3

1 jam NO2
ug/m3

120

(2)

365

10

235

(2)

350

800

17

400

1130

300

420

1600

34

800

2260

400

500

2100

46

1000

3000

500

600

2620

57.5

1200

3750

b). Dalam bentuk grafik

BATAS INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA


A) SECARA PERHITUNGAN

Konsentrasi nyata ambient (Xx) ? ppm, mg/m3, dll


Angka nyata ISPU (1)
Xx -->

I = ISPU terhitung
Ia = ISPU batas atas
Ib = ISPU batas bawah
Xa = Ambien batas atas
Xb = Ambien batas bawah
Xx = Kadar Ambien byata hasil pengukuran

CONTOH PERUBAHAN ANGKA SECARA PERHITUNGAN


a) Secara tabel
Diketahui konsentrasi udara ambient untuk jenis parameter SO2,
adalah : 322 ug/m3. Konsentrasi tersebut jika dirubah ke dalam angka
indeks Standar Pencemaran Udara adalah Sebagai Berikut:

Dari tabel Batas Indeks Standart Pencemar Udara (Dalam Satuan SI)
24 Jam
PM10
ug/m3

8 Jam
SO2
ug/m3

50

50

80

120

100

150

365

10

253

200

350

800

17

400

1130

300

420

1600

34

800

2260

400

500

2100

46

1000

3000

500

600

2620

57.5

1200

3750

Indeks Standar
Pencemar Udara

8 Jam
CO
ug/m3

1 Jam
O3
ug/m3

1 Jam
NO2
ug/m3

Maka :
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran ? 322
ug/m3

-322 ug/m3
>

Ia = ISPU batas atas ? 100 (baris 3)

-- 100 (baris
> 3)

Ib = ISPU batas bawah ? 50 (baris 2)

-50 (baris 2)
>

Xa = Ambien batas atas ? 365 (baris 3)

-- 365 (baris
> 3)

Xb = Ambien batas bawah ? 80 (baris 2)

--

80 (baris 2)

>
Sehingga angka-angka tersebut dimasukan dalam rumus menjadi:

=92.45
=92 (Pembulatan)
Jadi konsentrasi udara ambien S02 322 mg/m3 dirubah menjadi indeks
standar pencemar udara (ISPU):92

b) Secara Grafik
Contoh:
Jika diketahui konsentrasi urtuk paremeter PM10 adalah 250 ug/m3
konesntrasi ini jika dirubah dalam Indeks Standar Pencemar Udara
dengan menggunakan grafik adalah sebagai berikut:
Dari kurva batas angka indeks standar pencemar udara dalam satuan
matriks, sumbu X di angka 250 ditarik ke atas sampai menyentuh
garis dan ditarik ke kiri sampai meryentuh sumbu Y didapat angka
150.
Sehingga konsentrasi PM10 250 dirubah menjadi angka Indeks
Standar Pencemar Udara menjadi 150 (untuk lebih jelas dapat dilihat
gambar di bawah ini).

G. Kesimpulan
Analisis
dampak
kebakaran
hutan
masih
dalam
tahap
pengembangan awal, pengetahuan tentang ekosistem yang rumit
belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis
perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas,
sehingga dampak kebakaran hutan terhadap keanekaragaman hayati
secara real sulit diperhitungkan secara tepat.
Meskipun demikian dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan
menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan hidup
terutama bagi keanekaragaman hayati, bahkan dampak tersebut dapat
sampai ke generasi lingkungan hidup selanjutnya.
H. Sumber
Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). 1998. Pedoman
Teknis perhitungan Dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar
Pencemar Udara. Jakarta
Cahyono, Andy dkk. 2015. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kebakaran Hutan DiIndonesia Dan Implikasi Kebijakannya.
Fakultas Pertanian dan Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Indah, Fitriyani. 2014. Analisis Tingkat Pencemaran Udara pada
Kawasan Pemukiman Kota Makassar. Program Studi Teknik
Lingkungan, Universitas Hasanuddin. Makassar
Rasyid, Fachmi. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan.
Widyaswara Pusdiklat Lingkungan Hidup. Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Banten

Sakdiyah, Salamantus. 2013. Perlindungan Hutan dari Kebakaran di


Indonesia. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak
Kebakaran. dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian
Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D.
Glover & T. Jessup
Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya
Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam
Terhadapnya. Prosiding Simposium: Dampak Kebakaran Hutan
Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Tanggal 16
Desember 1997 di Yogyakarta.
Tacconi, T., 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, biaya dan
implikasi kebijakan. Center for International Forestry Research
(CIFOR), Bogor, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai