Anda di halaman 1dari 33

Industri Kreatif: Potensi, Permasalahan, dan

Cara
Oleh: Irsyad Rafianda

Staff Departemen Kajian dan Penelitian

Indonesia merupakan negara yang kreatif. Mengutip perkataan Mochtar Lubis tentang 6 ciri
orang Indonesia, dia hanya menyebutkan satu saja sifat positif orang Indonesia, yaitu artistik. Itu
artinya seni dan kreativitas merupakan keahlian kita. Sehingga sayang jika potensi alami ini
tidak dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan kekreatifan masyarakat Indonesia bisa
dilakukan dengan melakukan industri kreatif.

Menurut UK Department of Culture, Media, and Sports (UK DCMS), departemen yang
mengurus industri kreatif di Inggris, industri kreatif adalah those activities which have their
origin in individual creativity, skill and talent and which have the potential for wealth and job
creation through the generation and exploitation of intellectual property atau jika di
Indonesiakan aktivitas yang mempunyai asal dari kreativitas, kemampuan, dan bakat individu
yang mempunyai potensi kekayaan dan penciptaan lapangan kerja melalui pembuatan dan
eksploitasi dari kekayaan intelektual. Industri kreatif bisa dibagi menjadi banyak bagian,
sebagai contoh periklanan, musik, kerajinan tangan, fashion, konten-konten digital, dan lain-
lain. Industri kreatif mengandalkan ide dan kreativitas individu. Sehingga modal banyak dan
mesin berlimpah tidak sepenuhnya diandalkan di industri kreatif ini.

Industri kreatif bisa dibilang punya potensi yang besar. Di pasar internasional sendiri misalnya,
50% dari belanja masyarakat (consumer spending) di negara-negara G7 (Kanada, Perancis,
Jerman, Jepang, Italia, Amerika Serikat, dan Britania Raya) digunakan untuk membeli produk-
produk dari industri kreatif. Sementara di dalam negeri, menurut McKinsey Global Institute,
Indonesia mempunyai kurang lebih 45 juta konsumen aktif dan diperkirakan bisa mencapai 135
juta pada tahun 2030. Ditambah dengan populasi anak muda di kaum urban yang kian
bertambah, seharusnya industri kreatif bisa berkembang pesat di kalangan anak muda karena
anak muda sering mengonsumsi produk-produk kreatif seperti musik, konten-konten digital, dan
fashion.

Di Indonesia, industri kreatif memegang peranan yang bisa dibilang cukup penting untuk produk
domestic bruto (PDB) Indonesia. Industri kreatif merupakan industri dengan kontribusi ke 7
terbesar dari 10 sektor ekonomi yang ada. Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif (Kemenparekraf), pada tahun 2013 industri kreatif dapat berkontribusi terhadap produk
domestic bruto (PDB) sebanyak 7,29 % atau senilai 486,1 triliun. Kontribusi ini meningkat
dibandingkan tahun 2-12 dimana industri kreatif dapat berkontribusi untuk PDB Indonesia
sebanyak 6,9% meskipun nilainya 573,89 triliun rupiah. Tapi tetap saja peranan industri kreatif
semakin bertambah. Industri kreatif juga dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 11,8 juta atau
10,72% dari total tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2013. Hal ini cenderung meningkat
dibandingkan tahun 2012 dimana industri kreatif dapat menyerap 8,6 juta tenaga kerja atau 7,9%
dari total tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2012.

Meskipun dengan kontribusi yang cukup besar, tetapi banyak masalah yang terjadi dalam
pengembangan industri kreatif ini. Kurangnya regulasi pembiayaan untuk industri kreatif
merupakan masalah yang penting untuk segera diselesaikan. Banyak pengusaha yang sudah
memiliki badan usaha legal tetapi sulit untuk mengakses badan keuangan. Ditambah dengan
regulasi yang kurang membuat Sumber Daya Manusia (SDM) kreatif banyak yang melarikan diri
ke luar negeri. Ditambah lagi dengan masalah pembajakan kekayaan intelektual. Menurut
International Intellectual Property Alliance atau IIPA, Indonesia ditempatkan dalam daftar
pengawasan prioritas bersama dengan negara-negara lain seperti Cina, India, dan Thailand.
Pembajakan ini membuat kerugian yang sangat besar. Menurut data United States Trade
Representative tahun 2012, total kerugian yang dicapai Indonesia akibat pemalsuan dan
pelanggaran hak cipta mencapai US$ 1 triliun dan menghilangkan lapangan pekerjaan untuk 2
juta orang. Hal itu diperparah dengan kurangnya kesadaran para seniman dalam
memperjuangkan Hak Kekayaan Intelektual atau HaKI. Selain itu, masalah infrastruktur seperti
akses internet yang kurang merata bisa menjadi hambatan untuk mengembangkan industri
kreatif, terutama industri konten-konten digital yang membutuhkan akses internet. Teknologi
yang kurang pun bisa membuat industri kreatif terhambat dan akhirnya akan mempunyai
kelemahan yang bisa dijadikan keunggulan oleh produk sejenis dari luar negeri. Sebagai contoh,
batik imitasi dari China memakai teknologi modern yang hasilnya bisa lebih murah
dibandingkan batik yang dibuat dengan tangan.

Untuk membangun industri kreatif nasional dengan baik, maka yang harus dilakukan adalah
memberikan regulasi yang mempermudah pelaku industri kreatif ini. Jangan sampai potensi
yang bisa terbentuk hancur begitu saja akibat kurangnya regulasi yang mempermudah.
Pembiayaan juga harus dipermudah. Selain itu, pemberantasan pembajakan harus ditekankan
terus menerus untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Meskipun memang mendownload
karya bajakan lebih gampang dan tidak mengeluarkan biaya sama sekali, terkadang konsumen
juga harus memikirkan nasib sang pembuat karya tersebut. Selain itu, infrastruktur dan
teknologi yang dibutuhkan dalam menunjang industri kreatif juga harus dikembangkan dan
disebar secara merata. Sehingga dengan adanya persebaran infrastruktur yang merata diharapkan
pasar-pasar baru semakin berkembang.

Kesimpulannya adalah industri kreatif merupakan era baru dalam perekonomian. Permasalahan
yang ada bervariasi seperti rumitnya proses pembiayaan, brain drain di bidang SDM kreatif, dan
kurangnya penunjang seperti teknologi dan infrastruktur. Dan amatlah sayang jika industri yang
berpotensi seperti ini diabaikan begitu saja.

Data perindustrian di Indonesia 2016

Pentingnya produk hahal bagi masyarakat dunia

Persepsi dunia produk kosmetik halal di Indonesia

Icon Indonesia sebagai pusat regulasi kehalalan kosmetik


Data yang mendukung, acuan data MUI, PPI, LPPOM, BPOPM

Kesimpulan

Data perindustrian di Indonesia 2016

Kamis, 16/06/2016 07:10 WIB

Produk Kosmetik Lokal, Industri Andalan Indonesia di


2019
Alissa Safiera - wolipop

Foto: Thinkstock

Jakarta - ar

Menurut Euromonitor International, negara-negara berkembang, termasuk


Indonesia memiliki kontribusi 51% bagi industri kecantikan global. Bahkan menurut
Kementerian Perindustrian, Indonesia diestimasikan akan menjadi pasar
pertumbuhan utama di industri kecantikan pada 2019 mendatang.

"Indonesia memiliki peluang besar dalam industri kecantikan. Indonesia terdiri dari
berbagai suku, karakter, bentuk wajah. Bahan baku kita sangat banyak, itulah yang
akan kami coba gali lebih lanjut potensinya," ungkap Kepala Sub Direktorat Industri
Farmasi dan Kecantikan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia Afrida Suston
Niar, saat ditemui di Konferensi pers BeautyIndonesia 2017, di Locanda, Jl Jenderal
Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (15/6/2016).

Keberagaman membuat Indonesia menjadi pasar potensial bagi para investor asing
dan juga para pengusaha lokal. Dari data yang diungkap Asosiasi Profesi Ekspor
Impor Seluruh Indonesia (APREISINDO), produk kecantikan yang telah tercatat di
BPOM kini mencapai 36.642 produk. 14.658 di antaranya adalah produk dari lokal.

"Nilai ekspor Industri kecantikan mencapai US$ 818 atau Rp 11 triliun di 2015. Nilai
ekspor bahkan lebih besar dari impor yang hanya US$ 441 juta. Ada peningkatan
sampai 85 persen," kata Ketua Asosiasi Profesi Ekspor Impor Seluruh Indonesia
(APREISINDO) Bintang Retna Herawati di acara yang sama.

Dalam perjalanannya menjadi salah satu sektor terbesar bagi roda perekonomian
Indonesia, industri kecantikan lokal masih memiliki banyak tantangan. Beberapa di
antaranya adalah masalah regulasi.

Menurut Scientific & Regulatory Affairs Director L'Oreal, sekaligus anggota


Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) Dewi Rijah Sari, regulasi untuk
mendaftarkan produk kecantikan telah dipermudah sejak adanya Harmonisasi
ASEAN di 2011. Sayangnya, beberapa persyaratan lainnya kadang memberatkan
pihak produsen, misalnya dengan adanya timpang tindih peraturan dalam masalah
perizinan.

Tak hanya masalah regulasi, tren kosmetik yang terus berjalan juga menuntut para
produsen lebih tanggap dalam meramal tren yang ada. Selain itu, maraknya produk
ilegal atau palsu yang beredar pun menjadi tantangan bagi industri kecantikan
Indonesia saat ini.

"Indonesia memiliki populasi dan menjadi pasar besar bagi industri ini. Tren
kosmetik di Indonesia juga mulai meluas, tak hanya untuk wanita tapi juga produk
pria," tutup Dewi. (als/ami)

Kemenperin: Potensi Industri Kosmetik di Indonesia


Sangat Menjanjikan
Jumat, 2 Desember 2016 06:50 WIB
Tribunnews/JEPRIMA

Puteri Indonesia 2016, Kezia Roslin Cikita Warouw saat menghadiri acara Pameran
Kosmetik dan Jamu di Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa
(30/8/2016). Kezia memilih kosmetik buatan dalam negeri untuk merias diri dan
menemani kegiatannya sehari-hari. Tribunnews/Jeprima

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA)


Kementerian Perindustrian Republik Indonesia Achmad Sigit Dwiwahjono menilai potensi
industri kosmetik di Indonesia sangat menjanjikan.

Menurutnya nilai industri kosmetik tersebut bisa mencapai Rp 100 triliun.

"Namun sangat disayangkan industri di sektor kosmetik di dalam negeri baru menyentuh angka
Rp 25 triliun," kata Achmad Sigit kepada wartawan di Jakarta, Kamis (1/12/2016).

Dirinya menjelaskan hal ini terjadi karena para pengusaha kosmetik masih kesulitan
mendapatkan bahan baku.

Hal itu, membuat para pengusaha tersebut mau tidak mau harus mengimpor bahan baku dari luar
negeri.
"Guna menanggulangi hal tersebut Kemenperin melakukan subtitusi import bahan baku industri
kosmetik dengan membuat pilot project bersama kimia farma," ujarnya.

Dia berharap dengan adanya program ini pencapaian nilai industri kosmetik bisa lebih baik dari
pencapaian saat ini.

"Tentu harus ada komunikasi yang intens antara pemerintah, pemerintah daerah, dan juga
pengusaha. Dengan adanya program itu kita berharap industri kosmetik Indonesia bisa terus
berkembang," katanya.

Tujuannya tak lain untuk membidik pasar halal.


Dream Pasar kosmetik halal negara muslim semakin memikat perhatian perusahaan raksasa
dunia. Besarnya konsumsi penduduk negara muslim membuat perusahaan tersebut bertekad
merebut pangsa pasar baru tersebut.

Salah satu produk yang menjadi incaran perusahaan kosmetik dunia adalah krim wajah dan
sampo. Sebut saja Unilever, Beiersdorf, dan LOreal. Mereka mulai memasuki bisnis kosmetik
halal berbekal sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dilansir dari NDTV, Rabu 7 September 2016, sertifikasi halal ini diperlukan untuk memastikan
kepada masyarakat bahwa produk-produk mereka sesuai dengan prinsip syariah. Produk mereka
pun tak mengandung bahan-bahan haram, seperti babi dan alkohol. Produsen kosmetik dan
toiletries menyebut sertifikat itu bisa membuka pasar baru bagi mereka.

Sertifikat halal ini adalah penghubung untuk melakukan bisnis di area tertentu, kata German
Chemicals company BASF, Dirk Mampe.

Mampe mengatakan bahan-bahan halal tidak akan membuat harga suatu produk menjadi lebih
mahal. Dia juga melihat tren saat ini adalah kebutuhan akan produk halal semakin meningkat.

Maka, ini menjadi hal yang penting untuk meningkatkan pasokannya, kata dia.

Sekadar informasi, saat ini ada 1,5 miliar orang Muslim di seluruh dunia. Pasar kosmetik halal
menguasai 11 persen pasar halal global yang nilainya sebesar US$1 triliun pada 2015,
berdasarkan data Deloitte Tohmatsu Consulting.

Perusahaan periset pasar, TechNavio sendiri memprediksi produk perawatan tubuh halal juga
meningkat 14 persen setiap tahun sampai tahun 2019.(Sah)
Datang dari keluarga non-Muslim dengan latar belakang farmasi, Mauli dan adiknya,
Grishma Teli, yang berusia 20 tahunan, melakukan penelitian rinci sebelum
meluncurkan produknya.
Dream - Pasar kosmetik dunia yang bernilai miliaran dolar telah menarik minat dua bersaudara,
Mauli Teli dan adiknya, Grishma Teli. Duo Teli dari Ahmedabad, Gujarat, India tersebut
bermimpi bisa bersaing dengan raksasa kosmetik dunia dengan meluncurkan kosmetik halal.

" Kosmetik adalah bisnis yang sangat kompetitif. Ada banyak perusahaan besar di dalamnya dan
kami baru memulai," kata Mauli, yang menjabat sebagai chief executive dan managing partner di
perusahaan Ecotrail Personal Care Co.

Perusahaan yang baru berdiri tahun 2012 itu mulai beroperasi akhir September lalu dengan
meluncurkan kosmetik halal merek Iba.

" Kami hadir dengan produk yang berbeda yang menawarkan nilai lebih kepada konsumen,"
katanya seperti dikutip Dream dari laman Gulf News di kantornya di India, Senin, 17 November
2014.

Perusahaan ini merupakan ide Mauli ketika dia kembali ke India setelah menyelesaikan studi
farmasi di Michigan University.

" Saat pulang ke India, aku ingin meluncurkan merek baru. Aku ingin jadi entrepreneur dan
memulai sesuatu yang menjadi milikku sendiri," kata gadis yang pernah bekerja di perusahaan
konsultasi farmasi dan perawatan kesehatan Amerika ini.

Di India industri kosmetik didominasi oleh merek-merek multinasional dan kehinduan. Di saat
yang sama, industri kosmetik alami tidak ditangani secara memadai. Di India dikabarkan beredar
merek kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan tertentu semisal berasal dari hewan tertentu.

Datang dari keluarga non-Muslim dengan latar belakang farmasi, Mauli dan adiknya, Grishma
Teli, yang berusia 20 tahunan, melakukan penelitian rinci sebelum meluncurkan produknya.

Grishma, profesional di bidang bioteknologi, memperoleh gelar master dari Houston University.
Dia menjabat wakil presiden di Ecotrail.

" Kami melakukan penelitian hampir setahun di seluruh negara bagian di India," kata Mauli. Dia
akhirnya menemukan bahwa industri halal di bidang kosmetik merupakan sesuatu yang baru dan
itu sangat dibutuhkan wanita muslim di India.

Hampir 14 persen penduduk India adalah muslim. India sendiri merupakan negara dengan
penduduk muslim terbanyak setelah Indonesia. Bahkan di Indonesia dan Malaysia, produk
kosmetik halal memiliki sertifikat.
Didorong oleh permintaan kosmetik halal yang semakin meningkat, dua Teli ini menciptakan
kosmetik yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ecotrail adalah perusahaan kosmetik
pertama di India yang mendapat sertifikasi halal untuk semua produknya.

" Kami bahkan tidak menggunakan susu, madu, atau lilin lebah, karena semua produk ini
mengandung bahan hewani," kata Mauli. Dia memilih nama Iba karena dalam bahasa Arab
memiliki arti kehormatan.

Menurut laporan, pangsa pasar industri halal secara global mencapai US$4 triliun. Sementara
industri kosmetik bernilai hampir US$26 miliar.

Ditanya tentang pasar halal di India, Mauli mengatakan, " Belum ada penelitian yang mengukur
seberapa besar pasar halal di India."

Awalnya, produk mereka hanya tersedia di Ahmedabad. Tapi mulai 10 November, Iba tersedia
secara online di seluruh India. Duo Teli berencana melebarkan sayap pemasaran mereka ke luar
India tahun mendatang. Khususnya ke Eropa, Timur Tengah dan Afrika Selatan.

Tahun ini untuk pertama kalinya brand kosmetik halal ini akan menjadi official make
up JFW 2016. Wardah memiliki keinginan untuk memperkenalkan hasil karya
desainer dalam negeri ke Internasional.
Dream - Sebagai bentuk dukungan kemajuan dunia fashion Indonesia, brand kosmetik ternama
Wardah semakin menegaskan komitmennya. Tahun ini untuk pertama kalinya brand kosmetik
halal ini akan menjadi official make up Jakarta Fashion Week 2016 (JFW 2016).

Ajang fesyen yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara ini akan berlangsung 24 hingga 30
Oktober 2015 di Senayan City.

" Secara resmi kontribusi kami dalam dunia fashion berawal dari 2013 ketika kami
memperkenalkan Wardah Fashion Vibe," tutur Salman Subakat, Direktur Pemasaran Wardah
Cosmetics, Selasa 20 Oktober 2015.

Langkah ini, kata Salman, merupakan bentuk kontribusi dan komitmen dalam dunia fashion.
Secara tidak resmi, lanjut dia, dukungan Wardah untuk dunia fashion telah berlangsung sejak
beberapa tahun sebelumnya.

Sebagai brand kecantikan, Salman mengaku keterlibatan Wardah di dunia fashion Tanah Air
berawal dari ajang Fashion Nation 2014.

Wardah diakui Salman memiliki keinginan untuk memperkenalkan hasil karya desainer
Indonesia ke pasar internasional.
" Wardah memberikan dukungan pada Zaskia Sungkar, Barli Asmara dan Dian Pelangi untuk
mempromosikan kain tenun Lombok ke dunia internasional. Tidak hanya itu saja, di bulan Mei
2015 silam Wardah juga memberikan dukungannya pada desainer Mel Ahyar dalam
memperkenalkan kembali koleksi terbaru HAPPA," tutur Salman. (Ism)

Produk Halal Malaysia `Jajah` Pasar Indonesia


Reporter : Eko Huda S | Jumat, 1 April 2016 09:44

372
SHARES

Logo Halal Malaysia (www.theguardian.com)

Malaysia menjadikan pasar Indonesia sebagai tujuan ekspor utama produk halal
mereka.
Dream - Malaysia menjadi negara yang getol mempromosikan produk halal ke pasar dunia. Dan
lihat saja, nilai ekspor produk halal negeri jiran itu melesat. Naik dari tahun ke tahun.
Menteri Perdagangan Antarabangsa dan Industri Malaysia, Datuk Seri Mustapa Mohamed,
mengatakan, nilai ekspor produk halal mereka meningkat RM 4 miliar hingga RM 5 miliar, atau
setara dengan Rp 13,5 triliun hingga Rp 16,9 triliun.

Tahun 2015, nilai keseluruhan ekspor produk halal Malaysia mencapai RM 39 miliar, atau setara
Rp 132 triliun. Naik dari tahun sebelumnya, yang berjumlah RM 35 miliar, dan tahun 2011 yang
mencapai RM 24 miliar.

Pasar ekspor utama bagi produk halal selama ini ialah China, Singapura, Amerika Syarikat,
Indonesia, Jepun dan Thailand, kata Mustapa, dikutip Dream dari Bernama, Jumat, 1 April
2015.

Sejak Selasa lalu, badan pembangunan perdagangan luar negeri Malaysia menggelar agenda
yang melibatkan 391 pelanggan asing dengan 600 perusahaan yang terdaftar di Malaysia.

Jumlah pembeli 27 persen lebih tinggi dibanding tahun lalu dan perdagangan awal tercatat
bernilai hampir RM 480 juta [Rp 1,6 triliun] dari ebrbagai produk termasuk makanan, minuman,
dan kosmetik, kata Mustapa.

Dia menambahkan, digabungkan dengan Pameran Halal Internasional Malaysia (MIHAS), INSP
menjadi tempat pertemuan tahunan penting bagi pemain halal luar negeri.

Sebanyak 89 perusahaan dari ASEAN dan 78 perusahaan dari Negara Kerjasama Islam (OKI)
ikut dalam MIHAS tahun ini. Bulgaria dan Rumania juga ikut untuk pertama kalinya.

Minggu Halal Dunia diadakan dari 28 Maret hingga 2 April 2016, di Pusat Konvensyen Kuala
Lumpur.

Pasar Kosmetik Halal Semakin Populer


Reporter : Arie Dwi Budiawati | Jumat, 22 April 2016 09:44

403
SHARES
Ilustrasi Kosmetik

Pasar kosmetik halal diprediksi akan tumbuh dua kali lipat tiga tahun mendatang.
Dream - Pasar kosmetik halal akan semakin meningkat. Peningkatan ini didorong oleh dua hal,
yaitu permintaan konsumen dan regulasi negara konsumen.

Dilansir dari Straits Times pada Jumat 21 April 2016, Ketua Halal Certification Services (HCS),
badan sertifikasi halal yang berbasis di Madrid, Spanyol, Ali Achcar, menjelaskan kosmetik
berbahan dari unsur binatang dan alkohol sudah pasti haram dikonsumsi oleh umat muslim.

" Ini yang menyebabkan kebutuhan kosmetik halal meningkat," kata Archar di Paris.

Pada dasarnya, Islam melarang konsumsi daging babi dan alkohol. Dengan begitu, lipstik yang
mengandung babi dan parfum yang mengandung alkohol dilarang digunakan bagi konsumen
muslim.

Untunglah ada larangan di Uni Eropa tentang penggunaan hewan sebagai bahan kosmetik
sehingga banyak kosmetik yang tidak mengandung zat hewani. Meskipun demikian, pelabelan
yang tidak seragam akan memusingkan konsumen.

" Mayoritas konsumen tidak tahu produk itu berbahan dasar hewan atau tidak. Jadi, ketika
melihat itu produk kosmetik dinyatakan halal, mereka akan membelinya," kata dia.

Di HCS, Archcar mengatakan perusahaan cukup merogoh kocek sebesar 1.500-2.000 euro atau
Rp 22 juta-29 juta untuk menguji kehalalan suatu produk kosmetik. Dikatakan bahwa sertifikat
itu harus diperbaharui setiap tahun.
Seorang perwakilan dari perusahaan parfum Swiss, Givaudan French, Monica Ducruet,
mengatakan beberapa tahun lalu, pasar kosmetik halal hanya berada di negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, seperti Malaysia dan Indonesia.

Nilai pasar kosmetik halal global pada 2014 sebesar US$20 juta atau Rp 26,26 triliun dan
diperkirakan meningkat dua kali lipat pada tahun 2019. Berarti, pasar kosmetik halal sebesar 9
persen dari nilai pasar kosmetik secara keseluruhan.

" Ini disebabkan oleh negara berkembang yang membuat aturan dari kosmetik halal," kata
Ducruet.

Raksasa perusahaan kosmetik pun mulai menyesuaikan dengan konsep kosmetik halal. L'Oreal,
misalnya, sudah punya ratusan bahan kosmetik yang telah mengantongi cap halal dan ahli yang
mengecek produksi kosmetik halal ke pasar besar mereka, Indonesia, di mana ada 200 juta orang
penduduk muslim.

Bahkan, ada juga yang menyebutkan beberapa negara meyakini aturan halal ini bisa
mendatangkan uang yang lebih banyak. Sebagian besar orang, sertifikasi ini mengarah ke arah
bisnis daripada agama.

Tapi, lanjut Ducruet, perusahan masih kesulitan untuk standardisasi produk kosmetik halal.
Masalahnya adalah kurangnya kesepahaman tentang sertifikasi halal. " Beberapa negara,
misalnya Indonesia, punya sejumlah daftar sertifikat halal, tapi sertifikat ini sulit diakui oleh
negara lain," kata dia.

Baca juga

Kosmetik Halal

Industri Kosmetik Diprediksi Tumbuh 15%

sumber: Harian Ekonomi Neraca

Jakarta - Gonjang ganjing perekonomian nasional nampaknya bclum mempengaruhi kinerja


industri kosmetik nasional. Tingginya permintaan dari dalam dan luar negeri menjadi salah satu
alasan industri kosmetik tetap tumbuh. Bahkan, pemerintah mengklaim kalau pertumbuhan
industri kosmetik nasional sampai akhir tahun ini mencapai 15%.
Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian Benny Wachjudi
menuturkan omzet industri kosmetik diprediksi naik mencapai Rp 11,2 triliun atau tumbuh 15%
dari 2012 yang sebesar Rp 9,7 triliun. Dengan nilai ekspor melonjak tajam dari Rp 3 triliun
menjadi Rp 9 triliun.
"Dari sisi tenaga kerja, Indonesia memiliki 760 industri kosmetik yang tersebar di berbagai
wilayah. Jumlah penyerapan tenaga kerjanya mencapai 75 ribu orang secara langsung dan 600
ribu orang yang bekerja di bidang pemasaran," ujarnya di sela-sela acara pameran industri
kosmetik dan obat tradisional di Jakarta, Selasa (3/9).
Lebih jauh lagi Benny mengatakan dari sisi kapasitas produksi, omzet, penjualan, variasi produk,
perolehan devisa dan tenaga kerja sehingga dapat dijadikan sebagai industri andalan yang
mampu menggerakkan roda perekonomian nasional.
Namun, yang menjadi masalah saat ini, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Kosmetika
Indonesia (Perkosmi), Putri K Wardhani mengungkap kalau setiap tahun pasar kosmetik dan
toiletris di tanah air selalu saja dibanjiri produk impor. Baik yang ilegal maupun legal. Yang
mengagetkan adalah jumlah omzet dari produk impor ilegal tersebut menembus angka Rpl5-
Rpl6 trilun atau dengan kata lain 20 % dari total omzet kosmetik dan toiletries yang mencapai
Rp80 triliun pada tahun ini. "Tahun ini total omzet kosmetik diprediksi menembus angka Rp80
triliun secara keseluruhan," kata Putri.
Produk ilegal tersebut kata Putri masuk melalui pelabuhan tikus disekitar perbatasan negara kita.
Dan itu tcrjadi terus menerus."Kita terus minta pemerintah untuk membenahi ini," ungkapnya.
Putri juga mengatakan kalau problem industri kosmetik berasal dari ke-tentuan peredaran produk
impor yang tidak memerlukan izin Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM).
Hal ini dinilai sangat membahayakan konsumen Indonesia. Ditambah lagi, banyak kosmetik dan
jamu Malaysia dan China yang beredar di pasaran. "Kami juga khawatir terhadap pemberlakuan
bea masuk 0 % ASEAN7 China Free Trade Agreement (ACFTA). Ini menyerang industri
menegah ke bawah. Kita harus melaku-kan promosi untuk bersaing," ujar Putri.
Melihat kondisi yang memprihatinkan itu, ia berharap pemerintah memberikan per-hatian khusus
guna mendorong pertumbuhan industri kosmetik di dalam negeri. "Kami kan sudah berikan
kontribusi pajak kepada negara. Kami berharap agar pemerintah mendukung pelaku industri
nasional," jelasnya.
Masalah lain industri kosmetik adalah aturan yang lemah dari Kementerian Kesehatan dan
BPOM. Dikatakan, industri dalam negeri diharuskan melakukan promosi dan kemasan yang
memberikan kejelasan kepada konsumen. Sementara produk asing dibebaskan untuk mengatakan
apa saja saat promosi."Banyak jamu China dan klinik jamu yang mengklaim bisa sembuhkan
penyakit, sementara produk itu tidak dapat persetujuan BPOM. Lalu siapa yang bisa jamin
keselamatan konsumen?" sambungnya.
Dikatakan, peluang industri jamu sangat tinggi tapi belum dimanfaatkan secara optimal. Di
Indonesia, pasarnya jamu belum berkembang. Sementara pertumbuhan industri kosmetik masih
kecil, hanya mencapai 10 %.Tahun lalu, omzet kosmetik lokal mencapai Rp 35 triliun dan pasar
kon-sumsi seldtar Rp 50 triliun.
Italian Baku
Ditempat yang sama, Ketua Umum Perkosmi Nuning S. Barwa mendesak pemerintah agar
membantu mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku di pasar dalam negeri. Akibat
minimnya pasokan bahan baku dan bahan penolong di pasar lokal, produsen kornestik saat ini
masih sangat menggantungkan dari suplai bahan baku impor. Persatuan Perusa-haan Kosmetika
Indonesia (Perkosmi) melaporkan angka impor bahan baku di industri kosmetik nasional saat ini
mencapai 70% dari total kebutuhan.
Untuk mengatasi ke-langkaan pasokan bahan baku tersebut, NTuning mengatakan, pihaknya saat
ini tengah berkoordi-nasi dengan Kementerian Perindustrian dalam menggenjot produksi bahan
baku kosmetik. Produksi bahan baku kosmetik nasional ditargetkan akan naik 10%-15% per
tahun.
Saat ini, Indonesia masih mengimpor bahan baku dan penolong, terutama fragrances dari Eropa.
Dijelaskan, Perkosmi bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian untuk meningkatkan
produksi karena bahan baku lokal harganya terjangkau, sehingga pelaku usaha pun bisa mandiri
dan bersaing.
Nuning menuturkan, potensi bahan baku di dalam negeri sebenarnya sangat melimpah. Sayang,
potensi sumber daya alam yang tersedia itu belum dimanfaatkan secara optimal. Jika bisa digali
secara maksimal, Nuning yakin menjadi peluang bagi industri kosmetik nasional untuk
meningkatkan daya saing produk, sehingga beberapa perusahaan bisa melakukan perluasan. Dia
berharap pemerintah terus berupaya menciptakan iklim usaha yang kondusif. iwan

Share:

Industri Kosmetik Tumbuh Pesat

BEKASI - Industri kosmetik Indonesia tumbuh pesat, naik sebesar 12,9 persen dibanding tahun
lalu. Ekspor kosmetik juga melonjak 20 persen dengan nilai transaksi US$ 406 juta. "Total
penjualan kosmetik tahun ini sekitar Rp 9,76 triliun dibanding tahun lalu senilai Rp 8 triliun,"
kata Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat pada saat meresmikan pabrik L'Oreal di
kawasan Jababeka, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, kemarin.

Namun, Hidayat menyatakan, industri kosmetik dalam negeri sedang menghadapi tantangan,
yakni tingginya permintaan produk kosmetik premium atau high branded. Karena itu, diperlukan
investasi di dalam negeri, salah satunya dengan membuka pabrik baru.

Presiden Direktur PT L'Oreal Indonesia Vismay Sharma mengatakan bahwa rata-rata


pertumbuhan penjualan produk mencapai 30 persen. Peningkatan penjualan itu menjadikan
L'Oreal Indonesia menjadi salah satu kontributor pertumbuhan L'Oreal di Asia-Pasifik.

Untuk meningkatkan penjualan, perusahaan mengucurkan investasi lebih dari 100 juta euro atau
sekitar Rp 1,25 triliun guna membangun pabrik baru. Pabrik seluas 66 ribu meter persegi itu
dijadikan pusat produksi L'Oreal di Asia Tenggara. "Kami targetkan 1 miliar konsumen baru
dalam 10 tahun mendatang," katanya.

Pabrik yang diresmikan kemarin merupakan pabrik L'Oreal ke-43 di dunia. Pabrik tersebut akan
memproduksi produk perawatan rambut dan kulit dengan merek L'Oreal Paris serta Garnier.
Sebanyak 30 persen hasil produksi dialokasikan untuk pasar domestik, sedangkan 70 persen
lainnya akan diekspor ke negara-negara Asia Tenggara.

L'Oreal Indonesia pertama kali mendirikan pabrik pada 1986 di Ciracas, Jakarta Timur.
Executive Vice-President of Operations L'Oreal Jean-Philippe Blainpain mengatakan bahwa
perusahaan produk kecantikan tersebut memutuskan untuk membangun pabrik lebih besar
sekaligus memindahkan aktivitas produksi ke Jababeka. "Indonesia dipilih menjadi pusat
produksi L'Oreal di ASEAN," kata dia.

Namun, Menteri Hidayat mengingatkan, masih tingginya ketergantungan industri kosmetik


terhadap bahan baku impor. "Industri kosmetik harus didorong untuk memanfaatkan tanaman
herbal di Indonesia sebagai bahan baku. Indonesia punya 30 ribuan spesies tanaman obat
kosmetik, atau di posisi kedua setelah Brasil."

Pemerintah, kata Hidayat, akan berupaya menciptakan iklim kondusif demi pertumbuhan industri
kosmetik. "Ada tax allowance serta pembebasan bea masuk untuk bahan pembangunan dan
penanaman modal," katanya.

Pabrik L'Oreal baru memiliki kapasitas produksi sebanyak 200 juta unit per tahun. Sebanyak 75
persen hasil produksi akan diekspor ke negara-negara Asia Tenggara.

sumber : Koran Tempo

Perlukah Kosmetik yang Dijual di Indonesia Bersertifikasi


Halal?
Alissa Safiera - wolipop
Foto: Thinkstock

Jakarta - Label 'halal' kini tak terbatas kepada makanan atau minuman. Polemik
tentang halal mulai menjamah ke area lain, tak terkecuali dunia kecantikan.

Direktur LPPOM MUI Lukmanul hakim mengatakan jika pemakaian kosmetik


sebenarnya diizinkan dalam Islam. Namun baginya, perlu digarisbawahi bila yang
diizinkan adalah segala sesuatu yang dibuat secara halal.

"Banyak kandungan di kosmetik yang tidak halal. Untuk itu MUI turun tangan
berdiskusi untuk mewajibkan sertifikasi halal. Lebih banyak mana antara produsen
dan konsumen kosmetik? Lebih banyak mana yang muslim dan non muslim? Tentu
lebih banyak muslim. Label halal ini bisa juga sebagai strategi marketing bagi
produsen," ujar Direktur LPPOM MUI Lukmanul hakim, saat ditemui di acara
konferensi pers BeautyIndonesia 2017, di Locanda, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta
Pusat, Rabu (15/6/2016).

Bagi sebagian pihak, belum ada urgensi dari mewajibkan sertifikasi halal untuk
bisnis kosmetik di Indonesia. Menurut Kepala Sub Direktorat Industri Farmasi dan
Kecantikan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia Afrida Suston Niar,
dibanding memperdebatkan hal ini lebih baik fokus dalam membuat iklim usaha
yang kondusif terlebih dulu.

"Kalau iklim tidak kondusif, bagaimana usaha mau maju? Bagaimana investor asing
mau datang? Itu dulu. Sementara kita lihat industri lokal juga mulai galau, mereka
harus bertahan hidup. Kalau kita ke Jerman atau negara-negara Eropa, yang mereka
tanyakan adalah 'Bagaimana regulasi di sana dan apa yang kamu perbuat untuk
kami?'" terang Afrida.

Baca Juga: 50 Inspirasi Busana Muslim untuk Lebaran

Afrida menyarankan agar segala pihak fokus pada kemajuan industri lokal terlebih
dulu. "Namun kami akan tetap mencari jalan tengah bersama," tambah Afrida.

Senada dengan Afrida, Scientific & Regulatory Affairs Director L'Oreal, sekaligus
anggota Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) Dewi Rijah Sari, juga
menyetujui hal itu. Menurutnya, industri kosmetik multinasional dan lokal tetap
berharap agar sertifikasi halal bersifat sukarela karena memiliki kompleksitas yang
tinggi.

"Kita harus kembali ke esensi kosmetik itu sendiri, yaitu hanya untuk pemakaian
luar. Jadi urgensinya tidak ada. Lebih dari 90 persen bahan baku masih impor. Jenis
bahan kosmetik ada 76.000, bagaimana cara melakukan sertifikasinya? Saat ini
juga belum ada daftar halal untuk kosmetik, baru ada pangan. Infrastruktur belum
siap akan itu," ujar Dewi.

Seperti data yang diungkap Asosiasi Profesi Ekspor Impor Seluruh Indonesia
(APREISINDO), ada 760 anggota perusahaan kosmetik lokal di Persatuan
Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) saat ini. Hanya 23 yang merupakan
perusahaan besar, sementara yang lainnya adalah Usaha Kecil Menengah (UKM).
Tentu menurutnya, sertifikasi halal bisa memberatkan usaha kecil, karena hal ini
juga akan memengaruhi biaya produksi dan nantinya harga produk. Sementara, tak
semua produsen kecantikan lokal adalah perusahaan besar.

(asf/asf)

JAKARTA - Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian
Republik Indonesia Achmad Sigit Dwiwahjono menilai potensi industri kosmetik di Indonesia
sangat menjanjikan. Menurutnya nilai industri kosmetik tersebut bisa mencapai Rp100 triliun.

Namun, sangat disayangkan industri di sektor kosmetik di dalam negeri baru menyentuh angka
Rp25 triliun, katanya dalam keterangan, Jakarta, Kamis (1/12/2016).

Ia menjelaskan hal ini terjadi karena para pengusaha kosmetik masih kesulitan mendapatkan
bahan baku. Hal itu, lanjutnya, membuat para pengusaha tersebut mau tidak mau harus
mengimpor bahan baku dari luar negeri.

Guna menanggulangi hal tersebut Kemenperin melakukan subtitusi impor bahan baku industri
kosmetik dengan membuat pilot project bersama kimia farma, ujarnya.
Ia berharap dengan adanya program ini pencapaian nilai industri kosmetik bisa lebih baik dari
pencapaian saat ini.

Tentu harus ada komunikasi yang intens antara pemerintah, pemerintah daerah, dan juga
pengusaha. Dengan adanya program itu kita berharap industri kosmetik Indonesia bisa terus
berkembang, pungkasnya.

(rzy)

Industri kecantikan Indonesia dikatakan selalu konsisten mengalami peningkatan


dibanding industri lainnya. Berdasarkan Euromonitor International, negara-negara
berkembang berkontribusi sebesar 51 persen bagi industri kecantikan global,
termasuk di antaranya Indonesia yang memiliki pasar yang dinamis di kawasan Asia
Tenggara.

Tak hanya itu, Indonesia pun diestimasikan akan menjadi pasar pertumbuhan utama
untuk industri kecantikan pada tahun 2019.

Kepala Sub Direktorat Industri Farmasi dan Kosmetika Kementerian Perindustrian


Republik Indonesia, Ir. Afrida suston Niar, MM, mengatakan bahwa Indonesia
memiliki peluang besar dalam industri kecantikan karena pasar domestik yang luas,
ketersediaan SDM, dan juga potensi material bahan baku sebagai negara beriklim
tropis.

Tak hanya itu, warisan kecantikan, keberagaman suku bangsa dan budaya, juga
menjadi keunikan tersendiri bagi pengembangan industri kosmetik dan perawatan
kecantikan yang potensial.

"Industri kosmetik merupakan salah satu industri yang stategis dan potensial
mengingat bahwa saat ini terdapat 760 perusahaan kosmetik skala besar,
menengah dan kecil yang tersebar di wilayah Indonesia, serta mampu menyerap
75ribu tenaga kerja secara langsung dan 600ribu tenaga kerja secara tidak
langsung," kata Afrida saat konferensi pers 'Beauty Indonesia' pada Rabu (15/6) di
Locanda Food Voyager, Jakarta.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk


Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035, industri kosmetik menjadi
salah satu Industri Andalan, yaitu industri prioritas yang berperan besar sebagai
penggerak utama perekonomian.

Selain menekankan pada penguasaan riset dan teknologi, untuk mendukung inovasi
produk kosmetika, diharapkan tercipta kemandirian bahan baku kosmetika,
terutama berbasis alam Indonesia.

"Dengan keunikan kekayaan bahan alami kecantikan, serta populasi penduduk


mencapai 260 juta, Indonesia adalah sebuah pasar lokal yang luas dan dinamis,
dimana seluruh merek global berada, yang menciptakan persaingan yang kuat dan
peluang yang besar," katanya.

Atas dasar ini UBM Indonesia memperkenalkan Beautylndonesia yaitu pameran


niaga di Indonesia yang didedikasikan kepada para peserta internasional dan akan
diselenggarakan pada 19-21 April 2017 di Jakarta Internasional Expo Kemayoran.

Menurut General Manager PT UBM Indonesia, Ivan Ferrari, pameran ini mencakup
semua sektor kecantikan, meliputi bahan, kemasan dan mesin, manufaktur,
kosmetik, perlengkapan mandi dan perawatan pribadi, kesehatan dan spa,
kesehatan alami, salon kecantikan, tata rambut profesional, kuku dan aksesoris.

"Pada tiga hari tersebut akan dipadati dengan berbagai aktivitas, seperti
program Business Matchmaking yang mempertemukan secara spesifik para
professional industri sesuai dengan minat dan kebutuhan, demo, kompetisi, dan
South East Asia Beauty Symposium yang akan mengumpulkan para pemimpin
bisnis dan industri kecantikan dalam diskusi panel untuk berbagi pengetahuan,
pengalaman, seminar, tren, dan analisis pasar," kata Ivan.

Afrida pun menambahkan, menurutnya dengan adanya pameran Beautylndonesia


2017 ini diharapkan dapat menjadi sarana promosi dan pertukaran informasi
industri kosmetik nasional dan internasional termasuk teknologi produksi, riset,
pasar, dan trend kosmetik terbaru, sekaligus mendorong investasi industri bahan
baku kosmetik di dalam negeri.

"Kami pun berharap Beautylndonesia 2017 dapat menciptakan harmonisasi antara


produsen lokal dan internasional, sehingga dapat meningkatkan industri kecantikan
Indonesia," kata Ivan.
(meg)

Industri Kosmetik Pertanyakan Urgensi Sertifikasi Halal


Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah

Republika/ Yasin Habibi


Sejumlah obat tradisional dan kosmetika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi)


memandang rencana pemerintah untuk mewajibkan sertifikasi halal kosmetik bertentangan
dengan paket kebijakan ekonomi. Paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan Presiden Republik
Indonesia Joko Widodo menekankan pada debirokratisasi dan deregulasi.

"Penambahan ini (sertifikasi halal) justru mennambah regulasi bagi pelaku usaha," ujar Ketua
Bidang Teknis dan Ilmiah Perkosmi Dewi Rijah Sari kepada Republika.co.id Jumat (30/9).

Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) memberikan dampak ke berbagai jenis sektor
dan produk. Perkosmi sendiri melihat dampak UU tersebut lebih luas dibandingkan pelaksanaan
sertifikasi halal saat ini. Sertifikasi halal mencakup dua hal, yakni fasilitas produksi dan produk.
Untuk fasilitas produksi mencakup adanya sistem jaminan halal bagi pabrik. Sementara untuk
sertifikasi produk yakni akan diberikan sertifikat halal untuk produk. Pelaksanaan UU JPH
memberikan dampak dari hulu hingga hilir. Artinya, bukan hanya bagi pabik saja, tapi juga
termasuk proses pemasaran, distribusi, dan pemasangan di toko harus dilakukan pemisahan.

Hal tersebut tidaklah mudah mengingat kosmetik adalah produk yang unik dan tidak bisa
disamakan dengan makanan, minuman, serta obat-obatan. Kosmetik merupakan benda yang
pemakaiannya di luar. Perkosmi menyarankan sebaiknya sertifikasi halal hanya diberlakukan
bagi kosmetik yang mengklaim produknya halal.

Dewi mengatakan dari sisi urgensi, sertifikasi halal masih menjadi pertanyaan dari sebagian
besar anggota Perkosmi. "Dari sisi teknis, kendala yang harus dihadapi asosiasi sangatlah besar,"
ujarnya.

Dia menjelaskan, bahan bakau kosemtik yanag digunakan saat ini 90 persennya masih impor.
Jumlah jenis bahan baku yang dipakai untuk kosmetik ada 76 ribu jenis. Berdasarkan data dari
Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM), produk kosemtik yang telah diregistrasi
hingga Agustus 2016 berjumlah 110 ribu produk. Jumlah ini lima kali lebih besar dari produk
obat. Alhasil, kata Dewi, apabila sertifikasi halal diwajibkan untuk kosmetik maka akan
menambah kompleksitas.

Belum lagi saat ini infrastruktur dan perangkat untuk melakukan sertifikasi halal kosmetik belum
memadai. Misalnya saja belum tersedianya daftar positif atau negatif bahan baku kosmetik yang
halal dan yang tidak. Hal tersebut hanya akan menambah beban bagi pelaku perusahaan
kosmetik untuk memverifikasi produknya. Dewi menyebut formula kosmetik jauh lebih
kompleks dari makanan.

Dari satu formula, bisa terdiri dari 10 hingga 30 bahan baku. Pemasok satu jenis bahan baku
biasanya berjumlah banyak. Sementara itu, verifikasi bahan baku harus dimulai hingga ke
sumbernya. Terkadang, satu pemasok mempunyai beberapa pabrik di lokasi berbeda. "Ini juga
yang mendi tantangan bagi industri kosemtik untuk melakukan sertifikasi halal," ujar Dewi.

Perusahaan Malaysia Raup Untung dari Bisnis Sertifikat


Halal di Indonesia
Mulai 2017, produk makanan di Indonesia wajib memasang label halal atau tidak. Produk
kosmetik menyusul tahun 2018, obat-obatan 2019. Yang saat ini meraup untung dari sertifikasi
adalah konsultan online DagangHalal.com.
Mulai tahun 2017, semua produk makanan yang dijual di Indonesia harus diberi label halal atau
tidak, sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Inilah UU
pertama di dunia yang mewajibkan label/sertifikasi sebuah produk sebagai halal atau tidak halal.

Perusahaan-perusahaan multinasional kosmetika dan perawatan tubuh, seperti L'Oreal, Unilever


dan Henkel sudah mengantisipasi kewajiban label ini dan melempar produk-produk halal mereka
ke pasaran. Indonesia dan Malaysia diperkirakan akan menjadi pasar terbesar dunia bagi produk-
produk yang diklaim halal.

Para produsen kosmetika dan perawatan menyatakan, labelisasi produk sebenarnya bukan
masalah besar dari segi biaya, tapi yang rumit dan makan waktu serta biaya adalah
administrasinya.

"Di beberapa bagian dunia, tren ini membuka peluang bisnis baru, yaitu para konsultan sertifikat,
"kata Dirk Mampe dari perusahaan Kimia Jerman, BASF. Di Indonesia, BASF sudah punya
sertifikat halal untuk 145 produknya.

"Memang ada tren, produk halal makin diminati konsumen. Jadi kepentingan untuk memasok
produk berlabel halal juga meningkat", tambah Dirk Mampe.
Label Halal di Jerman

Para produsen memang memperhitungkan pasar baru ini. Ada lebih 1,5 miliar umat muslim di
seluruh dunia. Yang paling pesat meningkat adalah omzet sektor kosmetika. Menurut data
Deloitte Tohmatsu Consulting, berbagai jenis kosmetika halal saat ini sudah menguasai 11 persen
dari pasar halal global, yang tahun 2015 bernilai lebih dari 1 triliun dolar AS.

Sampai tahun 2019, omset produk perawatan tubuh akan "'tumbuh 14 persen per tahun" kata
periset pasar TechNavio.

Raksasa kosmetik Prancis L'Oreal di Indonesia sudah punya pabrik bersertifikat halal, yang
memasok pasar domestik dan kawasan Asia Tenggara. Sebagian besar produknya dijual dibawah
merek Garnier, mulai dari pembersih muka sampai krim pencerah kulit yang bersertifikat halal.

Meraup untung dari sertifikasi

Tapi sertifikasi halal tidak selamanya mudah. Misalnya untuk krim kulit yang dibuat di Indonesia
dengan campuran banyak bahan atau rempah-rempah lain yang harus diimpor dari luar negeri.

Berburu Produk Makanan Halal di Jerman

Di antaranya terdapat di toko-toko Turki


Lebih dari 5% penduduk Jerman atau lebih dari 4 juta orang di Jerman beragama Islam.
Itu sebabnya banyak produsen bahan makanan halal melirik pasar di Jerman. Produk
mereka biasanya dapat ditemukan di toko-toko yang dikelola warga Jerman keturunan
Turki.

1234567

Otoritas sertifikasi halal di Indonesia menuntut produsen memberikan bukti-bukti halal dari
semua pemasok bahan-bahan campuran itu. Bagi produsen, banyak hal jadi rumit dan makan
waktu. Tapi makin konsumen yang memang mencari produk bersertifikat halal.

Sebuah perusahaan konsultan online di Malaysia memanfaatkan celah bisnis ini, dan
menawarkan konfirmasi sertifikat halal dalam waktu cepat. DagangHalal membuat database di
situsnya www.DagangHalal.com dengan ribuan produk yang bersertifikasi halal. Konsultannya
juga menawarkan jasa kepada perusahaan untuk mendapatkan label halal di satu negara.
DagangHalal bekerja sama dengan lembaga-lembaga sertifikasi di berbagai negara. Menurut
keterangan sendiri, DagangHalal saat ini bekerjasama dengan 38 lembaga sertifikasi dari
berbagai.

DagangHalal juga menawarkan produk-produk itu lewat situdnya. Tahun 2015, perusahaan ini
melaporkan pendapatan sekitar 5,6 juta ringgit Malaysia, atau senilai 1,4 juta dolar AS. Ini
berarti peningkatan lebih dari 60 perseb dibandingkan angka tahun lalu.

DagangHalal tahun 2016 masuk ke bursa London dan berhasil mengumpulkan dana senilai 4,7
juta dolar AS dari penawaran sahamnya.

Memahami nilai-nilai lokal

Produk non-halal memang tetap akan ada di toko-toko di Indonesia, tapi omsetnya diperkirakan
akan menurun.

"Rata-rata konsumen Muslim di Indonesia tidak membeli produk yang sudah menulis larangan di
bungkusnya," kata Abdalhamid Evans dari Imarat Consultants.

Perusahaan raksasa Unilever mengatakan, semua 9 pabriknya di Indonesia sudah memenuhi


standar halal. Unilever saat ini sedang berunding dengan pemasok untuk bahan-bahan yang harus
diimpor.

Persaingan dengan produsen lokal memang bisa makin ketat dalam pemasaran produk-produk
berlabel halal, terutama kalau berurusan dengan regulasi, kata Alan Jope, direktur divisi bisnis
perawatan tubuh di Unilever. Tapi dia mengatakan dengan yakin, perusahaannya sudah
memahami nilai-nilai muslim secara umum di kawasan pemasaran.

Dia mengatakan, sekitar 90 persen konsumen Muslim dalam survey memang menyebutkan,
agama mereka menentukan pilihan produk yang mereka beli.

"Tapi ada perbedaan cukup besar antara wanita Muslim di Indonesia dan seorang wanita Muslim
di Arab Saudi ketika menjalankan agamanya, dan itu ada pengaruhnya pada pilihan-pilihan
produk kecantikan mereka," kata dia.

Unilever misalnya sudah memperkenalkan produk khusus seperti pasta gigi tahan lama bagi
mereka yang sedang berpuasa di bulan Ramadan.

Saingan Unilever, Henkel, punya strategi serupa. Henkel menawarkan shampoo khusus untuk
"rambut di bawah kerudung".
"Tapi kita masih perlu bekerja lebih baik dalam mencerminkan nilai-nilai Islam ketika
berkomunikasi dengan pelanggan, "kata Alan Jope. Dia misalnya ingin agar iklan-iklan produk
Unilever lebih banyak menggunakan gambar perempuan berjilbab.

Pengusaha Komestik Nilai Sertifikasi Halal Tak Tepat


Yuliyanna Fauzie, CNN Indonesia

Kamis, 06/10/2016 07:45 WIB

Sebarkan:

Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia menilai kewajiban label halal pada


produk kosmetik memberatkan industri kosmetik sejak dari hulu sampai ke hilir.
(CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi)
menilai kewajiban label halal pada produk kosmetik yang diatur pemerintah dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH)
tidak tepat.

"Kosmetik ini digunakan di luar, tidak masuk ke dalam tubuh konsumen layaknya
makanan, minuman, dan obat. Jadi, tidak tepat diterapkan ke kosmetik untuk halal
ini," ungkap Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Perkosmi Dewi Rijah Sari, Rabu (5/10).

Sekalipun ada beberapa perusahaan kosmetik yang mengklaim produknya halal,


Dewi menilai, hal ini hanya sebatas cara perusahaan menjual produknya atau
selling point.

Pasalnya, label halal tak jauh berbeda fungsinya, seperti jaminan kosmetik yang
tahan digunakan selama 24 jam atau kosmetik yang tahan air atau waterproof.

"Itu hanya selling point saja, ini loh kosmetik kita tahan 24 jam, waterproof, bahkan
halal. Jadi, tidak perlu diwajibkan tapi yang ingin menyatakan produknya halal
barulah mereka lakukan pengujian," jelas Dewi.

Bila pemerintah bersikeras memukul rata bahwa semua produk kosmetik harus
berlabel halal, Dewi memastikan, aturan ini akan menghambat perputaran produk
kosmetik di pasaran yang saat ini terbilang cepat.

"Aturan ini membuat produk kosmetik lamban masuk ke pasaran. Padahal tren
kosmetik itu cepat sekali perputarannya, cenderung mengikuti fashion. Jadi, butuh
regulasi yang lebih cepat," ujar Dewi.

Menurut Dewi, pemeriksaan kehalalan membuat suatu kosmetik yang masuk ke


pasar Indonesia, baik kosmetik dari dalam negeri maupun luar negeri harus melalui
serangkaian pengujian yang panjang hingga diberikan label halal.

"Ini membuat masyarakat harus ekstra sabar saat suatu kosmetik masuk ke
pasaran karena tidak bisa langsung dibeli dan dicoba, harus uji halal dulu,"
imbuhnya.

Belum lagi, kata Dewi, konsumen kosmetik berpotensi dibebankan biaya tambahan.
Pasalnya, uji produk halal memakan biaya tambahan yang membuat biaya
operasional industri kosmetik membengkak dan tentu akan berimbas kepada
konsumen.

Jika dilihat lebih rinci, maka imbas kewajiban label halal pada produk kosmetik
sudah memberatkan industri kosmetik sejak dari hulu sampai ke hilir.

Dewi menjelaskan, dari hulu, pemerintah memaksa industri kosmetik untuk menguji
bahan baku yang digunakan pada produk kosmetik.
"Bahan baku kosmetik itu 90 persen dari impor. Berarti kami harus periksa halal
atau tidaknya sedari bahan tersebut dihasilkan suatu negara. Belum lagi, bahan
baku kosmetik sekian ribu, tidak mungkin memeriksa satu per satu," jelas Dewi.

Masih di hulu, industri kosmetik juga diwajibkan menggunakan fasilitas pengolahan


yang terjamin kehalalannya. Bahkan, ketentuan halal berlanjut sampai ke penyajian
produk, distribusi, hingga akhirnya lulus uji Badan Pemeriksa Obat dan Makanan
(BPOM) dan mendapat label halal.

Rangkaian panjang untuk mendapatkan label halal ini, menurut Dewi, perlu
diperhitungkan lagi oleh pemerintah, terlebih ketentuan tingkat-tingkat pengujian
kehalalan.

Untuk diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah melakukan kajian
ulang terhadap UU JPH. Dari hasil kajian ulang ini, nantinya, pemerintah akan
memberlakukan skema jaminan produk halal untuk tiga industri.

Pertama, JPH akan diberlakukan di industri mamin per akhir tahun ini seiring dengan
diterbitkannya revisi UU JPH.

Kedua, JPH diberlakukan di industri produk kosmetik pada 2017 dan ketiga,
diberlakukan di industri obat dan alat kesehatan pada 2018 mendatang.

Pilihan Redaksi

Pelaku Smelter Kecewa Pemerintah Akan Relaksasi Ekspor Nikel

Dana Menguap Dari Bank Gara-gara Amnesti Pajak

Pengusaha Anggap Sertifikasi Halal Membebani

Pekerjaan Rumah Pemerintah

Jika pemerintah memaksa label halal pada kosmetik, maka Dewi menilai seharusnya
pemerintah terlebih dahulu harus menyelesaikan 'pekerjaan rumahnya'.

Pasalnya, Dewi mencatat, saat ini terdapat 110 ribu produk kosmetik yang terdaftar
di BPOM, tetapi baru 3,63 persen atau sekitar 4 ribu produk dari 48 perusahaan
kosmetik yang melakukan sertifikasi halal.

"Kalau UU ini berlaku, sisa sekitar 96 persen produk kosmetik yang belum berlabel
halal mau dikemanakan? Tidak mungkin pemerintah larang produk tersebut
beredar," tekan Dewi.
Belum lagi, bagi produk kosmetik baru yang terus diproduksi oleh industri kosmetik
tentu akan bertambah sehingga dipastikan tugas pemerintah kian bertambah untuk
menguji kehalalan produk kosmetik. (gir)

Kecantikan, Industri Prioritas Indonesia


Reporter : Irma Suryani | Minggu, 19 Juni 2016 05:01

336
SHARES

Ilustrasi. (Foto: Dian Pelangi)

Indonesia diprediksi akan jadi pasar yang tumbuh subur untuk industri kecantikan
pada 2019.
Dream - Industri kecantikan telah ditetapkan menjadi salah satu dari 10 industri prioritas
pemerintah, dalam rencana utama tahun 2015 untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Indonesia memiliki potensi yang kuat. Mengingat, pasar domestik yang besar, ekspor, sumber
daya manusia yang berkualitas dan banyaknya bahan-bahan herbal yang dapat digunakan sebagai
bahan baku.
" Nilai ekspor pada tahun 2015 mencapai USD 818 juta atau sekitar Rp 11 triliun," papar Menteri
Perindustrian Saleh Husin, saat meresmikan pembukaan Konferensi Nasional II dari
Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi (PPA) Kosmetika di Jakarta pada 1 Juni 2016, dalam
keterangan tertulis yang diterima Dream.co.id.

Melihat perkembangan industri kosmetik di Tanah Air, berbagai pihak mendukung mulai
dari asosiasi, kemitraan publik dan swasta dengan menyelenggarakan pameran niaga.

UBM Asia sebagai penyelenggara pameran niaga terbesar di Asia meluncurkan " Beauty
Indonesia" untuk berkontribusi pada pertukaran informasi, inovasi, penelitian, pengembangan
bisnis dan pendidikan.

Pameran niaga kecantikan premier bagi para industri profesional akan diadakan selama 3 hari
pada 19-21 April 2017 di Jakarta International Expo (JIExpo), Indonesia. (Ism)

Pengusaha Kosmetik Masih Enggan Ikut Program Halal


Pemerintah
, CNN Indonesia

Kamis, 14/04/2016 11:05 WIB

Sebarkan:


Jakarta, CNN Indonesia -- Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi)
belum tertarik untuk masuk ke dalam kawasan industri halal yang proses
pembentukannya sedang dipersiapkan pemerintah. Asosiasi juga tidak
mengharuskan anggotanya memberi label halal pada produknya, terutama bagi
perusahaan kosmetik yang berorientasi ekspor.

Ketua Umum Perkosmi, Nurhayati Sibakat mengatakan alur produksi kosmetik dari
hulu ke hilir sebenarnya sudah bisa dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
produsen. Oleh karenanya, produsen kosmetik tidak harus dipaksa untuk berkumpul
di satu area tertentu.

Hal ini, ujarnya, sangat berbeda dengan proses industri lain, contohnya makanan
dan minuman, yang memang membutuhkan integrasi halal dari hulu ke hilir.

"Karenanya, kami pikir tak perlu seekstrim itu untuk membuat kawasan industri
halal khusus bagi industri kosmetik. Masalah halal atau tidak halal kan juga
tergantung produsennya," jelas Nurhayati ketika ditemui di Kementerian
Perindustrian, Rabu (13/4).

Kendati demikian, ia mengakui konsumen di luar negeri saat ini tengah melirik
kosmetik halal karena proses produksi dan kualitasnya lebih baik dibanding produk
kosmetik yang lain. Menurutnya, preferensi itu muncul karena kosmetik halal tidak
diujicobakan kepada hewan dan tidak mengandung alkohol, yang mungkin bisa
mengakibatkan alergi pada beberapa konsumen.

Namun, ia mengatakan saat ini Perkosmi masih membidik konsumen domestik


sebagai pasar utama, sehingga integrasi proses produksi halal bersama bagi produk
ekspor belum terlalu dibutuhkan. Ia mengatakan, 95 persen dari nilai industri
kosmetik Indonesia sebesar Rp 60 triliun per tahun masih disumbang dari produk
dalam negeri.

Lebih lanjut, ia juga tak pernah memaksa anggota asosiasi untuk menghalalkan
seluruh produknya, terlebih bagi berorientasi ekspor.

"Dari 500 anggota kami juga ada yang sudah ekspor, namun jumlahnya sangat kecil
sekali, dan saya juga tak bisa memperkirakan berapa angkanya," ujar pendiri
kosmetik bermerek Wardah tersebut.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri (PPI)


Kementerian Perindustrian, Imam Haryono mengatakan pemerintah segera
membuat kawasan industri halal agar produksi barang-barang halal menjadi lebih
efisien. Produk halal disebutnya akan menjadi unggulan karena memiliki citra yang
lebih baik, dan kini konsumen asing juga sudah mulai melirik produk-produk ini.

"Kalau produk dilabeli halal kan kesannya lebih baik, lebih tertangani karena mulai
bahan baku sampai packaging distribusinya itu terkontrol semua. Penduduk dunia
yang muslim 1,8 miliar penduduk, tapi yang non-muslimnya juga mulai punya
persepsi kalau produk halal image-nya memang lebih baik," jelas Imam di Jakarta
awal bulan ini.

Selain itu, Indonesia juga ingin menjegal Thailand untuk menjadi lima besar
pemasok produk halal global pada 2020. Sebagai informasi, nilai ekspor produk
halal dunia pada 2014 mencapai US$ 1,1 triliun, sedangkan nilai produk halal
Thailand mencapai US$ 6 miliar.

Menurut data Kementerian Perdagangan, ekspor produk kosmetik dan toilettries


Indonesia tercatat sebesar US$ 1,56 miliar pada tahun lalu. Angka ini menurun 7,05
persen jika dibandingkan dengan perolehan tahun sebelumnya US$1,67 miliar.

Kodisi ekonomi global di inodesia sangat rentan dengan krisis karena perubahan
perubahan yang terjadi setiap tahunnya.
Urgensi sertifikasi halal pada kosmetik tidak begitu di perdulikan di inodnesia.
Menurut Kepala Sub Direktorat Industri Farmasi dan Kecantikan Kementerian
Perindustrian Republik Indonesia Afrida Suston Niar, lebih menyarangkan terhadap
kemanjuan industry local terlebih dahulu.

Sekadar informasi, saat ini ada 1,5 miliar orang Muslim di seluruh dunia. Pasar
kosmetik halal menguasai 11 persen pasar halal global yang nilainya sebesar US$1
triliun pada 2015, berdasarkan data Deloitte Tohmatsu Consulting.

Anda mungkin juga menyukai