Anda di halaman 1dari 18

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

HUKUM HUBUNGAN INDUSTRIAL

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

POLITIK HUKUM PERBURUHAN (KETENAGAKERJAAN)

Disusun oleh,

Debora Sintia Panggabean NIM: 2102190025

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Dr. Gindo L. Tobing, SH., MH.,

PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
NOVEMBER 2022

1
POLITIK HUKUM PEMBURUHAN

(KETENAGAKERJAAN)

2.1. Periode Sebelum Kemerdekaan

2.1.1. Masa Perbudakan

Pada masa perbudakan, keadaan Indonesia dapat dikatakan lebih baik


daripada di negara lain karena telah hidup hukum adat. Pada masa ini, budak
adaiah milik majikan. Pengertian milik berarti menyangkut perekonomian, serta
hidup matinya seseorang. Politik hukum yang berlaku pada masa ini, tergantung
pada tingkat kewibawaan penguasa (raja). Contohnya pada tahun 1877, saat
matinya raja Sumba, seratus orang budak dibunuh, agar raja itu di alam baka nanti
akan mempunyai cukup pengiring dan pelayan. Contoh lainnya budak yang
dimiliki oleh suku Baree Toraja di Sulawesi Tengah nasibnya lebih baik dengan
pekerjaan membantu mengerjakan sawah dan ladang.

Selain itu, dikenal lembaga perhambaan (pandelingschap) dan peruluran


(horigheid, perkhorigheid). Iman Soepomo menggambarkan lembaga perhambaan
(pandelingschap) dan peruluran (horigheid, perkhorigheid) sebagai berikut
lembaga perhambaan (pandelingschap). Lembaga ini terjadi apabila ada
hubungan pinjam-meminjam uang atau apabila terjadi perjanjian utang piutang.

Selanjutnya orang yang diserahkan diharuskan untuk bekerja kepada orang


yang memberi utang sampai batas waktu si debitur dapat melunasi utangnya.
Penyerahan diri atau orang lain itu dimaksudkan untuk membayar bunga dari
utang itu. Bukan untuk membayar utangnya. Keadaan ini pada dasarnya sama
dengan perbudakan.

Lembaga peruluran (horigheid, perkhorigheid) terjadi setelah Jan


Pieterszoon Coen pada tahun 1621 menguasai Pulau Banda. Semua orang yang
ada di pulau itu dibunuh atau diangkut ke luar negeri sebagai budak. Yang sempat
melarikan diri ada yang menjadi bajak laut. Selanjutnya tanah-tanah yang masih

2
kosong itu diberikan atau dibagi-bagikan kepada bekas pegawai Kompeni atau
orang lain. Orang yang diberi kebun itu dinamakan perk (ulur). Kepemilikan
hanya terbatas pada saat orang itu tinggal di kebun itu dan wajib tanam.

Jaman penjajahan Jepang ada namanya kerja paksa Romusha untuk


kepentingan suatu kerajaan atau kelompok untuk pembangunan apa yg diinginkan
oleh Raja. Parahnya lagi pada masa penjajahan Jepang pekerja Romusha ini
apabila lamban, lemas, malas-malasan dalam melakukan pekerjaan akan dihukum,
apalagi yang tidak melakukan pekerjaan.

2.1.2. Masa Penjajahan Hindia Belanda

Pada masa ini, sebenarnya tidak untuk seluruh 30Iman Soepomo,


Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1985), hal. 14-15. 46 wilayah
Indonesia karena pada saat itu masih ada wilayah kekuasaan raja di daerah yang
mempunyai kedaulatan penuh atas daerahnya. Pada masa ini meliputi masa
pendudukan Inggris, masa kerja rodi dan masa poenale sanctie. Tahun 1811-
1816, saat pendudukan Inggris, di bawah Thomas Stamford Raffles, ia mendirikan
TheJava Benevoleni Institution yang bertujuan menghapus perbudakan. Cita-cita
itu belum sampa terlaksana karena kemudian Inggris ditarik mundur.

Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh Hindia Belanda menginga
untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk keuntungan dari rempah-rempal
dan perkebunan. Untuk kepentingan politik imperialismenya, pembangunan saran;
prasarana dilakukan dengan rodi. Contohnya, Hendrik Willem Deandels (1807-
1811) menerapkan kerja paksa untuk pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan
(Banyuwangi).

Rodi dibagi tiga, yaitu rodi gubernemen (untuk kepentingan gubernemei


dan pegawai), rodi perorangan (untuk kepentingan kepala atau pembesa
Indonesia), dan rodi desa (untuk kepentingan desa).

3
Pada awal kemerdekaan sebenarnya hal yang mengenai Ketenagakerjaan
belum manjadi hal paling penting, pokok dimata pemerintah kita pada masa itu.
Yang menjadikan hal yang tidak penting ini adalah karna pada masyarakat
Indonesia lagi sibuk dalam mempertahankan kemerdekaannya. Tahun 1951
diundangkan yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 yang bernama
Undang-Undang Kerja. Undag-Undang ini mengatur pekerjaan yang boleh
dilakukan orang dewasa, anakanak, remaja dan perempuan, waktu kerja, istirahat
dan mengatur mengenai tempat kerja.

Tahun 1951 apabila ada perselisihan maka akan diselesaikan oleh pihak
yang berselisih itu saja sendiri, bila dalam penyelesaian tersebut tidak memenuhi
titik terang baru pegawai kementrian perburuhan bergerak dengan intrksi dari
Menteri Tenaga Kerja.

Dalam rangka Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan


amandemen beberapa Undang-Undang yang mengenai Ketenagakerjaan,
diantaranya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Seikat Pekerja da
undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.

2.1.3. Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang mulai tangga112 Maret 1942, pemerintah


militer Jepang membagi menjadi tiga daerah pendudukan, yaitu Jawa, Madura,
dan Sumatera yang dikontrol dari Singapura dan Indonesia Timur.

Politik hukum masa penjajahan Jepang, diterapkan untuk memusatkan diri


bagaimana dapat mempertahankan diri dari serangan sekutu, serta menguras habis
kekayaan Indonesia untuk keperluan perang Asia Timur Raya.

Pada masa ini diterapkan romusya dan kinrohosyi. Romusa adalah


tenagatenaga sukarela, kenyataannya adalah kerja paksa yang dikerahkan dari

4
Pulau Jawa dan penduduk setempat, yang didatangkan ke Riau sekitar 100.000
orang. Romusya lokal adalah mereka yang dipekerjakan untuk jangka waktu yang
pendek disebut kinrohosyi.

2.2. Periode Sesudah Kemerdekaan

2.2.1 Masa Pemerintahan Soekarno

Pada masa pemerintahan Soekarno tidak banyak terdapat kebijaksanaan


tentang ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa mempertahankan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari jajahan Hindia
Belanda. Di bidang hukum ketenagakerjaan, pemerintah membuat produk hukum
sebagian besar dengan cara menerjemahkan peraturan Hindia Belanda yang
dianggap sesuai dengan alam kemerdekaan atau dengan mengadakan perbaikan
dan penyesuaian.

Meskipun demikian, produk hukum di masa pemerintahan Soekarno justru


lebih menunjukkan adanya penerapan teori hukum perundang-undangan yang
baik, yaitu hukum yang baik apabila berlaku sampai 40 atau 50 tahun yang akan
datang, daripada produk hukum yang sekarang ini (contohnya: UU No. 25 Tahun
1997, Kepmenaker No. Kep.150/Kep/2000).

2.2.2. Masa Pemerintahan Soeharto

Pada masa pemerintahan Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik,


politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional
akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk
mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi maka ditetapkanlah Repelita.
Sayangnya sejalan dengan berkembangnya waktu, dalih pembangunan ekonomi
akhirnya menjurus pada tindakan penguasa yang sewenang-wenang.

5
Sebagai contoh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, pengerahan TKI
keluar negeri pada masa pemerintahan Soekarno, yaitu berdasarkan Pasal 2 TAP
MPRS No. XXVIII/MPRS-RI/1966, yaitu segera dibentuk undangundang
perburuhan mengenai penempatan tenaga kerja. Selama masa pemerintahan
Soeharto, ketentuan ini tidak pernah direalisasi. TAP MPRS No.
XXVIIl/MPRSRI/1966 sudah dicabut di masa pemerintahan Soeharto. Sebagai
kelanjutan berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1969 ditetapkan tugas
pemerintah untuk mengatur penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif.

Tugas tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dengan peraturan perundang-


undangan. Akibatnya pengerahan TKI tidak berdasarkan undang-undang, tetapi
cukup dengan peraturan/keputusan menteri tenaga kerja saja, sehingga tingkat
perlindungan hukumnya kurang jika dibandingkan dengan undang-undang. Selain
itu, untuk mensukseskan pembangunan ekonomi maka investor yang tidak lain
adalah majikan mempunyai kedudukan secara politis kuat dan dengan penguasa,
contohnya kasus monopoli dan subsidi khusus indomie.

Kedudukan buruh semakin lemah dengan dalih Hubungan Industrial


Pancasila, hak buruh dikebiri dengan hanya dapat mendirikan satu serikat pekerja,
yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), serta apabila ada masalah
hubungan industrial majikan dapat dibantu oleh militer (Permenaker No. Per.342/
Men/1986). Kasus yang sangat membutuhkan perhatian hingga saat ini adalah
terbunuhnya aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo

2.3. Periode Orde Lama

2.3.1. Masa Orde Lama

Dalam merebut kemerdekaan Indonesia, gerakan buruh memainkan peranan


yang penting. Peran baru dengan keterlibatannya dalam gerakan kemerdekaan
nasional, melalui yang disebut dengan “Lasykar Buruh, Kaum Buruh, dan Serikat
Buruh di Indonesia”, aktif dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.

6
Sumbangan bagi keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa revolusi
fisik (1945-1949), menjamin gerakan buruh tempat atau posisi yang baik setelah
Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Hal ini tampak khususnya dalam
pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia. Dengan demikian,
tidaklah mengherankan bahwa pada masaawal kemerdekaan Indonesia ada
beberapa peraturan hukum perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju,
dalam arti amat protektif atau melindungi kaum buruh.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Keselamatan di Tempat


Kerja diterbitkan oleh pemerintah sementara di bawah Sjahrir, Undang-undang
ini member sinyal beralihnya kebijakan dasar perburuhan dari negara baru ini,
yang mana sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung
liberal atau dipengaruhi perkembangan dasar dengan prinsip seperti “no work no
pay”.

Kemudian menyusul lagi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 Tentang


Perlindungan Buruh dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 Tentang
Pengawasan Perburuhan, Undang-undang ini mencakup banyak aspek
perlindungan bagi buruh, seperti larangan diskriminasi di tempat kerja, ketentuan
40 jam kerja dan 6 hari kerja seminggu, kewajiban perusahaan untuk
menyediakan fasilitas perumahan, larangan mempekerjakan anak di bawah umur
14 tahun, termasuk juga menjamin hak perempuan untuk mengambil cuti haid 2
hari dalam sebulan dan cuti melahirkan 3 bulan. Undang-undang ini bisa
dikatakan paling maju di regional Asia pada waktu itu, yang kemudian menjadi
dasar utama kebijakan legislasi hukum perburuhan di Indonesia yang prospektif.

Pada tahun 1950-an, masih dalam suasana gerakan buruh yang sedang
dinamis, dihasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, disusul Undang-Undang Tahun 1964
Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang
memberikan proteksi yang amat kuat kepada para buruh atau pekerja dengan
kewajiban meminta ijin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4)
untuk Pemutusan Hubungan Kerja.

7
Sebelumnya sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang
Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan yang sungguh
amat terasa nuansa demokratis dalam ketentuan pasal-pasalnya, termasuk sebuah
Undang-Undang tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO N0. 98 Tentang Hak
Berorganisasi sekaligus menjamin lebih jauh lagi memberi serikat buruh status
hukum.

2.4. Periode Orde Baru

2.4.1. Masa Orde Baru

Pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat


memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan
Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya
pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang,
perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.

Untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum


terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi
belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan Idiil/Konstitusional, dengan
dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya
kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik
awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh.

Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum


Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik
Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu
Pancasila.

Orde Baru diawali oleh peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya pembantaian


dan penghancuran elemen PKI tahun 1965, yang mengubah secara permanen
konstelasi kekuatan politik dan berdampak secara mendalam atas nasib organisasi
buruh. Pasca tahun 1965, posisi buruh lebih rendah daripada yang pernah terjadi
dalam sejarah sebelumnya.

8
Orde Baru memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda. Karena
itu, salah satu tugas utama yang diemban oleh Orde Baru di bawah komando
Soeharto adalah menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan
ekonomi merupakan faktor paling penting untuk menjelaskan kebijakan
perburuhan Orde Baru.

Rezim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive


modernisation) dimana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol
organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Disamping pendekatan
ekonomis ini, pertimbangan-pertimbangan politik yang mendasarinya juga
merupakan aspek yang penting dalam kebijakan-kebijakan perburuhan pada masa
Orde Baru.

Pada periode ini, pendekatan militeristik atas bidang perburuhan menjadi


semakin kuat dengan diangkatnya Laksamana Soedomo menjadi Menteri Tenaga
Kerja. Salah satu contoh paling tragis pengendalian buruh yang militeristik adalah
kasus Marsinah yang hingga kini masih menjadi misteri.

Selain sebagai alat kontrol di tangan rejim orde baru untuk meredam
gerakan massa buruh yang kuat, militer juga telah menjadi pelaku utama dalam
bisnis sejak tahun 1958, suatu peran yang hingga saat ini dipertahankannya. James
Castle menilai bahwa hubungan industrial selama 30 tahun di bawah Orde Baru
ditandai oleh kontrol pusat yang otoriter, saling curiga, dan bahkan kebrutalan.

Seperti yang kita ketahui, Hukum perburuhan adalah perjuangan politis


untuk menegaskan bahwa paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire tidak
dapat diterapkan secara mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa hukum
perburuhan senantiasa dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang menganggap
hukum perburuhan sebagai intervensi atau diskriminasi yang melemahkan
perekonomian karena melanggar doktrin laissez-faire.

Bahaya instruksi ini semakin besar lagi jika hubungan antara majikan dan
buruh dipahami semata-mata atau terutama merupakan hubungan hukum, jika

9
pemerintah atau siapapun berpikir bahwa cara terbaik "membina" atau
"mendisplinkan" buruh dan majikan adalah melalui hukum.

Hukum modern mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku


(rigid). Ia menuntut birokrasi dan cara berpikir yang khas. Dibutuhkan orang
dengan pendidikan khusus untuk mengetahui seluk beluk hukum modern. Hukum
menjadi wilayah esoterik yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang. Para
ahli/sarjana hukum dan pengacara saja yang bisa bermain dengan hukum.

Dalam alam hukum modern, sering terjadi bahwa formalitas dan prosedur
dapat menghilangkan keadilan yang substansial. Hukum perburuhan tidak bisa
lepas dari kepungan logika dasar hukum modern yang formalistik dan
individualistik itu. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pada masa ini Hukum
Perburuhan tidak dapat dengan efektif digunakan karena pada masa ini hukum
berada di bawah intervensi pemerintah yang memerintah secara Diktator.

2.5. Periode Reformasi

2.5.1. Masa Periode di Era Reformasi

Hukum perburuhan era Orde Baru yang dirasakan diskriminatif oleh para
buruh menimbulkan banyak gugatan. Menjelang kejatuhan Soeharto para buruh
terlihat memadati ruas jalan menggugat terhadap ketidakadilan yang menimpa
mereka. Dalam kondisi terjepit dan krisis finansial yang parah pemerintah Orde
Baru akhirnya menyiapkan aturan baru yaitu UU No. 25 tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan sebagai pengganti seluruh kompilasi aturan buruh. Namun, kaum
buruh kembali menolak materi pengaturan UU. No. 25 tahun 1997 karena
organisasi buruh sudah memastikan bahwa aturan baru itu tidak diciptakan karena
tuntutan kaum buruh tetapi lebih dilatarbelakangi oleh syarat dan tekanan lembaga
keuangan internasional untuk menjaga stabilitas pasar dan rekayasa ideologisasi
neoliberal dalam berbagai Undang-Undang di Indonesia.

10
Aturan UU No. 25 tahun 1997 dibuat sebagai prasyarat pencairan dana
talangan dari IMF sebagaimana terdapat dalam perjanjian LOI (Letter Of Intent).
Penolakan kaum buruh yang massif berujung pada janji pemerintah untuk
membuat aturan baru (RUU) sebagai turunan dari UU No. 25 tahun 1997, yang
kemudian berwujud pada UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, UU. No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) serta UU. No. 39 tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI).

Pengaturan tentang perburuhan pascareformasi berbeda sama sekali. Materi


UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh mengatur adanya kebebasan
untuk berserikat. Lalu terbit UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Instrumen hukum ketiga ialah UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Instrumen hukum terbaru ini selain
melalui media penyelesaian bipartit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase juga
menghendaki penyelesaian kasus lewat pengadilan hubungan industrial yang
dibentuk di PN menggantikan kewengan P4D/P4P. Penyelesaian jalur Pengadilan
Hubungan Industrial ialah puncak penyelesaian konflik buruh, serikat buruh dan
majikan. Instrumen hukum keempat ialah UU. No. 39 tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI). Instrumen ini
banyak dikritik oleh elemen serikat buruh migran dan LSM. Menurut mereka,
Undang-Undang tersebut hanya memuat pengaturan pengiriman buruh migran ke
luar negeri tapi kemudian tanggungjawabnya diserahkan kepada pihak swasta
yaitu Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) dan atau Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKKIS). Undang-Undang ini menempatkan PJTKI sebagai
penguasa dalam urusan pengerahan buruh ke luar negeri dan sangat kebal hukum,
karena di dalamnya tidak tercantum yang memuat tentang sangsi bagi PJTKI yang
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak buruh dalam bentuk pemerasan dan
penindasan.

2.5. Periode Undang-Undang Cipta Kerja

11
2.5.1 Masa Periode Undang-Undang Cipta Kerja

Pemerintah merupakan pihak pengusul Rancangan Undang-Undang Tentang


Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas oleh DPR RI. Pembahasan mengenai
Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja menuai banyak protes dari
berbagai pihak, termasuk diantaranya Pekerja/Buruh yang melakukan penolakan
secara terang-terangan didasarkan pada tidak diikutkannya Pekerja/ Buruh dalam
proses pembahasannya dan substansi Klaster Ketenagakerjaan pula mengubah
banyak pasal yang sifatnya perlindungan dari Negara kepada pekerja dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Penelitian
adalah Penelitian Hukum yang menggunakan pendekatan historical dan
konseptual. Kesimpulan dari penelitan ini yaitu Konstitusi Negara Republik
Indonesia yang telah secara jelas mengamanatkan perlindungan kepada pekerja
yang sama sekali tidak tergambarkan baik dalam Nasakah Akademik maupun
Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja.

Seperti yang telah disebutkan, undang-undang menjadi aturan hukum


perburuhan dan ketenagakerjaan tertinggi di Indonesia. Di bawahnya, baru ada
peraturan lain yang dibuat dengan landasan undang-undang. Saat ini, terdapat 4
aturan perundang-undangan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan yang berlaku
di Indonesia, yaitu:

 UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial
 UU Nomor 18 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Tahun 2017
 UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja

Permasalahan

1. Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sudah ada sebelum


masa kemerdekaan. Hanya saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut
bukan Pemerintah Indonesia, tapi penjajah Belanda. Setelah Indonesia

12
memproklamasikan kemerdekaan, hukum terkait ketenagakerjaan
dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Perubahan itu
dimulai dari era penjajahan Belanda yang memberlakukan hukum
perbudaan, era orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
2. Setiap sistem politik mempunyai cara-cara tertentu di dalam merumuskan
dan menanggapi tuntutan-tuntutan ataupun kepentingan-kepentingan yang
datang dari masyarakatnya. Individu atau sekelompok individu di dalam
masyarakatuntuk menyalurkan kepentingan-kepentingannya kepada badan-
badan politik atau pemerintah, antara lain melalui kelompok-kelompok yang
mereka bentuk bersama. Di dalam setiap masyarakat, sekelompok individu
untuk menyalurkan atau mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya
mungkin sekali melalui struktur dan cara yang berbeda dengan cara yang
ditempuh oleh sekelompok individu yang lainnya. Salah satu struktur yang
menyalurkan atau mengartikulasikan kepentingan-kepentingan sekelompok
individu tadi adalah kelompok kepentingan atau sering pula dikenal dengan
sebutan interest group atau kelompok kepentingan.
Awal mula munculnya kelompok-kelompok kepentingan pertama kali
pada abad ke-19. Kelompok kepentingan biasanya cenderung
memfokuskan diri pada satu masalah tertentu saja. Keanggotaannya terdiri
atas golongan-golongan terpinggirkan, seperti kaum buruh di Eropa dan
golongan Afrika-Amerika di Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah
memperbaiki nasib dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life).
Adapun berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana dan
ahli politik tentang kelompok kepentingan, yaitu:
A. Eugene J. Kolb dalam bukunya yang berjudul “A Framework for
Political Analysis” yang dimaksud dengan kelompok kepentingan
adalah sekumpulan individu yang terorganisir secara formal maupun
informal dan bekerjasama untuk melindungi atau mempromosikan
suatu tujuan yang sama.

13
B. Menurut Ramlan Subakti, kelompok kepentingan (interest group)
adalah sekumpulan orang yang memiliki persamaan sifat, sikap,
kepercayaan, tujuan dan sepakat menyatukan dirinya dalam sebuah
perkumpulan atau organisasi guna melindungi dirinya serta mencapai
tujuannya. Kelompok ini memfokuskan perhatiannya pada
upayaupaya untuk mengartikulasi kepentingannya kepada pemerintah
sehingga harapannya pemerintah dapat melahirkan kebijakan yang
menampung aspirasi dan kepentingan kelompok bersangkutan.
C. Menurut, Andrew Heywood kelompok kepentingan adalah asosiasi
terorganisir yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan atau
tindakan pemerintah. Kelompok kepentingan mempunyai 3
karakteristik yaitu pertama, bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah dari luar lingkup pemerintahan yaitu dari masyarakat.
Kedua, bergerak dalam bidang isu yang terfokus, misalnya isu senjata
api, isu lingkungan hidup dan lain-lain. Ketiga, berusaha merangkul
masyarakat dari bermacam latar belakang seperti pengusaha, buruh,
kelompok agama, suku dan lain-lain

Kelompok kepentingan itu bahkan berkembang menjadi partai politik


misalnya Partai Buruh di Inggris berasal dari gerakan serikat buruh.
Contohnya, dalam konteks Indonesia seperti ketua Konfederasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yaitu Yorrys Raweyai yang juga
merupakan kader partai Golongan Karya (GOLKAR) serta menjabat
sebagai anggota Komisi I DPR RI yang membidangi urusan Pertahanan,
Luar Negeri, dan Informasi dan juga ketua KSPI sendiri yaitu Said Iqbal
yang pernah menjadi Calon Legislatif (Caleg) dari Partai Keadilam
Sejahtera (PKS) tahun 2009 Daerah pemilihan Kepulauan Riau. Bahkan
langkah yang diambil oleh ketua serikat buruh tersebut juga diikuti oleh
anggota-anggota bawahannya yang lainnya yaitu enam puluh lima anggota
KSPI menjadi caleg pada pemilihan legislatif 2014. Serta yang terbaru

14
adalah wacana pendirian partai politik yaitu partai buruh oleh serikat
buruh.
3. Faktor yang mendorong pembentukan mereka adalah pertumbuhan
pergerakan buruh di Belanda. Sekitar tahun 1860-1870 di Nederland
mengalami pertumbuhan pergerakan buruh dan sejak ada pengaruh gerakan
sosial demokrat yang mendorong berdirinya National Arbeids Secretariats
(NAS) sebagai induk organisasi.
Pada saat itu di Hindia Belanda menetapkan pasal 111 Regeling Reglement
(RR) yang melarang dilakukannya rapat dan pembentukan sebuah organisasi
tanpa ijin khusus dari pemerintah kolonial. Namun, pada tahun 1903
pemerintah kolonial menerapkan desentralisasi susunan pemerintah kolonial
dan menetapkan Bandung, Semarang, Surabaya, dan Batavia menjadi suatu
gemente/ kota dan pengeturannya dilaksanakan oleh gementeraad (dewan
kota), yang kemudian menjadikan pasal 111 RR tidak berlaku.

Pembentukan serikat-serikat oleh buruh impor, selain merupakan pengaruh


dari perkembangan gerakan buruh yang berlangsung di Eropa pula
merupakan bagian dari kepentingan politik terbatas kehidupan kota.
Perkembangan selanjutnya dalam keanggotaannya serikat buruh ini tidak
hanya merekrut anggota impor saja, melainkan juga menerima kalangan
bumiputera. Belanda membentuk serikat buruh di negeri-negeri jajahan.
Sekalipun pada awalnya serikat-serikat buruh ini dibangun oleh buruh-buruh
kulit putih, namun semangat internasionalis dari gerakan buruh, yang saat itu
sedang kuat di Eropa, meluber juga ke Hindia Belanda. Banyak serikat buruh
yang tadinya eksklusif untuk kulit putih ini perlahan-lahan membuka pintu
untuk bergabungnya buruh-buruh pribumi. Selain itu, persinggungan antara
buruh-buruh pribumi dengan buruh-buruh kulit putih telah menularkan pula
keinginan untuk membangun serikat buruh sendiri di kalangan pribumi.

Program pendidikan merupakan salah satu program dalam politik balas jasa
di awal tahun 1900 memberi nuansa baru dalam perkembangan intelektual

15
bumiputera ditambah dengan pembentukan serikat-serikat oleh buruh impor
yang kemudian memicu serikat buruh dibangun oleh kaum pribumi. Serikat
buruh pribumi antara lain Perkumpulan Bumiputra Pabean (PBP) tahun
1911, persatuan Guru Bantu (PGB) tahun 1912, perserikatan Guru Hindia-
Belanda (PGHB) tahun 1912, Persatuan Pegawai Pegadaian bumiputra
(PPPB) tahun 1914, Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) didirikan
tahun 1917 di lingkungan industri gula.

Persatuan Kaum Buruh (PPKB) adalah gagasan dari Sosorokardono, ketua


PPPB (Pegawai Pegadaian) tahun 1919 yang dikemukakan dalam kongres SI
ke IV, pada Oktober 1919 di Surabaya. Berdirilah PPKB dengan Semaoen
sebagai ketua dan soerjopranoto sebagai wakil ketua. Tujua dibentuknya
PPKB adalah bermaksud untuk mengajak da mengadakan persatuan antara
kaum buruh sederajat sehingga mendapat suatu kekuasaan yang akan
dipergunakan untuk kesejahteraan kaum buruh.

Cara yang ditempuh PPKB antara lain melakukan sesuatu sehingga


kekuasaan pemerintah diperintah oleh rakyat sendiri, mengadakan
perdagangan, mengeratkan kaum buruh senasib dan seperjuangan, dan
mendirikan koperasi. Pada bulan Juni 1920 diadakan suatu konferensi di
Jogjakarta yang kemudian menyebabkan terpecahnya PPKB dan
terbentuknya gabungan baru bernama Revolutionaire Vakcentrale yang
diketuai oleh Semaoen.

4. Serikat pekerja memiliki peranan yang sangat penting bagi pekerja,


pengusaha maupun serikat pekerja itu sendiri dalam proses penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Proses penyelesaian perselisihan hubungan
industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah melalui Bipartit,
Tripatrit (mediasi hubungan industrial, konsiliasi hubungan industrial dan
arbitrase hubungan industrial) kemudian ke Pengadilan Hubungan Industrial

16
apabila upaya hukum non litigasi (kecuali arbitrase) tersebut tidak tercapai.
Konsep combined process (med-arb) dianggap dapat memfasilitasi
penyelesaian sengketa dalam perselisihan hubungan industrial karena konsep
ini sudah dilakukan dalam sengketa bisnis dan dianggap lebih efektif.
Penelitian ini memuat dua permasalahan yakni, mengenai konsep combined
process (med-arb) yang diterapkan dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial antara serikat pekerja dan pengusaha dan konsep
kepastian hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara
serikat pekerja dan pengusaha melalui combined process (med-arb). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsep combined process (med-arb) dapat
diterapkan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara
serikat pekerja dan pengusaha guna memberi efektifitas waktu dalam
penyelesaian sengketa dan penerapan kepastian hukum.

17
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

1. Aris Wijayanti (2009), Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar


Grafika.
2. Abdullah Sulaiman (2019), Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, Jakarta:
YPPSDM.
3. Endah Pujiastuti (2019), Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: YPPSDM.
4. Guus Heerma Van (2012), BAB-BAB Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Bali :
Pustaka Larasan.
5. Muhammad Azhar (2018), Hukum Ketenagakerjaan.
6. Zainal Asikin (2016), Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
7. Imam Soepomo (2003), Pengantar Hukum Perburuhan (edisi revisi), Jakarta:
Djambatan
8. Nuradi (2021), Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: PT. Mandala Nasional
9. Suwarto (2003), Buku Panduan Undang-Undang Ketenagakerjaan, Jakarta:
Departemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Indonesia
10. Fithriatus Shaliha (2019), Hukum Ketenagakerjaan, Yogyakarta: Total Media

18

Anda mungkin juga menyukai