Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM KETENAGAKERJAAN

Dosen Pengampu: Romi, S.H, M.H.

Disusun Oleh :

Aisyah Haliza Tanjung (1910111117)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................1

B. Tujuan......................................................................................................2

C. Rumusan Masalah...................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3

PEMBAHASAN.....................................................................................................3

A. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan `............................3

1. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenakerjaan pada Masa sebelum


Penjajahan......................................................................................................3

2. Sejarah Pekembangan Hukum Ketenagakerjaan pada Masa


Penjajahan......................................................................................................4

BAB III..................................................................................................................13

PENUTUP.............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
”Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat”. Hukum adalah
peraturan atau ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.

Hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur di dalam UU No. 13


Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan mengatur
tentang segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah kerja. Pentingnya mempelajari hukum
ketenagakerjaan yaitu untuk memeberdayakan dan mendayagunakan
tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemeratan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah, memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan, dan
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja.

Sehingga, dalam makalah ini akan dibahas tentang bagaimana


sejarah hukum ketenagakerjaan di Indonesia pada masa sebelum
penjajahan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Disini akan
diperlihatkan secara jelas perbedaan letak hukum ketenagakerjaan pada
ketiga periode tersebut. Pembahasan lebih jelasnya langsung saya/kami
paparkan pada bab II.

1
B. Tujuan
1. Memahami tentang sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan pada
masa sebelum penjajahan.
2. Memahami tentang sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan pada
masa penjajahan.
3. Memahami tentang sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan pada
masa kemerdekaan.

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan hukum ketenagakerjaan pada masa sebelum
penjajahan?
2. Bagaimana perkembangan hukum ketenagakerjaan pada masa
penjajahan?
3. Bagaimana perkembangan hukum ketenagakerjaan pada masa
kemerdekaan?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan `


1. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenakerjaan pada Masa sebelum
Penjajahan.
Asal mula adanya Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
diantaranya yaitu pada abad 120 SM.. Indonesia mulai dikenal adanya
sistem gotong royong diantara anggota masyarakat. Dimana gotong
royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari
luar kalangan keluarga yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan
tenaga, pada masa sibuk dengan tidak mengenal suatu balas jasa dalam
bentuk materi. Sifat gotong royong ini memiliki nilai luhur dan diyakini
membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan, kebijakan, dan
hikmah bagi semua orang. Gotong royong ini nantinya menjadi sumber
terbentuknya hokum ketanagakerjaan adat. Dimana walaupun
peraturannya tidak secara tertulis, namun hukum ketenagakerjaan adat ini
merupakan identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian
bangsa Indonesia dan merupakan penjelmaan dari jiwa
bangsa Indonesia dari abad ke abad.

Setelah memasuki abad masehi, ketika sudah mulai berdiri suatu


kerajaan di Indonesia hubungan kerja berdasarkan perbudakan, seperi saat
jaman kerajaan hindia belanda pada zaman ini terdapat suatu sistem
pengkastaan, antara lain: brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria,
dimana kasta sudra merupakan kasta paling rendah golongan sudra & paria
ini menjadi budak dari kasta brahmana, ksatria, dan waisya mereka hanya
menjalankan kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para majikan

Dalam islam, walaupun tidak secara tegas adanya sistem


pengangkatan namun sebenarnya sama saja . pada masa ini kaum

3
bangsawan (raden ) memiliki hak penuh atas para tukang nya. Nilai-nilai
keislaman tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh
dinding budaya bangsa yang sudah berlaku 6 abad-abad sebelumnya

2. Sejarah Pekembangan Hukum Ketenagakerjaan pada Masa


Penjajahan.
a). Sistem Perbudakan
Kedudukan para budak di Indonesia kurang bernasib baik, keadaan
ini disebabkan oleh peraturan adat dan tata susila masyarakat Indonesia
yang terlampau kejam. Keadaan digambarkan bahawa para budak itu
sebahagiannya dimiliki oleh majikannya, tidak hanya melibatkan
aktivitas ekonomi, tetapi juga hidup matinya terletak di tangan orang
yang memiliki mereka. Para budak itu tidak hanya dimiliki oleh orang
perseorangan, tetapi juga oleh suku. Namun begitu keadaan dan nasib
para hamba itu tidak begitu menyedihkan. Oost Indische Campagnie
merupakan persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli
untuk aktiviti perdagangan di Asia yang banyak menggunakan khidmat
budak atau hamba sebagai pekerja untuk memelihara kebun pala dan
cengkih di Maluku.
Pada zaman kerajaan Thomas Stamford Raffles, United Kingdom
(1811-1816), Thomas Stamford Raffles adalah orang yang anti terhadap
sistem perbudakan. Pada tahun 1816 beliau telah mendirikan”The Java
Benovelent Institution” aitu suatu lembaga kemanusiaan yang bertujuan
menghapuskan perbudakan melalui emansipasi (pembebasan) budak,
dan tahun 1818 berubah menjadi Javaans Menschleven Genootschap.
Namun begitu sebelum beliau sempat melaksanakan cita-citanya, beliau
telah meninggalkan Indonesia.1
Usaha dari ”Javaans Menschlievend Genotschaap”, yaitu nama
baru bagi ”Java Beneovelent Institution”, yang telah diasaskan dalam
zaman kerajaan Thomas Stamford Raffles, di antara tahun 1818 dan
1816. Thomas Stamford Raffles telah mendaftarkan semua peraturan
1
Iman Soepomo. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. 1987. hlm. 10.

4
mengenai perbudakan dan mencadangkan agar sistem perbudakan
dihapuskan. Namun begitu usaha beliau tidak membuahkan hasil, hal
ini disebabkan oleh penghapusan sistem perbudakan merupakan
pelanggaran besar terhadap hak pemilik para budak.
Pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement 1854 yaitu Undang-
Undang yang berlaku untuk daerah kolonial Hindia Belanda dari 1 Mei
1955 hingga 1 Januari 1926 yang dimuat dalam Lembaran Negara
Hindia Belanda 1955 No. 1 juncto No.2, akan tetapi setelah 1 Januari
1926, Regeringsreglement (RR) berganti nama menjadi Indische
Staatsregeling (IS). Pada bagian 115 hingga bagain 117 yang kemudian
menjadi bagian 169 hingga bagian 171 Indische Staatsregeling 1926,
yaitu peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda yang tertulis dan yang
tidak tertulis (Hukum adat) dan sifatnya masih pluralistis khususnya
hukum perdata dengan tegas membuat penetapan tentang penghapusan
sistem perbudakan.
Diadakan penghapusan secara langsung disertai atau tidak disertai
dengan pembayaran uang ganti rugi oleh kerajaan kepada pemilik
budak atau penghapusan secara beransur-ansur dengan peraturan yang
seiring untuk membatasi jumlah budak. Pada tahun 1910 dengan
keputusan ketua daerah Swapraja para budak di Kepulauan Sangi dan
Talaud telah dimerdekakan. Pada tahun 1914 diberitahukan tentang
pembebasan yang terakhir. Di beberapa daerah sistem perbudakan
hilang dengan sendirinya.
b) Sistem Kerja Paksa atau Kerja Rodi

Meskipun Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan


penghapusan perbudakan, namun dalam praktik sistem perbudakan
terus terjadi. Bahkan terdapat pola kerja yang jauh lebih kejam
ketimbang perbudakan, yakni berlakunya sistem kerja paksa atau kerja
rodi. Sistem kerja paksa atau kerja rodi adalah sistem kerja yang
diberlakukan secara kolektif dalam bentuk satuan desa, suku atau
kerajaan atau untuk keperluan raja.

5
Pekerjaan ini pada mulanya berbentuk gotong-royong, namun
dalam perkembangannya sistem gotong-royong ini berubah menjadi
kerja paksa untuk kepentingan seseorang atau pihak lain dengan tanpa
upah. Peristiwa kerja paksa semasa Pemerintah Hindia Belanda, di
antaranya terjadi untuk kepentingan pembangunan pabrik, benteng,
jalan dan perumahan yang semuanya untuk kepentingan Pemerintahan
Hindia Belanda. Sampai kini, kerja paksa yang terus diingat banyak
orang adalah kerja paksa semasa Heandrik William Deandels menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada Tahun 1807-1811.
Pada saat itu kerja paksa untuk kepentingan pembuatan jalan dari Anyer
provinsi Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Bisa dibayangkan
berapa banyak korban yang meninggal ketika itu.

Pada dasarnya kerja paksa atau kerja rodi itu lebih kejam dari
perbudakan, mengingat dalam kerja rodi mereka tidak diberi makan dan
pemondokan sebagaimana dalam perbudakan. Pada zaman penjajahan
Jepang kondisi kerja paksa makin parah. Rakyat yang disuruh kerja
paksa (romusa) untuk membangun jalan, jembatan, bandar udara dan
kepentingan pemerintah pendudukan lain tanpa upah. Mereka diberi
sanksi fisik yang keras apabila lamban bekerja, sementara makanan
yang diberikan tidak memadai. Situasi tersebut membuat banyak
pekerja/buruh yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia di lokasi
pekerjaan.

c) Punale Sanksi

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, selain perbudakan dan


kerja paksa, dikenal pula istilah punale sanksi. Punale Sanksi adalah
hukuman yang diberikan kepada pekerja karena meninggalkan atau
menolak melakukan pekerjaan tanpa alasan yang dapat diterima dengan
pidana denda antara Rp16,00 (enam belas rupiah) hingga Rp25,00 (dua
puluh lima rupiah) atau dengan kerja paksa selama 7 hari hingga 12
hari. Punale sanksi merupakan produk dari terbitnya Agrarische wet

6
(Undang-undang Agraria) Tahun 1870 yang isinya mendorong
munculnya perkebunan-perkebunan swasta besar sehingga
membutuhkan pekerja/buruh dalam jumlah banyak. Agar perkebunan
memperoleh jaminan bahwa pekerja/buruh tetap melakukan
pekerjaannya maka dikeluarkan Algemene Polite Strafreglement (Stbl
1872 Nomor 3 ) yang memuat punale sanksi.

Jika dilihat dari aspek yuridis, punale sanksi memberi kedudukan


yang tinggi pada para pengusaha dan mudah untuk disalahgunakan
karena posisi kerja/buruh yang lemah dan kurangnya pengawasan
dalam bidang ketenagakerjaan. Melihat punale sanksi yang amat
memberatkan bagi para buruh perkebunan, membuat parlemen Belanda
melakukan kecaman terhadap pemberlakuan punale sanksi sehingga
pada Tahun 1879 punale sanksi dicabut. Namun, satu Tahun selepas
dicabutnya punale sanksi, yakni pada Tahun 1880 di Sumatera Timur
keluar peraturan yang serupa dengan punale sanksi yang disebut Koeli
Ordonnantie. Pada Tahun-Tahun berikutnya peraturan serupa juga
diberlakukan untuk daerah-daerah lain. Peraturan tersebut baru dicabut
pada Tahun 1941 dan baru mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari
1942.

d) Perhambaan dan Peruluran

Perhambaan (pandelingschap) adalah peristiwa di mana seseorang


meminjam sejumlah uang dengan cara menggadaikan dirinya sendiri
atau orang lain yang berada di bawah kekuasaannya, biasanya anaknya,
untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah orang yang
meminjamkan uang tersebut hingga hutangnya lunas. Pekerjaan yang
dilakukan untuk kepentingan orang yang meminjamkan uang ini dapat
dijadikan cara untuk melunasi hutang atau bisa juga hanya untuk
sekedar membayar bunga hutang.

Sedangkan sistem peruluran terjadi pada zaman Gubernur


Jenderal Jan Pieterszoon Coen berkuasa. Pada masa itu pemerintah

7
Hindia Belanda membagi tanah-tanah kosong untuk dijadikan kebun
(pe rk) kepada orangorang yang disebut perkenir atau ulur. Para
perkenir tidak lain adalah buruh tani yang tidak punya lahan. Selama
perkenir berada di kebun dan menggarapnya maka dia dianggap sebagai
pemiliknya, tetapi apabila meninggalkan kebun maka haknya akan
hilang. Namun, para perkenir diharuskan menanam tanaman yang
hasilnya harus dijual kepada kompeni yang harganya telah ditetapkan
oleh kompeni secara sepihak.

3. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan pada Masa


Kemerdekaan
Di awal proklamasi belum ada periodik hukum ketenagakerjaan
yang dihasilkan pemerintah maka untuk menghindari kekosongan hukum
di bidang ketenagakerjaan pada waktu itu masih menggunakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan. Ketentuan ini
dicantumkan dalam Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan
segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini.
Dengan ketentuan aturan peralihan ini maka semua peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan yang berlaku pada saat pengesahan
UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 masih berlaku sepanjang belum
diganti dengan yang baru. Peraturan perundang-undangan yang masih
tetap berlaku tersebut adalah Buku III Bab 7A Kitab Undangundang
Hukum Perdata yang mengatur masalah ketenagakerjaan beserta
peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan pada zaman penjajahan Belanda
a. Periode 1945-1969
Setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh pemerintah Belanda
lewat Konferensi Meja Bundar, perhatian rakyat terutama pekerja/buruh
mulai beralih ke masalah sosial ekonomi. Hingga Tahun 1951 di bidang
ketenagakerjaan baru diundangkan satu undang-undang, yaitu UU No.
12 Tahun 1948 yang bertitel Undang-undang Kerja. Mengingat saat itu
negara Republik Indonesia masih berbentuk negara Serikat maka

8
undang-undang tersebut hanya berlaku untuk Negara Republik
Indonesia. Baru pada Tahun 1951 dengan Undang-undang No. 1 Tahun
1951 UU Kerja Tahun 1948 dinyatakan berlaku untuk seluruh
Indonesia.
Undang-undang No. 12 Tahun 1948 memuat aturan-aturan dasar
tentang pekerjaan yang boleh dilakukan anak, orang muda dan wanita,
aturan tentang waktu kerja, waktu istirahat, dan tempat kerja. Undang-
undang ini hanya berlaku untuk pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja/buruh dan tidak berlaku untuk siswa/murid magang yang
bersifat pendidikan, orang yang memborong pekerjaan di perusahaan,
dan narapidana yang dipekerjakan.
Sebelum Tahun 1951, perselisihan hubungan industrial yang terjadi
diselesaikan oleh para pihak yang berselisih sendiri, yaitu pekerja/buruh
dan pengusaha, campur tangan dari pegawai Kementrian Perburuhan
akan dilakukan apabila dianggap perlu berdasarkan instruksi Menteri
Tenaga Kerja (Menteri Perburuhan saat itu). Hal ini mengakibatkan
banyak keresahan di kalangan pekerja/buruh karena pengusaha dengan
kedudukan sosial ekonomi yang lebih tinggi selalu dapat memaksakan
kehendaknya kepada pekerja/buruh. Akibatnya, pada akhir Tahun 1950
banyak terjadi pemogokan pekerja/buruh yang mengakibatkan
terganggunya perekonomian dan keamanan nasional.
Guna mengatasi keadaan ketenagakerjaan yang tidak kondusif
tersebut, pemerintah pada tanggal 13 Februari 1951 mengeluarkan
Peraturan Kekuasaan Militer No.1 Tahun 1951 yang membentuk
Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan di tingkat pusat dan daerah.
Walaupun keadaannya menjadi sedikit lebih baik ternyata peraturan
kekuasaan militer tersebut belum begitu mampu mengatasi kesulitan-
kesulitan yang timbul di bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu, pada
bulan September 1951 pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Darurat No. 16 Tahun 1951 guna mengganti Peraturan Kekuasaan
Militer No.1 Tahun 1951. Undang-undang Darurat tersebut

9
memberikan aturan-aturan baru tentang penyelesaian perselisihan
perburuhan dan memberikan tugas kepada pemerintah untuk
membentuk Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di tingkat
pusat dan daerah (P4P dan P4D).
Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951 tidak bersifat definitif
melainkan hanya bersifat peralihan belaka guna mengatasi keadaan
ketenagakerjaan saat itu. Dalam perjalanannya banyak keberatan yang
dilakukan baik oleh pengusaha maupun pekerja/buruh. Berdasarkan hal
tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1957, mengesahkan
Undangundang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
perburuhan yang menetapkan P4P dan P4D tersebut sebagai orang yang
berwenang menyelesaikan perselisihan perburuhan.
Guna mengatasi keadaan ini, pemerintah mengeluarkan beberapa
peraturan perundang-undangan, di antaranya adalah Undang-undang
No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh
dan Majikan (sekarang disebut Perjanjian Bersama) yang memberikan
kedudukan seimbang antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam
menyusun syaratsyarat kerja di perusahaan. Selain itu juga diundangkan
Undang-undang No. 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan
Pemogokan dan Penutupan (LockOut) di Perusahaan, Jawatan, dan
Bidang yang Vital, serta Undang-undang No. 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang melarang
pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh tanpa
izin dari P4D dan P4P.

b. Periode 1969-2003
Pada Tahun 1969 Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-
undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini mengatur tentang
Pokok-pokok yang dijadikan kebijakan dalam mengatur
ketenagakerjaan di tanah Air. Berdasarkan UU ini dikeluarkan Undang-

10
undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja guna mencegah
dan membatasi kecelakaan kerja yang selalu menimbulkan kerugian
pada pihak pekerja/buruh dan mewajibkan pengusaha untuk melakukan
hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja termasuk
memberikan alat-alat keselamatan kerja secara cuma-cuma kepada
pekerja/buruh.
Pada Tahun 1977 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga Kerja (Astek)). PP ini
mewajibkan perusahaan untuk mengikutkan pekerja/buruh pada
program asuransi sosial tenaga kerja, meliputi berikut ini. 1. Program
asuransi kecelakaan kerja. 2. Program tabungan hari tua yang dikaitkan
dengan asuransi kematiaN.
Dalam perkembangan lebih lanjut program Astek diperbaiki dengan
suatu program jaminan sosial yang lebih baik dan diatur dalam suatu
undangundang, yaitu Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek ). Undang-undang ini
mewajibkan pengusaha untuk memberikan perlindungan kepada
pekerja /buruh dan keluarga dalam suatu jaminan sosial yang disebut
jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), meliputi berikut ini:
1) Jaminan kecelakaan kerja.
2) Jaminan kematian.
3) Jaminan hari tua.
4) Jaminan pemeliharaan kesehatan.
Program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh PT Jamsostek
(Persero), sebuah BUMN yang didirikan berdasarkan PP No. 19 Tahun
1990. Pada Tahun 1981 pemerintah mengeluarkan PP No. 8 Tahun
1981 tentang Perlindungan Upah yang mengatur sistem pengupahan
dan hal-hal yang dapat dipotongkan dengan upah. PP ini menegaskan
bahwa upah pekerja merupakan hal yang harus didahulukan sehingga
menjamin pekerja/buruh dalam hal penghasilan.

11
Dalam rangka reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan tersebut,
pemerintah bersama DPR telah mengundangkan beberapa undang-
undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Undang-undang
tersebut adalah UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU No.
21 Tahun 2000 memberikan kebebasan kepada pekerja/buruh untuk
membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak
menjadi pengurus serta menjadi atau tidak menjadi anggota Serikat
Pekerja/Serikat Buruh guna memperjuangkan kepentingan-
kepentingannya.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia dibagi
menjadi 3 masa yaitu:
1. Pada masa sebelum penjajahan di Indonesia yaitu pada abad 120SM,
Indonesia telah mengenal sistem ketenagakerjaan yaitu sistem bergotong
royong, dimana masyarakat tidak mengharapkan balas budi. Tetapi saat
memasuki abad masehi, di Indonesia mulai banyak berdirinya kerajaan,
maka muncullah hubungan kerja seperti perbudakan karena pada saat itu
sudah munculnya sistem kasta dalam masyarakat.
2. Pada masa penjajahan hukum ketenagakerjan di Indonesia masih
menerapkan sistem perbudakan, kerja paksa atau kerja rodi, punale sanksi,
pehambaan dan peruluran.
3. Pada masa kemerdekan yang dibagi menjadi 2 periode yaitu :
a) Pada tahun 1945-1969 yang pada saat itu telah dibuatnya
UU No.1 Tahun 1951 tentang kerja.
b) Pada periode 1969-2003 yang pada saat itu dibuatnya UU
No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Purbadi dan Purwaningdyah, “Sejarah Hukum Ketenagakerjaan dan Ratifikasi


Konvensi ILO” melalui http://repository.ut.ac.id/3837/2/ADBI4336-
M1.pdf, diakses tanggal 09 september 2020.

Rumainur dan Kamal Halili, “Hubungan Pekerjaan di Indonesia: Perspektif


Sejarah Perundangan”, Malaysian Journal of History, Politics &
Strategic Studies, Vol. 46:2, Desember 2019.

Elvira rahayu, “Hukum Ketenagakerjaan Tahun 2015” melalui


https://elvira.rahayupartners.id/id/know-the-rules/manpower-
law#:~:text=Hukum%20ketenagakerjaan%20di%20Indonesia%20diatur,
%2C%20selama%2C%20dan%20sesudah%20kerja., diakses tanggal 08
september 2020
Duniathoto blogspot, “Sejarah dan Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia suatu tinjauan Normatif-Empiris Tahun 2010” melalui
http://duniathoto.blogspot.com/2010/07/sejarah-dan-perkembangan-
hukum.html, diakses tanggal 08 september 2020.

15

Anda mungkin juga menyukai