Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH BUDAYA ANTI KORUPSI

“Sejarah Korupsi”

Disusun Oleh: Kelompok 2


2D3A

1. Akhnas Hidayat (P21345120003)


2. Ana Kirana Aisah (P21345120009)
3. Dindya Luthfiah Fa’izah (P21345120018)
4. Febri Wulandari (P21345120026)

PROGRAM STUDI D-III JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
JAKARTA 2 2021
Jln. Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru Jakarta 12120
Telp. 021.739741, 7397643 Fax. 021.7397769
E-mail: info@poltekkesjkt2.ac.i
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat, petunjuk dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Sejarah
Korupsi” ini telah selesai disusun untuk memenuhi tugas Budaya Anti Korupsi.

Tak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam menyusun makalah ini, terutama kepada Bapak Rojali, SKM,
M.Epid. selaku dosen pembimbing, yang telah membimbing kami sehingga
makalah ini telah selesai disusun.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan, untuk itu kami meminta maaf dan tentunya juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi kami dan bagi para pembaca.

                                                                                                           

Jakarta, 12 Maret 2021

Kelompok 2

i
Daftar Isi

Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
2.1 Sejarah Korupsi.............................................................................................2
2.1.1 Zaman Prakemerdekaan/Kerajaan.........................................................2
2.1.2 Zaman Kemerdekaan dan Orde Lama...................................................3
2.1.3 Zaman Orde Baru..................................................................................4
2.1.4 Zaman Reformasi...................................................................................5
BAB III....................................................................................................................7
PENUTUP................................................................................................................7
3.1. Kesimpulan...................................................................................................7
Daftar Pustaka..........................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai pasca
reformasi dihadapkan pada persoalan korupsi yang telah mengakar dan
membudaya. Bahkan kalangan para pejabat publik menganggap korupsi sebagai
sesuatu yang lumrah dan wajar. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang
bergengsi yang apabila tidak dilakukan akan membuat stress para penikmatnya.
Korupsi berawal dari proses pembiasaan, yang akhirnya menjadi kebiasaan dan
berujung pada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat
negara. Itulah sebabnya, masyarakat begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya
penegakkan hukum dalam menumpas koruptor di Indonesia.

Keadaan yang demikian suka atau tidak suka akan menggoyahkan


demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum serta semakin jauh dari
tujuan tercapainya masyarakat yang sejahtera. Dengan melihat latar belakang
timbulnya korupsi, salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya aktifitas
korupsi di beberapa negara disebabkan terjadinya perubahan politik yang
sistematik, sehingga tidak saja memperlemah atau menghancurkan lembaga sosial
politik, tetapi juga lembaga-lembaga hukum3 . Negara Republik Indonesia adalah
sebuah Negara besar yang berlandaskan hukum, hal ini berarti bahwa hukum di
Indonesia di junjung tinggi. Sesuai dengan Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945
yang sudah di amandemen; “Bahwa segala warga Negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum
dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebagai Basic Law (hukum
dasar) Undang-undang Dasar 1945 telah mengatur kedudukan warga Negara dan
pemerintahan itu sendiri.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah korupsi di Indonesia ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami sejarah korupsi di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Korupsi
2.1.1 Zaman Prakemerdekaan/Kerajaan
Korupsi pada dasarnya sudah ada sejak manusia mengenal
kehidupan bermasyarakat. Tindakan korupsi yang pada awalnya
dilakukan dengan sederhana, namun sejalan dengan perkembangan
zaman, maka tindakan korupsi pun ikut berkembang hingga menjadi
masalah yang sulit ditangani. Korupsi yang sudah terjadi sekian lama
membuatnya menjadi salah satu budaya buruk yang sulit untuk
dihilangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Termasuk pada bangsa
Indonesia.
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh segala
bentuk tindakan korupsi yang tak pernah berhenti. Korupsi ini terjadi
oleh berbagai motif, seperti kekuasaan, kekayaan, bahkan wanita.
Perebutan kekuasaan pada Kerajaan Singasari dimana terjadi peristiwa
saling balas dendam antar keturunan untuk memperebutkan kekuasaan,
kemudian terjadinya banyak pemberontakan (Nambi, Kuti, dan Suro) di
Kerajaan Majapahit, bahkan terjadi pemberontakan dari seorang anak
terhadap ayahnya sendiri pada Kerajaan Banten (Sultan Haji terhadap
Sultan Ageng Tirtayasa) atas hasutan VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie). Bahkan hingga pada masa kolonial Belanda pun, bangsa
ini dapat dengan mudah dipecah belah oleh politik “Devide et Impera”
dengan memanfaatkan keserakahan dan ketamakan bangsa ini.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles,
seorang Gubernur Jenderal Inggris yang bertugas di Pulau Jawa pada
tahun 1811-1826, memaparkan beberapa aspek penilaian terhadap
Pulau Jawa, khususnya seputar karakter penduduk Jawa. Dalam buku
tersebut, digambarkan bahwa penduduk Jawa adalah orang yang selalu
pasrah terhadap keadaan, namun memiliki keinginan untuk diakui oleh
orang lain. Hal buruk lainnya adalah banyaknya bangsawan kerajaan
yang senang mengumpulkan harta, tidak menerima kritikan, dan “gila

3
hormat”. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya.
Budaya inilah yang kemudian turut andil dalam menyuburkan budaya
korupsi di Indonesia.
Pada masa tanam paksa (Cultuur Stelsel) juga terjadi praktik
korupsi massal yang sangat merugikan. Disebutkan, saat itu petani
hanya mendapat 20% dari total hasil panen dan diduga sebesar 20%
hasil panen lainnya dibawa ke Kerajaan Belanda. Selebihnya yaitu 60%
hasil panen tersebut menjadi upeti dan diambil (digelapkan) oleh
pejabat lokal, dari tingkat desa hingga kabupaten.
2.1.2 Zaman Kemerdekaan dan Orde Lama
Budaya korupsi ini rupanya menjadi “penyakit” yang suatu saat
akan kambuh. Terbukti, pada masa setelah kemerdekaan Indonesia,
korupsi menjadi berkali-kali lipat dengan bermacam-macam bentuk. Di
bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Pemerintah mengeluarkan
peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi karena tidak adanya
kelancaran dalam usaha-usaha memberantas korupsi sehingga dirasa
perlu untuk membuat dan mengesahkan suatu aturan kerja untuk dapat
menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi. Dan mulai
pada 9 April 1957 telah berlaku Peraturan Pemberantasan Korupsi No.
Prt/PM-06/1957 yang dikeluarkan oleh Jenderal A. H. Nasution,
Penguasa Militer Seluruh Indonesia saat itu, dengan dibantu oleh 2
(dua) orang anggota yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendukung usaha
pemberantasan korupsi, berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya,
maka dibentuklah PARAN, Panitia Retooling Aparatur Negara. Saat
itu, tugas PARAN adalah memastikan seluruh pejabat pemerintah
mengisi berkas yang telah disediakan, yang berisi tentang daftar
kekayaan pejabat negara. Namun pada perjalanannya, PARAN banyak
ditentang oleh pejabat negara yang berlindung di balik kekuasaan
Presiden sehingga usaha PARAN dalam memberantas korupsi
mengalami stagnansi.

4
Setelah tugas PARAN diserahkan kembali kepada pemerintah,
pemerintah melancarkan “Operasi Budhi”, dimana operasi ini bertujuan
untuk meneruskan kasus-kasus tindak pidana korupsi dan
penyelewengan ke pengadilan. Sasaran dari operasi ini adalah badan-
badan usaha milik negara dan lembaga negara yang diindikasi terdapat
praktik tindak pidana korupsi. Namun, pada kenyataannya, “Operasi
Budhi” ini pun mengalami hambatan-hambatan dari pihak terduga
korupsi yang mangkir dari pemanggilan atau menghindari pemeriksaan
petugas yang berwenang.
Dalam rentang waktu 3 (tiga) bulan setelah “Operasi Budhi”
dilancarkan, pemerintah dapat menyelamatkan uang negara sebesar
kurang lebih Rp 11 miliar, dimana jumlah tersebut merupakan jumlah
yang cukup besar pada masa itu. Kemudian pada 27 April 1964,
Presiden membentuk KOTRAR, Komando Tertinggi Retooling Alat
Revolusi, yang menjadi badan pengendalian (pengganti “Operasi
Budhi” dan PARAN) dan bertugas untuk memupuk, memelihara, dan
mengusahakan agar alat-alat revolusi memiliki hasil yang efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan revolusi Indonesia.
Pada akhirnya, badan dan lembaga pemberantasan korupsi yang
telah dibentuk oleh pemerintah di era Orde Lama mengalami stagnansi
dan tidak bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal karena
kurangnya dukungan yang didapat dalam menjalankan tugas tersebut.
2.1.3 Zaman Orde Baru
Pada Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto
menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas
korupsi. Pidato tersebut memberi isyarat bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dibentuk Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Pada Tahun 1970, Pelajar dan Mahasiswa melakukan unjuk rasa
memprotes kinerja Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang mana
perusahaan-perusahaan negara dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara

5
(BUMN) disorot sebagai sarang korupsi, akhirnya Presiden Soeharto
membentuk Komite Empat.
Pembentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr.
Wilopo dan A. Tjokroaminoto yang mempunyai tugas utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin,
PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun komite ini hanya “macan
ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di BUMN
tidak direspons Pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) yang bertugas antara lain
memberantas korupsi. Seiring dengan berjalannya waktu Operasi Tertib
(Opstib) pun hilang ditiup angin tanpa bekas.
2.1.4 Zaman Reformasi
Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas
dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi seperti KPKPN,
KPPU, atau lembaga Ombudsman.
Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk
dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin
Hakim Agung Andi Andojo. Namun, di tengah semangat menggebu-
gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya
pemberantasan KKN.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate dan menyebabkan Gus Dur
lengser.

6
Presiden Megawati pun menggantikannya melalui apa yang disebut
sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN
tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya
menjual aset-aset negara.
Pada tahun 2003 dibentuk suatu komisi untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini
dinamai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Berdasarkan data ICW, Kemenkes merupakan lembaga yang paling
besar merugikan negara, yakni Rp 249,1 miliar. Ada sembilan kasus
korupsi yang berhasil ditindak aparat penegak hukum di kementerian
tersebut. Selanjutnya, 46 kasus korupsi terjadi di Dinkes, baik tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota. Ada juga 55 kasus kesehatan di RS
dan 9 di Puskesmas.
Mulai tahun 2003 s.d. 2014 yaitu kerja sama KPK dengan PPATK,
BPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.
Data dari Lembaga Survei Nasional (LSN) Pada Pemilu tahun
2009, sebanyak <40% publik bersedia menerima uang dari caleg/partai.
Data dari SuaraMerdeka.com, money politic sangat rawan terjadi
dalam pemilu 2014, mayoritas publik mengaku bersedia menerima
pemberian uang dari caleg/partai sebesar 69,1%.

7
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh segala bentuk
tindakan korupsi yang tak pernah berhenti. Korupsi ini terjadi oleh berbagai motif,
seperti kekuasaan, kekayaan, bahkan wanita. Perebutan kekuasaan pada Kerajaan
Singasari dimana terjadi peristiwa saling balas dendam antar keturunan untuk
memperebutkan kekuasaan, kemudian terjadinya banyak pemberontakan (Nambi,
Kuti, dan Suro) di Kerajaan Majapahit, bahkan terjadi pemberontakan dari
seorang anak terhadap ayahnya sendiri pada Kerajaan Banten (Sultan Haji
terhadap Sultan Ageng Tirtayasa) atas hasutan VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie).

Budaya korupsi ini rupanya menjadi “penyakit” yang suatu saat akan
kambuh. Terbukti, pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, korupsi menjadi
berkali-kali lipat dengan bermacam-macam bentuk. Di bawah kepemimpinan
Presiden Soekarno, Pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan tentang
pemberantasan korupsi karena tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha
memberantas korupsi sehingga dirasa perlu untuk membuat dan mengesahkan
suatu aturan kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas
korupsi.

8
Daftar Pustaka

Adwirman, dkk (2014), Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi. Jakarta:


Pusdiklatnakes

Alifiarga. 2017. “Sejarah Korupsi, Zaman Kerajaan hingga Orde Lama”,


https://alifiarga.wordpress.com/2017/01/05/03-sejarah-korupsi-zaman-
kerajaan-hingga-orde-lama/, diakses pada 12 Maret 2022 Pukul 09.30
WIB.

Anda mungkin juga menyukai