Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH KORUPSI DAN

PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA

DI SUSUN OLEH :
NAMA : Yolanda Juliarsyah Putri
NIM : P031915401040
DOSEN PEMBIMBING : Hamidah,SST,M.Kes
MATA KULIAH : Pendidikan Budaya Anti

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES RIAU

JURUSAN DIII KEBIDANAN TK.IA

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis
dapat menyelesaikan MAKALAH SEJARAH KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA DI
INDONESIA.

Suatu ketenangan dan kebahagiaan bagi penulis, ketika penulis mampu mencurahkan segenap
tenaga dan kemampuan untuk menyelesaikan MAKALAH SEJARAH KORUPSI DAN
PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA.

Penulis memohon kepada Allah SWT semoga hasil karya tulis ini memberikan manfaat bagi
penulis sendiri dan orang lain.

Pekanbaru, Januari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1

1.1 latar belakang .................................................................................................................................. 1

1.2 tujuan.............................................................................................................................................. 2

1.3 sasaran ............................................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3

2.1 Sejarah Korupsi dan Upaya Pemberantasan Pada Pra Kemerdekaan dan Pasca
Kemerdekaan di Indonesia ........................................................................................................... 3
2.2 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia Dan Jenis – Jenis Korupsi .................................... 4

2.3 Fenomena Korupsi Di Indonesia ................................................................................................. 6

2.4 Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi ............................................................ 6

2.5 Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi ............................................................ 6

2.6 Peran serta mayarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di indonesia ............................ 6

2.7 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi .................................................... 6

2.8 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia .................. 6

2.9 Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.................. 6

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................................... 8

3.1 kesimpulan ................................................................................................................................. 8

3.2 saran ........................................................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu
mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun
semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek
masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi
mengenal batas-batas. Siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan
kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik maupun privat,
tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena. Penyelengaraan negara yang bersin
menjadi penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak
saja melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang apabila
dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan berada dalam posisi yang sangat dirugikan.

Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa tindakpidana korupsi tidak hanya
dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, melainkan juga
penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga
merusak send-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan
eksistensi negara. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan
keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian-kerugian pada perekonomian
rakyat. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, tindak pidana korupsi merupakan perbuatan
yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat; tidak hanya
oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.

Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan pemberantasannya masih


sangat lamban. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan
virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun 1960-an langkah-
langkahpemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai sekarang. Selanjutnya, dikatakan
bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya.

Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal ini dikarenakan,
metode konvensional yang selama ini yang digunakan, terbukti tidak bisa menyelesaikan
persoalan korupsi yang ada di masyarakat. Dengan demikian, dalam penanganannya pun juga
harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary). Sementara itu, penanganan tindak
pidana korupsi di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni masih lemahnya
upaya penegakkan hukum tindak pidana korupsi, kualitas SDM aparat penegak hukum yang
masih rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum tindak pidana korupsi, serta masih sering
terjadinya tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus korupsi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah korupsi dari pra-sejarah sampai pasca-sejarah?
2. Mengapa korupsi bisa terjadi pada masa pra dan pasca kemerdekaan di indonesia ?
3. Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia Dan Jenis – Jenis Korupsi ?
4. Bagaimana fenomena korupsi di Indonesia ?
5. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi ?
6. Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi
7. Peran Serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia ?
8. Upaya – upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di indonesia .?
9. Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia ?
10. Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di
Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah korupsi dari pra-sejarah sampai pasca-sejarah?
2. Untuk mengetahui sebab terjadinya korupsi dari pra-sejarah sampai pasca-sejarah?
3. Mengetahui gambaran umum tentang korupsi Dan Jenis – Jenis Korupsi
4. Mengetahui fenomena korupsi di Indonesia.
5. Mengetahui Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi
6. Mengetahui Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantasan Korupsi
7. Mengetahui peran serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi.
8. Mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi.
9. Mengetahui Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia
10. Mengetahui Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi
di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Korupsi dan Upaya Pemberantasan Pada Pra Kemerdekaan dan Pasca
Kemerdekaan di Indonesia

A. Pra Kemerdekaan

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak
bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-
Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,
Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan
Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda
dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah
mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka
saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi
– memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan
“Wajah Sejarah Indonesia”.

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah


karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir
karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit
diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah
Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan
dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758
VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta
dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi
dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi
dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah
adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah
Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang
korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan
moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi
Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi
atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba

Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia,
maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara!
Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat,
rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada
berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada
waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil
nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.

Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-
orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi
atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena
korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan
korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan
termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda
juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris
yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan
yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat.
Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama
daerah,pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter
dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk
Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain,
mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka
menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di
kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian
majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam
kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima
kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai
tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya.
Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter.
Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber
ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus
menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya
korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil
“upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh
Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat
kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada
Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping
rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti
dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar
upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi
harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak
cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban
rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat
kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 –
1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut
saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan
tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan
sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip
Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar
pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti
ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

Seperti apakah bentuk-bentuk pelanggaran tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai


berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual
di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi,
bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-
sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item”
(orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan
ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya
penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu
Belanda).
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau
perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1
tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap
karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala
kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap
menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka
kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh
“Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawali langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih
banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih
kejam, bengis, dan tidak mengenal kompromi.

B. Pasca Kemerdekaan

Pasca Indonesia merdeka korupsi dilakukan sejak dari era Orde Lama, era Orde Baru,
hingga era Reformasi dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan indeks
korupsi tertinggi di dunia. Tidak heran apabila sebagian kalangan sudah menganggap korupsi
memiliki sifat lintas waktu/cross-temporal dan menjelma menjadi sebuah budaya yang tidak
bisa dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, pada era Orde Lama
pemberantasan korupsi diatur dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi No.Prt/PM-06/1957.
Pada era Orde Baru pemberantasan korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada era Reformasi pemberantasan korupsi
diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan, bahkan dibentuk pula lembaga anti
korupsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi
(Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum. Tidak hanya itu, Indonesia bahkan sampai
meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang anti korupsi.

Berbagai instrumen kebijakan pemberantasan korupsi yang ada tersebut menegaskan bahwa
korupsi merupakan tindakan kejahatan dan kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime),
karena selain merugikan keuangan negara juga telah mengganggu jalannya birokrasi dan
mempersulit terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih.

Realitasnya, ada kecenderungan semakin banyak peraturan perundang-undangan dibuat,


maka semakin besar dan meluasnya korupsi yang dilakukan. Bahkan ada kecenderungan
korupsi yang ada saat ini jauh lebih masif dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Apabila di
era Orde Baru korupsi dilakukan terkonsolidasi di level pemerintah pusat yang meliputi aspek
politik dan pembangunan, pada era Reformasi korupsi telah terdesentralisasi ke daerah-daerah
yang meliputi hampir seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bahkan, korupsi
melibatkan oligarki elit lokal sehingga tidak heran banyak pejabat daerah beserta keluarganya
terlibat kasus korupsi, seperti kasus Walikota Cilegon Tubagus Iman, kasus Bupati Kutai
Kartanegara Rita Widyasari, kasus Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan masih banyak
lagi. Berbagai kasus tersebut menegaskan bahwa pelaku korupsi semakin banyak dan bersifat
lokal, hal ini sejalan dengan pemahaman Rosidi (2009) yang menyatakan bahwa korupsi di era
reformasi bukan berkurang, melainkan bertambah dan sudah merebak ke daerah-daerah.

Ironinya, korupsi pada era sekarang sudah sampai kepada stuktur pemerintahan terbawah,
yaitu desa. Bahkan, korupsi di tingkat desa banyak terjadi ketika negara memberlakukan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Indonesia, 2014), dimana desa diberikan
kewenangan yang besar untuk menyusun dan melaksanakan pembangunan yang didalamnya
disertai dana desa dengan jumlah yang cukup besar. Kondisi tersebut dijadikan kesempatan oleh
kepala desa untuk korupsi, berdasarkan kepada data tahun 2018, setidaknya sudah ada 900
kepala desa yang terlibat korupsi dana desa dengan kerugian sebesar Rp. 40,6 milliar ditambah
kasus korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dengan aparatur pemerintah desa yang
jumlah setiap tahunnya mengalami kenaikan.

Banyaknya kasus korupsi yang dilakukan setidaknya dikarenakan kepada 3 (tiga) faktor
yang melatar belakanginya, yaitu adanya tuntutan ekonomi, sifat tamak serta faktor lingkungan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat ahli yang menyatakan bahwa terdapat faktor internal dan
faktor eksternal yang mendorong korupsi, faktor internal berupa desakan akan kebutuhan
ekonomi (corruption by needs) dan adanya sikap tamak untuk memperkaya diri sendiri
(corruption by greeds). Faktor eksternal berupa lingkungan yang mendukung, seperti sikap
permisif masyarakat. Dikaitkan dengan proses pembangunan desa, setidaknya terdapat 5 (lima)
tahap yang rawan korupsi, yaitu: proses perencanaan, proses pertangungjawaban, proses
monitoring dan evaluasi, proses pelaksanaan, proses pengadaan barang dan jasa.

2.2 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia Dan Jenis – Jenis Korupsi
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat
mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp
1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin
langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi
Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib),
namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga
Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan
sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain
ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas
dari KKN.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga
puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas
tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).

2.3 Fenomena Korupsi Di Indonesia


Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia ialah:
1. Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-
lembaga politik yang ada.
2. Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num”
lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan,
kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3. Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu.
4. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :


1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-bah-ubah
sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
2. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an
umum.
3. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari
keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
4. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang
mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
6. Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang
politik dan ekonomi-bisnis.
7. Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan
hirarki politik kekuasaan.

2.4 Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi


Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di
keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada
tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden
Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara
khusus Kepada Jalsa Agung Dan kapolri:
1. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
2. Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan
oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
3. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi
(RAN-PK) 2004-2009. Langkah – langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan pada :
1. Mendesain ulang layanan publik .
2. Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg
berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
3. Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.

2.5 Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi:


Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.KPK yang
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan
komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good
governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

2.6 Peran serta mayarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di indonesia:


Bentuk – bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut
UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
1. Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana
korupsi
2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak
hukum waktu paling lama 30 hari
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6. Penghargaan pemerintah kepada mayarakat

2.7 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi:


Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia,
antara lain sebagai berikut :
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
a) Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada
bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung
jawab yang tinggi.
d) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
e) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui
penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
2. Upaya Penindakan (Kuratif):
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan
peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh
penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik
Pemda NAD (2004).
b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan
liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).
d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara
Rp 10 milyar lebih (2004).
e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI
kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi
Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
a) Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.
b) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c) Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional.
d) Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
e) Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas
4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
a) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi dan
melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang
yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk
terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah
gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b) Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi
korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi
non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI
yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di
Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, In-
donesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar
dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari
Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti &
Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.

2.8 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia


Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun
hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata hambatan/kendala-
kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung
terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak
ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik
dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh
kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan
oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang
semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah
yang diemban.

2.9 Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia


1. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-
hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk menangkalnya, yakni :
2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
3. Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi.
Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas.
4. Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut
betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
5. Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat
yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan
korup dapat ditutup.
6. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan
kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus
korupsi.
7. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki
idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur,
kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip
keadilan.
8. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu
sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan
harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan, diselewengkan atau
dikorup.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-
orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan
yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai
prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik
hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan
terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya.
Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah
diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman.
Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi
dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi “jalan tak ada ujung”, melainkan
“jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi
dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak
manusia.

3.2 Saran
Indonesia sekarang memang masih termasuk dalam konteks negara berkembang,tapi
untuk menjadi kan negara kita maju,memang harus dimulai dari sumber daya manusia nya
sendiri. Untuk itu mulai lah dari sekarang,kita sebagai generasi penerus bangsa hindari korupsi
sejak dini.Jadilah pelopor bagi bangsa sendiri untuk menghancurkan korupsi.Jika bukan dari kita
sendiri siapa lagi yang mau merubah bangsa ini untuk bersaing di era globalisasi.Hindari korupsi
dari hal yang terkecil yang ada pada diri kita.maka kita akan bisa membangun negara kita jauh
dari kata korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2005


Samidan Prang, Muzakkir, Peranan Hakim Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia, Medan: Pustaka Press Bangsa, 2011

Wikipedia,http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9491.
Di akses pada tanggal.06 April 2013

Anda mungkin juga menyukai