PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA
DI SUSUN OLEH :
NAMA : Yolanda Juliarsyah Putri
NIM : P031915401040
DOSEN PEMBIMBING : Hamidah,SST,M.Kes
MATA KULIAH : Pendidikan Budaya Anti
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis
dapat menyelesaikan MAKALAH SEJARAH KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA DI
INDONESIA.
Suatu ketenangan dan kebahagiaan bagi penulis, ketika penulis mampu mencurahkan segenap
tenaga dan kemampuan untuk menyelesaikan MAKALAH SEJARAH KORUPSI DAN
PEMBERANTASANNYA DI INDONESIA.
Penulis memohon kepada Allah SWT semoga hasil karya tulis ini memberikan manfaat bagi
penulis sendiri dan orang lain.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................................. ii
1.2 tujuan.............................................................................................................................................. 2
2.1 Sejarah Korupsi dan Upaya Pemberantasan Pada Pra Kemerdekaan dan Pasca
Kemerdekaan di Indonesia ........................................................................................................... 3
2.2 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia Dan Jenis – Jenis Korupsi .................................... 4
2.6 Peran serta mayarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di indonesia ............................ 6
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu
mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun
semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek
masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi
mengenal batas-batas. Siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan
kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik maupun privat,
tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena. Penyelengaraan negara yang bersin
menjadi penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak
saja melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang apabila
dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan berada dalam posisi yang sangat dirugikan.
Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa tindakpidana korupsi tidak hanya
dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, melainkan juga
penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga
merusak send-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan
eksistensi negara. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan
keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian-kerugian pada perekonomian
rakyat. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, tindak pidana korupsi merupakan perbuatan
yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat; tidak hanya
oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal ini dikarenakan,
metode konvensional yang selama ini yang digunakan, terbukti tidak bisa menyelesaikan
persoalan korupsi yang ada di masyarakat. Dengan demikian, dalam penanganannya pun juga
harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary). Sementara itu, penanganan tindak
pidana korupsi di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni masih lemahnya
upaya penegakkan hukum tindak pidana korupsi, kualitas SDM aparat penegak hukum yang
masih rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum tindak pidana korupsi, serta masih sering
terjadinya tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus korupsi.
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Korupsi dan Upaya Pemberantasan Pada Pra Kemerdekaan dan Pasca
Kemerdekaan di Indonesia
A. Pra Kemerdekaan
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak
bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-
Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,
Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan
Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda
dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah
mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka
saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi
– memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan
“Wajah Sejarah Indonesia”.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758
VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta
dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi
dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi
dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah
adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah
Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang
korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan
moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi
Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi
atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia,
maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara!
Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat,
rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada
berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada
waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil
nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-
orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi
atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena
korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan
korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan
termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda
juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris
yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan
yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat.
Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama
daerah,pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter
dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk
Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain,
mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka
menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di
kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian
majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam
kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima
kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai
tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya.
Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter.
Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber
ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus
menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya
korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil
“upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh
Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat
kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada
Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping
rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti
dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar
upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi
harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak
cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban
rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat
kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 –
1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut
saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan
tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan
sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip
Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar
pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti
ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
B. Pasca Kemerdekaan
Pasca Indonesia merdeka korupsi dilakukan sejak dari era Orde Lama, era Orde Baru,
hingga era Reformasi dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan indeks
korupsi tertinggi di dunia. Tidak heran apabila sebagian kalangan sudah menganggap korupsi
memiliki sifat lintas waktu/cross-temporal dan menjelma menjadi sebuah budaya yang tidak
bisa dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, pada era Orde Lama
pemberantasan korupsi diatur dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi No.Prt/PM-06/1957.
Pada era Orde Baru pemberantasan korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada era Reformasi pemberantasan korupsi
diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan, bahkan dibentuk pula lembaga anti
korupsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi
(Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum. Tidak hanya itu, Indonesia bahkan sampai
meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang anti korupsi.
Berbagai instrumen kebijakan pemberantasan korupsi yang ada tersebut menegaskan bahwa
korupsi merupakan tindakan kejahatan dan kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime),
karena selain merugikan keuangan negara juga telah mengganggu jalannya birokrasi dan
mempersulit terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih.
Ironinya, korupsi pada era sekarang sudah sampai kepada stuktur pemerintahan terbawah,
yaitu desa. Bahkan, korupsi di tingkat desa banyak terjadi ketika negara memberlakukan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Indonesia, 2014), dimana desa diberikan
kewenangan yang besar untuk menyusun dan melaksanakan pembangunan yang didalamnya
disertai dana desa dengan jumlah yang cukup besar. Kondisi tersebut dijadikan kesempatan oleh
kepala desa untuk korupsi, berdasarkan kepada data tahun 2018, setidaknya sudah ada 900
kepala desa yang terlibat korupsi dana desa dengan kerugian sebesar Rp. 40,6 milliar ditambah
kasus korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dengan aparatur pemerintah desa yang
jumlah setiap tahunnya mengalami kenaikan.
Banyaknya kasus korupsi yang dilakukan setidaknya dikarenakan kepada 3 (tiga) faktor
yang melatar belakanginya, yaitu adanya tuntutan ekonomi, sifat tamak serta faktor lingkungan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat ahli yang menyatakan bahwa terdapat faktor internal dan
faktor eksternal yang mendorong korupsi, faktor internal berupa desakan akan kebutuhan
ekonomi (corruption by needs) dan adanya sikap tamak untuk memperkaya diri sendiri
(corruption by greeds). Faktor eksternal berupa lingkungan yang mendukung, seperti sikap
permisif masyarakat. Dikaitkan dengan proses pembangunan desa, setidaknya terdapat 5 (lima)
tahap yang rawan korupsi, yaitu: proses perencanaan, proses pertangungjawaban, proses
monitoring dan evaluasi, proses pelaksanaan, proses pengadaan barang dan jasa.
2.2 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia Dan Jenis – Jenis Korupsi
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat
mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp
1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin
langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi
Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib),
namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga
Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan
sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain
ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas
dari KKN.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga
puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas
tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
3.1 Kesimpulan
Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-
orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan
yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai
prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik
hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan
terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya.
Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah
diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman.
Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi
dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi “jalan tak ada ujung”, melainkan
“jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi
dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak
manusia.
3.2 Saran
Indonesia sekarang memang masih termasuk dalam konteks negara berkembang,tapi
untuk menjadi kan negara kita maju,memang harus dimulai dari sumber daya manusia nya
sendiri. Untuk itu mulai lah dari sekarang,kita sebagai generasi penerus bangsa hindari korupsi
sejak dini.Jadilah pelopor bagi bangsa sendiri untuk menghancurkan korupsi.Jika bukan dari kita
sendiri siapa lagi yang mau merubah bangsa ini untuk bersaing di era globalisasi.Hindari korupsi
dari hal yang terkecil yang ada pada diri kita.maka kita akan bisa membangun negara kita jauh
dari kata korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia,http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9491.
Di akses pada tanggal.06 April 2013