Anda di halaman 1dari 9

PAPER

SEJARAH HUKUM AGRARIA


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria
Dosen Pengampu : Nurbaity Prasetyananda Yuwono, S.H., M.Kn.

Disusun Oleh :
Kelompok 1 Kelas HKI C
1. Layyinatus Sifa’ ( 2320110079 )
2. Mumtazatuz Zahwah ( 2320110080 )
3. Mohammad Alfin Yusti Ananda ( 2320110081 )
4. Jannatan Kurniadi Sahbana ( 2320110082 )
5. Af-idatus Sholihah ( 2320110115 )
6. Bayu Setiaji ( 2320110116 )
7. Raffi Muhammad Hudaifa ( 2320110117 )

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS TAHUN 2024

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembuatan makalah ini membahas tentang sejarah hukum agraria dan perkembanganya,
karena bertujuan untuk meningkatkan pemahaman sebagai mahasiswa hukum, tentang
pentingnya mempelajari sejarah dan perkembangan hukum agraria di Indonesia. Perkembangan
hukum agrarian di Indonesia mengalami berbagai fase, dimulai dari era kolonial sampai
puncaknya pada era kontemporer, yang mana pada setiap masanya mengalami perubahan dan
memiliki substansi hukum yang berbeda.

Hukum pertanahan di Indonesia tidak lepas dari fakta sejarah mengenai perkembangan
hukum pertanahan di Indonesia. Di Indonesia, Indonesia mengalami kolonialisme dalam jangka
waktu yang cukup lama, yang berdampak langsung pada perkembangan hukum sebagai
dampaknya. Ketika penjajah tiba, mereka menaklukkan 4.444 wilayah dan mengambil alih
kendali militer. Namun, sejumlah tempat tidak berusaha menggulingkan kekuasaan raja dan
bangsawan, melainkan memanfaatkan mereka sebagai perantara dengan rakyat dan
memberlakukan berbagai ketentuan yang menindas terhadap petani, sehingga para kolonial
dapat mengeksploitasi warga Indonesia. Jadi dengan mempelajari sejarah perkembangan hukum
agraria kami berharap pada pembaca dapat memahami tentang sejarah perkembangan hukum
agraria dengan baik.

Rumusan Masalah
1) Bagaimana Proses Sejarah Perkembangan Hukum Agraria Di Indonesia ?
2) Bagaimana Karakteristik Sejarah Perkembangan Hukum Agrarian Pada Setiap Era ?
3) Bagaimana Dampak Terhadap Kepemilikan Tanah, Penggunaan Lahan, Dan Masyarakat ?

Tujuan
1) Untuk Mengetahui Proses Sejarah Perkembangan Hukum Agrarian Di Indonesia
2) Untuk Mengetahui Karakteristik Sejarah Perkembangan Hukum Agrarian Pada Setiap Era
3) Untuk Mengetahui Dampak Sejarah Perkembangan Hukum Agraria Terhadap Kepemilikan
Tanah, Penggunaan Lahan, Dan Masyarakat

2
PEMBAHASAN

Hukum Agraria Era Kolonial


Hukum agraria pada masa ini sangat bergantung pada kebijakan Kolonial, yang mana
pada masa ini dimulai dari kedatangan bangsa belanda yang datang ke Indonesia untuk
melakukan perdagangan dan menyebarkan agama, atau istilah lainya adalah Gold, Glory, dan
Gospel. Tetapi lama kelamaan, mereka merubah niatan untuk menguasai bagsa Indonesia.
Pada masa kolonial yang sering juga disebut dengan zaman Hindia Belanda ini belum
menunjukkan adanya unifikasi hukum artinya pemberlakuan hukum agraria pada masyarakat
saat itu tidak tunggal tapi dibedakan asal golongan dari masyarakat tersebut. Pada era ini
dimulai pada pembentukan VOC pada tahun 1602, VOC melakukan berbagai tindakan yang
membuat bangsa Indonesia menderita. Berbagai upaya dilakukan VOC dalam melakukan
monopoli perdagangan di Indonesia, seperti meminta upeti hasil penjualan warga peribumi.
VOC menciptakan berbagai peraturan yang membuat para petani peribumi menderita.
Diantaranya adalah suatu ketentuan untuk menyerahkan sebagian hasil pertanian oleh petani
kepada kompeni tanpa pembayaran sepeserpun (Contingenten). Pada masa ini tanah milik
rakyat Indonesia juga diklaim menjadi tanah milik kolonial, dan kemudian dijual kepada
pemodal asing yang nantinya disebut dengan tanah partikelir. Kebijakan ini dicetuskan oleh
Dendeles yang membuat sebuah peraturan atas tanah partikelir terhadap kekuasaan peribumi.
Selanjutnya adalah peraturan Cultuur Stelsel pada tahun 1830 yang dipimpin oleh
Gubernur Jenderal Van den Bosch, yakni diberlakukanya sistem tanam paksa bagi rakyat,
terutama terhadap tanaman domein, menganggap secara hukum mempunyai kewenangan
untuk memberikan hak erfpacht kepada investor, karenanya pula pihak investor pun merasa
sah atas penguasaan tanah tersebut. Van den Bosch mengacu teori Raffles yaitu tanah adalah
milik pemerintah. Asas ini tidak mengahargai, bahkan memerkosa hak-hak rakyat atas tanah
yang bersumber pada hukum adat. Ketentuan asas ini menyatakan bahwa segala tanah yang
tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh orang lain, adalah milik negara. Pasal ini biasa
disebut dengan Domein Verklaring (Deklarasi Kekuasaan). Hukum agraria yang lama ini
mempunyai dualisme baik secara hukum maupun hak atas pertanahan, dan itu semua tidak
menjamin kepastian hukum. Jadi pada intinya pada masa era kolonial hukum agraria mulai

3
terbentuk pada saat kolonial membentuk sebuah ketentuan atas hak milik tanah warga
peribumi.
Hukum Agraria Era Kemerdekaan
Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
maka mulai sejak saat itu merupakan titik awal bagi perkembangan politik hukum bangsa
Indonesia. Dengan telah dinyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 18
Agustus 1945 pemerintah negara Indonesia membentuk Undang-Undang Dasar Negara
sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan bangsa
dan negara di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya titik awal pembangunan
hukum nasional. Persoalan hukum agraria atau hukum pertanahan di negara kita sejak masa
penjajahan hingga negara kita merdeka merupakan persoalan yang sangat penting untuk
mendapatkan perhatian yang utama bagi pemerintah Indonesia. Betapa tidak, bahwa 80%
penduduk bangsa Indonesia pada saat itu bermata pencarian pertanian, sementara tanah- tanah
pertanian yang subur dan tanah-tanah perkebunan yang sangat luas dikuasai oleh segelintir
orang, yaitu penguasa dan pengusaha. Pengusaha-pengusaha besar dan penguasa-penguasa
menguasai tanah dengan seluas-luasnya. Akibatnya terjadi kesenjangan yang luar biasa antara
penguasa dan pengusaha yang menguasai tanah dengan seluas- luasnya dengan masyarakat
petani yang semakin miskin. Pada masa ini aturan-aturan atau hukum-hukum yang berlaku
didasarkan pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu:
1. Hukum Barat yang tertuang dalam Buku II KUH Perdata,
Berisi persoalan khusus mengenai tanah, Agrarische Wet 1870, Agrariche Besluit dengan S
1870-118 tentang Domein S 1870-118 Verklaring (pernyataan domein negara).
2. Hukum Adat tentang tanah.
Berlakunya dua macam aturan hukum tersebut mengakibatkan tetap munculnya persoalan
antargolongan, dan persoalan antaradat. Persoalan antargolongan dan persoalan antaradat
tersebut pada era kemerdekaan ini sangat menghambat pelaksanaan pembangunan,
terutama pembangunan hukum pertanahan. Sehingga dengan demikian aturan-aturan
hukum tersebut diupayakan disesuaikan dengan cita- cita kemerdekaan dan amanat UUD
1945.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah Indonesia sedikit demi sedikit melakukan
penyesuaian aturan- aturan hukum tersebut dengan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia

4
yang merdeka dengan mempergunakan kebijakan dan tafsir baru. Selain itu pemerintah
membuat perangkat-perangkat hukum guna menyelesaikan persoalan-persoalan pertanahan
tersebut, yaitu pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1954 tentang
penyelesaian pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat. Namun demikian, perangkat-
perangkat hukum ini pun tidak dapat menyelesaikan persoalan pertanahan yang ada di negara
Indonesia merdeka ini, sehingga pemerintah sejak terbentuknya UUD 1945 berusaha untuk
membentuk hukum agraria nasional yang berdasarkan kepada hukum nasional berdasarkan
kepada hukum nasional Indonesia (hukum asli Indonesia), dan akhirnya melahirkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, Lembaran
Negara 1960-104, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan UUPA.
Dengan lahirnya UUPA maka dengan jelas-jelas mencabut keten tuan Buku II KUH
Perdata khusus tentang tanah, dan Agrarische Wet beserta peraturan- peraturan
pelaksanaannya yang mengatur masalah tanah. Terbentuknya UUPA maka terjadi kodifikasi
dan unifikasi hukum di bidang agraria. Dengan adanya kodifikasi dan unifikasi hukum agraria
tersebut diharapkan dapat menghapus persoalan- persoalan hukum agraria yang dualisme dan
pluralisme tersebut. Lahirnya UUPA merupakan era perombakan dan pembaruan di bidang
hukum agraria di Indonesia. Semua Lahirnya UUPA merupakan era perombakan dan
pembaruan di bidang hukum agraria di Indonesia. Semua aturan hukum yang mengatur
persoalan agraria, lebih khusus mengatur masalah tanah diatur sedemikian rupa sehingga
menjamin hak-hak semua pihak dan perlindungan hukum bagi para petani. Dengan demikian
diharapkan adanya penegakan hukum yang tegas dan konsistem tanpa adanya diskriminatif.
Dengan lahirnya UUPA maka:
1) Menjamin adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menguasai
dan memiliki tanah;
2) Pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak atas tanah dengan jalan pembatasan
penguasaan dan pemilikan hak atas tanah oleh seseorang atau badan hukum;
3) Penentuan batas maksimum dan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah.
pertanian dengan melaksanakan program landreform;
4) Diupayakan agar semua jenis hak atas tanah didaftarkan oleh pemerintah maupun
pemegang haknya guna memperoleh kepas- tian hukum dan hak dalam rangka
perlindungan hukum dan pemegang hak atas tanah.

5
5) Melakukan konversi semua hak-hak atas tanah yang sebelumnya berdasarkan hukum
barat dan hukum adat.

Hukum Agraria Era Kontemporer


Pada era ini menghendaki perubahan-perubahan, termasuk perubahan dalam bidang
hukum, terutama di bidang hukum agraria atau hukum tanah. Tuntutan untuk perubahan
reformasi di bidang hukum agraria terus berlangsung dan didorong oleh masyarakat, namun
pemerintah sampai sekarang masih mempertahankan keberlakuan UUPA (Undang-undang
Pokok Agraria) dengan upaya penyelesaian terhadap perkembangan zaman.Hukum Agraria
di era ini masih berdasarkan pada ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat (3) dan pasal 18 B UUD
1945 hasil amandemen tentang eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat. Lalu UUPA
sebagai hukum khusus yang mengatur Agraria diupayakan untuk dilakukan perubahan-
perubahan dengan lahirnya TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang pembaharuan Hukum
Tanah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Adapun aturan-aturan hukum yang menjadi
dasar hukum pembangunan dan pembaruan hukum agraria yang berlaku pada masa ini yaitu:

1. UUD 1945 hasil amandemen yang diatur dalam pasal 18 B ayat (2) dan ketentuan
pasal 33 ayat (3).
2. UUPA (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960) dan peraturan pelaksanaannya yang
disesuaikan dengan kondisi sekarang.
3. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan
Sumber Daya Alam.
4. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 disebutkan bahwa arah kebijakan pembaruan
agraria di Indonesia adalah melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka singkronisasi kebijakan
antar sektor, demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-
prinsip pembaruan agraria, dan melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

6
Dalam Pasal 6 Tap MPR RI No. IX/MPR/2001, disebutkan beberapa hal yang menjadi agenda
pelaksanaan pembaruan agraria yaitu sebagai berikut:
1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan agraria demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria pada pasal 5 ketetapan ini.
2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan
sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
4. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban melaksanakan
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang terjadi.
5. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa yang akan datang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum.
6. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan
penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

Badan Pertanahan Nasional memaparkan bahwa dalam tataran operasional Reforma Agraria
di Indonesia dilaksanakan melalui dua langkah, yaitu:
1. Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, Undang-
undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria.
2. Proses penyelenggaraan Land reform plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan
penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang
memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya dengan baik.

7
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi setelah kita membahas tentang sejarah dan perkembangan hukum agraria diatas, kini
dapat kami Tarik kesimpulan terhadap isi kandungan paper ini. Sejarah perkembangan hukum
agrarian di Indonesia terdiri dari 3 fase atau era, yaitu era Kolonial yang mana pada masa itu
peran hukum agraria di Indonesia sangat ditentukan oleh para Kolonial, dimulai dari pada
masa penguasan VOC, terhadap hasil pertanian peribumi, sampai pada eranya Van Den Bosch
yang terkenal akan kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel). Era selanjutnya adalah era
kemerdekaan, pada era inilah munculnya cikal bakal UUPA. Pada masa ini terbagi pada 2 era
kekuasaan oleh presiden kita Ir. Soekarno dan Soeharto. Era ini para pemimpin bangsa
menitik beratkan perkembangan pada sektor pertanian dan industri, serta memanfaatkan SDA
yang ada, pada era inilah muncul berbagai ketentuan ketentuan tentang hukum agraria.
Selanjutnya era terakhir dan terus berkembang pada masa kini, yaitu era kontemporer. Pada
masa kontemporer ini tuntutan untuk melakukan reformasi agraria di Indonesia bermuara
pada lahirnya ketetapan MPR RI Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaharuan agraria dan
pengelolaan Sumber Daya Alam yang tertuang dalam Pasal 6. Di era ini titik fokus lebih
diberikan pada perlindungan hak-hak masyarakat adat, petani, dan nelayan. Kemudian sistem
agraria lebih memperhatikan nasib dan hak-hak rakyat, serta mengurangi ketidakadilan dalam
kepemilikan tanah.
Hukum agraria terus mengalami revisi dan pembaruan seiring perubahan politik dan
ekonomi di Indonesia. Penguatan hukum agraria menjadi penting untuk menangani berbagai
permasalahan terkait wilayah negara dan keadilan sosial. Kami memiliki ide gagasan untuk
perbaikan perkembangan hukum agraria di Indonesia, antara lain dengan cara penguatan
regulasi. Yakni, dengan cara merevisi UUPA, perlu dilakukan revisi mendalam pada Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Revisi
ini harus memperkuat hak-hak masyarakat adat, petani, dan nelayan serta mengatasi
ketidakadilan dalam kepemilikan tanah. Kemudian implementasi hukum yang konsisten
artinya regulasi yang jelas harus diterapkan secara konsisten oleh pemerintah dan lembaga

8
yang terkait. Ini termasuk penegakan hukum yang tegas terhadap mafia tanah dan pelanggaran
hak-hak masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Isnaini, SH, M.Hum., Anggreni A. Lubis, SH, M.Hum., Hukum Agraria Kajian
Komprehensif, Pustaka Prima, Medan, 2022.

Dr. H. M. Arba, S.H., M.Hum., Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015

Rayyan Dimas Sutadi, Ahmad Nashih Luthfi, Dian Aries Mujiburahman, Jurnal Tunas
Agraria Vol.1 No.1, Kebijakan Reforma Agraria Di Indonesia, September 2018

Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Konsep Kolonial Ke Hukum Nasional, Rajagrafindo


Persada, Jakarta, 1994

Anda mungkin juga menyukai