REFORMA AGRARIA
Latar belakang
Di era kolonialisme, karakteristik yang melekat pada politik agraria masa itu adalah
dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi. Keempat karakteristik ini sangat
dipengaruhi politik hukum agraria yang menganut prinsip dagang. Hal ini tercermin dalam
sistem sewa tanah yang diberlakukan pada masa kolonial. Negara sebagai pemegang
kedaulatan merupakan pemilik tanah satu-satunya, masyarakat adalah penggarapnya dan
wajib membayar sewa tanah sebagai bentuk perpajakan.
Pada 1870, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan Agrarische Wet (UU Agraria)
dan Agrarische Besluit (Peraturan Agraria). Kedua regulasi ini menjamin kebebasan ekonomi
bagi perusahaan perkebunan swasta dan secara perlahan menghapuskan sistem tanam paksa
yang berada dibawah monopoli negara. Meski begitu, perubahan konstelasi politik
pemerintah kolonial Belanda dari kaum konservatif kepada kalangan liberal itu tidak
memberikan kemajuan yang berarti bagi rakyat. Aturan ini tetap tidak mengakui hak milik
individual masyarakat. Semua tanah tanpa bukti kepemilikan menjadi milik negara (domein
van den staat), yang umum disebut Domein Verklaring. Tanah petani pun dianggap sebagai
tanah negara tak bebas, sedangkan semua tanah tak bertuan atau terlantar digolongkan
sebagai tanah negara bebas.
Politik agraria ini jelas sangat merugikan rakyat, akibatnya terjadi protes hingga
kekacauan. Sejarah mencatat, bentuk-bentuk perlawanan, baik bersifat individual maupun
kolektif, sekadar aksi unjuk rasa hingga aksi pemberontakan, kerap dilakukan.
Era Orde Lama
Setumpuk persoalan agraria yang ditinggalkan era kolonial menjadi prioritas
Pemerintahan baru Republik Indonesia. Dari sisi kepemilikan lahan, misalnya, peninggalan
tanah-tanah perkebunan Belanda segera diikuti oleh pendudukan petani, tentu menjadi
persoalan baru. Sementara, keruwetan lainnya terjadi pada aspek hukum, berkaitan dengan
peninggalan produk hukum kolonial dan produk hukum lokal menyangkut pertanahan.
Persoalan inilah yang mendorong negara mengeluarkan Undang-Undang Darurat
Nomor 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Yang
menyejukkan, dalam produk hukum darurat tersebut upaya pendudukan lahan tidak
dinyatakan sebagai penyerobotan yang melanggar hukum. Untuk segenap pendudukan
tersebut pemerintah mengupayakan penyelesaian berupa pemberian hak dan perundingan
antara pihak yang bersengketa.
Secara politis, kedudukan petani pascakemerdekaan terbilang cukup istimewa.
Kebebasan berorganisasi seperti pembentukan organisasi-organisasi tani, semakin
memperkuat posisi mereka. Apalagi masing-masing organisasi itu berafiliasi pada partai
politik sehingga akses dan perjuangan politik yang mereka lakukan semakin besar.
Terbukti, pada kasus pendudukan tanah perkebunan Deli Planters Vereeniging (DPV) tahun
1951 yang mengakibatkan terbunuhnya lima petani sanggup mengguncang pusat
pemerintahan. Kejadian yang disebut Peristiwa Tanjung Morawa itu harus berakhir dengan
bubarnya Kabinet Wilopo akibat mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Sidik Kertapati
dari Sarekat Tani Indonesia.
Kebutuhan memiliki produk hukum agraria nasional yang baku terus mendesak. Salah
satu produk politik pertanahan yang dibuat adalah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
yang mengacu pada Pasal 33 UUD 1945.
Perumusan UUPA ini berjalan alot. Panitia perumus membutuhkan waktu selama 12 tahun
dengan lima kali pergantian panitia perumus. Hal ini terjadi karena dilakukan di tengah
situasi politik yang masih penuh gejolak.
Akhirnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) ditetapkan yang segera diikuti oleh pembentukan panitia land reform.
Salah satu inti dalam produk perundangan ini menyangkut pembatasan penguasaan tanah
agar tidak merugikan kepentingan umum, atau menghindari akumulasi dan monopoli
kepemilikan tanah oleh segelintir orang.
Kehadiran UUPA ini juga mengakhiri dualisme dalam masalah-masalah agraria sekaligus
mewajibkan hukum-hukum adat lokal tunduk pada kesatuan hukum nasional.
Era Orde Baru
Berbeda dengan Orde Lama, rezim Orde Baru memfokuskan pembangunan pada
pertumbuhan ekonomi, ditandai dengan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing, tentu untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan
pertanahannya lebih dititikberatkan kepada upaya pemenuhan kepentingan dan kebutuhan
pembangunan sektoral (pertanian dan industri).
Pergeseran fokus kebijakan terjadi untuk memfasilitasi pemodal dalam rangka
mengejar pertumbuhan ekonomi, dengan menegasikan kebijakan pertanahan yang dinilai
menghambat kebijakan pembangunan. Pemerintah memandang peningkatan ekonomi lebih
penting dibandingkan pelaksanaan land reform, yang merupakan instrumen utama pencapaian
keadilan sosial.
Alhasil, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus UU tentang
Pengadilan Land Reform dan UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pada
masa ini juga perubahan ideologi pembangunan dari sosialisme yang dikembangkan
Soekarno bergeser ke arah kapitalisme dan turunannya, yakni liberalisme atau swastanisasi
penguasaan dan pemanfaatan tanah.
kebijakan dikembangkan untuk mendukung terjadinya konsentrasi penguasaan dan
pemanfaatan tanah oleh perusahaan berskala besar, seperti kemudahan izin lokasi, fasilitas
perpajakan, termasuk menelantarkan hak tradisional masyarakat lokal atau hak ulayat
masyarakat hukum adat. Di era ini juga terjadi ideologisasi pengorbanan oleh rakyat pemilik
tanah bagi terwujudnya kepentingan negara atau umum.
Kebijakan ini munculkan resistensi baru soal pertanahan. Tercatat, semenjak tahun 1968
hingga berakhirnya kekuasaan Orde Baru, paling tidak terdapat 60 kasus perlawanan
sengketa tanah berskala besar yang terpublikasikan. Jumlah tersebut tidak termasuk upaya
penyerobotan lahan yang diperkirakan ribuan jumlahnya.
Bila dikaji, kasus perseteruan ini berlangsung antara petani dengan penguasa perkebunan,
para pemegang konsesi hutan, maupun pemerintah sendiri. Dari semua kasus tersebut, hampir
seluruhnya dapat diredam.
Era Reformasi
Semangat pembaruan agraria kembali muncul pasca kejatuhan Soeharto, yang
menandakan masuknya era Reformasi. Diawali dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR
Nomor 9 Tahun 2001, yang memerintahkan agar dilakukannya pembaruan agraria, mengacu
pada UUPA 1960.
Agenda pentingnya adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform), serta menyelenggarakan pendataan
pertanahan. Pada era ini, kedudukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai satu-satunya
lembaga yang diberikan kewenangan mengelola bidang pertanahan, baik secara nasional,
regional dan sektoral.
Namun, di era ini ego sektoral dalam pengurusan sumber daya alam masih terasa. Dalam hal
ini gaya Orde Baru masih menjadi tren. Ditambah kondisi ekonomi yang masih bergantung
pada modal asing, membuat land reform sulit diimplementasikan secara sempurna.
Hasilnya, seperti diungkap di awal tulisan, jumlah konflik pertanahan tidak berkurang. Meski
ada yang usai, namun kasus baru masih terus muncul. Jadi jumlah total kasus per-tahunnya
terus bertambah.
Rumusan masalah
BAB II
Analisis
Reforma agraria merujuk TAP MPR No. 9 Tahun 2001 dijelaskan sebagai suatu
proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya
kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Sedangkan dalam aturan terbaru, hampir senada, terdapat pada Perpres No. 86
Tahun 2018 Pasal 1 ayat (1) yang menjelaskan bahwa reforma agraria merupakan upaya
penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang
lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk
kemakmuran rakyat Indonesia.
Melalui dua peraturan tersebut, terdapat kesamaan makna terhadap arti reforma
agraria, yaitu melakukan restrukturisasi, baik dalam konteks penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan agraria. Namun juga terdapat perbedaan dalam aturan tersebut.
Pertama, dalam TAP MPR No. 9 Tahun 2001, agraria diartikan secara luas, tidak hanya
sekedar tanah, melainkan keseluruhan sumber daya. Sedangkan dalam Perpres No. 86 Tahun
2018, agraria direduksi maknanya hanya sebatas tanah. Kedua, TAP MPR No. 9 Tahun 2001
lebih menekankan fokus reforma agraria untuk memberikan kapastian dan perlindungan
hukum untuk mencapai kemakmuran rakyat. Sedangkan dalam Perpres No. 86 Tahun 2018,
lebih memfokuskan pada mekanisme penataan aset dan penataan akses dalam rangka
mencapai tujuannya untuk memberi kemakmuran kepada rakyat.
Menurut Wiradi Reforma agraria adalah penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan
tanah beserta seluruh paket penunjang secara lengkap, paket penunjang tersebut diantaranya
adanya jaminan hukum atas hak yang diberikan, tersedianya kredit yang terjangkau, adanya akses
terhadap jasa-jasa advokasi, akses terhadap informasi dan teknologi, pendidikan dan pelatihan, dan
adanya akses terhadap bermacam-macam sarana produksi dan bantu pemasaran
Menurut Badan Peranata Nasional RI (2007) makna reforma agrarian adalah restrukturisasi
penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber- sumber agraria, terutama tanah
yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam penerapan reforma agraria tentu ada obyek utama yang menjadi fokus
utamanya adalah tanah. Pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai obyek reforma agraria
adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-
undangan dapat dijadikan sebagai obyek reforma agraria.
Kata pembangunan sebelum perang dunia II sudah dipakai oleh para tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia. Namun sekarang ini istilah pembangunan telah
mengacu pada tiga makna, yaitu:
Legalisasi Aset :
Redistribusi Tanah :
• Pelepasan kawasan hutan dengan tindak lanjut redistribusi lahan hutan yang telah
dilepaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan menjadi sumber tanah
objek reforma agraria dan tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh
masyarakat dan telah diselesaikan penguasaannya sesuai dengan ketentuan undang-
undang.
• Penanganan tanah eks hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) yang
telah habis masa berlakunya, tidak dimohon perpanjangan dan atau tidak dimohon
pembaharuan haknya; serta tanah Negara bekas tanah terlantar yang didayagunakan
untuk kepentingan masyarakat dan Negara melalui reforma agraria.
BAB III
Penutup
kesimpulan
saran