Anda di halaman 1dari 16

MATA KULIAH

HUKUM AGRARIA
DOSEN PENGAMPU
ASRIL, S.H.I., M.H

SEJARAH PENYUSUNAN HUKUM AGRARIA NASIONAL

DISUSUN OLEH :
Muhammad Wahyu Ramadhan
NIM : 12120712100

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

RIAU

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lima belas tahun setelah kemerdekaan, pada tanggal 24 September 1960 terbit Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) setelah
melalui proses panjang sejak tahun 1948. UUPA sejatinya dimaksudkan untuk berlaku sebagai
lex generalis (“undang-undang pokok”) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya, yakni
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal
33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sangat dipahami bahwa UUPA yang diterbitkan pada tahun 1960 belum mengantisipasi
perkembangan ilmu, teknologi, politik, sosial ekonomi, budaya serta perkembangan kebutuhan
masyarakat. Perubahan paradigma kebijakan ekonomi makro; globalisasi; derasnya arus
investasi; semakin tajamnya konflik dalam perebutan akses terhadap pemilikan, penguasaan dan
pemanfaatan tanah karena ketimpangan/ketidakadilan dalam struktur penguasaan/pemilikan
tanah; derasnya alih fungsi tanah sehingga mengancam ketahanan pangan, timbulnya bencana
alam, dan kerusakan lingkungan; perlunya dilakukan distribusi dan redistribusi tanah untuk
pertanian maupun nonpertanian disertai dengan reformasi akses; perlunya pengaturan untuk
menjadi landasan pembangunan yang menggunakan ruang di bawah tanah; perlunya menerapkan
asas-asas pemerintahan yang baik dalam pengelolaan pertanahan; perlunya membentuk
pengadilan pertanahan untuk menyelesaikan perkara agraria termasuk konflik/sengketa
pertanahan yang massif, berskala luas dan multi dimensi; merupakan beberapa contoh perlunya
melengkapi UUPA.

Perubahan jaman dengan adanya liberalisasi perdagangan menempatkan tanah sebagai


komoditi membuat masalah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah semakin kompleks
dimana rakyat terutama petani kecil diposisikan sebagai korban arus kapitalisme global.
Fenomena di atas terlihat jelas, dimana rejim orde baru sejak awal langkah pemerintahannya
telah meninggalkan roh dan semangat UUPA yang populis dan diganti dengan kebijakan
memfasilitasi akumulasi modal. Salah satu contoh adalah hilangnya hak ulayat dan
munculnya kantongnkantong pemukiman eksklusif dikawasan pertambangan, serta penguasaan
pulau pulau tertentu oleh pribadi pribadi yang steril dari penduduk setempat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang pemikiran lahirnya UUPA?


2. Bagaimana proses penyusunan UUPA?
3. Bagaimana sistematika dan isi kandungan UUPA?
4. Apa hak-hak atas tanah yang di cabut oleh UUPA?
5. Bagaimana peranan penguasa di bidang agraria?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang lahirnya UUPA


2. Untuk mengetahui bagaimana proses penyusunan UUPA
3. Untuk mengetahui sistematika dan isi kandungan UUPA
4. Untuk mengetahui hak-hak atas tanah yang dicabut oleh UUPA
5. Untuk mengetahui bagaimana peranan penguasa dibidang agraria
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Pemikiran Lahirnya UUPA

Latar belakang pemikiran lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di Indonesia


melibatkan berbagai faktor sejarah, sosial, dan ekonomi. Selama masa penjajahan Belanda di
Indonesia, sistem agraria diterapkan sesuai dengan kepentingan kolonial. Tanah dikuasai oleh
pemerintah dan perusahaan-perusahaan Belanda, sedangkan masyarakat pribumi memiliki akses
yang terbatas atau bahkan kaehilangan hak atas tanah mereka 1. Setelah kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1945, negara baru berkomitmen untuk menciptakan sistem agraria yang lebih adil dan
sesuai dengan semangat kemerdekaan. Pada tahun-1950-an, pemerintah indonesia mulai
merumuskan UUPA sebagai upaya untuk mengatur ulang sistem agraria2.

Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami
berbagai penyempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini. Jadi
riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan
berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan
inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hukum yang berkenaan dengan
pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu sendiri.

Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah
Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan penanaman modal asing lainnya
diperkebunan-perkebunan .Uutuk mencapai tujuan ini Pemerintah Hindia Belanda telah
menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian
dituangkan ke dalam Undang-Undang dengan nama “Agrariche Wet” dan dimuat dalam Stb.
1870-
55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama “Agrarisch Besluit” yang dikeluarkan
tahun 1870.

Agrarisch Besluit ini dalam pasal 1 memuat suatu asas yang sangat penting yang merupakan
asas dari semua peraturan Agraria Hindia Belanda. Asas ini disebut “Domein Verklaring” atau

1
Elson, R. E. (1994). The Idea of Indonesia: A History. Cambridge University Press.
2
Djokosujono, A. P. (2008). Land Administration and Reform in Indonesia. Land Tenure Journal, 2(1), 23-54.
juga bisa disebut asas domein, yaitu asas bahwa “semua tanah yang tidak bisa dibuktikan
pemiliknya adalah domein Negara” yaitu tanah milik negera

Setelah Proklamasi kemerdekaan Negara kita tahun 1945, undang-undang Agraria diatas
dengan segala peraturan organiknya dan buku ke-2 KUHS tentang benda, kecuali peratuaran-
peraturan mengenai hipotek, telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang Pokok
Agraria tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960 hingga sekarang hanya
berlaku satu undang-undang yang mengatur agraia, yaitu Undang-undang Pokok Agraria
No.5/1960. Ini berarti bahwa dalam bidang hukum agraria telah tercapai keseragaman hukum,
atau dengan istilah hukumnya telah terdapat unifikasi hukum agraria yang berarti bahwa berlaku
satu hukum agraria bagi semua warga Indonesia. Jadi dualisme dan pluralisme dalam bidang
hukum agrarian telah dapat dihapuskan3.

2.2 Proses Penyusunan UUPA

Proses penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di Indonesia melibatkan


beberapa tahapan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, ahli hukum,
akademis,dan pemangku kepentingan lainnya. Tahap awal dalam penyusunan UUPA adalah
perumusan kebijakan agraria yang melibatkan identifikasi masalah, tujuan, dan sasaran kebijakan
agraria yang diinginkan oleh pemerintah4. Setelah perumusan kebijakan, tahap berikutnya adalah
merancang naskah UUPA. Ini melibatkan perancangan teks hukum yang mengatur berbagai
aspek pertanahan, termasuk hak kepemilikan tanah, hak guna usaha, dan pengelolaan sumber
daya agraria5.

Proses penyusunan rancangan UUPA dilakukan oleh panitia-panitia yang berganti-ganti 5


kali selama kurang lebih 12 tahun panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia
Agraria Jakarta, Panitia Soewahjo, Rancangan Soenaryo dan Rancangan Sadjarwo.

Secara garis besar hasil pekerjaan panitia-panitia itu sebagai berikut:

A. Panitia Agraria Yogyakarta

3
rangerwhite09-artikel.blogspot.com
4
Shiraishi, S., & Cholid, A. (1997). Land and Life in Indonesia: Particular Aspects of Indonesia's Agrarian
Problems. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 33(1), 67-94.
5
Pramudya, D. (2010). Agrarian Law Reform in Indonesia: Urgency and Strategies. Journal of Agrarian Change,
10(4), 547-563.
Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar - dasar hukum
agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah jajahan, dengan
pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Panitia dibentuk dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16,
diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan
beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan
pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan
wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan Panitia Agraria Yogyakarta.

Panitia bertugas memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal yang


mengenai hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik
agraria negara Republik Indonesia, merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan -
peraturan lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktek dan menyelidiki soal-soal
lain yang berhubungan dengan hukum tanah dan dengan dibentuknya Panitia Agraria
Yogyakarta, yang mengusulkan :

1) Meniadakan asas domein dan hak ulayat, yaitu hak masyarakat hukum adat,

2) Mengadakan peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik atas tanah,

3) Mengadakan study perbandingan ke negara tetangga sebelum menetukan apakah orang asing
dapat pula mempunyai hak milik atas tanah,

4) Mengadakan penetapan luas minimum pemilik tanah agar para petani kecil dapat hidup
layak, untuk pulau Jawa diusulkan 2 (dua) hektar,

5) Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah dengan tidak memandang jenis
tanahnya, untuk Pulau Jawa diusulkan 10 (sepuluh) hektar,

6) Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Panitia ini oleh
Sarimin Reksodiharjo,

7) Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex
kadaster).
B. Panitia Agraria Jakarta

Sesudah terbentuknya kembali Negara Kesatuan maka dengan keputusan Presiden


Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36/1951 panitia terdahulu dibubarkan dan
dibentuk Panitia Agraria Baru, yaitu berkedudukan di Jakarta. Hal ini disebabkan karena hingga
tahun 1951 Panitia Agraria Yogyakarta belum dapat menyelesaikan tugasnya karena terjadi
perubahan bentuk pemerintah dari RIS ke Negara Kesatuan RI. Setelah pusat pemerintahan
Yogyakarta pindah ke jakarta, sehingga disebutlah Panitia Agraria Jakarta, Panitia ini diketuai
oleh Singgih Praptodihardjo, Wakil Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri. Tugas
panitia ini hampir sama dengan panitia terdahulu diYogyakarta Dalam laporannya kepada
pemerintah mengenai tanah pertanian, panitia ini mengusulkan :

1) Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 (dua) hektar dengan mengadakan
peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris

2) Menentukan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 (dua puluh lima) hektar untuk satu
kelarga,

3) Yang dapat memiliki tanah pertanian hanya warga negara Indonesia, sedangkan badan hukum
tidak diperkenankan,

4) Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak milik,hak usaha, hak sewa
dan hak pakai,

5) Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan pokok-
pokok dasar negara

C. Panitia Soewahjo

Karena panitia Agraria Jakarta tidak dapat menyelesaikan penysunan rancangan UUPA
Nasional dalam waktu singkat, maka dengan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1956 tanggal 14
Januari 1956 Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuklah panitia Negara Urusan Agraria
yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, yang merupakan sekretaris Jenderal Kementerian
Agraria dan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai Kementerian dan jawatan, ahli-ahli
hukum adat dan wakil-wakil beberapa organisasi tani. Panitia ini berkedudukan di Jakarta, dalam
waktu satu tahun, tepatnya tanggal 1 januari 1957 Panitia ini telah merampungkan penyusunan
rancangan UUPA. Adapun pokok-pokok yang penting daripada Rancangan Undang-Undang
Pokok Agraria hasil karya panitia tersebut ialah :

1. Asas domein dihapuskan diganti dengan asas hak menguasai oleh negara sesuai dengan
ketentuan psal 38 ayat 3 UUDS 1950,

2. Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada
kepentinan umum (negara).

3. Asas bahwa tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi
rancangan ini belum sempat disampaikan kepada DPR,

4. Dualisme hukum agraria dihapuskannya, secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan
memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam hukum adat
maupun hukum barat

5. Hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak terkuat, yang berfungsi sosial kemudian ada hak
usaha, hak bangunan dan hak pakai.

6. Hak milik boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia yang tidak diadakan
perbedaan antara warga Negara asli dan tidak asli. Badan -badan hukum pada asasnya tidak
boleh mempunyai hak milik atas tanah.

7. Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi
milik seseorang atau badan hukum,

8. Tanah pertanian pada asanya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya,

9. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah. Karena tugasnya telah
selesai, maka dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia ini
dibubarkan.

D. Rancangan Soenarjo

Panitia Soewahjo akhirnya digantikan dengan panitia Soenario, karena perkembangan


yang terjadi pada saat itu terlalu pesat maka pemerintah memerlukan pergantian kepanitiaan
sebelumnya. Keberadaan panitia ini sebenarnya hanya meneruskan hasil kerja panitia
sebelumnya maka pada tanggal 24 april 1958 pemerintah menyampaikan naskah RUUPA yang
diajukan oleh
Menteri Soenarjo yang kemudian dikenal dengan Rancangan Soenario kepada DPR ke Dewan
Perwakilan Rakyat, melalui amanat Presiden Soekarno tanggal 24 April 1958. Untuk membahas
rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Untuk itu, DPR
meminta kepada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk menyumbangkan pikirannya
mengenai rancangan UUPA. Setelah menerima bahan dari Universitas Gajhah Mada,
dibentuklah Panitia Kerja ((Ad Hoc) yang terdiri dari dari, Ketua merangkap anggota : A. M.
Tambunan, Wakil Ketua Merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja, Anggota-anggota :
Notosoekardjo, Dr. Sahar glr Sutan Besar, K.H. Muslich, Soepeno adisiwojo, I. J. Kasimo.
Selain dari Universitas Gajhah Mada, bahan-bahan diperoleh juga dari Mahkamah Agung RI
ayang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro. Adapun tugas dari Panitia Ad Hoc yakni :

1. Membahas Rancangan Undang-undang Pokok Agraria secara teknis yuridis,

2. Mempelajari bahan-bahan yang bersangkutan dengan Rancangan Undang-undang Pokok


Agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan-bahan yang baru,

3. Menyampaikan laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta usul-usul yang dipandang perlu
mengenai Rancangan Undang-undang Pokok Agraria kepada Panitia Permusyawaratan DPR.

E. Rancangan Sadjarwo

Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan
Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan
tersebut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuaikan rancangan UUPA dengan UUD 1945,
perlu diminta saran dari Universitas Gadjah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959,
Menteri Agraria Mr. Sadjarwo beserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr. Boedi Harsono, Mr.
Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengan pihak Universitas Gajhah Mada yang
diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Iman Sutignyo. Setelah selesai penyesuaian
dengan UUD 1945 dan penyempurnaannaya maka rancangan UUPA diajukan kepada DPR-GR
dalam sidingnya pada tanggal 1 Agustus 1960, sesuai dengan amanat Presiden Soekarno Nomor
2584/ HK/60.

Dalam siding pleno sebanyak 3 kali, yaitu tanggal 12,13 dan 14 September 1960
diadakan pemeriksaan pendahuluan, yang kemudian dengan suara bulat DPR-GR menerima baik
Rancangan Undang-undang Pokok Agraria. Pada hari Sabtu, tanggal 24 september 1960
Rancangan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) disetujui oleh DPR-GR dan kemudian
disahkan oleh Presiden RI menjadi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, LNRI Tahun 1960 No. 104 - TLNRI No. 2043 yang menurut Dictum kelimanya disebut
Undang-undang Pokok Agraria atau yang lazimnya disebut Undang-undang 6.

2.3 Sistematika dan Isi Kandungan UUPA

Sistematika UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Indonesia dapat berubah seiring


dengan perubahan dalam amendemen undang-undang. Berikut adalah gambaran umum tentang
sistematika UUPA :

1. Pendahuluan
Bagian pendahuluan mencakup judul undang-undang, preambul, dan pengantar
singkat yang menjelaskan tujuan, ruang lingkup, dan prinsip-prinsip dasar UUPA.
2. Bab I Ketentuan
Bab ini biasanya berisi definisi-definisi penting dan interpretasi istilah-istilah yang
digunakan dalam UUPA. Ini mencakup pengertian hak atas tanah, tanah negara,
tanah adat, dan istilah-istilah lainnya.
3. Bab II Hak Atas Tanah
Bab ini mengatur tentang hak kepemilikan tanah, termasuk hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, dan hak-hak lain yang terkait dengan tanah.
4. Bab III Hak-hak atas tanah lainnya
Bagian ini mungkin mengatur tentang hak-hak lain yang berhubungan dengan tanah,
seperti hak sewa, hak pakai, dan hak pengeksploitasian sumber daya alam.
5. Bab IV Pendaftaran Tanah dan Hak Atas Tanah
Bab ini mengatur prosedur pendaftaran tanah dan hak atas tanah, serta pentingnya
pendaftaran ini dalam sistem pertanahan.
6. Bab V Penganturan Hak Masyrakat Adat
Bab ini mengakui dan mengatur hak-hak masyarakat adat terhadap tanah adat mereka
serta cara perlindungan dan pengelolaannya.
7. Bab VI Penyesalan Sengketa Pertanahan

6
Landreform
Bab ini mengatur tata cara penyelesaian sengketa pertanahan, termasuk melalui
peradilan dan mekanisme alternatif seperti mediasi atau arbitrase.
8. Bab VII Tata Kelolah Pertanahan
Bagian ini mungkin mengatur tentang tata kelola pertanahan, termasuk peraturan
penggunaan tanah dan sumber daya agraria.
9. Bab VIII Penyelenggaraan pertanahan
Bagian ini mengatur tentang penyelenggaraan pertanahan, pendaftaran tanah,
pengukuran tanah, dan sejenisnya.
10. Bab IX Pemberian Tanah dan Hak Atas Tanah
Bagian ini mengatur tentang ketentuan pemberian tanah oleh pemerintah.
11. Bab X Ketentuan Pidana
Bab ini mengatur tentang sanksi pidana atau denda yang dikenakan dalam
pelanggaran terhadap UUPA.
12. Bab XI Ketentuan Penutup
Bab penutup mencakup ketentuan pengesahan UUPA serta tanggal berlakunya.

Isi UUPA merupakan penjelmaan dari sila-sila Pancasila.

Hal ini sesuai dengan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
Indonesia. Konsekuensinya peraturan hukum tidak boleh bertentangan dengan prinsip Pancasila.
Didalam UUPA sebagai penjelmaan dari :

a. Sila Ketuhanan Yan Maha Esa adalah ketentuan pasal 1 ayat 2 UUPA mengenai
pengakuan bahwa BARA +K sebagai karuania Tuhan.
b. Sila Kemanusiaan adalah Pasal 2 tentang hak menguasai Negara atas BARA +K, Pasal 4
tentang kemungkinan bagi perseorangan untuk mempunyai hak atas tanah, Pasal 6
tentang Keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.
c. Sila Persatuan Indonesia adalah Pasal 9 ayat 1 hanya warganegara Indonesia yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah.
d. Sila Kerakyatan dan keadilan social adalah Pasal 9 ayat 2 bahwa semua orang secara
demokratis mempunyai kesempatan yang sama untuk mempunyai hak atas tanah. Setiap
orang harus memperoleh manfaat dari hasil tanahnya secara adil. Memberikan program-
program yang dapat menuntaskan masalah kemiskinan masyarakat desa, meningkatkan
kesejahteraan dengan kemandirian pangan nasional, meningkatkan produktivitas tanah,
memberikan pengakuan hak atas tanah yang dimiliki baik secara pribadi, negara, dan
tanah milik umum yang pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Reforma agraria bentuknya ada tiga, yaitu legalisasi aset, redistribusi tanah dan
perhutanan sosial. Dalam bentuknya reforma agraria yang ditargetkan akan dilaksanakan
seluas 9 juta hektar sebagaimana Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, dalam skemanya
legalisasi aset 4,5 juta hektar yang meliputi legalisasi terhadap tanah-tanah transmigrasi yang
belum bersertipikat yaitu seluas 600.000 hektar dan legalisasi terhadap tanah-tanah yang
sudah berada dalam penguasaan masyarakat seluas 3,9 juta hektar.

Untuk redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar, meliputi Hak Guna Usaha Habis, tanah
terlantar dan tanah Negara lainnya seluas 400.000 hektar dan tanah-tanah yang berasal dari
pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar. Peran Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam Reforma Agraria adalah memberikan
aset dan akses. Dalam hal aset, Kementerian ATR/BPN menjamin kepastian hukum atas
tanah yang dimiliki seperti memberikan sertipikat tanah, mempercepat pendaftaran tanah dan
inventarisasi penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam kerangka
reforma agraria yang dilakukan melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL). Untuk hal akses Kementerian ATR/BPN memberikan pemberdayaan terhadap
infrastruktur jalan dan irigasi, termasuk prasarana pascapanen, pendidikan dan pelatihan,
kredit usaha, serta pemasaran.

2.4 Hak-Hak atas Tanah yang di Cabut oleh UUPA

Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah bahwa tanah adalah
sumber konflik, yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah yang dimiliki penduduk untuk
keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul karena pemerintah di satu pihak memerlukan
tanah itu dan di pihak lainya penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi
sumber mata pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman. Menurut ketentuan
hukum yang berlaku di indonesia pemerintah memang di berikan wewenang untuk mengambil
allih tanah penduduk guna keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di
lakukan dengan sewenang-wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah di
indonesia
mempunyai fungsi sosial. Jadi kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah
untuk melakukan ambil alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan7.

Ada banyak aturan pertanahan di Indonesia yang tentu saja mencakup bermacam-macam
hak atas tanah. Pasal 16 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah antara
lain sebagai berikut: hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak
membuka tanah; dan hak memungut hasil hutan. Selain itu, diakui pula hak-hak lain yang diatur
pada peraturan lain dan hak lain yang memiliki sifat sementara.

Hak milik mengandung hak untuk melakukan atau memakai bidang tanah yang
bersangkutan untuk kepentingan apapun. Hubungan yang ada bukan hanya bersifat kepemilikan
saja, melainkan bersifat psikologis-emosional. Hak milik hanya diperuntukan untuk
berkewarganegaraan tunggal Indonesia. Hanya tanah berhak milik yang dapat diwakafkan. Hak
ini adalah model hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh. Hak guna usaha adalah hak untuk
mengusahakan langsung tanah yang dikuasai oleh Negara untuk usaha pertanian, perikanan, atau
peternakan. Hak guna usaha dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau perusahaan
Indonesia. Jangka waktu hak guna usaha adalah 25 tahun bagi perorangan dan 35 tahun bagi
perusahaan. Waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun. Hak guna
bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling
lama 20 tahun. Hak guna bangunan dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau badan
hukum Indonesia. Hak guna bangunan dapat diletaki di atas tanah negara atau tanah hak milik.

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain. Namun, hak tersebut muncul bukan karena
perjanjian sewa atau perjanjian pengolahan tanah. Baik warganegara Indonesia maupun
warganegara asing dapat memiliki hak pakai. Begitu pula badan hukum Indonesia dan badan
hukum asing. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak untuk
memanfaatkan sumber daya dalam hutan yang bersangkutan tanpa hutan tersebut dimiliki oleh si
penerima hak8.

7
Darman, Komang I Mekanisme Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah, Jurnal Belom Bahadat: Volume
VIII No. 2, Juli-Desember 2018
8
https://fahum.umsu.ac.id/hak-hak-atas-tanah-menurut-hukum-agraria/
2.5 Peranan Penguasa di Bidang Agraria

Penguasa, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah, memainkan peran penting di bidang
agraria dalam suatu negara. Peran mereka mencakup pengaturan, pengelolaan, perlindungan, dan
pengembangan sumber daya tanah serta hak-hak atas tanah. Berikut adalah beberapa peran utama
penguasa di bidang agraria: Pengaturan Hukum Agraria: Penguasa memiliki tugas untuk
merumuskan, mengesahkan, dan mengimplementasikan undang-undang dan peraturan terkait
agraria. Ini mencakup undang-undang tentang hak atas tanah, pengelolaan tanah, dan tata kelola
sumber daya agraria. Pendaftaran Tanah: Penguasa bertanggung jawab atas sistem pendaftaran
tanah yang efisien dan andal. Pendaftaran tanah yang baik dapat memberikan kepastian hukum
dan melindungi hak-hak pemilik tanah. Pengelolaan Tanah: Penguasa memiliki peran dalam
mengelola sumber daya tanah untuk memastikan penggunaan yang berkelanjutan dan sesuai
dengan kebijakan pemerintah. Ini dapat melibatkan zonasi tanah, perencanaan tata ruang, dan
regulasi penggunaan tanah. Perlindungan Hak-Hak Pertanahan: Penguasa harus melindungi hak-
hak individu atau kelompok atas tanah, termasuk hak milik, hak guna usaha, dan hak-hak
lainnya. Mereka juga harus menangani sengketa pertanahan dan menawarkan mekanisme
penyelesaian sengketa yang adil. Distribusi Tanah: Penguasa dapat memiliki peran dalam
mendistribusikan tanah kepada masyarakat, khususnya kepada mereka yang membutuhkannya.
Ini dapat mencakup reformasi agraria atau program redistribusi tanah. Pengembangan Pertanian
dan Pertanahan: Penguasa dapat memainkan peran penting dalam pengembangan sektor
pertanian dan pertanahan, termasuk penyediaan infrastruktur pertanian, pelatihan petani, dan
dukungan untuk pertanian berkelanjutan. Pengaturan Investasi Pertanahan: Mereka juga dapat
mengatur investasi asing dan domestik di bidang pertanahan. Ini mencakup pengaturan
kepemilikan tanah oleh pihak asing dan peraturan terkait investasi pertanahan. Mengatasi
Masalah Agraria: Penguasa harus mengatasi masalah-masalah agraria, seperti konflik tanah,
penyelundupan tanah, dan masalah agraria yang muncul akibat perubahan sosial dan ekonomi.
Pemantauan dan Penyuluhan: Penguasa dapat mengembangkan program pemantauan untuk
memastikan kepatuhan terhadap peraturan agraria dan memberikan penyuluhan kepada
masyarakat tentang hak-hak dan kewajiban mereka di bidang agraria. Konsultasi dengan Pihak
Terkait: Penting bagi penguasa untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan berbagai
pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, petani, dan kelompok-kelompok yang terkait
dengan pertanahan. Peran penguasa di bidang agraria adalah kunci untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi pertanian yang berkelanjutan dan
pembangunan pertanahan yang adil. Pengelolaan sumber daya tanah dengan bijaksana dan
perlindungan hak-hak pertanahan adalah faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan sosial di suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA

Elson, R. E. (1994). The Idea of Indonesia: A History. Cambridge University Press.


Djokosujono, A. P. (2008). Land Administration and Reform in Indonesia. Land Tenure Journal,
2(1), 23-54.
rangerwhite09-artikel.blogspot.com
Shiraishi, S., & Cholid, A. (1997). Land and Life in Indonesia: Particular Aspects of Indonesia's
Agrarian Problems. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 33(1), 67-94.
Pramudya, D. (2010). Agrarian Law Reform in Indonesia: Urgency and Strategies. Journal of
Agrarian Change, 10(4), 547-563.
Landreform
Darman, Komang I Mekanisme Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah, Jurnal Belom
Bahadat: Volume VIII No. 2, Juli-Desember 2018
https://fahum.umsu.ac.id/hak-hak-atas-tanah-menurut-hukum-agraria/

Anda mungkin juga menyukai