Kelas : R4D
Nim : 202221173
Sejarah hukum agaria di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua periode utama yitu
masa penjajahan Belanda dan masa setelah kemerdekaan.
Perkembangan hukum agraria di Indonesia pada masa penjajahan Belanda memiliki sejarah
yang panjang dan kompleks. Pada awalnya, Belanda menerapkan sistem tanam paksa di
Indonesia, yang dikenal sebagai tanam paksa atau tanam wajib. Sistem ini member kekuasaan
penuh atas tanah kepada Belanda dan memaksa penduduk pribumi melakukan budidaya tanaman
komoditas yang diinginkan oleh Belanda, seperti kopi, teh, alas (keras) berpohon tinggi. Pada
abad ke-19, Belanda mulai memberlakukan kebijakan reformasi agraria yang disebut sebagai
"elsel" atau sistem tanam paksa terkontruksi. Sistem ini memberi hak pemilikan tanah bagi
penduduk pribumi dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan produksi komoditas kepada
pemerintah Bel. Namun hak tanah ini masih sangat terbatas dan masih memberikan kekuasaan
yang besar kepada Belanda.
Pada awal abad ke-20, ada gerakan perlawanan melawan sistem tanam paksa yang
mengakibatkan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870 dan Undang-Undang
Agraria tahun 1872. Meskipun undang-undang ini memberikan hak-hak bagi penduduk pribumi,
namun realitanya hak-hak tersebut masih terbatas dan banyak tanah yang tetap dikuasai oleh
Belanda. Perkembangan hukum agraria di Indonesia terus berlanjut seiring dengan perjuangan
kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, hukum agraria Indonesia semakin
ditentukan oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Undang-undang ini
menetapkan hak-hak dasar penduduk atas tanah, melindungi kepentan agraria negara, dan
mengatur penggunaan dan penguasaan tanah.
Pada masa ini, ketentuan-ketentuan hukum agraria yang diberlakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda sangat merugikan bagi bangsa Indonesia.Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat
diskriminatif dan menindas, terutama dengan adanya politik tanam paksa di bidang
pertanian.Meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda masih berlaku hingga
diadakan yang baru sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
b. Masa setelah Kemerdekaan
Pada tahun 1948 pemerintah memulai upaya untuk menyusun dasar-dasar hukum agraria yang
akan menggantikan produk-produk pemerintah kolonial Belanda di bidang hukum agraria.
Upaya tersebut dapat dibagi ke dalam lima periode, yaitu:
Pada tahun 1948 ibu kota negara berada di Yogya. Berdasarkan Penetapan Presiden Republik
Indonesia tanggal 21 Mei 1948 No. 16, dibentuklah Panitia Agraria Yogya. Panitia Agraria
Yogya diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian
Agraria Kementerian Dalam Negeri dan beranggotakan:
Hasil kerja dari Panitia Agraria Yogya adalah beberapa usulan sebagai berikut:
Pada tahun 1951, seiring dengan peralihan bentuk pemerintahan dari Republik Indonesia
Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, ibukota negara dipindah ke Jakarta.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1951 No. 36/1951,
Panitia Agraria Yogya dibubarkan dan dibentuk Panitia Agraria Jakarta. Panitia ini diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo (Pada 1953 digantikan oleh Singgih Praptodihardjo) dan beranggotakan:
Tugas dari Panitia Agraria Jakarta hampir sama dengan tugas Panitia Agraria Yogya. Hasil kerja
dari Panitia Agraria Jakarta adalah sebagai berikut:
1. Batas luas minimum adalah 2 hektar dan perlu dikaji lebih lanjut mengenai hubungan
antara pembatasan minimum dengan hukum adat;
2. Pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga;
3. Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk Warganegara
Indonesia dan tidak dibedakan antara warganegara asli dan bukan asli;
4. Skema hak-hak tanah berupa hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak pakai;
5. Diakuinya hak ulayat.
Melalui Keputusan Presiden tanggal 29 Maret 1955 No. 55/1955, dibentuk Kementerian
Agraria yang salah satu tugasnya adalah untuk mempersiapkan pembentukan perundang-
undangan agraria nasional. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 14
Januari 1956 No. 1/1956, Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk Panitia Negara
Urusan Agraria yang berkedudukan di Jakarta. Panitia ini diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo
dan beranggotakan:
Tugas pokok panitia ini adalah mempersiapkan rencana Undang-Undang Pokok Agraria. Pada
tahun 1957 Panitia Negara Urusan Agraria berhasil menyelesaikan tugasnya. Beberapa poin
penting dari rancangan Undang-Undang yang dibuat oleh panitia ini adalah:
Dengan beberapa perubahan, rancangan Panitia Negara Urusan Agraria diajukan oleh Menteri
Agraria Soenarjo kepada Dewan Meneri pada tanggal 14 Maret 1958 dan disetujui oleh Dewan
Menteri pada tanggal 1 April 1958. Rancangan tersebut kemudian diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat melalui Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.
Karena rancangan Soenarjo disusun dengan dasar Undang-Undang Dasar Sementara, maka
rancangan tersebut ditarik dengan Surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No.
1532/HK/1960. Kemudian diajukan rancangan Undang-Undang Pokok Agraria yang telah
disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia.
Rancangan tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo.
Akhirnya pada tanggal 14 September 1960 dengan suara bulat Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong menerima baik rancangan tersebut dan disahkan oleh Presiden Soekarno
menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau
yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) UUPA diundangkan dalam
Lembaran Negara tahun 1960 No. 104 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran
Negara No. 2043, serta mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di Indonesia, hukum agraria diatur
oleh hum kolon dan beberapa undang-undang di masa-masa awal kemerdekaan. Berikut adalah
beberapa undang-undang dan peraturan yang mengatur hukum agrarian belum berlakunya
UUPA:
1. Hukum Tanah 1870: Huk Tanah 1870 merupakan undang-undang yang berlaku di Hindia
Belanda. Undang-undang ini mengatur tentang administrasi tanah dan pemilikan tanah.
Hukum ini memberikan kuasa kepada pemerintah kolonial dalam mengatur dan
memegangah.
2. Tanah Putih: Tanah Putih adalah kebijakanemerintah kolonial yang memberikan tanah
kepada perkebunan-perkebunan besar yang dikuasai pihak asing. Kebijakan ini
menyebabkan banyak tan di Indonesia dikuasai oleh perkebunan dan menyulitkan
masyarakat lokal untuk memiliki dan mengelola tanah.
3. Dekrit Presiden 5 Juli1950: Dekrit ini dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada masa
awal kemerdekaan dan menghapuskan sistem tanah sewa dan mengalih hak atas tanah ke
negara. Namun, dekrit ini kemudian dicabut melalui UU No. 4 Tahun 1960 yang
menggantikannya.
4. UU Agria Dasar 1960: UU ini menjadi undang-undang yang mengatur hukum agraria di
Indonesia sebelum UUPA diterapkan. UU ini mengatur tentang hak-hak atas tanah dan
pemanfaatan tanah, seperti hak milik, hak guna usaha hak pakai.
Meskipun ada beberapa peraturan yang mengatur hukum agraria sebelum UUPA, namun belum
adaentuan yang komprehensif dan menyeluruh seperti yang ditegask dalam UUPA. UUPA
kemudian menjadi landasan hukum utama yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan tanah di
Indonesia.
Perkembangan hukum agraria di Indonesia terus berlanjut untuk mengakomodasi kebutuhan dan
tuntutan masyarakat dalam pengelan tanah yang berkelanjutan adil, dan berkeadilan.
1. Hak atas tanah: UUPA mengatur berbagai hak atas tanah, antara lain hak milik, hak guna
usaha, hak pakai, dan hak pengolaan. Undang-undang ini memberikan jaminan hukum
bagi pemilik tanah dan pemegang hak-hak atas tanah.
2. Pertanahan: UUPA mengatur tentang tata cara perolehan tanah pemindahan hak atas
tanah, pembebasan tanah, penyediaan tanah untuk kepentingan umum, dan perselihan
pertanahan. Tujuannya adalah untuk mengatur penggunaan tanah adil, efisien, dan
berkelanjutan.
3. Perlindungan petani: UUPA memberikan perlindungan hukum bagi petani termasuk
petani kecil dan masyarakat adat yang menggunakan tanah untuk penghidupan mereka.
Hal ini termasuk pengakuan atas hak-hak pemilik tanah usaha tani, kebijakan agraria
mendukung pertanian, serta perlindungan terhadap pemukiman dan fasilitas pertanian.
4. Pendaftaran tanah: UUPA mendorong sistem pendaftaran tanah yang ter dan akurat.
Pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum tentang kepemilikan
dan penggunaan tanah, menghindari sengketaah, serta mendorong investasi di sektor
pertanahan.
5. Reforma agraria: Meskipun UUPA memberikan landasan penting dalam pengaturan
tanah, masih ada dalam redistribusian tanah secara adil dan berkeadilan. Gerakan
reformasi agraria dan redistribusi tanah terus dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak
atas tanah dan mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi dalam kepemilikan tanah di
Indonesia.
Perkangan hukum agraria setelah berlakunya UUPA terusacu pada prinsip keadilan,
keberlanjutan, dan perlindungan hakak masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan
tanah. Perub atau penyesuaian dalam UUPA dapat dilakukan melalui amendemen atau
penerbitan undang-undang baru sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masa.
E. HUKUM ADAT SEBAGAI DASAR AGRARIA MENURUT UUPA
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di Indonesia, hukum adat diak sebagai
salah satu dasar hukumaria. Pasal 6 UUP menyatakan bahwa “hukum adat yang adil dan tidak
bertentangan dengan perkembangan masyarakat dan kesejahteraan umum mempunyai
kedudukan yang sama dengan hukum positif nasional.”
Dalam konteks hukum agraria, pengakuan hukum adat dalam UUPA berarti bahwa adat istiadat
dan aturan tradisional yang berlaku di masyarakat adat dapat dihormati dan diperhatikan dalam
pengaturan kepemilikan, penggunaan, dan pengelolaan tanah mereka. Hal ini mengakui hak-hak
masyarakat adat atas tanah tradisional mereka dan kehidupan mereka yang terkait dengan tanah.
UUPA memberikan kerangka kerja bagi pengakuan hukum adat melal berbagai ketentuan.
Misalnya, UUPA mengatur tentang pemanfaatan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah,
sehinggaasyarakat adat dapat memanatkan tanah mereka sesuai dengan hukum adat. Selain itu,
UUPA juga menyediakan meisme pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat ad
dalam pengelolaan tanah mereka.
Namun, penting untuk dicatat bahwa implementasi pengakuan dan perlindungan hukum adat
dalam UUPA masih memiliki tantangan dan kendala.berapa isu yang muncul meliputi
kesenjangan antara hukum positif dan hukum adat dalam praktik, konflik antara masyarakat adat
dan pihak lain, serta kekurangan sumber daya dan kapasitas untuk mengimplementasikan
perlindungan hukum adat.Pemerintah dan lembaga terkait terus bekerja untuk memperkuat
pengakuan atas hak-hak hukum adat dalam hukum agraria, dengan tujuan untuk mencapai
keadilan, keberlanjutan, dan harmoni antara hukum nasional dan hukum adat.