Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH HUKUM AGRARIA SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN (17

AGUSTUS 1945) SAMPAI 24 SEPTEMBER 1960


Pada tahun 1948, usaha-usaha yang konkret menyusun dasar-dasar Hukum Agraria
yang akan menggantikan Hukum Agraria warisan dari pemerintah kolonial,
diwujudkan dalam bentuk Panitia Agraria.

Panitia Agraria Yogyakarta

Panitia ini dibentuk karena adanya Penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal
21 Mei 1948 No. 16. Panitia Agraria Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo.
Tugas dari panitia ini yaitu untuk memberi pertimbangan kepada pemerintah
mengenai soal-soal hukum tanah pada umumnya; merancang dasar-dasar hukum
tanah yang memuat politik agraria Negara Republik Indonesia; merancang
perubahan, pergantian, pencabutan peraturan-peraturan lama, baik dari sudut
legislative maupun sudut praktik dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan
dengan hukum tanah.
Beberapa usulan asas-asas yang merupakan Hukum Agraria, antara lain :
1)

Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.

2)
Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang
kuat yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
3)

Diadakan penyelidikan dalam peraturan-peraturan Negara lain.

4)
Perlu diadakan penetapan luas minimum tanah untuk menghindarkan
pauperisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang
layak.
5)

Perlunya penetapan luas maksimum

6)
Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan oleh
Sarimin Reksodiharjo.
7)
Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang
penting.

Panitia Agraria Jakarta

Panitia ini dibentuk dengan pertimbangan, Panitia Agraria Yogyakarta tidak sesuai
lagi dengan keadaan Negara. Maka tanggal 19 Maret 1951 melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 36/1951 Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan
dibentuk panitia baru yang berkedudukan di Jakarta, panitia ini masih diketuai oeh
Sarimin Reksodiharjo. Pada dasarnya tugas panitia ini hamper sama dengan Panitia
Agraria Yogyakarta.
Kesimpulan panitia mengenai soal tanah untuk pertanian kecil (rakyat), yaitu :
8)

Mengadakan batas minimum.

9)

Ditentukan pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga.

10)
Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga
Indonesia.
11)
Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum : hak milik, hak
usaha, hak sewa dan hak pakai.
12)
Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai
dengan pokok-pokok dasar Negara.

Panitia Soewahjo

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55/1955 pada tanggal 29 Maret
1955 dibentuklah Kementrian Agraria yang tugasnya mempersiapkan pembentukan
perundang-undangan agrarian nasional.
Pada masa jabatan Menteri Agraria Goenawan melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia tanggal 14 Januari 1956 No. 1/1956. Panitia Agraria Jakarta dibubarkan
dan dibentuk panitia baru yang diketuai Soewahjo Soemodilogo.
Tugas utamanya mempersiapkan rencana undang-undang Pokok Agraria yang
nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.
Tahun 1957 panitia telah berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-Undang
Pokok Agraria, pokok-pokoknya adalah :
13)
Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus
ditundukkan pada kepentingan umum (Negara).
14)

Asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara.

15)

Dulisme hukum agraria dihapuskan.

16)
Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi
sosial, ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
17)

Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warganegara Indonesia.

18)
Perlunya diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah
yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum.
19)
Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh
pemiliknya.
20)

Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.


Rancangan Soenarjo

Dengan adanya perubahan mengenai sistematika dan rumusan beberapa pasal.


Rancangan panitia Soewahjo tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo.
Rancangan Soenarjo telah dibicarakan dalam sidang pleno DPR pada tingkat
Pemandangan Umum babak pertama.

Untuk melanjutkan pembahasannya DPR membentuk suatu panitia ad-hoc. Sejak itu
pembicaraan RUU UUPA dalam sidang pleno menjadi tertunda dan ditarik kembali
oleh kabinet.

Rancangan Sadjarwo

Dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan UndangUndang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo. Rancangan
tersebut disetujui oleh Kabinet Inti dan Kabinet Pleno dan diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Rancangan Sadjarwo secara tegas menggunakan Hukum Adat sebagai dasarnya,
berbeda dengan rancangan Soenarjo yang tidak tegas konsepsi yang melandasinya.

Pengesahan dan pengundangan

Setelah selesai dilakukannya pembahasan dan pemeriksaan pendahuluan, pada


tanggal 14 September 1960 dengan suara bulat DPR-GR menerima baik Rancangan
UUPA yang diajukan oleh Sadjarwo.
Pada tanggal 24 September 1960 Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui
DPR-GR tersebut disyahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang No. 5
tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian disingkat dengan
nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

B. MASA SEJAK PROKLAMASI S/D UU NO. 5 / 1960 DI UNDANGKAN


Terdapat sejumlah UU antara lain :
UU no. 13/1946 yaitu penghapusan hak istimewa dari desa Verdikan di Banyumas.
UU. Bo. 13/1948 yang mencabut VGM yang berlaku di Surakarta dan yogyakarta.
UU. No. 5/1950 yang merupakan pelengkap UU no. 13/1948 menjelaskan hak
konversi dihapus secara tuntas :
a.

Tanah untuk perkebunan dataran rendah dikembalikan kepada desa

b.

Tanah untuk perkebunan pegunungan menjadi tanah negara.

UU. No. 1/1958 tentang penghapusan tanah partikulir kepada pemiliknya dikenakan
ganti rugi.
Yang dimaksud tanah partikulir adalah tanah eigendom dengan hak istimewa yang
bersifat kenegaraan (land heerlijke rechten).
PP no. 18/1958 sebagai pelaksana UU no. 1/1958.
UU no. 6/1952 yang mengganti UU no. 6/1951, tentang sewa tanah untuk menanam
tebu.

UU no. 24/1954 tentang perbuatan pemindahan hak atas tanah yang timbul pada
hukum eropa harus seizin menteri kehakiman dan UU no. 76/1957 wewenang
menteri kehakiman dialihkan ke menteri agraria.
UU no. 28/1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas perkebunan.
UU no. 29/1956 tentang peraturan tindakan atas perkebunan.
UU no. 78/1957 tentang perubahan CANON, CIJSN, yang dimaksud dengan CANON
adalah uang yang wajib dibayarkan oleh pemegang Erfprach (HGB) setiap tahun
kepada negara., sedangkan CIJSN adalah uang wajib dibayarkan oleh hak
pemegang konsensi perkebunan besar.
UU no. 51 PrP 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau
kuasanya ada ancaman tanah yang tidak selalu dibenarkan.

Anda mungkin juga menyukai