Anda di halaman 1dari 11

Nama : Eval Frayoga

NIM : 2121609010
Prodi : Hukum Tata Negara
Matkul : Hukum Agraria dan Perwakafan
Semester : IV

RANGKUMAN SEJARAH PERTAHANAN PADA MASA


SESUDAH KEMERDEKAAN DAN MASA REFORMASI
SEJARAH PERTANAHAN PADA MASA SESUDAH
KEMERDEKAAN
DAN MASA REFORMASI

A. Sejarah Pertanahan Masa sesudah Kemerdekaan

1. Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

Politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan


hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum
penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga
golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S. (Indische
Staatsregeling) yakni :

a. Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya;

b. Golongan Timur - Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan


Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti Arab, India, dan lain-lain;

c. Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri
atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.

Di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis). Pertama,


terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara
seperti yang sudah diuraikan di atas :

a. Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang
sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar
masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat,
mangenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
b. Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa
berlaku Kitab Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (WvK), dengan pengertian, bahwa
bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit
penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai
upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan”
pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada
pula “Burgirlijk Stand tersendiri.

2. Sesudah Tahun 1942.


Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan
pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan
liar;
d. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan
tanah melampaui batas kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria
Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah
setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal,
bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangakan mengenai hak atas tanah
mengenal peristilahan yang lain ;
a. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayat;
b. Hak perorangan atas tanah :
1) Hak milik, hak yayasan;
2) Hak wenang pilih, hak mendahulu;
3) Hak menikmati hasil;
4) Hak Pakai;
5) Hak imbal jabatan;
6) Hak wenang beli.

3. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.


Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 oleh Soekarno - Hatta atas nama Bangsa Indonesia
mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan
sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakat sudah menjadi
hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan
menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk
menduduki tanah.
Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia,
barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat
dengan melakukan hal-hal berikut :
a. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang
mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di
daerah Malang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan
oleh rakyat seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ±
23.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut
perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000
Ha. telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.
b. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua
perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan
kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta
memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan
yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di
daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian,
untuk itu perlu ditertibkan.
c. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah
pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahaya erosi dan
penyerapan air.
d. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan
ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan
ketertiban umum.

Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954


tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat.
Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai
berikut :Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah
pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahaya erosi dan
penyerapan air.
a. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala
sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar
pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;
b. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka
1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan
tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan
memperhatikan :

1) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan


yangbersangkutan;
2) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan
perekonomian negara.
Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh
rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan
pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang
Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.

Upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah


membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-
undangan sebagai berikut :

a. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan


Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan
Nasionalisasi.

b. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan


Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.

c. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan


Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.

d. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga


negara Belanda yang kembali ke negerinya.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan


Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah
Indonesia merdeka, yaitu :

1. Menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru.

Dalam pelaksanaan hukum agraria didasarkan atas kebijaksanaan


baru dengan memakai tafsir yang baru pula yang sesuai dengan jiwa
Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. tafsir baru di sini,
contohnya adalah menegenai hubungan domein verklaring, yaitu
negara tidak lagi sebagai pemilik tanah, melainkan negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.

2. Penghapusan hak-hak konversi..

Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat adalah


lembaga konversi yang berlaku di karasidenan Surakarta dan
Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah dianggap milik raja. Rakyat
hany sekedar memakainya, yang diwaibkan menyerahkan sebagian
dari hasil tanah itu kepada raja, jika tanah itu tanah pertanian atau
melakukan kerja paksa, jika tanahnya tanah perkarangan. Kepada
anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang berjasa atau seti
kepada raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini
disertai pula pelimpahan hak raja atau sebagian hasil tanha tersebut di
atas. Mereka pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan
setelsel apanage.

3. Penghapusan tanah pertikelir.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang


Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik
partikelir atas tanahnya dan hak-hak pertuanannya hapus, dan tanah
bekas partikelir itu karena hukum seluruhnya serentak menjadi tanah
negara. Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada hakikatnya
merupakan pencabutan hak, dan kepada pemilik tanah partikelir
diberikan ganti kerugian. Tanah partikelir dinyatakan hapus jika
pembayaran ganti kerugian telah sesuai.

4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat.


Peraturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusahaan
perkebunan beda khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli
pada umumnya sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S.
untuk Jawa dan Madura diatur dalam dua peraturan, yaitu Grondhuur
Ordonantie S.
Setelah Indonesia merdeka, kedua peraturan tersebut diubah
dengan ditambahkan Pasal 8a dan 8b serta Pasal 15a dan 15b oleh
Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1951. undang-undang
Darurat ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6
Tahun 1952. Dengan penambahan pasal-pasal tersebut, maka
persewaan tanah rakyat untuk tanama tebu dan lain-lainnya yang
ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya diperbolehkan paling lama 1
tahun atau 1 tahun tanaman. Adapun besar sewanya ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri, kemudian oleh Menteri Agraria. Dengan
demikian, rakyat tidak lagi dirugikan karena besar dan jumlah sewanya
disesuaikan dengan tingkat perkembangan harga pada saat itu dan
waktunya hanya untuk 1 tahun tanaman.

5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.


Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 yang
menetapkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang
Pemindahan Tanah-tanah dan Barang-barang Tetap Lainnya yang
Tunduk Pada Hukum Eropa, dinyatakan bahwa sambil menunggu
pengaturan lebih lanjut unutk sementara untuk setiap serah pakai lebih
dari 1 tahun dan perbuata-perbuatan yang berwujud pemindahan hak
mengenai hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang
tunduk pada hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat
ijin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76
Tahun 1957 izinnya dari Menteri Agraria).

6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan


Atas dasar Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956, Menteri
Agraria dan Pertanian berwenanga melakukan tidakan-tindakan agar
tanah-tanah perkebunan yang mempunyai sifat sangat penting dalam
perekonomian negara diusahakan dengan baik. Dalam undang-undan gini
juga ditetapkan bahwa pemegang erfacht, eigendom dan hak kebendaan
lainnya yang sudah mengusahakan kembali perusahaan-perusahaan, wajib
melakukan segala sesuatu yang perlu untuk memulai atau meneruskan
usahanya secaa layak menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri
Pertanian.

7. Kenaikan Canon dan Cijn.


Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh pemgang hak erfacht
setiap tahunnya kepada negara, sedangkan cijn adalah uang yang wajib
dibayar oleh pemegang konsesi perusahaan perkebunan besar. Pada
umumnya, ccnon dan cijn dulu tidak besar jumlahnya, karena terutama
dianggap sebagai tanfa pengakuan hak pemilik tanah yang dikuasainya
dengan hak erfacht atau konsesi.
Setelah Indonesia merdeka, sebgaian besar tanah-tanah perkebunan sudah
dibuka dan diusahakan, sehingga uang wajib yang harus dibayar setiap
tahunnya itu fungsi atau sifatnya lain, yaitu sebagai sewa pemakaian tanah.
Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957 tentang Perubahan Canon
dan Cijn Atas Hak-hak Erfacht dan Konsesi guna perkebunan besar
ditetapkan bahwa selambat-lambatnya 5 tahun sekali uang wajib tahunan
ini harus ditinjau kembali.
8. Larangan dan penyelesaian soal pemakaiantanah tanpa izin
Untuk mencegah meluasnya pemakaian tanah-tanah perkebunan
oleh rakyat tanpa izin pengusahanya dan untuk menyelesaikan soal
pemakaian tanah yang sudah ada, maka dikeluarkanlah Undang-undang
Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah
Perkebunan Oleh Rakyat. Undang-undang darurat ini diubah dan ditambah
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961.
Ketentuan mengenai larangan pemakaian tanah ranpa izin yang berhak
atau kuasanya diatur oleh Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960.
undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1961.
Dalam Pasal 2 jo. Pasal 6 Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960
dinyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya
yang saha adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman
pidana, tetapi tidak selalu penunutan pidana. Menurut Psal 3 jo.

9. Peraturan perjanjian bagi hasil.


Perjanjian bagi hasi adalah salah satu bentuk perjanjian antara
pemilik tanah dengan pihak lain sebagai penggarap, di mana penggarap
diperkenankan untuk mengusahakan tanah itu dengan pembagian hasilnya
menurut imbalan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Perjanjian bagai hasil semula diatur menurut hukum adat setempat.
Imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah
pihak. Pada umumnya, pembagian hasil tersebut tidak menguntungkan
pihak penggarap, karena tanah yang tersedia untuk dibagi hasilkan tidak
seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan.

10. Peralihan tugas dan wewenang agraria.


Setelah Indonesia merdeka sampai dengan 1955 urusan agraria
berada dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri. Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria
yang berdiri sendiri yang terpisah dari Kementerian Dalam Negeri. Dalam
Keputusna Presiden Nomor 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa Jawatan
Pendafataran Kehakiman semula masuk dalam lingkungan Kementerian
Kehakiman dialihkan dalam lingkungan Kementrian Agraria.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958 ditetapkan pengalihan
tugas dan wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri
Agraria, serta pejabat-pejabat di daerah. Dengan keluarnya undang-undang
tersebut, maka lambat laun terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi,
karasidenan, dan kabupaten/kotamadya.

B. Hukum Agraria Masa Reformasi


a. Sejarah Penyusunan UUPA
b. Perjalanan panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh
lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria
Jakarta, Panitia Rancangan Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan
Rancangan Sadjarwo.
1. Panitia Rancangan Yogyakarta 1948
a. Dasar Hukum
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948
tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini
bertugas anatara lain :
 Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai
hukum tanah pada umumnya;
 Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia
Republik Indonesia;
 Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan
lama tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik
Indonesia sebagai negara yang merdeka;
 Menyelidiki soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.

b. Asas – Asas yang Menjadi Dasar Hukum Agraria


Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang akan merupakan
dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu :
 Meniadakan asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat;
 Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan
yang dapat dibebani hak tanggungan;
 Mengadakan penyelidikan terutama di negara tetangga tentang
kemungkinan pemberian hak milik atas tanah kepada orang asing;
 Perlu diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi apra petani
kecil untuk dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar;
 Perlu adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan
untuk pulau Jawa 10 hektar, tanpa memandang macamnya tanah, sedang
di luar Jawa masih diperlukan penelitian lebih lanjut;
 Perlu diadkan registrasi tanah milik dan hak-hak lainnya.

c. Keanggotaan Panitia.
Panitia Yogyakarta beranggotakan sebagai berikut :
 Para pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan;
 Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
 Para ahli hukum, wakil-wakil daerah dan ahli adat;
 Wakil dari dari sarikat buruh perkebunan;

2) Panitia Rancangan Jakarta 1951


a. Dasar Hukum
Panitia Yogyakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor : 3
6 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dubentuk Panitia
Agraria Jakarta yang berkedudukan di Jakarta.
b. Keanggotaan
Panitia Jakarta beranggotakan :
 Ketua : Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti oleh
Singgih Praptodihardjo (Wakil Kepala Bagian Agraria Kementerian
Agararia);
 Pejabat-pejabat kementerian;
 Pejabat-pejabt jawatan; dan
 Wakil-wakil organisasi tani.

c. Usulan dari Pemerintah


Dalam laporannya panitia ini mengusulkan beberapa hal dalam hal
tanah pertanian, sebagai berikut :
1) Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengna
mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya
hukum adat dan hukum waris;
2) Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak
sewa, dan hak pakai;
3) Pertanian rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak
dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak
dapat mengerjakan tanah rakyat;
4) Bagunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha, hak
sewa, dan hak pakai;
5) Pengaturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan
suatu undang-undang.

d. Panitia Soewahjo 1956


Panitia Soewahjo 1956
Guna mempercepat proses pembentukan undang-undang agraria
nasional, maka dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia
tertanggal 14 Januari 1956 Nomor : 1 Tahun 1956, berkedudukan di
Jakarta, diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal
Kementerian Agraria. Tugas utama panitia ini adalah mepersiapkan
rencana undang-undang pokok agararia yang nasional, sedapat-
dapatnya dalam waktu satu tahun.

b) Rancangan Undang - Undang


Panitia ini berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-undang Pokok
Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang pada berisi :
 Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus
ditundukkan pada kepentingan umum (negara);
 Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan
Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950;
 Dualisme hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan
hukum yang akan memuata lembaga-lembga dan unsur-unsur yang baik,
baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum barat;
 Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi
sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
 Hak milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang tidak
diadakan pembedaan antara waraga negara asli dan tidak asli. Badan-
badan hukum pada asasnya tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah;
 Perlu diadakan penetapan batan maksimum dan minimum luas tanah yang
boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum;
 Tanah pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan diushakan sendiri oleh
pemiliknya;

4) Panitia Soenrjo 1958


a) Dasar Hukum
Melalui beberapa perubahan terhadap hasi kerja panitia Soewahjo, Menteri
Agararia Soenarjo mengajukan kepada Dewan Menteri dalam sidang
tanggal 1 April 1958, kemudian diajukan ke DPR dengan amanat Presiden
tanggal 24 April 1958 Nomor 1307/HK/1958. Rancangan Soenarjo
dibicarakan dalam sidang pleo DPR pada tingkat pemandangan umum.
b) Pandangan Umum pada Sidang Umum DPR
Pandangan umum babak pertama disampaikan oleh Menteri Soenarjo
dalam sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958
1) Pembahasan DPR mengumpulkan panitia Ad.Hoc yang di Ketuai oleh
AM. Tambunan (UGM)
2) Seksi Agraria yang di Ketuai oleh Notonagor
3) Ketua MA Wirjono Prodjodikoro

5) Panitia Rancangan Soedjarwo 1960

a. Dasar Hukum

Rancangan Soenardjo yang masih menggunakan dasar UUDS 1950,


ditarik oleh Pemerintah dengan Surat Pejabat Presiden 23 Mei 1960
Nomor 15/HK/1960. Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan
Manifesto Politik RI (Pidato Soekarno 17 Agustus 1959), dalam bentuk
yang lebih sempurna dan lengkap, diajukanlah RUU Agraria yang baru
oleh Menteri Agraria Soedjarwo. Rancangan tersebut disetujui oleh
Kabinet inti dalam sidang nya 22 Juli 1960 dan dalam sidang kabinet 1
Agustus 1960.

Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 Nomor 2584/HK/1960,


rancangan tersebut diajukan kepada DPR-GR, berbeda dengan rancangan
Soenadjo yang tidak tegas konsepsi yang melandasinya. Rancangan
Soedjarwo menggunakan hukum adat sebagai dasarnya.

 Pembahasan intensif dalam komisi – komisi yang sifatnya terttutup

 Hasil Kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR – GR

 Sidang pleno tiga kali sidang yaitu tanggal 12 – 14 September 1960

 Pandangan Umum hanya dilakukan dalam satu kali sidang

 Tanggal 14 September 1960 pemeriksaan pendahuluan selesai


dilaksanakan dengan suara bulat anggota DPR – GR menerima RUU
tersebut.

 Tanggal 24 September 1960 RUU telah disetujui DPR – GR disahkan oleh


Presiden menjadi UU Nomor 5 Tahun 1960 menjadi UU yaitu UUPA
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok – Pokok Agraria (LN
1960; 104 dan TLN 1960 : 2043)

Anda mungkin juga menyukai