Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM AGRARIA

DI INDONESIA

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Hukum Agraria

Dosen Pengampu : Bapak Hasanain Haikal Hadining

Disusun :

Nur Latifah 1802056001

Zulfa Aziza 1802056002

Nurul Komariah 1802056003

Alivia Vabesta 1802056005

ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan politik hukum agraria ?
2. Bagaimana sejarah berlakunya politik hukum agraria di Indonesia ?
3. Apa landasan dasar politik hukum agraria ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Agraria Kolonial


Dari segi berlakunya, Hukum agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 yaitu
Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku
sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960 dan Hukum
agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA. 1
1. Hukum Agraria sebelum kemerdekaan , berikut ini diantaranya :
a. Agrarische Wet 1870 :
Agrarisch wet adalah undang-undang yang dibuat di negara Belanda
pada tahun 1870. Agrarisch wet 1870 diundangkan dalam S 1870-55 sebagai
tambahan ayat baru pada pasal 62 Regerings Reglement Hindia Belanda tahun
1854. Pasal 62 RR kemudian menjadi pasal 51 Indische Staatsregeling (IS)
pada tahun 1925.2 yang isinya sebagai berikut :
 Gubernul jenderal tidak boleh menjual tanah
 Dalam larangan diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas,
yang diperuntukan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan
kegiatan-kegiatan usaha kerajinan.
 Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan yang
ditetapkan menurut ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan
adalah tanah-tanah kepunyaan pribumi asal pembukaan hutan,
demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat pengembalaan umu
atau atas dasar lai merupakan kepunyaan desa.

Agrarische Wet lahir atas desakan pengusaha besar swasta, hal ini dikarenakan
pada sejak tahun 1830 tengah giat-giatnya dilaksanakan cultuur stelse (peraturan
tanam paksa) kemudia pengusaha swasta untuk memperoleh tanah perkebunan dalam
jumlah yang besar sangat terbatas. Sementara politik monopoli negara dalam
pengusahaan tanaman-tanaman ekspor, bagi pengusaha-pengusaha swasta yang belum
memiliki tanah sendiri yang luas dengan hak eigendom, dengan sebutan “tanah
patikelir” tidak ada kemungkinan untuk memperoleh tanah yang diperlukannya
dengan hak yang kuat dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Satu-satunya yang
1
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 13
2
Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,2015),Hlm. 24-25
boleh dilakukan hanya diadakan dengan jangka waktu paling lama 20 tahun, kecuali
untuk tanaman kelapa yang jangka waktunya boleh sampai 40 tahun.3

Persewaan tanah didasarkan pada ketentuan pasal 62 RR 1854, termyata tidak


dapat membawa perkembangan yang besar bagi perusahaan yang besar Hindia
Belanda karena jangka waktunya sangat pendek 20 tahun. Lagi pula tanah sewaan
tidak dapat dijadikan jaminan hypotheek, karena hak sewa tidak dapat dijadikan
jaminan. Demikian juga pengusaha besar tersebut tidak dimungkinkan untuk
memperoleh hak erfpacht. Karena peraturan hanya membolehkan dengan hak sewa
saja. Menyewa tanah kepada rakyatpun tidak mungkin karena menurut Bijblad nomor
148 penjualan maupun persewaan tanah rakyat kepada non pribumi dilarang, hanya
boleh dilakukan membuat perjanjian dengan rakyat untuk menanam tanaman-tanaman
tertentu dan hasilya dijual kepada pengusaha.

Tujuan Agrarische Wet yang utama adalah utuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha agar dapat berkembang di Hindia
belanda. Jadi memberikan dasar bagi berkembangnya perusahan-perusahaan besar
swasta. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka ada beberapa kebijakan pemerintah,
yaitu:

 Pengusaha-pengusaha swasta tersebut diberikan untuk membuka tanah-tanah


hutan untuk perkebunan besar dengan erfpacht berjangka waktu sampai 75 tahun,
dan hak ini dapat dibebai dengan hypoteek sehingga terbuka kemungkinan
pengusaha untuk mendapat kredit dengan jaminan hak atas tanah tersebut.
 Membuka kemungkinan menggunakan tanah kepunyaa rakyat atas dasar sewa
bagi perusahaan-perusahaan kebun besar tanah datar, terutama perusahaan gula
dan tembakau.

b. Agrarische Besluit
Agrarische Besluit (koninklijke besluait) S 1870-118 hanya berlaku
untuk jawa dan madura. Hal pokok yang sangat penting dalam pelaksanaan
Hukum Adminstratif Hindia Belanda adalah persyaratan “domein verklaring”
yang merupakan asas yang tertuang dalam pasal 1 agrarische besluit yang
menyatakan: “bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan

3
Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2015),Hlm. 26
sebagai hak eigendom nya adalah domein (milik) negara”. Asas ini dinilai oleh
bangsa indonesia kurang menghargai, bukan memperkasai hak-hak rakyat atas
tanah yang bersumber pada hukum adat.4
Fungsi domein verklaring dalam praktik pelaksanaan perundang-
undangan pertanahan adalah:
 Sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili negara sebagai pemilik
tanah untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam
KUHPerdata, seperti hak erfpacht, hak opstal, dan lainnya.
 Dibidang pembuktian pemilikan, setiap tanah harus ada pemiliknya,, dan setiap
pemilik tanah harus dapat membuktikan kepemilikan hak atas tanahnya, akalu
tidak maka tanah tersebut dalah tanah milik negara.
 Hukum Tanah yang Dualistik : Akibat dari politik hukum pertahanan hindia
belanda, maka hukum pertanahan berstruktur ganda atau dualistik, yaitu disatu
pihak berlaku hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat dan dilain
pihak berlaku hukum tanah barat yang pokoknya ketentuannya terdapat dalam
buku II KUHPerdata, yang merupakan hukum tertulis.
Dengan demikian dibidang penguasaan dan pemilikan tanah terdapat
perbedaan hukum yang berlaku. Untuk golongan eropa dan yang dipersamakan
dengan itu dan golongan timur asing berlaku hukum tanah barat yang berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam buku II KUHPerdata. Sedangkan untuk golongan
Bumi putera (pribumi) berlaku hukum tanah adat yang bersumber pada hukum
adat. Sehingga terdapat adanya tanah-tanah yang dikuasai dan di haki dengan hak-
hak atas tanah berdasarkan hukum tanah barat (KUHPerdata).

2. Hukum agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.


UUPA merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat (3)UU 1945 sebagaimana yang
dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar ketentuan dalam pasal 33
ayat (1), “ Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak
memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria colonial, dan kedua membangun
hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono,dengan berlakunya UUPA , maka

4
Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2015),Hlm. 2
terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama
hukum dibidang pertanahan.
UUPA merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena
didalamnya memuat program yang dikenal dengan panca program agraria reform
Indonesia, diantaranya :
 Pembaruan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional
dan pemberian jaminan kepastian hukum.
 Penghapusan hak-hak asing dan konsepsi colonial atas tanah
 Mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur.
 Perombakan pemilikkan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang berhubungan dengan pengusahaan tanah mewujudkan
pemerataan kemakmjran dan keadilan , yang kemudian dikenal sebagai
program landreform.
 Perencanaan persediaan dan peruntukkan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalmnya serta penggunaanya secara terencana, sesuai dengan
daya dukung dan kemampuannya. 5

Negara Republik Indonesia telah meletakkan landasan dasar politik hukum


Agraria Nasional, sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945, yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.

Dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD ini menunjukan sifat imperatif,
karena mengandung perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya, yang diletakan dalam penguasaan negara itu
dipergunakan sebesar-besarnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sehingga dengan berlakunya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maka
dengan sendirinya Domein Verklaring sebagaimana yang dimuat dalam
Agrarische Besluit Stb. 1970 Nomor 118, yang menyatakan bahwa negara
sebagaimana pemilik atas tanah diseluruh wilayah Indonesia sepanjang pihak
(orang) tidak dapat menunjukkan tanda bukti haknya, menjadi berlaku.

5
Soerapto, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek, (Jakarta : Universitas Indonesia pers ), 1986
Perkataan “menguasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukanlah berarti
dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberikan wewenang kepada
Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada
tingkatan tertinggi:

 Mengatur dan menyelegarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.

B. Politik Agraria
Politik hukum agraria adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengatur
peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsur-unsur agraria yang
meliputi bumi, air, dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan
dalam kebijakan policy yang tertuang dalam kaidah-kadah hukum agraria.
Sedangkan politik hukum agraria yang ada di Indonesia apabila dilihat dari
aspek kesejarahan ternyata melalui perkembangan yang panjang jauh sebelum
berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Diantara masa
itu adalah masa penjajahan Belanda. Pada masa-masa tersebut, politik hukum agraria
cenderung tidak berpihak pada kepentingan masyarakat melainkan sangat
menguntungkan bagi kepentingan kaum penjajah. Hal ini karena ketentuan-ketentuan
tersebut bersifat diskriminatif dan menindas bangsa Indonesia, terlebih dengan adanya
politik tanam paksa.6
Dasar politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil
bumi/ bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian di jual dengan
harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya ialah untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai penguasa
kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh
pengusaha-pengusaha belanda dan eropa.7
6
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria Pertanahan Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004), Hlm.13
7
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 25
Sistem kolonial ditandai oleh empat ciri pokok yaitu :
1. Prinsip dominasi terwujud dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas
terhadap penduduk bumi pribumi yang mayoritas. Dominasi ini di topang oleh
krunggulan militer kaum penjajah dalam menuasai dan memerintah penduduk
pribumi.
2. Ekspliotasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan
negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk
diserahkan kepada pihak penjajah.
3. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai
bangsa yang superior, sedangkan penduduk pribumi dijajah dipandang sebagai
bangsa yang rendah dan hina.
4. Dispensasi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadap penjajah. Masyarakat
terjajah makin bergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologi,
pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.8

Politik agraria kolonial dimuat dalam Agrarische wet stb.1870 No. 55, yang
mengandung dua maksud yaitu memberikan kesempatan kepada perusahaan-
perusahaan pertanian swasta untuk berkembang di Hindia-Belanda (Indonesia),
disamping itu melindungi hak-hak rakyat Indonesia atas tanahnya.9

Ada dua tujuan politik agraria kolonial yang dijelmakan dalam Agrarische
Wet, yaitu :

1. Tujuan Primer, memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing)


mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah untuk waktu yang cukup
lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Dismaping itu untuk
memungkinkan orang asing (bukan bumiputra) menyewa atau mendapat hak
pakai atas tanah langsung dari oranga bumiputra, menurut peraturan-peraturan
yang ditetapkan oleh ordonansi. Maksudnya adalah memungkinkan
berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing.
2. Tujuan Sekunder, melindungi hak penduduk bumiputra atas tanahnya, yaitu :
 Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak bumiputra

8
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 25
9
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 26
 Pemerintah hanya boleh mengambil tanah bumiputra apabila diperlukan
untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari
pihak atasan dengan memberi ganti rugi
 Bumiputra diberi kesempatan mendapat hak atas tanah yang kuat, yaitu
eigendom bersyarat (agrarische eigendom)
 Diadakan peraturan sewa menyewa antara bumiputra dengan bukan
bumiputra

Dalam perjalanan berlakunya Agrarische wet terjadi terhadap tujuan


sekundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik orang bumiputra langsung
kepada orang-orang belanda atau eropa lainnya. Untuk memberi perlindungan hukum
terhadap tanah-tanah milik bumiputra pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa
Grond vervreemdingsverbod Stb.1875 No. 179
Grond Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat
dipindahkan oleh orang-orang indonesia asli kepada bukan indonesia asli dan oleh
karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung adalah batal karena hukum.10
Dikeluarkan Agrarische Besluit Stb.1870 No.118. yang terpenting dalam
Agrarische Besluit ini adalah pasal 1 yang terkenal dengan nama domein verklaring
(pernyataan kepemilikan/domein). Dengan adanya pernyataan domein ini, maka
hubungan antara negara dan tanah bersifat langsung. Negara sebagai subjek
disamakan dengan perseorangan, sehingga hubungan ini bersifat privat rechtelijk,
yaitu negara sebagai pemilik tanah.
Dengan dikelurkan pernyataan domein ini, maka semua tanah yang ada
diwilayah hindia-belanda (Indonesia) adalah domein (milik) negara, karena penduduk
bumiputra tidak memiliki hak eigendom. Hak atas tanah yang dikenal oleh penduduk
bumiputra adalah hak menurut Hukum Adat yang bersifat tidak mutlak.11
Untuk membedakan tanah yang ada hak-hak penduduk bumiputra dan tanah
yang belum dibuka, maka pemerintah Hindia-Belanda menetapkan domein negara
dibagi dua macam, yaitu :
 Vrij landsdomein (tanah negara yang bebas), artinya di atas tanah tersebut
tidak ada hak-hak penduduk bumiputra.
10
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 27
11
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 27
 Onvrij landsdomein, arttinya di atas tanh tersebut sudah ada hak-hak
penduduk bumiputra maupun desa.
Atas dasar adanya pernyataan domein tersebut, maka pemerintah Hindia-
Belanda mulai mengatur penggunaan dan hak-hak atas tanah untuk kepentingan
ekonominya yang dasar hukumnya diletakkan dalam Agrarische wet.12 Dalam
politik agraria kolonial, pernyataan domein digunakan untuk keperluan:
a. Memberi hak atas tanah seperti diatur dalam Burgerlijk wetboerk
b. Memberi hak-hak atas tanah menurut hukum adat
c. Untuk mempertahankan hak pemerintah karena siapa saja yang mengaku
mempunyai hak eigendom harus dapat membuktikan haknya. Jadi, bukam
pemerintah yang harus membuktikan hak atas tanah tersebut.
Menurut Imam Soetiknjo, struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik
agraria kolonial apabila :
a. Dipandang dari sudut hukumnya
Tidak ada kesatuan hukum
1) Ada dua macam hukum (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa
dan diberlakukan di Hindia-Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan Hukum
Adat penduduk bumiputra
2) Hukum adat di Indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di berbagai daerah
(pluralisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak bertentangan
dengan politik agraria penjajah
3) Ada hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi juga bukan hukum barat,
yaitu hak agraris eigendom13

b. Dilihat dari sudut subjeknya


Tidak ada kesamaan status subjek
1) Ada pemegang hak yang orang bumiputra, ada yang bukan orang bumiputra
yang sistem hukumnya berbeda
2) Yang bukan bumiputra ada :
 Orang asing bangsa eropa/barat
 Oarang keturunan asing

12
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 28
13
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 29
 Orang timur asing14

c. Dilihat dari yang menguasai / memiliki tanah


Tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara manusia dengan tanah
1) Ada golongan besar manusia (petani) yang tidak mempunyai tanah atau yang
mempunyai tanah yang sangat sempit
2) Dilain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing, tuan
tanah, pemilik tanah partikelir) yang memiliki/menguasai tanah luas.15

d. Dilihat dari sudut penggunaan tanah


Tidak ada keseimbangan dalam penggunaan tanah
1) Tanah di Jawa dan madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan
2) Diluar Jawa, Madura, dan Bali masih ada tanah luas yang belum/diusahakan.

e. Dilihat dari sudut tertib hukum


Tidak ada tertib hukum
1) Penjajah Jepang mengambil tanah rakyar atau tanah/rumah orang asing yang
mengungsi atau ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada diatasnya
2) Rakyat sendiri juga menduduki tanah perkebunan, perkarangan bahkan rumah
orang asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah16

14
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 29
15
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 29
16
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 30
Setelah Negara Republik Indonesia merdeka dan berdaulat pada tanggal 17
Agustus 1945, maka politik hukum agraria sedikit demi sedikit dilakukan perubahan
dan perbaikan dari ketentuan Hukum Agraria Nasional. Pada masa Hukum Agraria
Nasional, politik hukum agraria ditentukan dengan masa sebelum diundang
undangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria; dan masa
diberlakukannya UUPA sampai sekarang.17

Politik Hukum Agraria Nasional harus ditunjukkan kepada kebahagiaan dan


kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan falsafah bangsa, yaitu Pancasila yang
kemudian politik Hukum Agraria Nasional dijelmakan dalam sebuah aturan undang-
undang untuk dijadikan dasar hukum bagi pelaksanaan politik agraria tersebut,
dengan kosekuensi harus dapat melenyapkan dualisme hukum dalam pemberlakuan
politik agraria, sehingga kepentingan dalam pola pemikiran, penguasaan, dan
penggunaan tanah seta kesengsarran petani tidak akan terulang kembali pada masa-
masa kemerdekaan ini yang sesuai dengan tujuan cita-cita pada politik hukum
agraria.18

17
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Presektif Sejarah, (Bandung: PT Reflika Aditama,2007), Hlm.38
18
Muchsin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Presektif Sejarah, (Bandung: PT Reflika Aditama,2007), Hlm.40
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum agraria di Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu Hukum agraria Kolonial
yang berlaku Pra Kemerdekan bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA dan
Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA. Hukum
Agraria Nasional adalah sebagai salah satu bidang hukum yang merupakan alat untuk
mewujudkan tujuan cita-cita Negara Indonesia. Tujuan politik Hukum Agraria
Nasional berbeda dengan tujuan politik Hukum Agraria Kolonial. Jika tujuan politik
Hukum Agraria Kolonial jelas berorientasi pada kepentingan penguasa kolonial itu
sendiri, sedangkan politik hukum Agraria Nasional merupakan alat bagi
pembangunan masyarakat Indonesia yang sejahtera, bahagia, adil, dan makmur.
DAFTAR PUSTAKA

Arba . 2015 . Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Chomzah, Ali Achmad . 2004 . Hukum Agraria Pertanahan Indonesia Jilid 1. Jakarta:
Prestasi Pustaka

Muchsin . 2007 . Hukum Agraria Indonesia Dalam Presektif Sejarah . Bandung: PT Reflika
Aditama

Santoso, Urip . 2014. Hukum Agraria . Jakarta: Prenadamedia Group

Soerapto . 1986 . Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek . Jakarta : Universitas


Indonesia pers

Anda mungkin juga menyukai