Anda di halaman 1dari 6

Sebelum penjajahan

Sebelum penjajah Belanda datang dan memberlakukan sistem hukum kolonial di


Indonesia, bangsa Indonesia sudah mengenal dan mempunyai hukumnya sendiri, termasuk
hukum yang berkaitan dengan sumber daya agraria. Bangsa Indonesia, khususnya,
masyarakat hukum adat di Indonesia sudah mempunyai norma-norma hukum adatnya
sendiri yang mengatur mengenai penguasaan dan penggunaan tanah di dalam lingkungan
wilayahnya masing-masing, termasuk mengenai penguasaan dan penggunaan sumber-
sumber daya agraria yang lainnya, seperti ikan, hutan, dan bahan tambang. Norma-norma
hukum tersebut terhimpun dalam apa yang oleh para ahli disebut dengan Hukum
Pertanahan Adat. Kendati namanya Hukum Pertanahan Adat, namun cakupannya luas,
tidak hanya terbatas pada permukaan yang disebut tanah, tetapi juga lingkungan seisinya
(Soesangobeng, 2003).

Adapun hak-hak keagrariaan pada waktu itu menurut Hukum Pertanahan Adat, dapat
digolongkan atas 2 kelompok/kategori, yaitu:

1. hak yang bersifat komunal, yaitu hak ulaya, Dimana Hak Ulayat merupakan hak
bersama dari masyarakat hukum adat terhadap tanah dan lingkungan seisinya, yang
kewenangan pelaksanaannya berada pada pimpinan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, bisa berupa ketua suku, atau pimpinan masyarakat hukum adat yang
diangkat dengan kewenangan khusus di bidang keagrariaan.
2. hak perorangan, Dimana Hak-hak perorangan meliputi berbagai jenis hak seperti
hak memungut hasil hutan, hak menangkap ikan, hak-hak perorangan atas tanah
yang bervariasi kekuatannya, dari yang paling lemah, seperti hak membuka hutan
untuk dijadikan ladang, hingga yang paling kuat berupa hak milik atas tanah.
semakin kuat hak perorangan, semakin lemah daya berlaku hak ulayat atas bidang
tanah/sumber daya agraria yang bersangkutan.

Selain itu, perlu diperhatikan pula, bahwa dalam hukum adat berlaku asas pemisahan
horizontal yang intinya menyatakan bahwa ada pemisahan antara hak atas tanah dengan
hak atas bangunan atau tanaman yang tumbuh di atas tanah.

Menurut para ahli sifat hukum pertanahan adat ini, yakni:


1. tidak tertulis
2. bersifat plural, dalam arti bahwa norma-norma hukum tersebut berbeda-beda
menurut lingkungan masyarakat hukum adatnya. Setidak-tidaknya, menurut
penggolongan yang dibuat oleh Van Vollenhoven, ada 19 lingkungan hukum adat
(adatrechtskringen) yang terdapat di bumi Nusantara
3. berkonsepsi komunal magis religius
4. di sana sini mengandung sifat feodal juga, dikarenakan sistem kerajaan pribumi
yang juga ada pada waktu itu.

Zaman Penjajahan

Di bidang agraria (pertanahan) pada masa ini, produk hukum yang terpenting adalah
Agrarische Wet 1870. Wet (UU) ini diundangkan dalam S. 1870-55, terdiri atas 5 ayat,
yang ditambahkan pada pasal 62 Regerings Reglement 1854, sehingga pasal 62 RR yang
tadinya terdiri atas 3 ayat, menjadi 8 ayat, Agrarische Wet ini memuat politik agraria
kolonial.

Undang-Undang ini berisi beberapa ketentuan sebagai berikut :

1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah


2. Dikecualikan dari larangan tersebut adalah tanah yang tidak luas, yang
diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan usaha kerajinan
3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan ordonansi; Namun
tidak boleh disewakan, tanahtanah milik adat, juga tanah tempat penggembalaan
umum
4. Berdasarkan ketentuan ordonansi, Pemerintah memberikan tanah dengan hak
erfpacht dengan jangka waktu maksimum 75 tahun
5. Pemberian tanah kepada pengusaha besar tidak boleh melanggar hak-hak rakyat
pribumi
6. Pengambilan tanah rakyat pribumi hanya boleh bagi kepentingan umum, melalui
acara pencabutan hak dan disertai pemberian ganti kerugian yang layak
7. Tanah hak milik adat dari rakyat pribumi, atas permintaan pemiliknya dapat
diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan dan
persyaratan-persyaratan tertentu yang dicantumkan dalam surat eigendomnya,
yakni mengenai kewajiban-kewajibannya terhadap Negara dan desa yang
bersangkutan, demikian juga mengenai kewenangannya untuk menjualnya kepada
non pribumi
8. Persewaan tanah oleh pribumi kepada non-pribumi dilakukan menurut ketentuan
ordonansi

Agrarische Wet lahir atas desakan pengusaha besar swasta. Sebelum 1870, di mana
berlaku cultuur stelsel, negara menerapkan sistem monopoli dan kerja paksa; pengusaha
besar sulit berkembang, karena bagi pengusaha yang belum memiliki tanah yang luas
dengan hak eigendom, satu-satunya cara adalah dengan menyewa tanah dari pemeritah,
padahal jangka waktu sewa ini hanya 20 tahun, sehingga tidak cocok untuk usaha di
bidang perkebunan tanaman keras, dan tanah hak sewa tidak bisa dijadikan jaminan
hypotik. Menyewa tanah dari orang pribumi juga tidak dimungkinkan karena orang
pribumi dilarang menjual atau menyewakan tanah kepada orang non-pribumi. Sejalan
dengan semangat liberalisme yang mulai berkembang, termasuk di Belanda pada waktu
itu, maka lahir tuntutan untuk mengganti cultuur stelsel dan sistem monopoli negara
dengan sistem persaingan bebas berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal. Termasuk dalam
tuntutan ini adalah menetapkan peraturan perundang-undangan agraria yang menunjang
sistem persaingan bebas tersebut.

Ada pun tujuan dari Agrarische Wet adalah untuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di
Hindia Belanda.

Untuk mencapai hal itu, maka disebutkan:

1. Pengusaha swasta bisa memperoleh dari pemerintah tanah luas untuk perkebunan
besar dengan hak erfpacht, yang berjangka waktu sampai 75 tahun.
2. Pengusaha (terutama pengusaha gula dan tembakau) dapat juga menggunakan
tanah kepunyaan rakyat atas dasar sewa.
3. Pemberian tanah dengan hak erfpacht semuanya diatur dengan ordonansi, sehingga
kemudian lahir berbagai ordonansi tentang pemberian hak erfpacht, baik yang
berlaku di Jawa-Madura, maupun di luar Jawa Madura.
4. Persewaan tanah rakyat oleh perusahaan kebun besar diatur pula dengan ordonansi,
yaitu:
a. Grondhuur ordonantie (S. 1918-88), yang berlaku di Jawa Madura, kecuali
Surakarta dan Yogyakarta.
b. Vorstenlands Grondhuur Reglement (S. 1918-20) yang berlaku di daerah
swapraja Surakarta dan Yogyakarta.

Dalam rangka melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam Agrarische Wet


(AW), maka kemudian dikeluarkan berbagai peraturan dan keputusan, antara lain yang
terkenal adalah Agrarisch Besluit (S. 1870-118). Pasal 1 Agrarisch Besluit ini memuat
Domein Verklaring (Pernyataan Domein) yang isinya: “Dengan tidak mengurangi
berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3 AW, tetap dipertahankan asas bahwa semua tanah
yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein
(milik) negara.”

Fungsi Domein Verklaring adalah sebagai berikut:

1. Sebagai landasan hukum bagi Pembeli yang mewakili negara sebagai pemilik
tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHPerd,
seperti erfpacht, hak postal dll
2. Sebagai dasar pembuktian pemilikan (Jika orang atau Badan Hukum berperkara
dengan negara mengenai soal pemilikan tanah, dialah yang membuktikan bahwa
tanah sengketa tersebut adalah miliknya).

Setelah kemerdekaan sampai sebelum UUPA 1960

Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakat sudah menjadi hal yang sangat
komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan
dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah. Sejak pengakuan kedaulatan oleh
Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan
tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut :
1. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yangmengusahakan
tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian.
2. Penertiban tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan karena tidak
cocok untuk usaha pertanian.
3. Pemakaian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut
karena dikuatirkan akan menimbulkan bahaya erosi dan penyerapan air.
4. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan
dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.

Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun1954 tentang :


Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat.Penyelesaian akan
diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :

1. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segalasesuatu dapat
dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antarpemilik perkebunan dengan
rakyat/penggarap;
2. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1(satu) tidak
berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanahperkebunan tersbut
akan mengambil kebijakan sendiri denganmemperhatikan :
a) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yang
bersangkutan;
b) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomian
negara.

Dalam upaya menata kembali hukumpertanahan pemerintah telah membuat kebijakan


dengan mengeluarkanperaturan perundang-undangan sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan


Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap
Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan
Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara
Belanda yang kembali ke negerinya.

Setelah berlakunya UUPA 1960 sampai sekarang

Setelah berlakunya UUPA tahun 1960, semua tanah, baik hak atas tanah yang
berasal dari hukum adat atau hak atas tanah yang berasal dari hukum barat dikonversi
menjadi hak-hak tanah menurut UUPA. Ketentuan konversi ini diantaranya diatur dalam
Bagian Kedua Ketentuan tentang ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA, Keppres No. 32
Tahun 1979 dan Permendagri No. 3 Tahun 1979.

Hak atas tanah yang berasal dari hukum barat dikonversi menjadi hak-hak yang ada
dalam UUPA (Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP) )
dan diberikan jangka waktu untuk dikonversi selama sisa waktu hak yang bersangkutan,
namun paling lama 20 tahun sejak berlakunya UUPA, yaitu pada 24 September 1980. Jika
jangka waktu tersebut telah selesai, maka demi hukum tanah tersebut menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau biasa disebut dengan tanah Negara.

Dalam posisi demikian hubungan hukum antara pemilik (bekas pemegang hak)
dengan tanahnya terputus. Namun demikian bekas pemegang hak masih mempunyai
hubungan keperdataan dengan bendabenda lain diatasnya, misalnya tanaman, bangunan
yang berdiri diatas tanah tersebut. Masih melekatnya hubungan keperdataan bekas
pemegang hak dengan benda-benda diatasnya berpengaruh jika ternyata masih terdapat
bangunan yang berdiri diatas tanah negara bekas konversi hak barat.

Apabila ada pihak yang menguasai tanah negara bekas HGB yang habis masa
berlakunya, namun bukan sebagai pemilik bangunan diatas tanah tersebut, maka akan
menimbulkan permasalahan jika ingin mengajukan permohonan hak baru. Terkait prioritas
pihak yang dapat memohon hak baru atas tanah negara bekas konversi hak barat maupun
prosedur penyelesaian bangunan diatas dalam prakteknya masih sering menimbulkan
sengketa pertanahan.

Anda mungkin juga menyukai