Adapun hak-hak keagrariaan pada waktu itu menurut Hukum Pertanahan Adat, dapat
digolongkan atas 2 kelompok/kategori, yaitu:
1. hak yang bersifat komunal, yaitu hak ulaya, Dimana Hak Ulayat merupakan hak
bersama dari masyarakat hukum adat terhadap tanah dan lingkungan seisinya, yang
kewenangan pelaksanaannya berada pada pimpinan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, bisa berupa ketua suku, atau pimpinan masyarakat hukum adat yang
diangkat dengan kewenangan khusus di bidang keagrariaan.
2. hak perorangan, Dimana Hak-hak perorangan meliputi berbagai jenis hak seperti
hak memungut hasil hutan, hak menangkap ikan, hak-hak perorangan atas tanah
yang bervariasi kekuatannya, dari yang paling lemah, seperti hak membuka hutan
untuk dijadikan ladang, hingga yang paling kuat berupa hak milik atas tanah.
semakin kuat hak perorangan, semakin lemah daya berlaku hak ulayat atas bidang
tanah/sumber daya agraria yang bersangkutan.
Selain itu, perlu diperhatikan pula, bahwa dalam hukum adat berlaku asas pemisahan
horizontal yang intinya menyatakan bahwa ada pemisahan antara hak atas tanah dengan
hak atas bangunan atau tanaman yang tumbuh di atas tanah.
Zaman Penjajahan
Di bidang agraria (pertanahan) pada masa ini, produk hukum yang terpenting adalah
Agrarische Wet 1870. Wet (UU) ini diundangkan dalam S. 1870-55, terdiri atas 5 ayat,
yang ditambahkan pada pasal 62 Regerings Reglement 1854, sehingga pasal 62 RR yang
tadinya terdiri atas 3 ayat, menjadi 8 ayat, Agrarische Wet ini memuat politik agraria
kolonial.
Agrarische Wet lahir atas desakan pengusaha besar swasta. Sebelum 1870, di mana
berlaku cultuur stelsel, negara menerapkan sistem monopoli dan kerja paksa; pengusaha
besar sulit berkembang, karena bagi pengusaha yang belum memiliki tanah yang luas
dengan hak eigendom, satu-satunya cara adalah dengan menyewa tanah dari pemeritah,
padahal jangka waktu sewa ini hanya 20 tahun, sehingga tidak cocok untuk usaha di
bidang perkebunan tanaman keras, dan tanah hak sewa tidak bisa dijadikan jaminan
hypotik. Menyewa tanah dari orang pribumi juga tidak dimungkinkan karena orang
pribumi dilarang menjual atau menyewakan tanah kepada orang non-pribumi. Sejalan
dengan semangat liberalisme yang mulai berkembang, termasuk di Belanda pada waktu
itu, maka lahir tuntutan untuk mengganti cultuur stelsel dan sistem monopoli negara
dengan sistem persaingan bebas berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal. Termasuk dalam
tuntutan ini adalah menetapkan peraturan perundang-undangan agraria yang menunjang
sistem persaingan bebas tersebut.
Ada pun tujuan dari Agrarische Wet adalah untuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di
Hindia Belanda.
1. Pengusaha swasta bisa memperoleh dari pemerintah tanah luas untuk perkebunan
besar dengan hak erfpacht, yang berjangka waktu sampai 75 tahun.
2. Pengusaha (terutama pengusaha gula dan tembakau) dapat juga menggunakan
tanah kepunyaan rakyat atas dasar sewa.
3. Pemberian tanah dengan hak erfpacht semuanya diatur dengan ordonansi, sehingga
kemudian lahir berbagai ordonansi tentang pemberian hak erfpacht, baik yang
berlaku di Jawa-Madura, maupun di luar Jawa Madura.
4. Persewaan tanah rakyat oleh perusahaan kebun besar diatur pula dengan ordonansi,
yaitu:
a. Grondhuur ordonantie (S. 1918-88), yang berlaku di Jawa Madura, kecuali
Surakarta dan Yogyakarta.
b. Vorstenlands Grondhuur Reglement (S. 1918-20) yang berlaku di daerah
swapraja Surakarta dan Yogyakarta.
1. Sebagai landasan hukum bagi Pembeli yang mewakili negara sebagai pemilik
tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHPerd,
seperti erfpacht, hak postal dll
2. Sebagai dasar pembuktian pemilikan (Jika orang atau Badan Hukum berperkara
dengan negara mengenai soal pemilikan tanah, dialah yang membuktikan bahwa
tanah sengketa tersebut adalah miliknya).
Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakat sudah menjadi hal yang sangat
komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan
dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah. Sejak pengakuan kedaulatan oleh
Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan
tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut :
1. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yangmengusahakan
tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian.
2. Penertiban tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan karena tidak
cocok untuk usaha pertanian.
3. Pemakaian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut
karena dikuatirkan akan menimbulkan bahaya erosi dan penyerapan air.
4. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan
dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
1. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segalasesuatu dapat
dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antarpemilik perkebunan dengan
rakyat/penggarap;
2. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1(satu) tidak
berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanahperkebunan tersbut
akan mengambil kebijakan sendiri denganmemperhatikan :
a) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yang
bersangkutan;
b) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomian
negara.
Setelah berlakunya UUPA tahun 1960, semua tanah, baik hak atas tanah yang
berasal dari hukum adat atau hak atas tanah yang berasal dari hukum barat dikonversi
menjadi hak-hak tanah menurut UUPA. Ketentuan konversi ini diantaranya diatur dalam
Bagian Kedua Ketentuan tentang ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA, Keppres No. 32
Tahun 1979 dan Permendagri No. 3 Tahun 1979.
Hak atas tanah yang berasal dari hukum barat dikonversi menjadi hak-hak yang ada
dalam UUPA (Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP) )
dan diberikan jangka waktu untuk dikonversi selama sisa waktu hak yang bersangkutan,
namun paling lama 20 tahun sejak berlakunya UUPA, yaitu pada 24 September 1980. Jika
jangka waktu tersebut telah selesai, maka demi hukum tanah tersebut menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau biasa disebut dengan tanah Negara.
Dalam posisi demikian hubungan hukum antara pemilik (bekas pemegang hak)
dengan tanahnya terputus. Namun demikian bekas pemegang hak masih mempunyai
hubungan keperdataan dengan bendabenda lain diatasnya, misalnya tanaman, bangunan
yang berdiri diatas tanah tersebut. Masih melekatnya hubungan keperdataan bekas
pemegang hak dengan benda-benda diatasnya berpengaruh jika ternyata masih terdapat
bangunan yang berdiri diatas tanah negara bekas konversi hak barat.
Apabila ada pihak yang menguasai tanah negara bekas HGB yang habis masa
berlakunya, namun bukan sebagai pemilik bangunan diatas tanah tersebut, maka akan
menimbulkan permasalahan jika ingin mengajukan permohonan hak baru. Terkait prioritas
pihak yang dapat memohon hak baru atas tanah negara bekas konversi hak barat maupun
prosedur penyelesaian bangunan diatas dalam prakteknya masih sering menimbulkan
sengketa pertanahan.