Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH HUKUM AGRARIA

SOFA LAELA, S.H.,M.H.


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM “IBLAM”
SEJARAH HUKUM AGRARIA

Hukum Agraria di Indonesia menurut sejarahnya dapat dibagi menjadi 2 fase;

• Fase pertama: Hukum Agraria sebelum diberlakukannya UUPA no.5 th 1960,


yaitu hukum agraria adat, dan hukum agraria yang tunduk pada pemerintahan
kolonial;
• Fase kedua: Hukum Agraria Nasional, yaitu setelah diberlakukannya UUPA
no.5 thn 1960 pada tanggal 24 September 1960.
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL

A.     Hukum Agraria Kolonial


Dari konsideran UUPA , di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui beberapa ciri hukum agraria kolonial
pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan
rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan  berlakunya hukum adat di samping hukum
agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
a.     Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) 1602-1799
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara
lain :
 1).  Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan
sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2).  Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh
hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat
tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3).  Roerendiensten.
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai
tanah pertanian.
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
b. Masa Daendles (1800-1811)
• Kebijakan Daendles ketika menjadi Gubjend adalah dengan menjual tanah rakyat kepada orang Cina, Arab,
maupun orang Belanda.
• Tanah yang dijual tersebut dikenal dengan tanah pertikelir
• Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang bersifat khusus, karena adanya hak-hak pada pemiliknya yang
bersifat kenegaraan atau hak pertuanan.
• Hak pertuanan tersebut misalnya
A. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung/desa;
B. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk;
C. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk;
D. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
E. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
F. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari
dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
C. Masa Raffles (1811-1816)
• Pada masa Raffles, ada konsep bahwa semua tanah adalah milik pemerintah Inggris sebagai penggant i raja sebagai pemilik hak atas
tanah, sehingga semua tanah adalah eigendom pemerintah dan rakyat sebagai penyewa (pachter). Raffles meniru sistem feodalisme di
Inggris.
• Raffles, menghapus hukum adat atas tanah, tidak mengakui hak ulayat desa, rakyat hanya punya hak usaha dengan menyewa  tanah
(landrent)
• Raffles dianggap sebagai penyebab kemunduran hukum atas hak tanah.
• Ketentuan pajak tanah pada masa Rafless adalah sbb;
a. Pajak tanah tidak langsung dibebenkan pada petani tetapi pada kepala desa. Kepala Desa yang menentukan
berapa besar pajak yang harus dibayar tiap petani.
b. Kepala Desa diberi kekuasaan untuk melakukan perubahan pada kepemilikan tanah oleh para petani.
c. Pelaksanaan Pajak tanah telah memutarbalikan hukum yang mengatur kepemilikan tanah rakyat akibat terlalu besarnya kekuasaan
kepala desa.
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
d. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.
• Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan sistem Tanam
Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang
secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut
diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah
pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.

• Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam
lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas
dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang
dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yang biasa disewa adalah
tanah-tanah negara nyang masih kosong.
AGRARISCHE WET

• Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda mengesahkan undang-undang


agraria yang disebut dengan “Agrarische Wet”. Stb 1870 No 55 Undang-
undang yang dibuat di negeri Belanda ini tujuannya adalah untuk memberi
kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang
di Indonesia.
Ketentuan-ketentuan dari Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut
didalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu diantaranya yang penting
ialah yang diatur dalam Agrarisch Besluit dan diundangkan dalam S 1870 No 118.
Pasal 1 dari Agrarisch Besluit ini menentukan : “Dengan tidak mengurangi
berlakunya ketentuan ke2 dan ke 3 dari Undang-undang tersebut (ayat 5 dan 6
Pasal 51 IS) maka tetap dipegang teguh dasar hukum yang menyatakan bahwa:
Semua tanah yang tidak ada buktinya hak eigendom adalah milik negara”.
DOMEIN VERKLARING

• Kenyataan dalam praktek domein verklaring ini mempunyai beberapa fungsi antara
lain :
1) Dipakai sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan
tanah dengan hak-hak barat, yaitu hak-hak yang diatur didalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata seperti Misalnya: Hak Eigendom, hak Erfpacht, hak Opstaal.
2) Untuk keperluan pembuktian, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak
perlu membuktikan hak eigendomnya atas tanah yang diperkarakan, tetapi pihak
lainlah yang wajib untuk membuktikan haknya.

Anda mungkin juga menyukai