Anda di halaman 1dari 3

2, POLITIK AGRARIA KOLONIAL

Politik agraria yang dimaksudkan di sini adalah kebijaksanaan agraria. Politik agraria adalah garis besar
kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukkan,
mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk
hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang (UUD) 1945:” Politik agraria dapat dilaksanakan, dijelmakan dalam sebuah
undang-undang yang mengatur agraria yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam
garis besarnya, dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, ada hubungan yang erat
antara politik dan hukum.

Dasar politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan
harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya ialah
tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap
sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha-pengusaha Belanda dan Eropa.
Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderita-
an yang sangat mendalam. Sistem kolonial ditandai oleh empat ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi,
diskriminasi, dan dependensi. Prinsip dominasi terwujud dalam kekuasaan golongan penjajah yang
minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keungulan militer kaum
penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber
kekayaan tanah Jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil
produksinya untuk diserahkan kepada pihak penjajah,yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke
negara induknyanuntuk kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan
penjajah dianggap sebagai bangsa yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang
sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadap
penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologi,
pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin."

Politik agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet Stb. 1870 No.55, yang mengandung dua maksud,
yaitu memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian swasta untuk berkembang di
Hindia-Belanda (Indonesia), di samping itu melindungi hak-hak rakyat Indonesia atas tanahnya. Dengan
ditetapkan Agrarische Wet, maka pemilik modal besar asing bangsa Belanda maupun Eropa lainiya
mendapatkan kesempatan yang luas untuk berusaha di perkebunan-perkebunan Indonesia. Sejak itu pula
keuntungan yang besar dari ekspor tanaman perkebunan dinikmati modal asing, sebaliknya bagi rakyat
Indonesia mengalami penderitaan yang mendalam.
Ada dua tujuan politik agraria kolonial yang dijelmakan dalam Agrarische Wet, yaitu:

A. Tujuan primer: memberikan kesempatan kepada pihak swasta(asing) mendapatkan bidang tanah yang
luas dari pemerintah untuk waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Di samping itu
untuk memungkinkan orang asing (bukan Bumiputra) menyewa atau mendapat hak pakai atas tanah
langsung dari orang Bumiputra, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi.
Maksudnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing,

B. Tujuan sekunder
«Pemberian tanah dengan cara apa pun tidak boleh mendesak hak Bumiputra:
«Pemerintah hanya boleh mengambil tanah Bumiputra apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau
untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari pihak atasan dengan memberi ganti rugi:
« Bumiputra diberi kesempatan mendapat hak atas tanah yang kuat, yaitu hak cigendom bersyarat
(agrarische cigendom):
« Diadakan peraturan sewa-menyewa antara Bumiputra dengan bukan Bumiputra."

Dalam perjalanan berlakunya Agrarische Wet terjadi penyimpangan terhadap tujuan sekundernya, yaitu
adanya penjualan tanah-tanah milik orang Bumiputra langsung kepada orang-orang Belanda atau Eropa
lainnya. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah milik orang Bumiputra dari
pembelian orang-orang Belanda atau Eropa lainnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Grond
Vervreemdingsverbod Stb. 1875 No. 179

Yang dimaksud dengan Grond Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat
dipindahkan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan Indonesia asli dan oleh karena itu semua
perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung
adalah batal karena hukum. Grond Vervreemdingsverbod ini melarang pelepasan hak atas tanah secara
langsung kepada orang asing, misalnya penjualan, penghibahan, pewarisan, penunjukan tanah pada
orang/legaat, atau penunjukan dengan surat wasiat, dan secara tidak langsung melalui pembelian dengan
menggunakan perantara/kedok (strooman!).

Untuk melaksanakan Agrarische Wet tersebut, maka dikeluarkan “Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118.
Yang terpenting dalam Agrarische Besluit ini adalah Pasal 1 yang terkenal dengan nama domein verklaring
(pernyataan kepemilikan/domein). Dengan adanya pernyataan domein ini, maka hubungan antara negara
dan tanah bersifat langsung. Negara sebagai subjek yang dipersamakan dengan perseorangan, sehingga
hubungan ini bersifat privat rechtlijk, yaitu sebagai negara sebagai pemilik tanah. Dengan dikeluarkan
pernyataan domein ini, maka semua tanah yang ada di wilayah Hindia-Belanda (Indonesia) adalah domein
(milik) mutlak negara, karena penduduk Bumiputra tidak memiliki hak eigendom, bahkan tidak mengenal
apa yang disebut hak cigendom itu. Hak atas tanah yang dikenal oleh penduduk Bumiputra adalah hak
milik menurut Hukum Adat yang bersifat tidak mutlak.
Untuk membedakan tanah yang ada hak-hak penduduk Bumiputra dan tanah yang belum dibuka, maka
Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan domein negara dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Vrij landsdomein (tanah negara yang bebas), artinya di atas tanah tersebut tidak ada hak-hak penduduk
Bumiputra.

b. Onvrij landsdomein, artinya di atas tanah tersebut sudah ada hak-hak penduduk Bumiputra maupun
desa.

“Atas dasar adanya Pernyataan Domein tersebut, maka Pemerintah Hindia- Belanda mulai mengatur
penggunaan dan hak-hak atas tanah (untuk kepentingan ekonominya yang dasar hukumnya diletakkan
dalam Agrarische Wet. Pelaksanaan Agrarische Wet inilah yang mengakibatkan ketimpangan dalam
penggunaan dan pemilikan tanah.

Dalam politik agraria kolonial, pernyataan domein digunakan


untuk keperluan:

A.Memberi hak atas tanah seperti yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek.
b. Memberi hak-hak atas tanah menurut Hukum Adat.
C.Untuk mempertahankan hak Pemerintah karena siapa saja yang mengaku mempunyai hak cigendom
harus dapat membuktikan haknya. Jadi, bukan Pemerintah yang harus membuktikan hak atas tanah
tersebut.

Menurut Imam Soetiknjo,” struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria kolonial apabila:

A. Dipandang dari sudut hukumnya.


Tidak ada kesatuan hukum:
1) ada dua macam hukum (dualisme hukum), yaitu Hukum Barat yang dibawa dan diberlakukan di Hindia-
Belanda (Indonesia) oleh pihak penjajah Belanda, dan Hukum Adat penduduk Bumiputra:
2) Hukum Adat di Indonesa itu beraneka warna, agak berbeda di pelbagai daerah (pluralisme) yang
dibiarkan terus berlaku
selama dianggap tidak bertentangan dengan politik agraria penjajah:
3) ada hak ciptaan baru yang bukan Hukum Adat tapi juga bukan Hukum Barat, yaitu hak agraris
eigendom,

b. Dilihat dari sudut subjeknya.


Tidak ada kesamaan status subjek.
1) ada pemegang hak yang orang Bumiputra, ada yang bukan orang Bumiputra yang sistem hukumnya
berbeda:

2) yang bukan Bumiputra ada:


« Orang asing Bangsa Eropa/Barat.
« Orang keturunan asing.
« Orang Timur Asing.
&

3.Dilihat dari yang menguasai/memiliki tanah.

"Tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara manusia dengan tanah.

1) ada golongan besar manusia (petani) yang tidak mempunyaintanah atau yang mempunyai tanah yang
sangat sempit:

2) di lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing, tuan tanah, pemilik tanah
partikelir) yang memiliki/menguasai tanah luas.

4. Dilihat dari sudut penggunaan tanah.


ada keseimbangan dalam penggunaan tanah,

1) tanah di Jawa dan Madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan:

2) di luar Jawa, Madura, dan Bali masih ada tanah luas yang belum dibuka/diusahakan.

5. Dilihat dari sudut tertib hukum.


“Tidak ada tertib hukum,
1) penjajah Jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asing yang mengungsi atau ditangkap,
tanpa ambil pusing soal hak yang ada di atasnya:
2) rakyat sendiri juga menduduki tanah perkebunan, pekarangan bahkan rumah orang asing/bekas penjajah
yang mengungsi secara tidak sah.

Anda mungkin juga menyukai