Hukum Agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan
dan sendi-sendi dari pemerintah-pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya,
hingga bertentangan dengan kepentinga rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
Hukum Agraria tersebut memiliki sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat, di
samping Hukum Agraria yang didasarkan atas hukum barat.
Bagi rakyat asli Hukum Agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
1. Contingenten
Pajak atas hasil pertanian harus diserahkan kepada penguasa colonial (kompeni). Petani harus
menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sedikitpun5.
2. Verplichte Leveranten
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban
menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan
secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka
tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan6.
3. Roerendiensten
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang
tidak mempunyai tanah pertanian7.
D. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811)
Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur Herman Willem Daendles adalah menjual tanahtanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanahtanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah
eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom
lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut
landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak Pertuanan misalnya8:
Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepalakepala kampung/desa;
Hak untuk menuntut keraj paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk;
Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk;
5 Ibid
6 http://chekp4yz.wordpress.com/2010/07/28/bab-ii-agraria/
7 Ibid
8 Ibid
Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan
tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya.
Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, tetapi
ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan
jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah
oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah.
Dapat dikurangi jumlahnya atau dicabut penguasaannya jika petani yang bersangkutan
tidak mau atau tidak mampu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang
bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat
sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang
menentukan besarnya sewa yang wajib dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak
tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang
menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.
dapat mengusahakan dan mengolah tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan
oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yang bisa
disewa adalah tanah-tanah negara yang masih kosong11.
BAB II
HUKUM AGRARIA PADA SAAT AGRARISCHE WET (1860)
A. AGRARISCHE WET LAHIR ATAS DESAKAN PENGUSAHA BESAR SWASTA
Pada waktu tengah giat dilaksanakannya apa yang dikenal sebagai cultuur-stelsel
(system tanam paksa) sejak tahun 1830, sangatlah terbatas kemungkinannya bagi para
pengusaha besar swasta untuk berusaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan
politik monopoli Negara dalam pengusaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan
politik monopoli negara dalam pengusahaan tanaman-tanaman untuk ekspor, bagi
pengusaha besar swasta yang belum memiliki sendiri tanah yang luas dengan hak
eigendom, sebagai apa yang dikenal dengan sebutan tanah partikelir tidak ada
kemungkinan untuk memperoleh tanah yang diperlukannya dengan hak yang kuat dan
dengan jangka waktu penguasaan yang cukup lama12.
Sebelum terbentuknya AW pada tahun 1870 satu-satunya cara yang terbuka
adalah menyewa tanah dari pemerintah13.
11http://chekp4yz.wordpress.com/2010/07/28/bab-ii-agraria/
12 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1, Penerbitan Djambatan,
Jakarta.
13 Ibid
Sebelum tahun 1839 memang ada tanah-tanah yang belum dikuasai dan
diusahakan oleh rakyat (tanah-tanah Negara yang kosong) yang disewakan oleh
pemerintah untuk usaha-usaha perkebunan swasta14.
Tetapi sejak tahun 1839 sejalan dengan dilaksanakannya cultuur stelsel, tidak lagi
diadakan persewaan baru. Baru dengan adanya RR 1854/Pasal 62 ayat 3 di atas , secara
tegas dibuka kembali kesempatan untuk menyewa tanah dari pemerintah , yang
peraturannya, dimuat dalam Algemeene Maatregel van Bestuur (AMVB) yang
diundangkan dalam S. 1856-6154.
Persewaan boleh diadakan dengan jangka waktu paling lama 20 tahun, kecuali
untuk tanaman kelapa yang jangka waktunya boleh sampai 40 tahun (Koninklijk Belsuit
7 November 1856)16.
Persewaan atas dasar ketentuan Pasal 62 RR 1854 tersebut ternyata tidak mampu
membawa perkembangan yang berarti pada perusahaan perkebunan besar di Hindia
Belanda. Hal itu karena jangka waktu sewa maksimal 20 tahun tidak mencukupi untuk
pengusahaan tanah dengan hak sewa tidak memungkinkan pengusaha memperoleh kredit
yang diperlukannya dengan pemberian jaminan hypotheek. Hak sewa bukan obyek
hypotheek (Pasal 1164 KUUHPdt)17.
Pemberian hak yang lebih kuat, misalnya dengan hak erfpacht, tidak mungkin.
Karena pemberian wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menyewakan tanah
dalam Pasal 62 RR tersebut ditafsirkan sebagai pembatasan kewenangannya hanya pada
penyewaan, bukan pemberian hak yang lebih kuat. Penjualan tanah yang lebih luas juga
tidak mungkin lagi, karena tegas-tegas dilarang oleh Pasal 62 RR ayat 118.
Sementara itu para pengusaha besar Belanda di Negeri Belanda, karena
keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal. Karenanya memerlukan bidang
usaha baru untuk menginvestasikannya. Mengingat masih banyak tersedia tanah hutan di
Hindia Belanda yang belum dibuka dan diusahakan, maka sejak pertengahan abad 19,
mereka menuntut untuk diberikannya kesempatan untuk berusaha di bidang perkebunan
besar. Sejalan dengan semangat liberalism yang sedang berkembang, dituntut
penggantian system monopoli Negara dan kerjapaksa dalam melaksanakan cultuur
14 Ibid
15 Ibid
16 Ibid
17 Ibid
18 Ibid
stelsel, dengan system persaingan bebas dan system kerja bebas, berdasarkan konsepsi
kapitalisme liberal19.
Tuntutan untuk mengakhiri system tanampaksa dan kerja paksa dengan tujuan
bisnis tersebut, sejalan dengan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lain di Negeri
Belanda, yang melihat terjadinya penderitaan sangat hebat dikalangan petani di Jawa,
sebagai akibat penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan cultuur stelsel oleh para
Pejabat yang bersangkutan20.
Sebaliknya ada juga golongan yang ingin tetap melaksanakan system yang ada,
atas pertimbangan bahwa pelaksanaan cultuur stelsel telah mampu menyelamatkan
Negeri Belanda, yang pernah mengalami krisis keuangan sebagai akibat perang
pemisahan dengan Belgia di Eropa dan perang Diponegoro di Jawa. Golongan ini
berpendapat bahwa cultuur stelsel dan monopoli Negara masih perlu dipertahankan
sebagai sumber utama pengisi schatkist negerinya, dari Hindia Belanda, sebagai
daerah jajahan yang merupakan wingewest21.
Pada tahun 1870 lahirlah suatu undang-undang, rancangannya diajukan oleh
Menteri Daerah Jajahan de Waal, yang menambahkan 5 ayat baru pada Pasal 62 RR
1854. Undang-undang ini kemudian dikenal dengan sebutan Agrarische Wet22.
Apa yang disebut Agrarische Wet adalah suatu undang-undang (dalam bahasa
Belanda disebut wet) yang di buat di negeri Belanda pada tahun 1870. Agrarische Wet
(AW) diundangkan dalam S 1870 -55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62
Regering Reglement Hindia Belanda tahun 1854. Semula Regerings Reglement (RR)
tersebut terdiri atas 3 ayat, dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 s/d 8) oleh AW, maka
pasal RR terdiri atas 8 ayat23.
19 Ibid
20 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1, Penerbitan Djambatan, Jakarta.
21 Ibid
22 Ibid
23 Ibid
Salah satu ketentuan pelaksanaan Agrarische Wet adalah Agrarische Belsuit, yang
dimuat dalam Stb. 1870 Nomor 118. Pasal I Agrarische Belsuit memuat suatu
pernyataan yang dikenal dengan Domein Verklaring (Pernyataan Pemilikan), yang
pad garis besarnya berisi asas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat
membuktikan sebagai hak eigendom-nya, adalah domein (milik) negara. Domein
Veklaring dalam praktiknya mempunyai dua fungsi, yaitu: sebagai landasan hukum
bagi Pemerintah Kolonial untuk dapat memberikan hak eigendomnya, hak
erfpacht,hak postal, dan sebagainya; juga untuk keperluan
pembuktian, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak
perlu membuktikan haknya29.
Dengan adanya
Domein Verklaring ini, kedudukan rakyat
Indonesia yang memiliki tanah berada di pihak yang lemah karena
hampir semua tanah yang memiliki rakyat Indonesia tidak
mempunyai tanda bukti pemilikan, sehingga secara yuridis formal
tanah-tanah tersebut menjadi domein (milik) negara. Rakyat
Indonesia yang memiliki tanah dianggap sebagai penyewa atau
penggarap saja dengan membayar pajak atas tanah30.
BAB III
29 Ibid
30 Ibid
32 Ibid
mengandung perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di didalamnya, yang diletakkan dalam penguasaan Negara itu
dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia33.
Dengan demikian, tujuan dari penguasaan oleh Negara atas bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk mewujudkan kemakmuran
bagi seluruh rakyat Indonesia. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk menyesuaikan hukum Agraria Kolonial dengan keadaan dan
kebutuhan setelah proklamasi kemerdekaan, adalah34:
a. Menggunakan Kebijaksanaan dan tafsir baru.
b. Penghapusan hak-hak konversi
c. Penghapusan tanah partikelir
d. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat
e. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah
f. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan
g. Kenaikan canon dan cijns
h. Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa izin.
i. Peraturan perjanjian bagi hasil.
j. Peralihan tugas wewenang agraria.
B. FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
HUKUM AGRARIA NASIONAL
Setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, maka hukum
Agraria Kolonial yang mempunyai sifat dualism tersebut tidak sesuai lagi dengan
keadaan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara yang sedang
membangun, sehingga perlu diganti dengan hukum Agraria Nasional perlu
diperhatikan beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut35:
a. Faktor Formal
Keadaan hukum Agraria di Indonesia sebelum berlakunya UUPA merupakan keadaan
peralihan, keadaan sementara waktu oleh karena peraturan-peraturan yang sekarang
masih berlaku ini berdasarkan pada peraturan-peraturan peralihan yang terdapat di
dalam pasal 142 UUDS 1950, Pasal 192 Konstusi RIS 1949, Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 sebelum Amandemen dan pasal I Aturan perlalihan UUD 1945 sesudah
amandemen, yang kesemuanya itu bersama-sama menentukan dalam garis besarnya
bahwa peraturan-peraturan hukum yang berlaku pada zaman Hindia Belanda
33 Muchsin, Imam Koeswayono, Soimin., 2007, Hukum Agraria Indonesia
dalam Perspektif Sejarah, PT. Refika Aditama, Bandung.
34 Ibid
35 Ibid
memegang kekuasaan, masih berlaku selama ketentuan peraturan perundangundangan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi yang sedang berlaku.
b. Faktor Material
Dari sudut faktor material (isinya), Hukum Agraria Kolonial bersifat dualisme.
Dualisme ini dapat meliputi menurut hukum dan subjeknya. Menurut hukumnya,
yaitu di satu pihak berlaku Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUHPerdata, di
lain pihak berlaku Hukum Agraria Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah
masing-masing. Sedangkan menurut subjeknya, Hukum Agraria Barat hanya berlaku
bagi orang-orang dari golongan Eropa dan golongan Timur Asing; adapun hukum
Agraria Adat hanya berlaku bagi orang-orang golongan Bumi Putra (Pribumi).
Setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, maka sifat dualism
hukum agraria harus diganti dengan sifat unifikasi hukum. Sudah tentu Hukum
Agraria Kolonial tidak sesuai dengan isi hukum agrarian yang dikehendaki oleh
Bangsa Indonesia, yaitu hukum agraria yang berlaku secara nasional (unifikasi
hukum). Oleh karena itu, hal inilah yang mendorong bahwa Hukum Agraria Kolonial
yang mempunyai sifat dualism hukum digantikan dengan sifat unifikasi hukum yang
berlaku secara nasional.
c. Faktor Idiil
Hukum Agraria Nasional dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketidaksesuaian
tujuan dibuatnya Hukum Agraria Kolonial inilah yang mendorong bahwa Hukum
Agraria Kolonial harus diganti dengan Hukum Agraria Nasional, yang diarahkan
kepada terwujudnya pada fungsi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
BAB IV
HUKUM AGARARIA SETELAH UUPA 1960 SAMPAI
SAAT INI
UUPA mempunyai du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak memberlakukan
lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun hukum agraria nasional.
Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang
fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanhan.
Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang
mendasari maupun isinya36.
UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena di
dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia,
yang meliputi37:
1) Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan
pemberian jaminan kepastian hukum;
2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hukum
yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan program landreform;
5) Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan
kemampuannya.
Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan
formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional
formal berkenaan dengan pembentukan UUPA38.
a. Sifat Nasional Material UUPA.
36 Alhakim050181.wordpress.com
37 Ibid
38 Ibid
Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang harus
mengandung asas-asas berikut39 :
1) Berdasarkan hukum tanah adat;
2) Sederhana;
3) Menjamin kepastian hukum;
4) Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama;
5) Memberi kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya
dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur;
6) Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
7) Memnuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal
agraria;
8) Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita
bangsa seperti yang tercantum dalam undang-undang;
9) Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto
Politik;
12) Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
2)
3)
Dibentuk di Indonesia;
4)
5)
39 Alhakim050181.wordpress.com
40 Ibid
2.
B.
Perjalaanan panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima Panitia
rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan
Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo42.
1.
a.
Dasar Hukum.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei
1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian
Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini bertugas anatara lain43 :
1)
Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum tanah
pada umumnya;
2)
Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia Republik Indonesia;
3)
Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama tentang tanah
yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka;
4)
b.
41 Alhakim050181.wordpress.com
42 Ibid
43 Ibid
Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum
Agraria yang baru, yaitu :
1)
2)
3)
4)
Perlu diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi apra petani kecil untuk
dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar
5)
Perlu adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan untuk pulau Jawa
10 hektar, tanpa memandang macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan
penelitian lebih lanjut;
6)
c.
Keanggotaan Panitia.
2)
3)
4)
2.
Panitia Jakarta.
a.
Dasar Hukum.
Panitia Yogyakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor : 3 6 Tahun 1951
tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dubentuk Panitia Agraria Jakarta yang berkedudukan di
Jakarta45.
44 Alhakim050181.wordpress.com
45 Ibid
b.
Keanggotaan.
Ketua : Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti oleh Singgih
Praptodihardjo (Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian Agararia);
2)
Pejabat-pejabat kementrian;
3)
4)
c.
Dalam laporannya panitia ini mengusulkan beberapa hal dalam hal tanah pertanian, sebagai
berikut 47:
1) Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengna mengadakan peninjauan
lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris;
2)
Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa, dan hak
pakai;
3)
Pertanian rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak dibedakan antara
warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah rakyat;
4)
Bagunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha, hak sewa, dan hak
pakai;
5)
Pengeturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan suatu undangundang.
3.
Panitia Soewahjo.
a.
Dasar Hukum.
Jakarta, diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria. Tugas
utama panitia ini adalah mepersiapkan rencana undang-undang pokok agararia yang nasional,
sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun48.
b.
Rancangan Undang-undang.
Panitia ini berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-undang Pokok Agraria pada
tanggal 1 Januari 1957 yang pada berisi 49:
1) dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada
kepentingan mum (negara);
2) Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal 38 ayat (3)
UUDS 1950;
3) Dualisme hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan
memuata lembaga-lembga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam hukum adat
maupun hukum barat;
4) Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial kemudian ada
hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
5)
Hak milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang tidak diadakan
pembedaan antara waraga negara asli dan tidak asli. Badan-badan hukum pada asasnya tidak
boleh mempunyai hak milik atas tanah;
6) Perlu diadakan penetapan batan maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi
milik seseorang atau badan hukum;
7) Tanah pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan diushakan sendiri oleh pemiliknya;
8) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia Negara
Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) dibubarkan50.
4.
Rancangan Soenarjo.
48 Ibid
49 Alhakim050181.wordpress.com
50 Ibid
Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa pasal, Rancangan Panitia
Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ek Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas
rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan yang lebih lengkap dengan meminta
kepada Universitas Gadjah Mada, selanjutnya membentuk panitia ad hoc yang terdiri dari 51:
Ketua merangkap anggota
: A.M. Tambunan
Anggota-anggota
: Notosoekardjo
Dr. Sahar glr Sutan Besa
K.H. Muslich
Hadisiwojo
I.J. Kasimo
Soepeno
Selain dari Universitas Gadjah Mada bahan-bahan juga diperoleh dari Mahkamah Agung RI
yang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.
5.
Rancangan Sadjarwo.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan
Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan
tersebut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuaikan rancangan UUPA dengan UUD 1945,
perlu diminta saran dari Universitas Gadjah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959,
Menteri Mr. Sadjarwo beserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr, Boedi Harsono, Mr. Soemitro
pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengna pihak Universitas Gadjah Mada yang diwakili oleh
Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Imam Sutigyo52.
Setelah selesai penyusunannya, maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada
hari Sabtu tanggal 24 September 1960 rancanan UUPA sisetujui oleh DPRGR dan kemudian
51 Ibid
52 Alhakim050181.wordpress.com
disahkan oleh Presiden RI menjadi Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat
UUPA53.
DAFTAR PUSTAKA
Alhakim050181.wordpress.com
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1, Penerbitan Djambatan,
Jakarta
53 Ibid