“Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama sadja dengan gedung tanpa alas,
sama sadja dengan pohon tanpa batang, sama sadja dengan omong besar tanpa isi.
Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian jang mutlak dari
Revolusi Indonesia.” (DJALANNYA REVOLUSI KITA hal, 224)
1
Selama tiga dekade kebijakan pemerintah tidak lagi berdasar pada national
interest, imajinasi swasembada pangan bertemakan revolusi hijau yang dikomandoi
orde baru hanya berorientasi untuk hasil produksi dengan berpijak pada modernisasi
tata cara pertanian baik penggunaan varietas unggul, maupun alat-alat pertanian
modern nyatanya menggantungkan sepenuhnya pada barang-barang impor yang
dimonopoli perusahaan internasional. Janji kesejahteraan revolusi hijau dibayang-
bayangi dengan ketakutan pada rezim otoritarian Soeharto. Landreform yang
seharusnya menjadi pijakan dasar dari pembangunan kedaulatan pangan dianggap
bertentangan dengan stabilitas pembangunan dan iklim investasi.
Sejarah penguasaan tanah oleh swasta sebenarnya sudah terjadi sejak zaman
Kolonial. Pada tahun 1811, kekuasaan Hindia Belanda beralih ketangan Inggris. Sir
Thomas Stanford Raffles yang menjadi Gubernur Jendral pada waktu itu,
memperkenalkan “Sistem Sewa Tanah”. Dengan adanya kebijakan ini, tanah yang
sebelumnya dikuasai atau milik raja-raja pribumi menjadi milik pemerintah kolonial,
menyebabkan para pemakai tanah atau rakyat harus membayar sewa tanah kepada
pemerintahan Kerajaan Inggris.
Pada tahun 1830, sistem sewa tanah dihapuskan, hal ini disebabkan
kembalinya kekuasaan ketangan Belanda pada tahun 1816. Kemudian Van Den
Bosch di angkat menjadi Gubernur Hindia Belanda yang pada tahun 1930
menghidupkan kembali sistem tanam paksa dengan cara yang lebih keras yang
dikenal dengan cultur stelsel. Tujuan dari kebijakan ini adalah menolong negeri
Belanda yang pada waktu itu sedang dilanda krisis keuangan akibat peperangan
yang terjadi antar Negara kolonal. Selain itu, juga oleh sebab industrialisasi yang
sedang digalakan di negeri Belanda itu sendiri. Selanjutnya tahun 1848 Undang-
undang Dasar Belanda mencantumkan ketentuan bahwa pemerintah di negeri
jajahan harus diatur dengan undang-undang, hal ini ditandai dengan dikeluarnya
Regerings Regelment (RR) 1854. Di dalam pasal 62 RR menyebutkan bahwa
Gubernur Jendral boleh menyewakan tanah dengan ketentuan yang akan ditetapkan
dengan ordonasi.
2
Tonggak yang menentukan sejarah perjalanan Agraria di Indonesia yang
termasuk bagian dari liberalisasi pertanahan dan merupakan salah satu upaya
kolonial dalam penghancuran kakuasaan feodalisme Nusantara adalah dengan
diundang-undangkanya Agrarische Wet tahun 1870, dalam Lembaran Negara
(staatsblad) No. 55, 1970. Agararische Wet merupakan dasar yang digunakan dalam
peraturan agraria yang juga memuat ketentuan yang melindungi kepentingan
perkebunan di Indonesia yang banyak dimiliki oleh perusahaan swasta Belanda.
Namun hak-hak rakyat Indonesia juga dilindungi atas tanah yang dimiliknya
hal ini di cantumkan dalam butir-butir diatas. Karena hal itulah kemudian terjadi
dualism dalam pemberlakuan hukum agraria, hal ini dikarenakan untuk orang asing
atau perkebunan swasta berlaku hukum barat, dan bagi rakyat asli atau pribumi di
berlakukan hukum adat.
3
Namun, kebijakan tersebut belum dinikmati secara merata oleh masyarakat,
arus balik penguasaan tanah oleh pemilik modal kembali terjadi di Indonesia. Sejak
berkuasanya orde baru, rezim ini kembali mempertahankan bentuk penguasaan
tanah seperti pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Pemerintah juga
menganggap bahwa gerakan tani di Indonesia merupakan suatu gerakan yang
berhaluan Komunisme, menyebabkan terjadinya kemerosotan penguasaan sumber-
sumber agraria termasuk penguasaan tanah di dalamnya.
Kebijakan ekonomi yang diambil Orde Baru tidak di dasari oleh penguasaan
aset-aset agraria oleh rakyat. Bahkan pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-
undang Penanaman Modal Asing dan beberapa kebijakan lainnya, serta-merta
membuka peluang untuk kembalinya modal asing berkuasa atas aset-aset agraria
kita. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang terjadi hari ini, atau liberalisasi pasar
yang sedang terjadi hari ini merupakan lanjutan dari sistem yang terbangun sejak
pemerintahan kolonial. Sehingga secara umum, kondisi petani pada masa kolonial
hingga saat ini tidak berubah jauh. Sederhananya, sampai rezim orde baru runtuh
rakyat belum merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarnya, yaitu merdeka
secara ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Kini, 16 tahun sudah reformasi berlalu, kenyataannya gerak perekonomian
bangsa dan negara semakin jauh dari harapan rakyat, semakin jauh dari demokrasi
ekonomi, dari sistem ekonomi kerakyatan yang merupakan mandat konstitusi.
Reformasi ekonomi yang diharapkan bermanfaat pada kesejahteraan rakyat faktanya
menjadi alasan untuk meliberalisasi system perekonomian nasional. Undang-undang
tidak menjadi instrument pengokoh kedaulatan negara, kini UU menjadi alat
kekuatan kapitalisme global untuk melegalisasi dan melanggengkan agenda-agenda
neo-liberal di Republik Indonesia. Mimpi bangsa untuk berdaulat di sektor agraria
menguap bersama agenda reformasi agraria di era revolusi Indonesia. Oleh sebab
itu, kami Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Bolaang
Mongondow berinisiatif mengambil tema “KEMBALI KE JALAN AMPERA”, dengan
sub-tema; “Dari Reforma menuju Kedaulatan Pangan Nasional” sebagai ikhtiar kami
untuk mengkonsolidasikan gagasan tersebut sebagai gerak kolektif PMII se-
Indonesia menuju kedaulatan Nasional sebagaimana yang pernah dicita-citakan
sejak lama oleh bangsa kita.