Anda di halaman 1dari 21

Sekolah Kepemimpinan Feminis Solidaritas Perempuan

Sebay Lampung Sesi ke enam


“Model Gerakan Dan Perlawanan Perempuan Dalam
Perjuangan Hak Atas Tanah Dan Sumber Kehidupannya”
Bandar Lampung, 17 April 2022
Sejarah Hukum Pertanahan Nasional
Sebelum Belanda datang, bangsa Indonesia telah memiliki instrument hukum pertanahan sendiri
yang hidup ditengah-tengah masyarakat adat di tiap-tiap daerah. Pemberlakuan hokum barat di
Indonesia tidak terlepas dari niatan Belanda untuk menjajah dan merampas seluruh kekayaan yang
ada di Indonesia, penerapan hokum barat tidak lain untuk mempermudah misinya tersebut.

Hukum Adat Hukum Barat


Tidak Tertulis Tertulis
Bersumber Pada Kebiasaan Dan Kepercayaan Bersumber Dari KUHPdt
Tidak Didaftarkan Didaftarkan sebagai bukti kepemilikan
Dokumen Hanya Sebagai Pembuktian Pajak Berlaku diseluruh wilayah jajahan
Berlaku hanya didalam lingkup komunal
Agrarische Wet / Undang-Undang Agraria
Belanda Tahun 1870
• Diberlakukannya UU Agraria 1870 tidak terlepas dari kebijakan
ekonomi yang sebelumnya berlaku di Hindia Belanda (Indonesia),
yaitu sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Tanam paksa pada
dasarnya diberlakukan untuk dapat meningkatkan produksi tanaman
ekspor dan pemberdayaan petani.
• Namun, hal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Alih-alih
memberikan kesejahteraan, rakyat justru semakin sengsara. Oleh
karena itu, tanam paksa pun ditentang tokoh-tokoh intelektual
Belanda, seperti Eduard Douwes Dekker, Baron van Hoevell, Fransen
van de Putten, dan lainnya.
Politik Hukum Agrarische Wet
Ciri-Ciri Pokok

• Prinsip Dominan
Bahwa kekuasaan minoritas (penjajah) menguasai mayoritas (pribumi)
• Eksploitasi
Bahwa hasil kekayaan tanah jajahan digunakan untuk kepentingan
negara penjajah
• Diskriminasi
Penjajah merasa superior / lebih unggul dari pribumi
• Dependensi
Pribumi atau masyarakat jajahan sangat bergantung terhadap penjajah
Pasca Indonesia Merdeka
Momentum kemerdekaan menjadi titik balik hokum agrarian di Indonesia, pendataan dan penataan ulang
dilakukan terhadap jumlah tanah yang diperuntukkan sebagai kebun baik oleh negara maupun oleh swasta di
masa kolonial.

• Dasar pengaturan prihal agraria di Indonesia adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Upaya penyusun hukum agraria nasional dilakukan dengan membentuk tim Ad Hoc
pembentuk peraturan perundang-undangan. Setidaknya terdapat 5 kepanitiaan
yang dibentuk untuk menyusun rancangan undang-undang tersebut. Ditengah
berbagai upaya pengambil alihan kembali (Agresi) oleh Belanda, perancangan
Undang-Undang tersebut dilakukan dari tahun 1948, hingga tahun 1960 barulah
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan. UU Nomor 5 tahun 1960 (UUPA)
masih berlaku hingga sekarang.
1960 – Reformasi
Lima tahun pasca terbitnya UUPA, ditahun 1965 bersaman dengan pecahnya peristiwa G30S, Suharto yang
mengambil alih kekuasaan pasca sukarno mempolitisasi isu PKI dan dikaitkan dengan semangat reforma agrarian
yang diwacanakan bersamaan dengan terbitnya UUPA.

• Tanah untuk pembangunan


• Pendaftaran tanah desa demi desa dihentikan
• Pengadilan Landreform dalam UU No Tahun 1970 dihentikan
• Menolak Sosialisme Indonesia
• Menteri Agraria di bahwa Kemendagri
• Dibentuknya BPN
• Izin Lokasi
• Land Administration Project (LAP)
Reformasi - Sekarang
• Semangat reforma agraria hidup kembali pasca Suharto lengser, di era
Habibi sampai dengan Gusdur sebagai presiden terjadi banyak sekali
peristiwa – peristiwa reclaiming atau pendudukan kembali tanah-tanah
yang sebelumnya dikuasai oleh perusahaan atau negara atau perseorangan
(tuan tanah) yang dilakukan oleh masyarakat yang mayoritas adalah petani.

• Reforma agraria adalah suatu proses yang berkesinambungan berkenaan


dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya
kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana Kondisi Hari Ini?
• Pada tahun 2019, terdapat 279 konflik agrarian yang berdampak pada
109.042 keluarga di seluruh Indonesia. Jumlah ini lebih sedikit dari
tahun 2017 yang mencapai 659 kasus konflik agrarian yang terjadi.
(Konsorsium Pembaruan Agraria)
• Aktor : Swasta/Perusahaan, Negara, Individu
• Mayoritas konflik disebabkan karena ketimpangan penguasaan lahan
yang dilanggengkan sejak era Orde Baru dalam bentuk pemberian
HGU pada perusahaan-perusahaan besar oleh pemerintah.
Reforma Agraria Versi Pemerintahan Jokowi
• Semangat reforma agrarian hari ini tidak lebih hanya pemberian
legalitas terhadap tanah yang belum bersertifikat, semangat
redistribusi lahan tidak menjadi marwah reforma agrarian har ini.
• Tanah-tanah yang hari ini sedang berkonflik tidak menjadi prioritas
reforma agrarian hari ini.
Hak Perempuan Atas Tanah
Perempuan masih terhambat penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan terhadap sumber daya agraria/sumber daya alam.
Padahal UU Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menjamin prinsip keadilan termasuk
kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Pembaharuan agraria yang
dicanangkan belum mampu memenuhi dan melindungi hak perempuan atas tanah dan
sumber daya alam.

Sertifikat hak atas tanah saat ini menjadi sangat penting sebagai legitimasi kepemilikan
seseorang atau badan usaha terhadap sebidang tanah yang diakui atau disebutkan di
dalamnya. Namun, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tercatat dari 44
juta bidang lahan, hanya 15,88 persen terdaftar atas nama perempuan (2014).
Hak Perempuan Atas Tanah
Perempuan masih terhambat penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan terhadap sumber daya agraria/sumber daya alam.
Padahal UU Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menjamin prinsip keadilan termasuk
kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Pembaharuan agraria yang
dicanangkan belum mampu memenuhi dan melindungi hak perempuan atas tanah dan
sumber daya alam.

Sertifikat hak atas tanah saat ini menjadi sangat penting sebagai legitimasi kepemilikan
seseorang atau badan usaha terhadap sebidang tanah yang diakui atau disebutkan di
dalamnya. Namun, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tercatat dari 44
juta bidang lahan, hanya 15,88 persen terdaftar atas nama perempuan (2014).
Hak Perempuan Atas Tanah
Perempuan masih terhambat penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan terhadap sumber daya agraria/sumber daya alam.
Padahal UU Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menjamin prinsip keadilan termasuk
kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Pembaharuan agraria yang
dicanangkan belum mampu memenuhi dan melindungi hak perempuan atas tanah dan
sumber daya alam.

Sertifikat hak atas tanah saat ini menjadi sangat penting sebagai legitimasi kepemilikan
seseorang atau badan usaha terhadap sebidang tanah yang diakui atau disebutkan di
dalamnya. Namun, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tercatat dari 44
juta bidang lahan, hanya 15,88 persen terdaftar atas nama perempuan (2014).
Subordinasi Peran Perempuan Menyebabkan
Kehilangan Akses Terhadap Manfaat, Kontrol dan
Partisipasi Yang Setara
Subordinasi peran-peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya
alam/agraria juga terjadi dalam pembakuan pekerjaan-pekerjaan
berdasarkan jenis kelamin. Pekerjaan sebagai “petani” atau “nelayan”
merujuk pada jenis kelamin laki-laki. Padahal dalam pengelolaan
pertanian, perempuan terlibat dalam keseluruhan siklus pertanian,
maupun pengolahan dan pemasaran hasil laut. Dampaknya kembali
perempuan tidak mendapatkan akses, manfaat, kontrol dan partisipasi
yang setara terhadap pengelolaan sumber daya alam/agraria. Termasuk
ketika terjadi pengambilalihan sumber daya alam dan tata ruang yang
menimbulkan konflik agraria.
Dampak Konflik Agraria Terhadap Perempuan
• Perampasan tanah berdampak buruk dan berantai terhadap perempuan
yakni hilangnya sumber ekonomi, pangan, air bersih yang merentankan
perempuan dan anak-anak terhadap kekerasan berbasis gender seperti
kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang, maupun kekerasan
seksual.
• Perampasan tanah juga melenyapkan ilmu pengetahuan dan peran-peran
khas perempuan terkait kearifan lokal dan spiritualitas seperti pemuliaan
benih, obat-obatan herbal serta ritual pertanian.
• Konflik sumber daya alam/agraria dan tata ruang ini merentankan
perempuan untuk dikriminalisasi, mengalami pemiskinan dan kehilangan
rasa aman terlebih ketika konflik menyebabkan segregasi sosial akibat
pro kontra dalam masyarakat.
Pemiskinan Struktural Terhadap Perempuan
Yang Kehilangan Hak Atas Tanah

Ketika perempuan tidak memiliki akses dan kepemilikan atas tanah yang setara
dengan laki-laki, perempuan terjebak dalam kemiskinan, dan tidak memiliki
akses pada program dukungan usaha produktif, khususnya dalam industri
pertanian. Perempuan pun menjadi lebih rentan mengalami pemiskinan
karena kehilangan hak kepemilikannya ketika terjadi perceraian maupun
sengketa hak waris.
Kerentanan Perempuan Korban Konflik Agraria

Pada situasi ketika perempuan yang menjadi korban kekerasan pada


konflik agraria yang terjadi, tentunya beban menjadi lebih berat bagi
perempuan itu sendiri maupun keluarganya. Perempuan korban
kekerasan fisik maupun psikologis akan mengalami trauma yang dalam
dan terus dibawa hingga akhir hayatnya. Jika perempuan tersebut
sedang hamil maka situasi trauma yang dialaminya akan
mempengaruhi perkembangan janin yang dikandungnya.
Penyebab Tingginya Angka Konflik Agraria
Tingginya konflik sumber daya alam/agraria dan tata ruang terutama
disebabkan:
• Politik dan prioritas pembangunan infrastruktur yang masif,
terjadinya impunitas, supremasi korporasi, pengabaian hak
masyarakat adat, ketidaktaatan hukum dan diskoneksi kebijakan
pusat dengan daerah.
• Tidak dipatuhinya uji tuntas pemberian izin terkait pembangunan,
seperti memenuhi hak informasi dan partisipasi publik bagi
masyarakat terdampak khususnya perempuan dalam pemberian ijin
lingkungan ataupun analisa dampak lingkungan.
Penyebab Tingginya Angka Konflik
Tingginya konflik sumber daya alam/agraria dan tata ruang terutama disebabkan:
• Kondisi diatas sebelumnya didukung oleh ketidakajekan perundang-undangan
dan kebijakan pertanahan serta tata ruang. Hukum sebagai dasar
penyelenggaraan agraria nasional menjadi sumber konflik akibat pengaturan
yang tidak saling selaras atau tumpang tindih serta keluar dari tujuan awal UU
Agraria untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia, khususnya
petani.
• Hal demikian semakin diperparah dengan UU Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum dan Omnibus Law yang memberi kemudahan luas bagi
investasi, semakin menjauhkan warga negara khususnya perempuan dari
keadilan agraria. Juga hukum yang mendefinisikan hutan adat adalah hutan
negara yang berada di wilayah masyarakat adat (Pasal 1 huruf f UU No. 41/1999
tentang Kehutanan) tidak selaras dengan hak-hak masyarakat adat (Putusan MK
No. 35/PUU-X/2012).
Kepentingan Perempuan Tidak Menjadi
Perhatian Serius
• Dalam penyelesaian konflik maupun program reforma agraria,
kepentingan perempuan tidak menjadi perhatian serius. Begitu pula
dengan kepentingan masyarakat adat. Pembentukan GTRA (Gugus
Tugas Reforma Agraria) sebagai penyelenggara pelaksanaan
Reforma Agraria yang dibentuk dari pusat sampai ke daerah, belum
sepenuhnya menjadikan kepentingan strategis perempuan dalam
program-program legalisasi asset, redistribusi tanah dan
penyelesaian sengketa dan konflik agrarian.
Reforma Agraria Berkeadilan Gender
• Reforma agraria sesungguhnya merupakan upaya yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat dalam mengubah struktur penguasaan dan
pemanfaatan tanah, mulai dari redistribusi tanah diikuti dengan
peningkatan produksi melalui pemberian fasilitas kredit, pendidikan
untuk perbaikan teknik bertani, penyediaan sarana irigasi, dan lain-lain.

• Reforma agraria bukan hanya berhenti pada asset reform yaitu pada
legalisasi aset (tanah) pada subyek penerima namun perlu didukung access
reform melalui akses permodalan, penguatan kapasitas budidaya,
bantuan saprotan, penanganan panen dan paska panen bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat miskin tak bertanah.
Reforma Agraria Berkeadilan Gender
• Kebijakan reforma agraria seharusnya berpihak pada kebutuhan dan
kepentingan masyarakatat miskin dan kelompok marjinal termasuk
perempuan kepala keluarga.

• Kebijakan reforma agraria harus pro-gender yakni berpihak pada keadilan


dan kesetaraan gender sehingga gender menjadi bungkus pada kebijakan
reforma agraria bukan sekedar menjadi salah satu komponen penyangga
dalam reforma agraria. Agenda ini penting untuk diterapkan untuk
menjamin seluruh proses dan tahapan dalam reforma agraria melibatkan
secara aktif peran perempuan, bukan hanya sebagai upaya untuk
memenuhi kuota kehadiran perempuan dalam prosesnya. Sehingga suara
perempuan penting untuk didengarkan dan diintegrasikan dalam
pengambilan keputusan dalam tiap proses reforma agraria yang dilakukan

Anda mungkin juga menyukai