• Prinsip Dominan
Bahwa kekuasaan minoritas (penjajah) menguasai mayoritas (pribumi)
• Eksploitasi
Bahwa hasil kekayaan tanah jajahan digunakan untuk kepentingan
negara penjajah
• Diskriminasi
Penjajah merasa superior / lebih unggul dari pribumi
• Dependensi
Pribumi atau masyarakat jajahan sangat bergantung terhadap penjajah
Pasca Indonesia Merdeka
Momentum kemerdekaan menjadi titik balik hokum agrarian di Indonesia, pendataan dan penataan ulang
dilakukan terhadap jumlah tanah yang diperuntukkan sebagai kebun baik oleh negara maupun oleh swasta di
masa kolonial.
• Dasar pengaturan prihal agraria di Indonesia adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Upaya penyusun hukum agraria nasional dilakukan dengan membentuk tim Ad Hoc
pembentuk peraturan perundang-undangan. Setidaknya terdapat 5 kepanitiaan
yang dibentuk untuk menyusun rancangan undang-undang tersebut. Ditengah
berbagai upaya pengambil alihan kembali (Agresi) oleh Belanda, perancangan
Undang-Undang tersebut dilakukan dari tahun 1948, hingga tahun 1960 barulah
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan. UU Nomor 5 tahun 1960 (UUPA)
masih berlaku hingga sekarang.
1960 – Reformasi
Lima tahun pasca terbitnya UUPA, ditahun 1965 bersaman dengan pecahnya peristiwa G30S, Suharto yang
mengambil alih kekuasaan pasca sukarno mempolitisasi isu PKI dan dikaitkan dengan semangat reforma agrarian
yang diwacanakan bersamaan dengan terbitnya UUPA.
Sertifikat hak atas tanah saat ini menjadi sangat penting sebagai legitimasi kepemilikan
seseorang atau badan usaha terhadap sebidang tanah yang diakui atau disebutkan di
dalamnya. Namun, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tercatat dari 44
juta bidang lahan, hanya 15,88 persen terdaftar atas nama perempuan (2014).
Hak Perempuan Atas Tanah
Perempuan masih terhambat penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan terhadap sumber daya agraria/sumber daya alam.
Padahal UU Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menjamin prinsip keadilan termasuk
kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Pembaharuan agraria yang
dicanangkan belum mampu memenuhi dan melindungi hak perempuan atas tanah dan
sumber daya alam.
Sertifikat hak atas tanah saat ini menjadi sangat penting sebagai legitimasi kepemilikan
seseorang atau badan usaha terhadap sebidang tanah yang diakui atau disebutkan di
dalamnya. Namun, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tercatat dari 44
juta bidang lahan, hanya 15,88 persen terdaftar atas nama perempuan (2014).
Hak Perempuan Atas Tanah
Perempuan masih terhambat penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan terhadap sumber daya agraria/sumber daya alam.
Padahal UU Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menjamin prinsip keadilan termasuk
kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Pembaharuan agraria yang
dicanangkan belum mampu memenuhi dan melindungi hak perempuan atas tanah dan
sumber daya alam.
Sertifikat hak atas tanah saat ini menjadi sangat penting sebagai legitimasi kepemilikan
seseorang atau badan usaha terhadap sebidang tanah yang diakui atau disebutkan di
dalamnya. Namun, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tercatat dari 44
juta bidang lahan, hanya 15,88 persen terdaftar atas nama perempuan (2014).
Subordinasi Peran Perempuan Menyebabkan
Kehilangan Akses Terhadap Manfaat, Kontrol dan
Partisipasi Yang Setara
Subordinasi peran-peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya
alam/agraria juga terjadi dalam pembakuan pekerjaan-pekerjaan
berdasarkan jenis kelamin. Pekerjaan sebagai “petani” atau “nelayan”
merujuk pada jenis kelamin laki-laki. Padahal dalam pengelolaan
pertanian, perempuan terlibat dalam keseluruhan siklus pertanian,
maupun pengolahan dan pemasaran hasil laut. Dampaknya kembali
perempuan tidak mendapatkan akses, manfaat, kontrol dan partisipasi
yang setara terhadap pengelolaan sumber daya alam/agraria. Termasuk
ketika terjadi pengambilalihan sumber daya alam dan tata ruang yang
menimbulkan konflik agraria.
Dampak Konflik Agraria Terhadap Perempuan
• Perampasan tanah berdampak buruk dan berantai terhadap perempuan
yakni hilangnya sumber ekonomi, pangan, air bersih yang merentankan
perempuan dan anak-anak terhadap kekerasan berbasis gender seperti
kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang, maupun kekerasan
seksual.
• Perampasan tanah juga melenyapkan ilmu pengetahuan dan peran-peran
khas perempuan terkait kearifan lokal dan spiritualitas seperti pemuliaan
benih, obat-obatan herbal serta ritual pertanian.
• Konflik sumber daya alam/agraria dan tata ruang ini merentankan
perempuan untuk dikriminalisasi, mengalami pemiskinan dan kehilangan
rasa aman terlebih ketika konflik menyebabkan segregasi sosial akibat
pro kontra dalam masyarakat.
Pemiskinan Struktural Terhadap Perempuan
Yang Kehilangan Hak Atas Tanah
Ketika perempuan tidak memiliki akses dan kepemilikan atas tanah yang setara
dengan laki-laki, perempuan terjebak dalam kemiskinan, dan tidak memiliki
akses pada program dukungan usaha produktif, khususnya dalam industri
pertanian. Perempuan pun menjadi lebih rentan mengalami pemiskinan
karena kehilangan hak kepemilikannya ketika terjadi perceraian maupun
sengketa hak waris.
Kerentanan Perempuan Korban Konflik Agraria
• Reforma agraria bukan hanya berhenti pada asset reform yaitu pada
legalisasi aset (tanah) pada subyek penerima namun perlu didukung access
reform melalui akses permodalan, penguatan kapasitas budidaya,
bantuan saprotan, penanganan panen dan paska panen bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat miskin tak bertanah.
Reforma Agraria Berkeadilan Gender
• Kebijakan reforma agraria seharusnya berpihak pada kebutuhan dan
kepentingan masyarakatat miskin dan kelompok marjinal termasuk
perempuan kepala keluarga.