Anda di halaman 1dari 6

Ahlakul Karimah

2008016024

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah penting sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya masyarakat adat madu manis untuk memperjuangkan serta


mengembalikan wilayah adat dan hutan adat yang mana berubah menjadi lahan usaha?
2. Bagaimana regulasi Regulasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Sebagaimana yang
diubah dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan dalam
melindungi wilayah adat dan hutan adat masyarakat madu manis?

Analisis

A. Upaya Masyarakat Adat Madu Manis Untuk Memperjuangkan serta


Mengembalikan Wilayah Adat dan Hutan Adat

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk
dengan beragam suku bangsa dan budaya, pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat
(MHA) dan kawasan hutan adatnya, menjadi salah satu bukti kehadiran Pemerintah untuk
melindungi hak masyarakat tradisional sekaligus mensejahterakannya dalam bingkai
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam hal inilah masyarakat hukum adat sebenarnya diakui keberadaannya oleh
pemerintah baik itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Meskipun diakui oleh
konstitusi, masyarakat hukum adat seringkali diabaikan dalam perumusan aneka
kebijakan, perencanaan dan proses pembangunan di Indonesia. Hal ini juga yang
melahirkan ketegangan-ketegangan selama ini hadir antara masyarakat hukum adat
berhadapan dengan kebijakan pembangunan yang digagas oleh pemerintah negara
Republik Indonesia.

Kasus yang seringkali muncul adalah kebijakan pemerintah berkaitan dengan


sumber daya alam di wilayah masyarakat hukum adat. Benturan yang sering terjadi
ketika terdapat peraturan pemerintah yang memperuntukan kawasan tertentu di wilayah
hukum adat baik itu perkebunan, atau pun aktivitas pembangunan lainnya yang
menegaskan keberadaan dan mengabaikan aspirasi masyarakat hukum adat sebgaimana
pada masyarakat adat madu manis yang secara historis dan turun-temurun memiliki hak
atas wilayah tersebut. Kebijakan pemerintah ini menyebabkan masyarakat adat tersisih,
tidak memiliki posisi tawar untuk menolak pihak luar seperti perusahaan-perussahaan
yang merusak bahkan menghancurkan lingkungan hidup, sumber penghidupan, budaya
dan kepercayaan serta struktur sosial mereka.
Proses pembangunan dengan penekanan pada pembangunan infrastruktur dan
pengelolaan sumber daya alam serta pelestarian lingkungan hidup membutuhkan
kepastian hak penguasaan atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Pelaksanaan
pembangunan tanpa penyelesaian terlebih dulu masalah tumpang-tindih hak atas tanah
masyarakat hukum adat tentu akan menambah rumit masalah. Negara sebagai pemangku
utama kewajiban penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM semestinya
memprioritaskan penyelesaian masalah ini sebelum ada kegiatan pembangunan lebih
lanjut.
Mengenai Keberadaan hukum adat di Indonesia tidak terlepas dari pengakuan
keberadaan komunitas masyarakat adat yang dituangkan secara tertulis di dalam
konstitusi. Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.” Sepanjang adat istiadat masih dijaga dan diwarisi turun temurun
antargenerasi, maka terhadap hukum adat tersebut senantiasa terjaga eksistensi dan
pengakuannya sebagai salah satu sumber hukum positif di Indonesia.

Eksistensi masyarakat adat madu manis ternyata telah semaksimal mungkin


dalam menjaga serta melestarikan sumber daya lahan tetapi pada akhirnya hutan yang
mulanya menjadi milik masyarakat adat beralih status menjadi lahan usaha atau
perusahaan sawit. Dari hal inilah menyebabkan konflik yang mana ini melibatkan
korporasi dan masyarakat dengan banyak dimensi sosial, ekonomi, politik dan
lingkungan yang bersumber pada permasalahan penguasaan lahan oleh korporasi.

Dalam hal ini termasuk pelanggaran korporosi besar perkebunan di dalam


mengabaikan hak-hak masyarakat seperti perampasan lahan dan kerusakan lingkungan
yang membuat masyarakat tidak dapat memanfaatkan potensi hutan dan lahan gambut
sehingga mengurangi kualitas hidup mereka. Konflik terjadi dikarenakan perusahaan
tidak melaksanakan tanggungjawab membangun perkebunan rakyat sebagai bagian dari
hak yang harus diberikan kepada masyarakat setempat. Ketidakmampuan negara di
dalam mengawal pelaksanaan kewajibankewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan
kemudian membuat konflik ini terus berlangsung tanpa ada kejelasan penyelesaiannya.

Permasalahan konflik yang melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit


meliputi konflik lahan, degradasi lingkungan, konflik. Tata kelola perkebunan sawit yang
buruk mengakibatkan penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak kepada
masyarakat sehingga perusahaan perkebunan mengabaikan tanggungjawab sosial dan
tanggungjawab lingkungan bagi masyarakat adat madu manis.
Upaya masyarakat adat dalam mempertahankan lingkungan hidup sekitarnya
tidak terlepas dari adat yang tumbuh dan berkembang serta yang diwarisi oleh nenek
moyangnya. Komunitas masyarakat adat menyimpan keterampilan yang umum dikenal
dengan kearifan tradisional, yang apabila dikembangkan akan memberikan sumbangsih
terhadap pengelolaan dan pelestarian lingkungan. Sifat masyarakat adat adalah
kosmismagis, akan tetapi dalam hal penjagaan dan pengelolaan lingkungan bias saja
bergeser ke sifat yang lebih religius. Hal ini dikarenakan mereka hidup, tumbuh dan
berkembang dengan bergantung pada keadaan alam sekitarnya, sehingga mereka sangat
bijaksana dan bertanggungjawab dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan.

Eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat beserta hakhak yang melekat


terhadapnya, termasuk hak-hak atas sumber daya alam adalah suatu realitas yang tidak
dapat diabaikan., termasuk masyarakat hukum adat madu manis memiliki kearifan
tradisional atau tradisi yang khas dalam pengelolaan, perlindungan dan pelestarian
lingkungannya. Oleh karena itu perlunya pemerintah daerah dalam membantu masyarakat
hukum adat madu manis dalam memperjuangkan hak-hak atas tanah agar kepentingan
masyarakat terlindungi daripada wilayah adat atau lahan adat.

Tanah adat masyarakat madu manis secara visual dapat dilihat. Namun secara
legal formal keberadaan tanah adat tersebut mungkin sulit untuk dibuktikan karena tidak
ada sertifikat tanah adat dan belum ada perda yang memberikan pengukuhan atau
pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat beserta tanah adatnya. Ini menandakan
penghormatan dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat beserta hak-hak
tradisionalnya terutama hak atas tanah adat belum optimal. Pengambilalihan tanah adat
untuk perkebunan harus dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai
mufakat/sepakat, termasuk kesepakatan mengenai imbalan yang harus diberikan kepada
masyarakat adat. Musyawarah tersebut belum berjalan dengan baik, perusahaan yang
ngambil alih lahan tersebut sehingga pengambilalihan tanah adat merugikan masyarakat
adat.
Tanah adat adakalanya juga diambil oleh aparat dan langsung diberikan kepada
penanam modal karena menganggap tanah tersebut merupakan tanah negara. Ini
disebabkan tidak adanya bukti legal formal yang dapat menguatkan keberadaan tanah
adat tersebut. Pengambilalihan tanah adat juga dapat mengakibatkan hilangnya tanah adat
karena tanah adat yang digunakan untuk perkebunan berubah menjadi tanah HGU yang
menjadi tanah negara jika jangka waktunya telah berakhir.

B. Regulasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Sebagaimana yang diubah dalam


Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan dalam melindungi
wilayah adat dan hutan adat.
Terkait dengan penggunaan tanah untuk perkebunan, Pasal 9 ayat (1) UU No. 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan mengatur bahwa dalam rangka penyelenggaraan usaha
perkebunan, kepada pelaku usaha sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas
tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum
adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat
hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan
imbalannya (Pasal 9 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004). Lebih lanjut dalam Penjelasan
Pasal 9 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 dijelaskan bahwa ”musyawarah dengan
masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan para warga pemegang hak atas tanah
tidak selamanya diikuti dengan pemberian hak atas tanah”.

Selanjutnya UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan bertujuan untuk


meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan devisa negara, menyediakan lapangan
kerja dan kesempatan usaha, meningkatkan produksi dan daya saing pasar, memberikan
perlindungan kepada pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar perkebunan peran Pemerintah sangat diperlukan dalam
hal pengelolaan lahan perkebunan.

Saling klaimnya kepemilikan hutan antara negara yang dalam hal ini kementrian
kehutanan dengan masyarakat hukum adat yang menjadi sebab awal terjadinya konflik
antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah maupun dengan perusahaan. Negara
berdalih bahwahutan telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai hutan negara dengan adanya
kawasan hutan namun di sisi lain masyarakat hukum adat berdalih bahwa hutan dimiliki
semenjak sebelum negara itu ada.

Dalam hal suatu organ pemerintah melakukan tindakan berdasarkan kewenangan


terikat, mesti dilihat dan diperhatikan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya,
baik menyangkut kewenangan, materi atau substansi, prosedur, wujud tindakannya, dan
sebagainya. Sebaliknya, dalam hal pemerintah mendasarkan pada kewenangan diskresi
yang dapat digunakan sebagai koridor tindakan tersebut bukan lagi peraturan perundang-
undangan yang berlaku, melainkan hukum tidak tertulis, misalnya asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Kewenangan mesti dibatasi dari segi kewilayahan, segi
substansi, dan sekaligus dari segi waktu penggunaannya. Demikian pula prosedur dalam
bertindak dan substansi yang diputuskan semuanya harus mengikuti ketentuan yang
berlaku. Dalam menerbitkan izin usaha perkebunan harus memperhatikan tanah hak
ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimuat dalam Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan bahwa:

1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas


Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal
telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha
Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

Dalam hal ini perusahaan sawit harus mencapai persetujuan daripada masyarakat
hukum adat madu manis agar pejabat yang berwenang dapat menerbitkan izin usaha
perkebunan.

Selanjutnya mengenai tindak pidana perizinan di bidang perkebunan, seperti setiap


pejabat yang menerbitkan izin usaha perkebunan atas tanah di hak ulayat masyarakat
hukum adatdan setiap perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budi daya tanaman
perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan
dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin usaha perkebunan atau ,
menteri, gubernur dan bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin usaha
perkebunan yang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan peruntukan; dan/ atau tidak
sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pelaku usaha
perkebunan yang setelah memperoleh izin usaha perkebunan tidak melaksanakan
kewajiban menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya
pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, analisis
risiko lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup.

NASIONAL, I., & MANUSIA, K. N. H. A. (2016). Hak Masyarakat Hukum Adat


atas wilayahnya di Kawasan Hutan. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.
Sutarja, D. M., Suwitra, I. M., & Bagiaarta, I. P. (2019). Alih Fungsi Hak Atas
Tanah Adat Di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. WICAKSANA: Jurnal
Lingkungan dan Pembangunan, 3(1), 10-15.
Windari, R. A. (2014). Keberpihakan Regulasi Pertanahan Terhadap Hak
Masyarakat Adat (Studi Kasus Sengketa Tanah Adat Di Desa Kubutambahan, Kecamatan
Kubutambahan, Kabupaten Buleleng). Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 3(1).
Lanes, V. E. (2021). TINDAK PIDANA PERIZINAN DI BIDANG
PERKEBUNAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014
TENTANG PERKEBUNAN. LEX PRIVATUM, 9(8).

Anda mungkin juga menyukai