Anda di halaman 1dari 6

Nur Febryanti Burhanuddin

PMH A 2018

Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat,


Antara Cita-Cita dan Realita
Masyarakat adat merupakan sekelompok manusia yang hidup bersama di
daerah tertentu, memiliki kepengurusan dan tatanan hukumnya sendiri, dan
menjujung tinggi nilai-nilai leluhur dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Kehadiran masyarakat adat telah ada sejak masa kolonial Belanda dan
diakui secara konstitusional pasca kemerdekaan. Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) mencatat bahwa terdapat 2.359 komunitas adat yang tersebar
di Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 17 juta jiwa.

Masyarakat adat adalah warga negara yang juga perlu mendapatkan


pengakuan dan perlindungan dari pemerintah untuk tetap mempertahankan hak-
hak komunalnya. Meskipun eksistensinya diakui secara konstitusional, jika
dihubungkan dengan kepentingan pembagunan dan era globalisasi, terjadi
kontradiktif yang cenderung mengesampingkan masyarakat adat sehingga
seringkali menimbulkan konflik agraria.

Kendati telah diatur lebih lanjut dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, dan undang-undang sektoral lainnya seperti UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan serta dua peraturan materi yaitu peraturan Menteri
Agraria No. 5 tahun 1999 dan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2004,
peraturan-peraturan tersebut memiliki substansi yang berbeda-beda dan belum
spesifik mengatur tentang hak ulayat masyarakat adat.

Bahkan UUPA1 yang dalam konsidennya menyatakan dibuatnya hukum


agraria nasional berdasarkan hukum adat, tidak mengatur secara detail tentang
masyarakat adat beserta hak-haknya dan memberikan pemerintah daerah untuk
mengatur lebih lanjut mengenai hak ulayat daerahnya masing-masing dengan

1
Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria
dalih agar tidak menghambat hak alamiah hukum adat. Namun pada kenyataannya
hal ini semakin melemahkan masyarakat adat karena tidak memiliki kepastian
hukum.

Padahal keberadaan masyarakat adat penting untuk terus dipertahankan


karena mereka pun memiliki hak seperti warga negara lainnya. Terlebih lagi
kelompok masyarakat adat juga banyak memberikan kontribusi untuk negeri ini.
Seperti dalam pelestarian lingkungan hidup dan perekonomian nasional.

Kontak mayarakat adat dengan sumber daya alam telah terbentuk turun-
menurun secara alamiah. Penggunaan lahan untuk bercocok tanam, serta
mengolah produk kayu sebagai sumber penghidupan mereka telah mampu
mengembangkan penghidupan dan kebudayaan. Meskipun masih bersifat
tradisional masyarakat adat mampu mengelola lingkungan secara bijak dan
bertanggungjawab serta terbukti lebih berwawasan lingkungan jika dibandingkan
dengan teknologi modern.

Sistem ekonomi masyarakat adat juga mampu menjadi potensi bagi


stabilitas ekonomi nasional, salah satunya pada krisis ekonomi global pada tahun
2008. Riset yang dilakukan AMAN pada tahun 2018 menunjukkan bahwa nilai
ekonomi pengelolaan sumber daya alam di enam wilayah adat menghasilkan
Rp.159,29 miliar per tahun serta nilai jasa lingkungan mencapai Rp. 170,77 miliar
per tahun.

Hal ini mematahkan anggapan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa


masyarakat adat masih bersifat feodal, terbelakang dan tidak perlu dilestarikan.
Oleh karena itu pemerintah tidak boleh abai dan harus memperhatikan nasib serta
hak-hak mereka dengan lebih serius.

Pasal 18b ayat (2) UUD 1945 secara jelas dikatakan bahwa negara
mengakui dan meghormati kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. Pasal 3 UUPA menjelaskan bahwa hak ulayat diakui “sepanjang
kenyataannya masih ada.” Begitupun dalam pasal 67 UU No.41 tentang
Kehutanan dan pasal 9 UU. No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Secara
historis, peraturan tentang syarat pengakuan masyarakat adat ini lebih banyak
pasca kemerdekaan jika dibanding dengan masa kolonial Belanda. Artinya lebih
banyak pengekangan yang didapatkan masyarakat adat pasca kemerdekaan.

Satjipto Raharjo (2005:45) menyatakan bahwa persyaratan keberadaan


masyarakat adat yang terdapat dalam konstitusi harus dipandang sebagai dominasi
negara yang berlebihan. Syarat-syarat itu tidak tepat ditujukan kepada komunitas
yang secara sosiologis otonom mampu mengatur dirinya sendiri sehingga
mendukung tertib hukum yang menjadi proyek besar negara.

Pun meski banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan


peraturan menteri, hal-hal yang mengenai penegakan hukum terhadap hak ulayat
masyarakat adat belum termaktub secara secara jelas.

Belum lagi RUU masyarakat Hukum Adat yang telah masuk dalam
PROLEGNAS2 gagal ketuk palu dalam dua periode jabatan DPR RI padahal RUU
ini diharapkan dapat menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat adat secara komperhensif. Mengingat masyarakat adat yang tak lepas
dari ancaman konflik agraria berupa penyerobotan dan penggusuran lahan serta
intimidasi.

Pada tahun 2018 telah terjadi sebanyak 326 konflik agraria di berbagai
wilayah adat di indonesia. Sebanyak 176.637 masyarakat adat telah menjadi
korban atas konflik tersebut. Tak sekadar tentang penyerobotan lahan, pengambil
alihan sertifikat tapi juga menyerang psikis masyarakat adat dengan adanya teror
dan ancaman. Contohnya, masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur yang pada
bulan Mei lalu mendapatkan intimidasi dan diskriminasi langsung dari pemprov
NTT. Masalah yang telah berlangsung selama 12 tahun ini belum juga
menemukan penyelesaian.

2
Program Legislasi Nasional
Kemudian dengan adanya UU Cipta Kerja yang akan membuka keran
investasi seluas-luasnya di Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi pengadaan
lahan untuk kegiatan usaha. Bukan tidak mungkin potensi konflik agraria dan
perampasan tanah di wilayah adat akan terus meningkat selama belum ada
kejelasan aturan hukum.

Itulah mengapa penting bagi masyarakat adat untuk memperoleh


legitimasi formal, bukan sekadar diatur dalam UUD, UU sektoral, maupun
peraturan menteri. Sebab mereka adalah subjek hukum yang sangat rentan terkena
dampak investasi.

Konstelasi hukum di negeri ini sangat mempengaruhi nasib masyarakat


adat. Karena itu penting bagi pemerintah untuk memeriksa dan memperbaiki
kembali peraturan-peraturan yang telah ada, serta menindaklanjuti RUU
Masyarakat Hukum Adat yang sejak Februari lalu masih dalam tahap
harmonisasi.

Indonesia sebagai negara hukum sudah seharusnya menjamin hak-hak


warga negaranya dalam setiap peraturan yang dibuat, termasuk masyarakat adat.
Pun hukum yang dibuat sebaiknya tidak sekadar tercantum di lembar negara, tapi
benar-benar dapat terasa implemetasinya di lapangan.

Indonesia akan tetap bisa menjadi negara maju tanpa harus menghilangkan
identitas budaya, termasuk masyarakat adatnya. Bahkan Indonesia akan jauh lebih
hebat ketika pemerintah hadir dengan sebenar-benarnya hadir dan memberikan
penghormatan, perlindungan serta memenuhi hak-hak masyarakat adat. Dengan
demikian keduanya dapat berjalan beriringan.
Referensi

Peraturan Perundang-Undangan / Peraturan Menteri

UUD 1945

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria

UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Peraturan Menteri Agraria No.5 tahun 1999

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2004

Buku

Dyah, Ayu dkk, 2019, Pengakuan dan Pelindungan Hak Atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat di Kawasan Hutan,STPN Press, Yogyakarta.

Raharjo,Satjipto, “Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia


(Perspektif Sosiologi Hukum)” dalam Hilmy Rosyida, Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat, Komnasham, Mahkamah Konstitusi dan Departemen
Dalam Negeri

Steni, Bernadius, 2009, Pemanasan Global: Respon Pemerintah dan Dampaknya


Terhadap Hak Masyarakat Adat, HuMa, Jakarta.

Jurnal/Artikel

Ismelina, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

YLBHI, Kontribusi Masyarakat Adat Untuk Indonesia

HuMa, Masyarakat Adat dan Jalan Keluar Konflik

Anda mungkin juga menyukai