A. PENDAHULUAN.
Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia secara
faktual sudah ada sejak jaman nenek moyang hingga saat ini.
Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya
masing-masing tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu.
Hal ini antara lain dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Van Vollenhoven yang membagi 19 wilayah hukum adat yaitu (1)
Aceh, (2) Gayo, Alas, Batak dan Nias (3) Minangkabau, Mentawai, (4)
Sumatera Selatan, Enggano, (5) Melayu, (6) Bangka, Belitung, (7)
Kalimantan, (8) Minahasa, (9) Gorontalo, (10) Toraja, (11) Sulawesi
Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku, (14) Irian Barat, (15)
Kepulauan Timor, (16) Bali, Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa Timur,
Madura, (18) Solo, Yogyakarta, (19) Jawa Barat, Jakarta. 3
Masyarakat hukum adat adalah kesatuan masyarakat bersifat
teritorial atau geneologis yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki
warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain
dan dapat bertindak ke dalam atau luar sebagai satu kesatuan hukum
atau subyek hukum yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri.
Yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum
yang bersifat territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang
anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman
tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun
1
Disampaikan pada Focus Group Discussion Penyusunan Raperda Pengakuan Dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Enggano.
2
Perancang Madya Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu
3
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010),
dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh
leluhur.4 Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang
bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di
mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama
dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian
perkawinan atau pertalian adat.
Secara konstitusional, Undang-undang Dasar 1945 telah
menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek
hukum yang berbeda dengan subyek hukum lainnya. Hal ini sudah
tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana pada bagian
penjelasan UUD 1945 terdapat penjelasan mengenai “persekutuan
hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya
sudah ada sebelum proklamasi Republik Indonesia. Dalam penjelasan
UUD 1945 dituliskan bahwa: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan
volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut
dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
Ketika dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, bagian
penjelasan UUD 1945 dihapus keberadaannya. Kemudian dasar hukum
mengenai keberadaan masyarakat adat diletakkan pada Batang Tubuh
UUD 1945. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil
amandemen kedua menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pasal 18B ayat (2) UUD
4
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV Mandar
Maju, 2003), hlm. 108.
1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat
menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan
menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat.
Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau
persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai
masyarakat hukum adat. Ada empat persyaratan keberadaan
masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara lain: (a)
Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat;
(c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam
undang-undang.
Adanya persyaratan yang dibutuhkan dalam rangka pengakuan
dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat
mengakibatkan perlunya sebuah mekanisme atau prosedur dalam
pelaksanaannya untuk membuktikan bahwa masyarakat hukum adat
yang akan diakui tersebut memang masih hidup serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Terkait dengan tema Focus Group Discussion Penyusunan
Raperda Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Enggano, maka makalah ini akan menyoroti persoalan mekanisme
dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat sebagai
dasar dalam penetapan atau pengukuhan masyarakat hukum adat itu
sendiri.
b. Pasal 5 :
b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
D. PENUTUP
Persoalan mekanisme dalam rangka pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat merupakan persoalan prosedur
formal yang harus diikuti tahap demi tahap dalam rangka
melaksanakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Mekanisme ini tidak hanya bersifat formalitas semata namun menjadi
dasar bagi pemerintah daerah dalam menetapkan suatu masyarakat
hukum adat sehingga dalam pelaksanaan pengakuan dan
perlindungannya dapat dilaksanakan secara efektif dan memiliki daya
laku dan daya ikat bagi seluruh masyarakat, pemerintah, dan juga pihak
lain.