Anda di halaman 1dari 13

MEKANISME PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN

MASYARAKAT HUKUM ADAT1


OLEH :

JISI NASISTIAWAN, SH., MH2

A. PENDAHULUAN.
Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia secara
faktual sudah ada sejak jaman nenek moyang hingga saat ini.
Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya
masing-masing tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu.
Hal ini antara lain dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Van Vollenhoven yang membagi 19 wilayah hukum adat yaitu (1)
Aceh, (2) Gayo, Alas, Batak dan Nias (3) Minangkabau, Mentawai, (4)
Sumatera Selatan, Enggano, (5) Melayu, (6) Bangka, Belitung, (7)
Kalimantan, (8) Minahasa, (9) Gorontalo, (10) Toraja, (11) Sulawesi
Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku, (14) Irian Barat, (15)
Kepulauan Timor, (16) Bali, Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa Timur,
Madura, (18) Solo, Yogyakarta, (19) Jawa Barat, Jakarta. 3
Masyarakat hukum adat adalah kesatuan masyarakat bersifat
teritorial atau geneologis yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki
warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain
dan dapat bertindak ke dalam atau luar sebagai satu kesatuan hukum
atau subyek hukum yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri.
Yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum
yang bersifat territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang
anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman
tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun

1
Disampaikan pada Focus Group Discussion Penyusunan Raperda Pengakuan Dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Enggano.
2
Perancang Madya Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu
3
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010),
dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh
leluhur.4 Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang
bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di
mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama
dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian
perkawinan atau pertalian adat.
Secara konstitusional, Undang-undang Dasar 1945 telah
menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek
hukum yang berbeda dengan subyek hukum lainnya. Hal ini sudah
tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana pada bagian
penjelasan UUD 1945 terdapat penjelasan mengenai “persekutuan
hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya
sudah ada sebelum proklamasi Republik Indonesia. Dalam penjelasan
UUD 1945 dituliskan bahwa: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan
volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut
dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
Ketika dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, bagian
penjelasan UUD 1945 dihapus keberadaannya. Kemudian dasar hukum
mengenai keberadaan masyarakat adat diletakkan pada Batang Tubuh
UUD 1945. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil
amandemen kedua menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pasal 18B ayat (2) UUD
4
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV Mandar
Maju, 2003), hlm. 108.
1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat
menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan
menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat.
Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau
persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai
masyarakat hukum adat. Ada empat persyaratan keberadaan
masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara lain: (a)
Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat;
(c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam
undang-undang.
Adanya persyaratan yang dibutuhkan dalam rangka pengakuan
dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat
mengakibatkan perlunya sebuah mekanisme atau prosedur dalam
pelaksanaannya untuk membuktikan bahwa masyarakat hukum adat
yang akan diakui tersebut memang masih hidup serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Terkait dengan tema Focus Group Discussion Penyusunan
Raperda Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Enggano, maka makalah ini akan menyoroti persoalan mekanisme
dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat sebagai
dasar dalam penetapan atau pengukuhan masyarakat hukum adat itu
sendiri.

B. MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN INDONESIA.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dapat ditemukan dalam
sejumlah undang-undang. Dalam konteks tata pemerintahan, pertama
kali istilah masyarakat hukum adat ditemukan secara resmi di dalam
undang-undang yang berlaku di Indonesia adalah pada UU No. 1
Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Di dalam
undang-undang tersebut masyarakat hukum adat dipertimbangkan
sebagai bagian dari pemerintahan republik yang akan berkedudukan
sebagai daerah otonom pada tingkat ketiga, bersamaan dengan desa.
Selanjutnya dalam UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai
Bentuk Peralihan Untuk Mencapau Terwujudnya Daerah Tingkat III Di
Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Dalam undang-undang ini
masyarakat hukum adat dan kesatuan-kesatuan hukum lainnya yang
berbasis territorial ditetapkan sebagai daerah tingkat ketiga yang
disebut dengan Desapraja. Bahkan di dalam undang-undang itu pula
disadari pentingnya peran masyarakat hukum adat dalam
menyukseskan agenda revolusi. Kemudian dalam konteks hukum
agraria pengaturan mengenai masyarakat hukum adat terdapat di
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa
pelaksanaan hak menguasai dari negara dalam pelaksanaannya bisa
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat. Dalam hal ini masyarakat hukum adat bisa
menerima delegasi kewenangan penguasaan negara atas bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam. Jika ada bidang tanah yang
dikuasai langsung oleh negara (tanah negara), termasuk yang berasal
dari tanah bekas hak erfpact bahkan bekas hak guna usaha (HGU),
penguasaannya dapat didelegasikan kepada masyarakat hukum adat,
agar tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bisa dicapai.
Kemudian penyebutan masyarakat hukum adat terdapat dalam
pengaturan pengakuan keberadaan hak ulayat. Hal ini terdapat dalam
Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.
Pada masa Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang
mengatur mengenai hak masyarakat hukum adat. Tercatat hanya UU
No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang menentukan bahwa
pelaksanaan hak menguasai negara dalam bidang pengairan tetap
menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (Pasal 3
ayat [3]). Undang-undang ini sekarang sudah tidak berlaku lagi karena
sudah diganti dengan UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumberdaya Air,
yang juga menyebut masyarakat hukum adat yang harus diperhatikan.
Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2019 ini
menyatakan bahwa “Penguasaan Sumber Daya Air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah dengan tetap mengakui Hak Ulayat
Masyarakat Adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan ketentuan
peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya dalam ayat (3)
disebutkan bahwa “Hak Ulayat dari Masyarakat Adat atas Sumber Daya
Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang
kenyataannya masih ada dan telah diatur dengan Peraturan Daerah”.
Kemudian, dalam penjelasan ayat (3) disebutkan bahwa pengakuan
adanya Hak Ulayat Masyarakat Adat, termasuk hak yang serupa
dengan itu dipahami bahwa yang dimaksud dengan Masyarakat Adat
adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang
didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan.
Hak Ulayat Masyarakat Adat dianggap masih ada apabila memenuhi
tiga unsur, yaitu
a. unsur Masyarakat Adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang
masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan
menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari;
b. unsur wilayah, yaitu terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan
tempat mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dan wilayahnya, yaitu
terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan,
dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati
oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Berbeda dengan masa Orde Baru, pada masa pasca Orde
Baru sejak tahun 1998 ada banyak undang-undang yang dibuat oleh
pemerintah bersama-sama dengan DPR yang mengatur mengenai
keberadaan dan hak-hak masyarakat adat antara lain :
a. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
b. UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang dan UU No. 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
c. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja.
d. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
e. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
f.UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
g. UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumberdaya Air sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
h. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
i. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dan UU No. 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
j. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
k. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
l. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
m. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
n. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
o. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah
dengan PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan dan
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Di samping itu pengaturan keberadaan dan hak-hak
masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam beberapa undang-
undang otonomi khusus sebagai berikut:
a. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun
2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
b. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
c. UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah
Yogyakarta.
Banyaknya jumlah undang-undang ini menunjukan bahwa
penempatan masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-
undangan, terutama dalam undang-undang yang berkaitan dengan
tanah dan sumber daya alam lainnya, merupakan kecenderungan
legislasi pada masa pasca Orde Baru. Secara kuantitatif telah banyak
undang-undang mengenai masyarakat hukum adat, bahkan ada kesan
tidak lengkap bila pemerintah atau menyiapkan undang-undang tanpa
memasukkan pengaturan mengenai masyarakat hukum adat. Namun
pada sisi lain dapat dipahami bahwa masa pasca Orde Baru atau Orde
Reformasi juga merupakan era kebangkitan masyarakat hukum adat
dalam proses legislasi. Hal ini tentu juga dapat dikatakan sebagai hasil
perjuangan masyarakat sipil terhadap hak-hak masyarakat hukum adat
walaupun baru pada tahap legislasi.

C. MEKANISME PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT


HUKUM ADAT.
Pengaturan lebih lanjut dan penetapan terhadap kebaradaan
dan hak-hak masyarakat hukum adat merupakan kewenangan daerah.
Untuk itu bentuk hukum yang sesuai untuk pengaturan dan penetapan
keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat adalah produk
hukum daerah terutama peraturan daerah (Perda). Bahkan ada
undang-undang sektoral seperti kehutanan dan perkebunan yang
mensyaratkan pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak
masyarakat hukum adat itu mensyaratkan adanya Perda
pengakuannya. Untuk menyambut tantangan ini maka pemerintah
daerah terutama kabupaten/kota perlu didorong untuk segera
membentuk Perda terkait dengan pengakuan terhadap keberadaan dan
hak-hak masyarakat hukum adat.
Untuk itu model atau pengaturannya juga hendaknya
dibedakan. Berdasarkan perbedaan keberadaan dan kondisi
masyarakat hukum adat pada masing-masing daerah di Indonesia
maka dapat dibedakan model regulasi pengakuan dan pengormatan
terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat sebegai
berikut:

a. Untuk daerah yang kondisi masyarakat hukum adatnya homogen


model pengaturannya bisa dilakukan dengan membentuk Perda
Pengaturan tentang Keberadaan dan Hak-Hak Masyarakat Hukum
Adat.
b. Untuk daerah yang kondisi masyarakat hukum adatnya heterogen
model regulasinya bisa dilakukan dengan membentuk Perda
Penetapan.
c. Sedangkan untuk daerah yang akan menjadikan kesatuan
masyarakat hukum adatnya sebagai desa adat, sebagai dimaksud
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, model regulasinya tersendiri
pula, yaitu dalam Perda Pembentukan Desa Adat.
Namun demikian, banyak pula daerah yang membentuk
peraturan daerah tentang tata cara pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat dan tidak menetapkan masyarakat hukum adat
itu sendiri.
Ada beberapa petanda yang bisa dipakai untuk
mengidentifikasi variasi skema pengakuan. Petanda pertama adalah
bentuk produk hukum pengukuhan atau penetapan keberadaan MHA.
Adapun pertanda kedua adalah jenis kewenangan atau hak yang
diakui. Untuk pertanda yang pertama yaitu bentuk produk hukum,
paling tidak ada 3 kelompok peraturan perundangan, yaitu:
a. kelompok yang menentukan bahwa pengukuhan atau penetapan
keberadaan MHA dengan peraturan daerah. Contoh untuk ini
adalah UU Kehutanan dan UU Perkebunan. Di luar produk
legislasi, putusan MK 35/PUUX/2012 menegaskan ketentuan
pengukuhan dengan Perda tersebut;
b. kelompok yang menentukan bahwa pengukuhan dilakukan
dengan Keputusan Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Contohnya
adalah Permendagri No. 52/2014; dan
c. kelompok yang menentukan pengukuhan atau penetapan
keberadaan dapat dilakukan oleh sebuah Tim bentukan
Bupati/Walikota. Contoh untuk ini adalah Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang No. 9/2015.
Petanda ketiga adalah perbedaan kewenangan atau hak yang
diakui. Variasi karena perbedaan pada hal tersebut bisa dibagi ke
dalam dua, yaitu:
a. peraturan perundangan yang mengatur mengenai pengakuan hak
atas sumberdaya alam. Contohnya adalah Perber tahun 2014,
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 9/2015 dan
Perarturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 31/2015
tentang Hutan Hak; dan
b. peraturan perundangan yang mengatur pengakuan MHA sebagai
self-governing community dan dengan demikian diakui
kewenangannya untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Contohnya adalah UU Desa.
Tahapan pengakuan masyarakat hukum adat secara garis
besar bisa dibagi ke dalam dua, yaitu: (i) pengukuhan atau penetapan
keberadaan; dan (ii) pengakuan hak atau kewenangan. Pengukuhan
atau penetapan keberadaan pada dasarnya adalah proses untuk
memeriksa pemenuhan kriteria masyarakat hukum adat oleh suatu
komunitas. Kriteria untuk memeriksa keberadaan merupakan tuntutan
dari ketentuan dalam konstitusi dan peraturan perundangan lainnya
yang mensyaratkan ‘masih hidup’ untuk mengakui masyarakat hukum
adat. Dengan demikian, keadaan masih hidup diukur dengan sejumlah
kriteria. Ujung tahapan pengukuhan atau penetapan keberadaan
adalah kejelasan unit sosial yang akan berperan sebagai subyek
hukum. Dengan diperjelasnya unit sosial yang akan menjadi subyek
hukum, tahapan ini menyiapkan jalan ke tahapan kedua yaitu
pengakuan kewenangan dan hak. Tahapan kedua memerlukan
kejelasan subyek yang akan diakui hak-haknya atas sumber daya alam
atau hak-hak tradisional lainnya, atau kewenangan untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan.
Adapun mekanisme penetapan masyarakat hukum adat secara
khusus di atur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun
2014 Sebagai Peraturan Teknis, Permendagri Nomor 52 tahun 2014
mengatur dengan detail Mekanisme Pengakuan serta di mana
kewenangan tersebut berada, walaupun itu hanya sebatas kepada
Pengakuan Komunitas (Kelompok) dan belum secara khusus mengakui
wilayahnya. Urusan kewenangan dapat ditemui dalam Pasal 3 ayat (2)
yang berbunyi “Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan
dan perlindungan masyarakat hukum adat”. Selanjutnya dalam Ayat (3)
mengatur mengenai menyangkut kewenangan dari instansi terkait
untuk masuk dalam struktur, yaitu :

a. Sekda kabupaten/kota sbg ketua;

b. Kepala SKPD yang membidangi Pemberdayaan Masyarakat


sebagai Sekretaris;

c. Kabag Hukum Kab/Kota sebagai Anggota;

d. Camat atau sebutan lain sebagai Anggota;

e. Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik MHA sebagai Anggota.

Kemudian dalam Ayat (4) disebutkan bahwa Struktur organisasi


Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota ditetapkan dengan
Keputusan Bupati/walikota.

Adapun mekanisme pengakuan masyarakat hukum adat diatur


sebagai berikut:

a. Pasal 4 Pengakuan dan perlindungan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 dilakukan melalui tahapan:

1. identifikasi Masyarakat Hukum Adat;


2. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan

3. penetapan Masyarakat Hukum Adat

b. Pasal 5 :

(1) Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan


identifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a
dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok
masyarakat.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mencermati:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;

b. wilayah Adat;

c. hukum Adat;

d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan

e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

(3) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dilakukan verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat
Hukum Adat kabupaten/ kota. 4. Hasil verifikasi dan validasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diumumkan kepada
Masyarakat Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu)
bulan.
c. Pasal 6

(1) Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota


menyampaikan rekomendasi kepada Bupati/Walikota
berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).

(2) Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan


perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan
rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan
Keputusan Kepala Daerah.
(3) Dalam hal masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau
lebih kabupaten/kota, pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Keputusan
Bersama Kepala Daerah.

D. PENUTUP
Persoalan mekanisme dalam rangka pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat merupakan persoalan prosedur
formal yang harus diikuti tahap demi tahap dalam rangka
melaksanakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Mekanisme ini tidak hanya bersifat formalitas semata namun menjadi
dasar bagi pemerintah daerah dalam menetapkan suatu masyarakat
hukum adat sehingga dalam pelaksanaan pengakuan dan
perlindungannya dapat dilaksanakan secara efektif dan memiliki daya
laku dan daya ikat bagi seluruh masyarakat, pemerintah, dan juga pihak
lain.

Anda mungkin juga menyukai