Anda di halaman 1dari 89

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia memiliki berbagai macam suku dan adat yang memiliki

ciri khas di setiap daerahnya, Indonesia merupakan negara yang mengakui

keberlakuan hukum adat. Istilah “Hukum Adat” adalah terjemahan dari istilah

dalam bahasa Belanda : “adatrecht’’ dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. 1

Namun dalam arti sempit dan sehari hari, maka yang dimaksud dengan “Hukum

Adat” adalah hukum asli yang tidak tertulis, yang berdasarkan kebudayaan dan

pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberi pedoman kepada sebagian

besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara

yang satu dengan yang lain baik di kota maupun dan lebih lebih di desa.2 Dan

diakui secara implisit dalam UUD 1945 setelah amandemen melalui penjelasan

umum, yang mengatur bahwa :

“Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar hukum yang tertulis,


sedangkan di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga
dasar hukum yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggara Negara,
meskipun tidak tertulis” 3
Pengakuan Negara terhadap eksitensi kesatuan masyarakat hukum adat

dan hak tradisionalnya ini sekaligus mengakui eksistensi hukum adat, sebab tanpa

adanya norma-norma hukum adat, maka suatu kesatuan masyarakat hukum adat

tidak dapat lagi diakui keberadaannya.

1
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 2010, hlm.1
2
Ibid, hlm.7
3
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen I,II,II dan IV
2

Hukum adat yang tidak tertulis, tumbuh dan berkembang pada

kebudayaan tradisional sebagai perwujudan hukum rakyat yang nyata dalam

kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai lembaga hukum yang ada dalam suatu

masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga hukum tentang

perwarisan, lembaga hukum tentang jual-beli barang, lembaga hukum tentang

milik tanah, dll.4 Hukum adat hanya berlaku dalam bidang-bidang tertentu saja.

Namun, diantara salah satu dari bidang hukum yang dimaksud adalah bidang

hukum kewarisan. Untuk masalah kewarisan belum ada hukum waris nasional,

ataupun undang-undang yang mengatur mengenai masalah pewarisan.

Dasar berlakunya hukum adat terdapat pada Pasal 18b ayat (2) Bab VI

tentang Pemerintah Daerah UUD 1945 setelah amandemen yaitu :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan


masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.”5

Berdasarkan Pasal 18B ayat (2) tersebut, sesungguhnya Negara juga

mengakui hak otonomi dari kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu hak

membentuk hukumnya sendiri, hak melaksanakan pemerintahan sendiri dalam

kerangka Negara Kesatuan RI, hak menjaga keamanannya sendiri, dan melakukan

peradilan sendiri.

4
Bushar Muhammad, Op.cit., hlm.21
5
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen I,II,II dan IV
3

Selain itu, pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”. kemudian Pasal 5 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman Bahwa “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan

dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili”.6

Pasal tersebut menunjukkan bahwa Hakim Mahkamah Agung mengakui

eksistensi hukum adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat

Indonesia. Selain itu, hukum adat termasuk hukum yang hidup sehingga bisa

menjadi sumber hukum.

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan

tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan

waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan

pemilikannya dari pewaris kepada waris.7 Hukum waris adat bertitik tolak dari

bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut

sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat

Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain

berbeda-beda.8 garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan,

6
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 2003, hlm.7
8
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, PT
Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 39
4

yang mungkin prinsip Patrilineal, Matrilineal, maupun Bilateral. Prinsip-prinsip

garis keturunan ini terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris dan

bagian harta peninggalan yang diwarisk an.

Di dalam Negara Republik Indonesia, adat yang dimiliki oleh daerah-

daerah suku-suku bangsa adalah berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya

adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu, maka adat bangsa

Indonesia itu dikatakan merupakan ”Binneka Tunggal Ika”.9 Salah satu

Kebhinekaan tersebut terdapat di dalam masyarakat adat Lampung.

Daerah Lampung berubah menjadi Provinsi setelah memisahkan diri dari

Provinsi Sumatera Selatan pada Tanggal 18 Maret 1964 berdasarkan UU No. 14

Tahun 1964 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah yaitu, Daerah Lampung

merupakan daerah yang dikenal dengan sebutan "Sang Bumi Ruwa Jurai" atau

"Rumah Tangga Dua (asal) Keturunan yaitu penduduk pendatang dan penduduk

Lampung asli.10 penduduk pendatang sebagian besar dari Jawa dan Bali, Provinsi

Lampung ini terbagi dalam tiga daerah tingkat dua yakni, Kabupaten Lampung

Utara, Lampung Tengah dan Lampung Selatan serta Kotamadya Bandar

Lampung.11

Secara garis besar, suku bangsa Lampung dapat dibedakan menjadi dua

kelompok masyarakat, yaitu masyarakat Lampung yang beradat Pepadun dan

9
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT Toko Gunung
Agung, Jakarta, 1995, hlm.13
10
Buku Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 Tentang Pembentukan daerah tingkat I
Lampung ,. hlm. 11
11
Iskandar Syah, Bunga Rampai adat Budaya Lampung, Histokultura, Yogyakarta, 2017,
hlm. xii
5

masyarakat Lampung yang beradat Peminggir atau Saibatin. Dan adat istiadat di

Lampung dibedakan menjadi dua golongan adat yaitu Saibatin dan Pepadun.

Masyrakat adat Saibatin bermukim disepanjang pantai termasuk masyarakat adat:

Krui, Ranau, Komering sampai Kayu Agung. Masyarakat adat Pepadun bermukim

didaerah pedalaman Lampung, terdiri dari masyarakat adat: Abung (Abung Siwo

Mego), Pubian (Pubian Telu Suku), Manggala atau Tulang Bawang (Mego Pak),

dan Buay Lima. Dengan kata lain, masyarakat adat Lampung yang beradat

Pepadun mendiami bagian timur dan bagian tengah Provinsi Lampung,

sedangkan masyarakat adalat Saibatin, mendiami bagian barat dan selatan,

terutama dibagian pesisir pantai dan pulau-pulau (kepulauan), sehingga sering

juga disebut juga masyarakat Lampung Pesisir atau Pemingir.12

Pepadun adalah salah satu dari dua kelompok adat besar dalam

Masyarakat Lampung. Sedangkan pepadun adalah sebuah singgasana yang hanya

dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan raja-raja adat dari paksi pak

skala brak serta keturunannya. Kelompok adat Pepadun berbeda dari kelompok

adat Saibatin dimana Saibatin memiliki budaya kebangsaan yang kuat sedangkan

Pepadun cenderung berkembang lebih demokratis.13

Susunan kewargaan Adat Pepadun terdiri dari keturunan kepunyimbangan

bumi/marga, keturunan kepunyimbangan ratu/tiyuh, keturunan kepunyimbangan

batin/suku, keturunan beduwa (orang rendah, orang biasa). Susunan kedudukan

12
Syaifullah (et.al), Mitos Masyarakat Lampung, histokultura, Yogyakarta, 2017, hlm. 57
13
Ulul Azmi Muhammad (et. al), “Adat Turun Duwai pada Upacara Begawi di Kampung
Komering Putih Lampung Tengah”, Jurnal Penelitian Pendidikan dan Penelitian Sejarah, Vol 5,
No 5, 21 April 2017, di unduh tanggal 18 agustus 2019, hlm. 5-6
6

adat tersebut merupakan ukuran nilai untuk menentukan siapa yang berhak

menjadi raja adat. 14

Bentuk perkawinan yang ideal bagi orang Lampung pada umumnya

adalah “Patriolokal” dengan pembayaran “uang jujur” dari pihak pria kepada

pihak wanita, sehingga setelah selesai perkawinan isteri harus ikut suami. Selain

perkawinan dengan jujur tersebut terdapat pula perkawinan dalam bentuk

“semanda”, terutama yang banyak berlaku dikalangan masyarakat Lampung

beradat “pesisir”, dimana setelah kawin suami ikut kepihak isteri, melepaskan

kekerabatan ayahnya “Matriolokal”. Akibat hukum yang dari perkawinan jujur

berarti garis keturunan tetap dipertahankan menurut garis lelaki, sedangkan jika

perkawinan semanda berarti garis keturunan beralih kepada pihak isteri.

Dilingkungan pesisir sering berlaku sitem kekrabatan yang beralih-alih keturunan

(al-ternerend).15

Harta pencaharian pada umumnya dimaksudkan semua harta yang didapat

suami isteri bersama dalam ikatan perkawinan. Dengan demikian apa yang

didapat suami isteri bersama selama perkawinan merupakan hasil pencaharian

bersama suami isteri (Lampung, massou jejamou).16

Pada Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Bab VII UU Nomor 1 Tahun 1974 jo.

UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Harta Benda dan Harta Bawaan

dalam Perkawinan yaitu :

14
Hilman Hadikusuma, Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung, CV. Mandar Maju,
Bandung, 1989, Hlm. 160
15
Ibid, Hlm. 162
16
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm. 60
7

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama.

(2) Harta Bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah

dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.

Dan pada Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) mengatur lebih lanjut tentang harta

bersama dan harta bawaan yang berbunyi :

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing,suami dan isteri mempunyai

hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya.17

Dari uraian diatas, didalam UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun

2019 Tentang Perkawinan hanya mengatur dan membahas tentang pembagian

harta bawaan dan pembagian harta bersama putus akibat perceraian atau mediasi

kedua belah pihak, di dalam Undang-Undang tersebut tidak disebutkan secara

jelas tentang pembagian harta bersama cerai mati. Dalam hukum adat Lampung

Pepadun diatur tentang harta bersama cerai mati, sehingga inilah yang menjadi

dasar penulis tertarik untuk meneliti tentang pembagian warisan terhadap harta

bersama menurut hukum adat Lampung Pepadun jika putusnya perkawinan terjadi

karena cerai mati.

17
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Jo. UU No. 16 Tahun 2019 Tentang
Perkawinan
8

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Sungkai Tengah diketahui

bahwa hukum adatnya masih digunakan. Merupakan ketentuan waris peninggalan

nenek moyang yang sudah turun temurun dalam hal tradisi dan tatanan

masyarakat dalam pembagian warisan, sehingga penulis tertarik untuk meneliti

secara mendalam bagaimana hukum adat menerapkan pembagian warisan

terhadap harta bersama. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengkajinya

melalui penelitian dengan judul “Pembagian Warisan Harta Bersama Menurut

Hukum Adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai Tengah Kabupaten

Lampung Utara”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, maka dirumuskan

penelitian sebagai berikut yaitu :

1. Bagaimana proses pembagian harta waris bersama menurut hukum adat

Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai Tengah Kabupaten Lampung

Utara?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa harta waris bersama apabila terjadi

perselisihan menurut hukum adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai

Tengah Kabupaten Lampung Utara?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
9

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan ini ialah sebagai berikut :

a. Untuk mendeskripsikan dan untuk mengetahui pembagian harta waris

bersama menurut hukum adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai

Tengah Kabupaten Lampung Utara.

b. Untuk mendeskripsikan dan untuk mengetahui penyelesaian sengketa

waris bersama menurut hukum adat Lampung Pepadun di Kecamatan

Sungkai Tengah Kabupaten Lampung Utara.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan

pemikiran bagi pengembangan aspek ilmu hukum, khususnya hukum

perdata tentang hukum waris adat tentang pembagian harta warisan

bersama menurut Hukum Adat Lampung Pepadun di Kecamatan

Sungkai Tengah Kabupaten Lampung Utara.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah

kepustakaan dan bermanfaat bagi kalangan mahasiswa dan para

peneliti yang ingin mengetahui lebih jauh tentang proses pembagian

warisan terhadap harta bersama pada masyarakat hukum adat

Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai Tengah Kabupaten

Lampung Utara.

D. Kerangka Pemikiran
10

Pada Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 Jo. UU No. 16 tahun 2019

tentang Perkawinan yaitu, harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menjadi harta bersama.18 Harta perkawinan lazimnya dapat dipisah-pisahkan

dalam 4 golongan sebagai berikut :

a. Barang-barang yang diperoleh suami atau isteri secara warisan atau

penghibahan dari kerabat (famili) masing-masing dan dibawa ke

dalam perkawinan.

b. Barang-barang yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta

atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.

c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri

sebagai milik bersama.

d. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama

waktu pernikahan.19

Ter Haar Bzn didalam buku Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, harta

bersama yaitu harta benda yang diperoleh dimasa perkawinan menjadi harta

bersama suami isteri, sehingga merupakan benda (sebagian daripada kekayaan

keluarga) dimana kalau timbul keperluannya (terutama bila perkawinan putus)

suami dan isteri (masing-masing buat sebagian) ada hak atasnya.20

Soepomo menyatakan bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah

terutama perlu diselidiki buat waktu apabila pun dan di daerah mana pun, sifat dan

susunan badan-badan persatuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasi oleh

18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Jo. UU No. 16 tahun 2019
Tentang Perkawinan
19
Soerojo Wignjoediporo, Op.Cit, hlm. 150
20
Mr. Teer Har Bzn,Ibid, hlm. 187
11

hukumituhidup sehari hari. Bahwa penjelasan mengenai badan-badan persekutuan

tersebut, hendaknya tidak dilakukan secara dogmatis, akan tetapi atas dasar

kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan. 21

Hilman Hadikusuma mengutip pendapat Teer Haar Bzn Mendefinisikan

masyarakat adalah kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan

mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang berwujud atau

tidak berwujud. Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan

persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat
22
teritorial dan geneologis. Apabila dibandingkan dengan hukum barat (hukum

Eropa) maka sistematik hukum adat sangat sederhana, bahkan kebanyakan tidak

sitematis. Misalnya saja uraian tentang hukum didalam kitab hukum adat orang

Lampung yang disebut Kuntara Raja Niti, tidak sistematik, oleh karena itu

dikelompokannya kaidah hukum yang sama.23

Perkawinan adat adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan

masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi. Perkawinan dalam arti perikatan

adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat

yang berlaku bagi masyarakat bersangkutan.24 Dengan demikian, menurut hukum

adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-

bentuk perkawinan cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya

perkawinan di Indonesia.

21
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2015 hlm. 91
22
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
2014, hlm. 105
23
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm. 38
24
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990,
hlm. 8
12

Hukum waris Indonesia diatur menurut Hukum Perdata Barat (BW),

Hukum Islam dan Hukum Adat. Ter Haar Bzn dalam “beginselen en stelsel van

het adat recht” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut : “hukum adat

waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang

sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan

pengoperan kekayaan materiil dan immateriil dari suatu generasi kepada generasi

berikutnya”.25

Hukum waris adat adalah norma-norma hukum yang mengatur peralihan,

pengoperan, dan atau perpindahan harta kekayaan dalam rumah tangga yang dapat

diwariskan. Sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia yaitu :

1. Sistem Keturunan

Menurut Hilman Hadikusuma, sistem keturunan dapat

dibedakan dengan 3 corak, yaitu:

a. Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik dalam

garis keturunan bapak, di mana kedudukan pria lebih menonjol

pengaruhnya dari pada kedudukan wanita di dalam pewarisan.

b. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut

garis keturunan ibu, di mana kedudukan wanita lebih menonjol

pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan.26

2. Sistem Pewarisan Individual

Sistem pewarisan individual di mana setiap waris

mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki

Soerjono Wignjoediporo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT Toko Gunung


25

Agung, Jakarta, 1995, hlm. 161


26
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , Pt.Citra Aditya Bakti, Bandung 2003 , Hlm.23
13

harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta

warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat

menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan,

dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota

kerabat, tetangga ataupun orang lain. Sistem pewarisan individual ini

banyak berlaku di kalangan masyarakat adat Jawa dan Batak.

3. Sistem Pewarisan Kolektip

Sistem pewarisan di mana harta peninggalan diteruskan dan

dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan

yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap

waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil

dari harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk

kepentingan dan kebutuhan masing-masing waris diatur bersama atas

dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang

berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kerabat. Sistem

kolektif ini terdapat misalnya di daerah Minangkabau, kadang-kadang

juga di tanah Batak atau di Minahasa dalam sifatnya yang terbatas.

4. Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga

merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan

hak penguasaan atas harta  yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan

kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau
14

kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala

keluarga.27

Lampung adalah provinsi yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatra

merupakan pintu gerbang antara Jawa dan Sumatra atau sebaliknya, letak

Lampung sangat dekat dengan Jawa sejauh 30 km. Adat lampung dibedakan

menjadi dua, yaitu. Adat Lampung Pepadun dan adat Lampung

Saibatin/Peminggir.

Kitab Kuntara adat Lampung adalah kitab-kitab hukum adat Lampung

yang sampai hari ini tetap merupakan pedoman bagi warga batin adat pepadun

dalam mengatur kepentingan adat para waganya.28

Nilai-nilai adat budaya Lampung Pepadun dapat dilihat dari adat

ketatanegaraan (kepunyimbangan), kekerabtan yang kesemuanya di dasarkan pada

pandangan hidup Pi-il Pesenggiri, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. 29 Pada

umumnya masyarakat adat Lampung Pepadun menganut sistem kekerabatan

patrilinial dan bentuk perkawinan adat serta upacara adat begawi Cakak Pepadun

yang berlaku atas dasar musyawarah dan mufakat adat dimana anak keturunan

tertua dari keturunan tertua (punyimbang) memegang kekuasaan adat.

Susunan kewargaan Adat Pepadun terdiri dari keturunan kepunyimbangan

bumi/marga, keturunan kepunyimbangan ratu/tiyuh, keturunan kepunyimbangan

batin/suku, keturunan beduwa (orang rendah, orang biasa). Susunan kedudukan

adat tersebut merupakan ukuran nilai untuk menentukan siapa yang berhak

27
Ibid, hlm.24
28
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm 20
29
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm. 139.
15

30
menjadi raja adat. Bentuk perkawinan yang ideal bagi orang Lampung pada

umumnya adalah “Patriolokal” dengan pembayaran “uang jujur” dari pihak pria

kepada pihak wanita, sehingga setelah selesai perkawinan isteri harus ikut suami.

Punyimbang berperan sebagai pemuka adat, tidak hanya itu punyimbang

sendiri banyak memiliki arti yaitu tempat menimbang-nimbang dan juga tempat

memberi contoh baik. Di katakan tempat menimbang-nimbang karena tugas

punyimbang adalah untuk berdiskusi dalam sidang adat yang membahas masalah

yang terkait dengan kehidupan masyarakat, jika dahulu ketika masyarakat adat

yang memiliki masalah maka yang dicari adalah punyimbang, mereka akan

meminta bantuan punyimbang untuk membantu menyelesaikan masalahnya maka

dahulu, Di katakan juga punyimbang merupakan tempat memberi contoh yang

baik kepada masyarakat hal ini tercermin dengan adanya cepalo atau aturan adat

yang mengikat kehidupan punyimbang. Peran punyimbang dalam masyarakat

terlihat dalam semua aspek kehidupan mulai dari seseorang lahir hingga

menikah.31

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan hasil karya dan pemikiran Penulis sendiri. Semua

sumber yang dikutip dalam penelitian ini telah dinyatakan dengan benar dan telah

dibuat sebagaimana mestinya. Berdasarkan hasil pencarian yang telah dilakukan

penulis baik merujuk pada situs internet maupun hasil penelitian lain dalam

bentuk jurnal, karya ilmiah, ataupun skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum

30
Op. Cit, Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung, CV. Mandar Maju, Bandung, 1989,
Hlm. 160
Saras Sarita (et.al), “Perubahan Peran Pemuka Adat Punyimbang Pada Masyarakat Adat
31

Pepadun”, Jurnal Upi, Vol. 6, No. 2, September 2016, hlm.4


16

Universitas Bengkulu belum ditemukan penelitian yang mengambil judul skripsi

“Pembagian Warisan Terhadap Harta Bersama Menurut Hukum Adat

Lampung Pepadun di Kecamatan sungkai Tengah Kabupaten Lampung

Utara”

Adapun penelitian yang berkaitan dengan Pembagian warisan terhadap

harta bersama menurut hukum adat Lampung Pepadun antara lain :

No Penulis Judul Permasalahan Hasil


1. Rosmelina Sistem 1. Bagaimanakah bahwa khusus
S.H, Program Pewarisan sistem pewarisan keluarga yang
Magister Pada pada keluarga tidak memili anak
Kenotaritan, Masyarakat yang tidak laki-laki, maka
Universitas Lampung mempunyai anak yang menjadi ahli
Diponegoro, Pesisir Yang laki-laki sebagai waris dalam
2008, Tesis. Tidak penerus keluarga tersebut
Mempunyai keturunan pada adalah anak
Anak Laki-Laki masyarakat perempuan tertua.
(Studi Pada Lampung Syaratnya, anak
Marga Negara Pesisir? perempuan tertua
Batin Di 2. Bagaimanakah tersebut harus
Kecamatan penyelesaian menjalani
Kota Agung sengketa apabila pernikahan secara
Kabupaten terjadi adat. Yakni,
Tanggamus perselisihan perkawinan
Provinsi dalam Ngakuk Khagah.
Lampung) pembagian harta Dalam istilah lain.
warisan pada Suami dari
masyarakat adat perempuan tertua
Lampung tersebut semanda,
Pesisir? ia melepaskan
klan dan keluarga
besarnya dan
menjadi keluarga
besar istrinya
2. Eva Tinjauan A. Bagaimana peran Tinjauan Hukum
Nurhayati, Hukum Islam penyimbang atau Islam terhadap
Fakultas Terhadap tetua adat dalam peran Penyimbang
Syari’ah, Peran penyelesaian atau tetua adat
Institut Penyimbang sengketa waris di dalam
Agama Islam dalam Sengketa Masyarakat adat penyelesaian
17

Negri Raden Waris (Studi Lampung sengketa waris di


Intan Kasus pada Pepadun masyarakat
Lamung, Masyarakat kecamatan Lampung
2017, skripsi. Adat Lampung Blambangan Pepadun
Pepadun Pagar? Kecamatan
Kecamatan B. Bagaimanakah Blambangan
Blambangan tinjauan Hukum Pagar pembagian
Pagar) Islam terhadap tidak bertentangan
peran karena dalam
penyimbang atau pembagiannya
tetua adat menurut hukum
Lampung Islam, bagi anak
pepadun dalam laki-laki
Penyelesaian mendapatkan
sengketa waris sebanyak bagian
pada Masyarakat dua orang anak
adat Lampung perempuan.
Pepadun
kecamatan
Blambangan
Pagar?

Adapun perbedaan keaslian penelitian penulis dengan kedua peneliti diatas

yaitu :

Pertama, Rosmelina S.H (Tesis) dengan judul Sistem Pewarisan Pada

Masyarakat Lampung Pesisir Yang Tidak Mempunyai Anak Laki-Laki (Studi

Pada Marga Negara Batin Di Kecamatan Kota Agung Kabupaten Tanggamus

Provinsi Lampung), jika dibandingkan dengan penulis lakukan, maka terdapat

perbedaan dari judul permasalahan dan ruang lingkup penelitian. Metode

penulisan yang digunakan penelitian yuridis-empiris dan bersifat deskriptif

analitis, adapun hasil penelitian menyatakan bahwa khusus keluarga yang tidak

memili anak laki-laki, maka yang menjadi ahli waris dalam keluarga tersebut

adalah anak perempuan tertua. Syaratnya, anak perempuan tertua tersebut harus

menjalani pernikahan secara adat. Yakni, perkawinan Ngakuk Khagah. Dalam


18

istilah lain. Suami dari perempuan tertua tersebut semanda, ia melepaskan klan

dan keluarga besarnya dan menjadi keluarga besar istrinya.

Kedua, Eva Nurhayati (Skripsi) dengan judul Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Peran Penyimbang dalam Sengketa Waris (Studi Kasus pada

Masyarakat Adat Lampung Pepadun Kecamatan Blambangan Pagar), Eva

Nurhayati meneliti peran punyimbang dalam sengketa waris ditinjau dari hukum

Islam, metode yang digunakan yaitu penelitian lapangan dan bersifat deskriptif

analitik adapun hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa Peran Penyimbang atau

tetua adat sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa waris di masyarakat

adat Lampung Pepadun Kecamatan Blambangan Pagar. Penyimbang selalu

mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Dalam kondisi tertentu, penyimbang

terkadang harus mengambil inisiatif untuk menetapkan sendiri keputusan tersebut,

dan biasanya keputusan yang diambil penyimbang merupakan keputusan yang

final. Tinjauan Hukum Islam terhadap peran Penyimbang atau tetua adat dalam

penyelesaian sengketa waris di masyarakat Lampung Pepadun Kecamatan

Blambangan Pagar pembagian tidak bertentangan karena dalam pembagiannya

menurut hukum Islam, bagi anak laki-laki mendapatkan sebanyak bagian dua

orang anak perempuan.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
19

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris (empirical law

research) adalah penelitian hukum positif mengenai perilaku masyarakat

(behavior) dalam berinteraksi.32 karena bagaimanapun juga hukum akan

berinteraksi dengan pranata-pranata sosial lainnya yang merupakan studi

ilmu sosial yang non doktrinal.

Dalam penelitian ini penulis mendiskripsikan secara lengkap,

objektif dan menyeluruh mengenai Pembagian Warisan Terhadap Harta

Bersama Menurut Hukum Adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai

Tengah Kabupaten Lampung Utara.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian hukum empiris atau sosiologis, menurut

Soetandyo Wignyosoebroto dalam buku M. Abdi (et al), merupakan jenis

penelitian dengan pendekatan non doktrional yaitu penelitian berupa studi-

studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan

mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di

dalam masyarakat atau sering di sebut dengan sosio legal research.33

3. Wilayah Penelitian dan Informan

a. Lokasi Penelitian

32
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Metode Penelitian Hukum, PT Refika Aditama,
Bandung, 2018, hlm.95
33
M. Abdi (et. al), Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum (S1), Fakutas
Hukum Universitas Bengkulu, 2016, hlm.41
20

Lokasi penelitian ini di lakukan di Kecamatan Sungkai Tengah

Kabupaten Lampung Utara dengan pertimbangan bahwa di Kecamatan

Sungkai Tengah Kabupaten Lampung Utara pewarisan adat yang masih

dijunjung tinggi dan tidak berubah yang dilakukan turun temurun dalam hal

tradisi dan tatanan masyarakat.

b. Informan

Teknik penentuan informan dalam penelitian ini adalah purposive,

yaitu untuk menentukan informan dipilih dengan sengaja dengan kritera

memberikan keterang-keterangan tentang masalah yang diteliti, yang

menjadi informan dalam penelitian ini adalah :

1. Tokoh adat Lampung Pepadun di Kecamatan sungkai Tengah

Kabupaten Lampung Utara.

2. Punyimbang adat Lampung Pepadun di Kecamatan sungkai Tengah

Kabupaten Lampung Utara.

3. Aparat pemerintah di Kecamatan Sungkai Tengah Kabupaten

Lampung Utara.

4. Masyarakat adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai Tengah

Kabupaten Lampung Utara yang memahami masalah hukum waris

bersama adat Lampung Pepadun.

4. Data Penelitian
21

A. Data Primer

Menurut Soerjono Soekanto data primer adalah data yang diperoleh

secara langsung dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat,

melalui penelitian.

Untuk memperoleh data primer ini, menggunakan teknik

wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam penulis

menggunakan pedoman pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya

sesuai dengan data yang diperlukan. Pedoman pertanyaan melingkupi

masalah pokok saja, informan masih mempunyai kebebasan dan

wawancara tidak menjadi kaku. Sehingga tidak menutup kemungkinan

perluasan materi yang diselaraskan dengan keperluan penulis.

B. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara

melakukan penelitian kepustakaan. Dalam penelitian hukum, data

sekunder mencakup :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

terdiri dari :

- UUD 1945

- Peraturan Perundang-undangan

- Hukum Kebiasaan (Hukum Adat)

- Yurisprudensi

- Doktrin
22

2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,

hasil seminar dan seterusnya.

3. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder,

antara lain kamus umum, kamus hukum, dan ensiklopedia.34

Sehingga data sekunder merupakan data yang sudah ada dimasyarakat,

seperti profil kecamatan, data statistik, jumlah penduduk, pendidikan.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab secara lisan antara dua

orang dengan berhadapan langsung secara fisik. Pada hakekatnya

wawancara merupakan tanya jawab sepihak dari penanya (interviewer)

kepada informan.35

b. Studi Dokumen

Merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan pada awal

setiap penelitian hukum normatif maupun empiris. Studi dokumen

dilakukan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalah

penelitian.36

34
Elisabet Nurhaini Butarbutar, Op.Cit, hlm.64
35
Merry Yono, Bahan Ajar Metoologi Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Bengkulu, Bengkulu, 2008, hlm.36
36
M. Abdi (et. al), Op.Cit, hlm.44
23

5. Pengolahan Data

Pengolahan data yang dimaksud setelah data di peroleh baik data

primer maupun data sekunder, kemudian data tersebut di olah sesuai

kebutuhan permasalahan dalam penelitian ini. Pengolahan data umumnya

dilakukan dengan cara pemeriksaan, penandaan, rekontruksi, dan

sistimatisasi data.37

7. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data

kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan memperhatikan fakta yang

ada di lapangan dan digabungkan dengan data sekunder yang diperoleh

dari kepustakaan. Hasil analisis dipaparkan secara deskriptif sehingga

diperoleh uraian hasil penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif.38

37
Ibid, hlm. 46
38
Elisabet Nurhaini Butarbutar, Op.Cit, hlm. 148
24

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Harta Bersama

1. Harta Bersama Secara Umum

Harta bersama dalam perkawinan adalah harta benda yang diperoleh

selama perkawinan. Bilamana suami isteri bekerja, lalu bersepakat menjadikan

penghasilan yang diperolehnya untuk disatukan saja, maka harta yang

dikumpulkan ini disebut harta bersama.

Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harta bersama

terdiri dari dua kata yaitu, harta dan bersama. Suami isteri mempunyai hak dan

kewajiban yang sama atas harta bersama tersebut. Harta adalah barang-barang,

uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan. Sedangkan bersama adalah seharta,

semilik. Selanjutnya mengenai pengertian harta secara terminologis adalah

barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan yang diperoleh

suami istri secara bersama-sama dalam perkawinan.39

Telah dikemukakan diatas bahwa harta bersama adalah harta hasil usaha

bersama (suami-isteri) didalam perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang No.1

Tahun 1974 Jo. UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan mendefinisikan

harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan. 40 Ini berarti

bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal

39
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2008, cet. I edisi IV, hlm. 52
40
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Jo. Undang-Undang No. 16 tahun 2019 Tentang
Perkawinan.
25

terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau

karena kematian.

Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang

dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti penting

bagi seseorang karena dengan memiliki harta dapat memenuhi kebutuhan hidup

secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat. Namun

harta bersama tersebut akan menjadi harta yang tidak lagi dapat disebut sebagai

harta bersama ketika telah terjadi cerai mati atau perceraian yang mana di daerah

Jawa umumnya disebut dengan harta gono-gini.41

Pengertian harta gono-gini dalam ensiklopedia hukum Islam adalah harta

bersama milik suami isteri yang mereka peroleh selama masa perkawinan. Dalam

masyarakat Indonesia pada setiap daerah mempunyai sebutan yang berbeda untuk

menyebut harta pasca berakhirnya perkawinan, seperti di Aceh disebut hareuta

seuhareukat, di Minangkabau disebut harta suarang, di daerah Sunda disebut guna

kaya atau tumpang kaya, di Madura disebut ghuna ghana dan masih terdapat

banyak penamaan lain dari harta bersama.42

Hukum Islam hanya mengenal dengan sebutan syirkah. Harta bersama

dalam perkawinan termasuk syirkah abdan mufawwadah, dikatakan syirkah

abdan karena suami istri secara bersama-sama bekerja membanting tulang dalam

41
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 179.
42
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2013, hlm. 123
26

mencari nafkah sehari-hari. Dikatakan syirkah mufawwadah karena perkongsian

antara suami isteri itu tidak terbatas.43

Apa saja yang dihasilkan dalam pekerjaan suami istri termasuk harta

bersama. Sedangkan harta bersama menurut fikih munakahat adalah harta yang

diperoleh suami istri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bersama

sama atau hanya salah satu pihak yang bekerja. Sekali mereka itu terikat dalam

perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu, baik

harta maupun anak-anak. Hal ini sebagaimana dijelaskan didalam Al-Qur’an surat

Ar-Ruum Ayat 21 yang artinya lebih kurang :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda tanda bagi kaum yang
berfikir.”44
Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh

selama perkawinan, diluar hadiah atau warisan. Dalam kaitan ini, harta gono-gini

atau harta bersama tergolong harta yang terkait dengan hak suami isteri.

Tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk berbuat

sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan

kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan

perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri

maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama

43
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.
154.
44
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Per-kata, Sygma,
Bandung, 2007, hlm. 406.
27

ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi suatu

permasalahan apakah isteri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga

apakah isteri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa

harta itu harus didaftarkan.

2. Harta Bersama Menurut Undang-Undang

Berbagai daerah di Indonesia, dikenal istilah-istilah mengenai harta

bersama, yang mana istilah-istilah tersebut merupakan sama pengertiannya,

seperti istlah yang digunakan di Jawa yang disebut dengan disebut harta gono-

gini. Menurut kamus besar bahasa Indonesia harta dapat berarti barang-barang

uang dan sebagainya. Sedangkan bersama adalah berbarengan.

Sayuti Thalib dalam bukunya mengatakan bahwa : “harta bersama adalah

harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan”.

Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka suami atau istri selama

masa perkawinan.

Adapun penjelasan dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) dalam UU Nomor

1 tahun 1974 jo. UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan sebagai

berikut :

“Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta


bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain”45

Berdasarkan peraturan diatas tersebut, dapat dipahami bahwa dua macam

kategori harta yaitu harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama yaitu harta

45
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Jo. Undang-undang No. 16 tahun 2019 tentang
Perkawinan.
28

yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dengan batas akhir perceraian

atau kematian, baik itu usaha bersama atau dari masing-masing suami atau isteri.

Kedua harta bawaan, berdasarkan Pasal 35 undang-undang No. 1 tahun 1974 Jo.

UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawian mengatakan bahwa masing-masing

pihak mempunyai hak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. UU Nomor

16 Tahun 2019 tentang Perkawinan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu

harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.

3. Harta Bersama Menurut Hukum Adat

Harta benda perkawinan merupakan harta benda yang dimiliki suami isteri

dalam ikatan perkawinan, baik yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung

(harta gawan/ harta bawaan) maupun harta benda yang diperoleh selama dalam

ikatan perkawinan, hasil kerja masing-masing suami isteri ataupun harta benda

yang didapat dari pemberian hibah, hadiah dan warisan. Secara umum harta benda

perkawinan di Indonesia baik yang berasal dari hadiah, hibah, dan warisan jika

terjadi perceraian maka harta itu tetap menjadi milik suami atau isteri yang

memiliki hak atas harta benda tersebut.

Mengenai perkawinan, hukum adat memandang sebagai suatu peristiwa

penting dalam kehidupan kemasyarakatan, karena perkawinan tidak hanya

menyangkut wanita dan pria calon mempelai saja, tetapi merupakan peristiwa

yang sangat berarti.46 Tujuan perkawinan pada umumnya adalah untuk

mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup masyarakat adatnya.

Namun, karena sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing masyarakat


46
Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2017,
Hlm. 4
29

berlainan, maka penekanan dari tujuan perkawinan disesuaikan dengan sitem

kekeluargaannya.47

Selanjutnya, harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh dimasa

perkawinan menjadi harta bersama suami isteri, sehingga merupakan benda

(sebagian dari pada kekayaan keluarga) dimana kalau timbul keperluannya

(terutama bila perkawinan putus) suami dan isteri (masing-masing buat sebagian)

ada hak atasnya.48 Semua pendapatan atau penghasilan suami isteri selama ikatan

perkawinannya selain dari harta asal dan harta pemberian yang mengikuti harta

asal adalah harta pencaharian berama suami isteri. Tidak dipermasalahkan apakah

isteri ikut aktif bekerja atau tidak, walaupun isteri hanya tinggal dirumah,

mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan yang bekerja suami sendiri, namun

hasil suami itu adalah hasil pencaharian bersama suami isteri.49

Barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan, pada umumnya

jatuh ke dalam harta pekawinan, milik bersama suami isteri. Harta ini menjadi

suatu bagian dari kekayaan keluarga dan apabila ada perceraian, maka suami atau

isteri dapat menuntut bagiannya.

Harta bersama berdasarkan hukum adat di Indonesia didefinisikan

sebagai berikut : Kekayaan milik bersama ini disebut “Harta Suarang”

(Minangkabau), “barang berpantangan” (Kalimantan), “Cakarra” (Bugis),

47
Ibid, Hlm. 7
48
Mr. B. Teer Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
Pusat, 1980, hlm. 187
49
Hilman Hadikusuma, Op. Cit,hlm. 60
30

“druwe gobro” (Bali), “Barang-gini” , “gono-gini” (Jawa), “guna kaya”,

“barang sekaya”, “campur kaya”, “kaya reujeung” (Pasundan).50

Pengaturan mengenai harta bersama secara hukum adat hampir sama. Pada

umumnya yang dianggap sama adalah perihal terbatasnya harta kekayaan yang

menjadi harta bersama (harta persatuan), sedangkan mengenai hal-hal lainnya,

terutama mengenai harta benda diluar perkawinan pengaturannya berbeda

dimasing-masing daerah. Di Jawa pengaturan mengenai kekayaan terhadap harta

bawaan dan harta bersama (harta gono-gini) setelah terjadi perceraian antara

suami dan isteri akan bermakna penting sekali dari salah satu atau keduanya

meninggal dunia. Sementara itu, di Aceh pembagian harta kekayaan terhadap

harta bawaan dan harta bersama (harta sauhareukat) bermakna sangat penting,

baik ketika terjadi perceraian maupun pada saat pembagian warisan jika salah

seorang meninggal dunia.

B. Dasar Berlakunya Hukum Adat Di Indonesia

Dasar filosofis dari Hukum Adat adalah nilai-nilai dan sifat hukum adat

sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai

contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan

demikian Pancasila merupakan proses dari hukum adat.

Dasar berlakunya hukum adat ditinjau dari segi filosofi hukum adat yang

hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman

yang berfiat fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang

50
Soerjono Wignjoediporo, Op. Cit, hlm. 154
31

dalam pembukaan UUD 1945.

UUD 1945 menciptakan pokok-pokok fikiran yang meliputi dari UUD

1945, pokok-pokok fikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum, meliputi hukum

Negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.51

Dalam pembukaan UUD 1945 pokok-pokok fikiran yang menjiwai

perwujudan cita-cita hukum dasar Negara adalah Pancasila. Penegasan Pancasila

sebagai sumber tata tertib hukum sangat berarti bagi hukum adat karena hukum

adat sudah tertanam pada kebudayaan rakyat Indonesia sehingga dapat

menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan

mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian

hukum adat  secara  filosofis merupakan  hukum yang berlaku sesuai Pancasila

sebagai  pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.52

Hukum  yang berlaku di suatu Negara merupakan  suatu  sistem artinya

bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan  yang utuh yang 

terdiri dari bagian-bagian  atau  unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama

lainnya. Dengan  kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan   yang

terdiri  dari  unsur-unsur  yang mempunyai  interaksi satu  sama lainnya dan

bekerja bersama untuk mencapai tujuan.  Keseluruhan   tata hukum nasional yang

berlaku di  Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Sistem hukum

berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu, sistem hukum

mempunyai sifat yang berkesinambungan.

51
Iis Mardeli, “Dasar Berlakunya Hukum Adat”, Diunduh Tanggal 3 Februari 2020 dari
https://iismardeli30aia.wordpress.com/2013/12/02/dasar-berlakunya-hukum-adat/
52
Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen I,II,II,IV.
32

Dalam sistem hukum Nasional wujud atau bentuk hukum yang ada dapat

dibedakan menjadi hukum tertulis yaitu hukum yang tertuang  dalam Perundang-

undangan dan hukum yang tidak tertulis  yaitu hukum  adat dan hukum kebiasaan.

Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis, dalam  Berbagai

Peraturan Perundang-undangan seperti yang tercantum di dalam Pasal 18b,

Dalam pasal 18 b ayat (2) Undang Undang Dasar 1945, Negara mengakui dan

menghormati  kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan  perkembangan

masyarakat  dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.53 

Berdasarkan Pasal 18B ayat (2) tersebut, sesungguhnya Negara juga mengakui

hak otonomi dari kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu hak membentuk

hukumnya sendiri, hak melaksanakan pemerintahan sendiri dalam kerangka

Negara Kesatuan RI, hak menjaga keamanannya sendiri, dan melakukan peradilan

sendiri.

Selain itu, pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”. kemudian Pasal 5 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman Bahwa “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan

dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan

53
Undang-Undang Dasar Negara 1945 setelah amandemen I,II,II,IV.
33

yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili”.54

Pasal tersebut menunjukkan bahwa Hakim Mahkamah Agung mengakui

eksistensi hukum adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat

Indonesia. Selain itu, hukum adat termasuk hukum yang hidup sehingga bisa

menjadi sumber hukum.

C. Sistem Hukum Adat di Indonesia

Sistem merupakan susunan yang teratur berbagai unsur yang satu dan yang

lain secara fungsional saling bertautan, sehingga memberikan satu kesatuan

pengertian.

Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia

yang sudah tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum Barat.

Dan untuk dapat memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami

dasa-dasar alam pikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia. Hukum adat

memiliki corak-corak bagai berikut :

a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya

manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan

kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan.

Bahkan corak dan sifat kebersamaan ini tertuang pula dalam Pasal 33

ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “perekonomian disusun sebagai

usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.

54
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
34

b. Hukum adat diliputi oleh fikiran penataan serba konkrit; hukum adat

sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulang nya hubungan

hidup yang konkrit. Artinya dapat dilihat, tampak, terbuka, tidak

tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum

adat itu “terang dan tunai”, tidak samar-samar.

c. Hukum adat mepunyai sifat yang visual, artinya perhubungan hukum

diaggap hanya terjadi,oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang

dapat dilihat.55

Hazairin menyatakan, bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat tersebut

juga terangkum di dalam pasal 18 undang-undang dasar 1945 setelah amandemen,

yang isinya adalah sebagai berikut :

“pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil , dengan


bentuk susunan pemerintahnya ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa”56

Apabila setiap masyarakat hukum adat tersebut ditelaah secara seksama

maka masing-masing mempunyai dasar dan bentuknya. Dasar dan bentuknya

tersebut merupakan ciri khas dari beraneka ragam suku dan bangsa di Indonesia,

dari sudut bentuknya, maka masyarakat adat tersebut ada yang berdiri sendiri dan

menjadi bagian dari masyarakat. Menurut Soepomo, masyarakat hukum Indonesia

dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan

55
Soerjono Wignjoediporo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung
Agung, Jakarta, 2010.
56
Undang-undang dasar setelah amandemen I,II,II,IV.
35

pertalian suatu keturunan (genealogis) dan yang berdasar lingkungan daerah

(terittorial).

Masyarakat hukum yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan

masyarakat yang teratur, dimana para anggotanya terikat pada suatu garis

keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan

darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau

pertalian adat.57

Masyarakat hukum yang bersifat territorial adalah, masyarakat yang tetap,

teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah tertentu. 58

D. Sistem Kewarisan Adat

1. Pengertian Hukum Kewarisan Adat

Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan

tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan

waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari

pewaris kepada ahli waris.59 Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-

cara pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan,

mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan.

Di indonesia kita menjumpai beberapa sistem kewarisan dalam hukum

adat sebagai berikut :

57
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mandar
Maju,Bandung, 2014, Hlm. 105
58
Hilman Hadikusuma, Ibid, Hlm 103
59
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.7.
36

a.Sistem Keturunan

Menurut Hilman Hadikusuma, sistem keturunan dapat

dibedakan dengan 3 corak, yaitu:

1) Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik dalam garis

keturunan bapak, di mana kedudukan pria lebih menonjol

pengaruhnya dari pada kedudukan wanita di dalam pewarisan.

2) Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut

garis keturunan ibu, di mana kedudukan wanita lebih menonjol

pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan.60

b. Sistem Pewarisan Individual

Sistem pewarisan individual di mana setiap waris

mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki

harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta

warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat

menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan,

dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota

kerabat, tetangga ataupun orang lain. Sistem pewarisan individual ini

banyak berlaku di kalangan masyarakat adat Jawa dan Batak.

c. Sistem Pewarisan Kolektip

Sistem pewarisan di mana harta peninggalan diteruskan dan

dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan

yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap

waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil


60
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , Pt.Citra Aditya Bakti, Bandung 2003 , Hlm.23
37

dari harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk

kepentingan dan kebutuhan masing-masing waris diatur bersama atas

dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang

berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kerabat. Sistem

kolektif ini terdapat misalnya di daerah Minangkabau, kadang-kadang

juga di tanah Batak atau di Minahasa dalam sifatnya yang terbatas.

d. Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga

merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan

hak penguasaan atas harta  yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan

kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau

kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala

keluarga.61

Sistem kewarisan ini masing-masing tidak langsung menunjuk pada suatu

bentuk susunan masyarakat tertentu dimana sistem kewarisan itu berlaku.

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang

tidak berwujud dari angkatan manusia kepada turunannya.62

Ter Haar mendefinisikan bahwa “hukum waris adat adalah aturan-aturan

hukum mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari

harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.63
61
Himan Hadikusuma,Hukum Waris Adat,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hlm.24
62
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm.79.
63
Ibid, hlm.7
38

Lebih lanjut, Soepomo menyatakan bahwa “hukum adat waris membuat

peraturan peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-

barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele

goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.64

Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang

mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak

berwujud) dari pewaris kepada para ahli waris. Cara penerusan dan peralihan

harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris

meninggal dunia.

Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan

penguasaan dan kepemilikannya kepada para ahli waris dan ada yang dapat

dibagikan. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini berdasarkan atas

alasanya tidak dibagi-bagi, dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi

( misalnya barang milik kerabat atau famili)

b. Karena kedudukan hukumnya memang terikat pada suatu

tempat/jabatan tertentu (barang keramat Keraton kesepuhan)

c. Karena hanya diawasi oleh seorang raja (sistem kewarisan mayorat),

sehingga tidak perlu dibagi-bagi.65

2. Istilah Dalam Hukum Waris Adat

64
Ibid, hlm.8
65
Laksanto Utomo, Hukum Adat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, Hlm. 106
39

a. Warisan

Istilah ini menunjukkan harta kekayaan dari pewaris yang telah

wafat, baik harta ini telah dibagi  atau masih dalam keadaan tidak terbagi-

bagi. istilah ini dipakai untuk membedakan dengan harta yang didapat

sebagai hasil usaha pencarian sendiri di dalam ikatan atau di luar ikatan

perkawinan.

b. Peninggalan

Istilah ini menunjukkan harta warisan yang belum terbagi atau

tidak terbagi-bagi dikarenakan salah seorang pewaris masih hidup.

misalnya harta peninggalan ayah yang telah wafat yang masih dikuasai ibu

yang masih hidup atau sebaliknya harta peninggalan ibu yang telah wafat

tetapi masih dikuasai ayah  yang masih hidup. termasuk di dalam harta

peninggalan ini ialah harta pusaka.

c. Pusaka

Istilah ini yang lengkapnya disebut harta pusaka dapat dibedakan

antara pusaka tinggi dan pusaka rendah. harta pusaka tinggi adalah harta

peninggalan dari zaman leluhur yang dikarenakan keadaannya,

kedudukannya dan sifatnya tidak dapat atau tidak patut dan tidak pantas

dibagi-bagi. Sedangkan harta pusaka rendah adalah harta peninggalan dari

beberapa generasi di atas ayahnya, misalnya harta peninggalan kakek atau

nenek. 

d. Harta Perkawinan
40

Istilah ini dipakai untuk menunjukkan semua harta kekayaan yang

dikuasai atau dimiliki oleh suami isteri disebabkan adanya ikatan

perkawinan. harta perkawinan ini dapat terdiri dari harta Penantian harta

bawaan, harta pencaharian harta pemberian, (hadiah, hibah atau wasiat).

harta perkawinan ini satu kesatuan di dalam ikatan perkawinan yang kekal.

e. Harta Bawaan

Istilah ini dipakai untuk menunjukkan semua harta yang datang

dibawa oleh suami atau isteri ketika perkawinan itu terjadi,  Jika suami

mengikuti pihak isteri maka harta Bawaan nya kita sebut harta bawaan

suami dan jika sebaliknya isteri ikut yang ke pihak suami maka harta

bawaan nya kita sebut harta bawaan isteri.

f. Harta Pencaharian

Istilah ini dipakai untuk menunjukkan semua harta kekayaan yang

didapat dari hasil usaha perseorangan atau usaha bersama suami istri yang

terikat dalam ikatan perkawinan. pada umumnya harta pencaharian ini

merupakan harta bersama suami istri dalam ikatan perkawinan.

g.  Harta Pemberian

Istilah ini menjelaskan harta atau pemberian dipakai untuk

menunjukkan harta kekayaan yang didapat suami isteri secara bersama

atau secara perseorangan yang berasal dari pemberian orang lain.

pemberian itu dapat berupa hadiah atau pemberian hibah atau wasiat.

h.  Pewarisan
41

Istilah ini dipakai untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta

kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau perbuatan melakukan

pembagian harta warisan kepada para pewaris nya.

i.  Waris

Istilah ini dipakai untuk menunjukkan orang yang mendapat harta

warisan yang terdiri dari ahli waris yaitu mereka yang berhak menerima

warisan dan bukan ahli waris tetapi kewarisan juga dari harta warisan.  jadi

ahli waris ialah orang yang berhak mewarisi, sedangkan yang bukan ahli

waris adalah orang yang kewarisan.66

3. Dasar Pembagian Kewarisan dalam Adat

a. Penerusan atau Pengalihan

Di kala pewaris masih hidup adakalanya pewaris telah

melakukan penerusan atau pengelihan kedudukan atau jabatan adat.

Hak dan kewajiban dan harta kekayaan kepada waris, terutama kepada

anak lelaki tertua menurut garis kebapakan, kepada anak perempuan

tertua menurut garis keibuan, kepada anak tertua lelaki dan perempuan

menurut garis keibu-bapakan. Termasuk dalam arti penerusan atau

pengalihan harta kekayaan dikala pewaris masih hidup ialaha diberikan

harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan untuk kelanjutan hidup

kepada anak-anak yang kawin mendirikan rumah tangga baru. Misalnya

pemberian atau dibuatkannya bangunan rumah dan pekarangan tertentu,

66
Ibid, Hlm 11
42

bidang-bidang tanah ladang, kebun dan sawah untuk anak-anak lelaki

atau perempuan yang akan berumah tangga.

b. Penunjukan

Dalam proses penunjukan berpindahnya penguasaan dan

pemilikan harta warisan baru berlaku sepenuhnya kepada waris setelah

pewaris wafat.

Sebelum pewaris wafat, pewaris masih berhak dan berwenang

menguasai harta yang dilanjutkan itu, tetapi pengurusan dan pemanfaatan,

penikmatan hasil dari harta itu sudah ada pada waris dimaksud. Jika

seseorang yang mendapatkan penunjukan atas harta tertentu sebelum

pewaris wafat. Belum dapat berbuat apa–apa selain hak pakai dan hak

menikmati, baik penerusan atau penunjukan oleh pewaris kepada waris

mengenai harta warisan sebelum wafatnya tidak mesti dinyatakan secara

terang–terangan dihadapan tua–tua adat melainkan cukup dikemukakan

didepan para waris dan anggota keluarga atau tetangga terdekat saja.

c. Pesan atau Wasiat

Pesan atau wasiat dari orang tua kepada para waris ketika

hidupnya itu biasanya harus diucapkannya dengan terang dan

disaksikan oleh para waris, anggota keluarga, tetangga dan tua-tua adat

(Penyimbang). Dengan demikian maka pesan itu barulah berlaku

setelah si pewaris ternyata tidak kembali lagi atau sudah jelas wafatnya.

Jika kemudian ternyata pewaris masih hidup dan kembali kekampung


43

halaman ia tetap berhak untuk merubah atau mencabut pesannya

tersebut.67

d. Sesudah Pewaris Wafat

Apabila seseorang wafat dengan meninggalkan harta kekayaan

maka timbul persoalan apakah harta kekayaannya itu akan dibagikan

kepada para pewaris atau tidak akan dibagi-bagikan.

Penguasaan atas harta warisan berlaku apabila harta kekayaan

itu tidak dibagi-bagi, karena warisan itu merupakan milik bersama yang

disediakan untuk kepentingan bersama para anggota keluarga pewaris

atau karena pembagiannya ditangguhkan. Dengan demikian setelah

pewaris wafat terhadap harta arisan yang tidak dibagi atau ditangguhkan

pembagiannya itu ada kemungkinan dikuasai janda, anak, anggota

keluarga lainnya atau oleh tua-tua adat kekerabatan.

E. Bentuk Kekeluargaan Hukum Adat

Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan

kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan

sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak

dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem

keturunan yang berbeda-beda ini tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan

hukum adat.

67
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 1992, hlm.58
44

Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang

bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan

anak terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan

sebaliknya dan masalah perwalian anak. Hukum kekerabatan adat mengatur

tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (seketurunan) pertalian

perkawinan dan perkawinan adat. Dalam sisitem kekerabatan masyarakat adat,

keturunan merupakan hal yang penting untuk meneruskan garis keturunan (clan)

baik garis keturunan lurus atau menyamping. 68

Bushar Muhammad didalam buku hukum adat mengemukakan bahwa

sifat-sifat keturunan sebagai berikut :

a. Lurus, apabila seorang merupakan langsung keturunan yang lain,

misalnya antara bapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak, disebut

lurus kebawah apabila rangkainnya dilihat dari dari anak, bapak ke

kakek.

b. Menyamping atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih

terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama

(saudara kandung), atau sekakek nenek dan sebagainya.69

Antara sistem keturunan yang satu dan yang lain dikarenakan hubungan

perkawinan, dapat berlaku bentuk campuran atau berganti-ganti di antara, sistem

patrilineal dan matrilineal. Dalam perkembangannya di Indonesia sekarang

tampak bertambah besarnya pengaruh kekuasaan bapak-ibu (parental) dan


68
Op.Cit, Laksanto Utomo, Hlm. 79.
69
Ibid, Hlm 80
45

berkurangnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal yang menyangkut

kebendaan dan pewarisan. Kalangan masyarakat pedesaan masih banyak juga

yang bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan adatnya yang lama.

Hazairin menyatakan : “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri

dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang

sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral”.70

F. Struktur Kekeluargaan Adat Lampung Pepadun

Daerah Lampung yang sekarang disebut “Sai Bumi Ruwai Jurai” luas

wilahnya 36.376,5 terletak diujung selatan pulau sumatera, yang seolah-olah

seperti kepala ikan yang seperti siap menelan pulau Jawa.

Masyarakat hukum adat yang diambil berdasarkan data primer, adalah

masyarakat hukum adat yang dijumpai di daerah Lampung. Orang-orang

Lampung (“Lampung” berasal dari kata “lampung” yang berarti mengambang di

air). Masyarakat Lampung mempunyai dasar genealogis yang tegas, faktor

teritorial baru kemudian menampakkan diri sebagai faktor penting juga. Kesatuan

genealogis yang terbesar bernama Buay (atau kebuayan) yang di daerah Pesisir

dinamakan Suku-Asal.71 Dapat disimpulkan bahwa masyarakat hukum adat di

Lampung merupakan masyarakat hukum adat genealogis-teritorial yang

bertingkat.

70
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Tinta Mas, Jakarta, Tinta
Mas, hlm. 9
71
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal 99
46

Adat Pepadun di dirikan sekitar abad ke-16 pada zaman kesultanan

Banten. Pada awalnya terdiri dari 12 kebuaian Abung Siwo Mego dan Pubian

Telu Suku, kemudian di tambah 12 kebuaian lain yaitu Mego Pak Tulang

Bawang, Buay Lima Way Kanan, dan Sungkai Bunga Mayang (3 buay) sehingga

menjadi 24 kebuaian.

Kata Pepadun sendiri artinya adalah sebuah kursi singgasana yang terbuat

dari kayu, yang digunakan ketika melakukan upacara adat pepadun, dengan kata

lain pepadun adalah suatu benda berupa bangku yang terbuat dari kayu yang

merupakan lambang dari tingkatan kedudukan dalam masyarakat mengenai suatu

keluarga keturunan.72

Istilah cakak pepadun diartikan sebagai suatu peristiwa pelantikan

penyimbang menurut adat istiadat masyarakat Lampung Pepadun, dimana

sesorang yang akan mendapatkan gelar adat duduk di Pepadun dengan

mengadakan gawi adat yang wajib dilaksanakan bagi seseorang yang akan berhak

memperoleh pangkat atau kedudukan sebagai penyimbang yang dilakukan oleh

lembaga perwatin adat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Pepadun

secara kekerabatan terdiri dari empat klen besar yang masing-masing dapat dibagi

lagi menjadi kelompok-kolompok kerabat yang disebut Buay.

72
Kiay paksi. Buku Handak II Lampung Pubian. Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 1995,
Hal. 14
47

Kitab Kuntara adat Lampung adalah kitab-kitab hukum adat Lampung

yang sampai hari ini tetap merupakan pedoman bagi warga batin adat pepadun

dalam mengatur kepentingan adat para waganya.73

Nilai-nilai adat budaya Lampung Pepadun dapat dilihat dari adat

ketatanegaraan (kepunyimbangan), kekerabtan yang kesemuanya di dasarkan pada

pandangan hidup Pi-il Pesenggiri, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. 74 Pada

umumnya masyarakat adat Lampung Pepadun menganut sistem kekerabatan

patrilinial dan bentuk perkawinan adat serta upacara adat begawi Cakak Pepadun

yang berlaku atas dasar musyawarah dan mufakat adat dimana anak keturunan

tertua dari keturunan tertua (punyimbang) memegang kekuasaan adat.

Susunan kewargaan Adat Pepadun terdiri dari keturunan kepunyimbangan

bumi/marga, keturunan kepunyimbangan ratu/tiyuh, keturunan kepunyimbangan

batin/suku, keturunan beduwa (orang rendah, orang biasa). Susunan kedudukan

adat tersebut merupakan ukuran nilai untuk menentukan siapa yang berhak

menjadi raja adat. 75

Bentuk perkawinan pada masyarakat adat Lampung Pepadun dikenal

dalam dua bentuk perkawinan yaitu :

a. Perkawinan Jujur

73
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm 20
74
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm. 139.
75
Op. Cit, Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung, CV. Mandar Maju, Bandung, 1989,
Hlm. 160
48

Perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan

pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Diterimanya

uang jujur oleh pihak wanita, maka berarti setelah menikah si wanita

akan mengalihkan kedudukannya ke dalam keanggotaan kekerabatan

suami untuk selama ia mengikat dirinya dalam perkawinan itu atau

selama hidupnya.76

b. Perkawinan Semanda

Perkawinan semanda adalah bentuk perkawinan tanpa

pembayaran uang jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah

perkawinan suami masuk dalam kekerabatan si isteri dan

bertanggungjawab dalam meneruskan keturunan di pihak isteri.

Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya adalah suatu perkawinan

dimana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan di pihak

isteri dan melepaskan hak dan kedudukan di pihak kekerabatannya

sendiri.77

Upacara perkawinan adat Lampung pada umumnya berbentuk perkawinan

jujur dengan menurut garis keturunan bapak (patrilineal), yaitu ditandai dengan

adanya pemberian sejumlah uang kepada pihak perempuan untuk menyiapkan

sesan, yaitu berupa alat-alat keperluan rumah tangga. Sesan tersebut akan

diserahkan kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada upacara perkawinan

76
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal. 73
77
Ibid, hlm. 82
49

berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan (secara adat) mempelai wanita

kepada keluarga/klan mempelai laki-laki.78

Secara hukum adat, maka putus pula hubungan keluarga antara mempelai

wanita dengan orangtuanya. Upacara perkawinan tersebut dalam pelaksanaannya

dapat dengan cara adat Hibal Serbo, Bumbang Aji, Ittar Padang, Ittar Manom

(cakak manuk) dan Sebambangan.

Masyarakat Lampung Pepadun menganut prinsip garis keturunan dari

pihak ayah (patrilineal), dimana anak laki-laki tertua dari keturunan tertua

(punyimbang) memegang kekuasaan adat. Setiap anak laki-laki tertua adalah

penyimbang, yaitu anak yang mewarisi kepemimpinan ayah sebagai kepala

keluarga atau kepala kerabat seketurunan.

Sistem dan bentuk perkawinan adat tercermin dalam upacara-upacara adat

yang berlaku. Kedudukan penyimbang begitu sangat dihormati dan istimewa,

karena merupakan pusat pemerintahan kekerabatan, baik yang berasal dari

keturunan yang bertalian darah, satu pertalian adat, atau karena perkawinan.

Gelar Punyimbang ini sangat dihormati dalam adat Pepadun karena

menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. Status kepemimpinan adat

ini akan diturunkan kepada anak laki-laki tertua dari Penyimbang, dan seperti itu

seterusnya. Berbeda dengan Saibatin yang memiliki budaya kebangsawanan yang

kuat, Pepadun cenderung berkembang lebih egaliter dan demokratis. Status sosial

dalam masyarakat Pepadun tidak semata-mata ditentukan oleh garis keturunan.


78
Sabaruddin SA, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir, Buletin Way Lima Manjau,
Jakarta , 2013, Hal.71
50

Setiap orang memiliki peluang untuk memiliki status sosial tertentu, selama orang

tersebut dapat menyelenggarakan upacara adat Cakak Pepadun. Gelar atau status

sosial yang dapat diperoleh melalui Cakak Pepadun diantaranya gelar Suttan,

Raja, Pangeran, dan Dalom.


51

BAB III

PROSES PEMBAGIAN HARTA WARIS BERSAMA MENURUT

HUKUM ADAT LAMPUNG PEPADUN

A. Gambaran Umum Sungkai Tengah

Menurut penuturan Suntan Baginda Dulu di daerah Lampung Ragom pada

tahun 1997 nenek moyang Suku Sungkai Bunga Mayang berasal dari Suku

Komering yang bermigrasi dari Komering Bunga Mayang menuju kearah

selatan Sumatera yang kini dikenal sebagai provinsi Lampung. Sungkai

menyusuri Way Sungkai pada tahun 1800 Masehi. Tujuan mereka bermigrasi

adalah untuk mencari sumber kehidupan yang baru.

Dalam perjalanan migrasi tersebut, mereka akhirnya membuka kampung

baru atau disebut tiuh maupun pemukiman baru yang disebut

dengan umbul setelah meminta bagian tanah kepada tetua Abung Buway Nunyai

pada tahun 1818 sampai dengan 1834 Masehi. Tanah tersebut akhirnya mereka

peroleh setelah Mampu Begawi memenuhi syarat dari tetua Abung Buway Nunyai

yaitu menyembelih kerbau sebanyak 64 ekor kemudian dibagikan ke seluruh

Kebuayan (Keturunan) Abung. Setelah itu resmilah Suku Komering dengan

marga Bunga Mayang menjadi Ulun Lampung dibawah hukum adat pepadun

Lampung sebagai Suku Sungkai Bunga Mayang.

1. Kondisi Geografis

Kecamatan Sungkai Tengah dibentuk berdasarkan Peraturan

Daerah Kabupaten Lampung Utara Nomor 8 Tahun 2006, merupakan


52

Kecamatan hasil pemekaran Kecamatan Sungkai Utara dengan ibu kota Batu

Nangkop. Ibukota Kecamatan ini terletak + 30 km dari ibu kota Kabupaten

Lampung Utara (Kotabumi) dan + 130 km arah dari ibukota Provinsi

Lampung.

Kecamatan Sungkai Tengah saat ini hanya terdiri dari 8 desa, 39

dusun, 105 RT, sesuai dengan Perda Kabupaten Lampung Utara Nomor 8

tahun 2006 tanggal 15 Agustus 2006, Kecamatan Sungkai Tengah saat ini

berdasarkan data Lampung Utara dalam angka tahun 2015, memiliki luas

kurang lebih 111,60 km2, 4,09 % dari luas total Kabupaten Lampung Utara

2.725,63 km2.79

Batas administrasi Kecamatan Sungkai Tengah dengan wilayah lain yaitu :

Utara berbatasan dengan    :    Keca matan Hulu sungkai dan Sungkai Utara

Timur berbatasan dengan :    Kecamatan Sungkai Selatan

Selatan berbatasan dengan  :    Kecamatan Sungkai Barat

Barat berbatasan dengan :    Kabupaten Way Kanan

2. Kondisi Demografis

Tabel 3.1

KECAMATAN /
NO. IBUKOTA Nomor Kode Desa
TIUH
I Sungkai Tengah Batu Nangkop 18.03.18
1 Batu Nangkop Batu Nangkop 18.03.18.2001

79
Wawancara dengan Idris camat Sungkai Tengah, di kantor camat Sungkai Tengah
tanggal 24 Desember 2019
53

2 Negara Bumi Negara Bumi 18.03.18.2002

3 Melungun Ratu Melungun Ratu 18.03.18.2003


Negeri Campang Negeri Campang
4 Jaya Jaya 18.03.18.2004

Pampang Tangguk Pampang Tangguk


5 Jaya Jaya 18.03.18.2005

6 Negeri Galih Rejo Negeri Galih Rejo 18.03.18.2006

7 Ratu Jaya Ratu Jaya 18.03.18.2007

8 Mekar Asri Mekar Asri 18.03.18.2008


Sumber : Bagian Pemerintahan Setda Lampung Utara, 2011

Kecamatan Sungkai Tengah sesuai dengan Peraturan Daerah   Kabupaten

Lampung Utara Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Lampung Utara Tahun 2014 – 2023 diperuntukan sebagai kawasan

lindung dan kawasan budidaya.

Kawasan Lindung yang ada berupa kawasan perlindungan setempat yaitu

sempadan sungai Way Tulung. Kawasan budidaya meliputi : Kawasan budidaya

peruntukan pertanian, Kawasan budidaya peruntukan pertambangan, Kawasan

budidaya peruntukan industri, Kawasan budidaya peruntukan pertambangan dan

peruntukan pemukiman.

Kawasan budidaya peruntukan pertanian, dibagi menjadi kawasan

budidaya tanaman pangan, tanaman holtikultura dengan komoditas tanaman Padi,

Jagung, Kedelai, Palawija, Singkong, kawasan peruntukan pekebunan, kawasan

untuk budidaya peternakan dengan jenis ternak besar, yaitu: Sapi, Kerbau dan

Babi, jenis ternak unggas, seperti : Ayam Ras, Ayam Buras, Bebek dan Itik.
54

Kawasan budidaya peruntukan pertambangan, kecamatan Sungkai Tengah

memiliki potensi pertambangan berupa bahan mineral non logam, yaitu jenis

bahan tambang berupa batuan.

Kawasan budidaya peruntukan industri dengan jenis industri kecil/rumah

tangga, selain itu juga Kecamatan Sungkai Tengah juga diperuntukan sebagai

Kawasan budidaya peruntukan pemukiman pedesaan.80

B. Asal Usul Masyarakat Adat Lampung Pepadun

Dalam kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung (Abung, Pubian, Pesisir,

dan lain-lain) berasal dari pagaruyung keturunan Putri Kayangan dari Kuala

Tungkal, kerabat mereka menetap di Skala Brak, maka cucunya Umpu Serunting

(Sidenting) menurunkan lima orang anak laki-laki, yaitu Indra Gajah

(menurunkan orang abung), Belenguh (menurunkan orang pesisir), Pa’lang

(menurunkan orang pubian), Panan (menghilang), dan Sangkan (diragukan

dimana keberadaannya).81

Menurut cerita rakyat, bahwa penduduk Lampung berasal dari daerah Skal

a Brak, yang merupakan perkampungan orang Lampung pertama. Kemashuran Sk

ala Brak ini dapat dirunut melalui penuturan lisan turun temurun dalam wewaraha

n, tambo dan dalung, apabila kita menanyakan kepada masyarakat Lampung tenta

ng darimana mereka berasal maka mereka akan menjawab dari bukit dan akan me

nunjuk kesuatu tempat danau besar”.82

80
Wawancara dengan Idris camat Sungkai Tengah, di kantor camat Sungkai Tengah tanggal
24 Desember 2019
81
Hilman, dalam Kuntara Rajaniti, (terjemahan), hlm. 60
82
Hilman, Asal Usul Suku Bangsa Lampung, hlm. 7
55

Dalam kisahnya deretan Skala Brak pada awalnya dihuni oleh suku Tumi

yang kala itu masih menganut paham animisme. Suku bangsa ini mengagungkan s

ebuah pohon yang bernama lemasa kepampang yaitu pohon nangka bercabang

dua. Cabang pertama berupa nangka dan yang satunya lagi sejenis pohon yang

bergetah (sebukau). Keistimewaan lemasa kepampang menurut cerita rakyat yang

berkembang adalah apabila terkena getah dari cabang kayu sebukau akan

menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya,untuk mengobatinya

harus dengan getah cabang satunya. Selanjutnya kayu lemasa kepampang ini

dijadikan sebagai pohon yang dikeramatkan.

Setelah masuknya Islam yang disebarkan oleh empat orang putra raja

pagaruyung di Skala Brak yaitu Umpu Berjalan di Way, Umpu Belunguh, Umpu

Nyerupa, dan Umpu Peranong, dibantu oleh seorang penduduk yang bernama si

Bulan, mereka membentuk sebuah persatuayang bernama Paksi Pak (4

bersaudara), mereka merupakan cikal bakal Paksi Pak, sebagaimana

yangdiungkapkan dalam buku naskah kuno yang bernama Kuntara Raja Niti

(Kitab Hukum Adat). Tetapi dalam versi buku tersebut nama-nama mereka adalah

Inder Gajah, Paklang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Dan keempat Umpu

tersebutlah yang membawa agama Islam dan bersahabat dengan Puteri Bulan.83

dan bermakna tempat mengadukan segala hal ihwal dan mengambil keputusan

bagi mereka yang pernah mendudukinya.

83
Sabaruddin SA, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir, Pemerintahan, Adat Istiadat,
Sastra, Bahasa, Untuk Perguruan Tinggi dan Umum, Buletin Way Lima Manjau, Jakarta,
Hlm..68
56

Fungsinya hanya diperuntukan bagi raja yang memerintah di Skala Brak

ketika itu. Pepadun diabadikan menjadi salah satu nama adat istiadat Lampung

yaitu adat Lampung Pepadun yang abadi hingga sekarang.

Tabel 3.2 Istilah dalam Adat Lampung Pepadun :

No ISTILAH DALAM KEADA PENGERTIAN SECARA NASION


TAN AL
1 Penyimbang Kepala adat / pimpinan adat / tuho rajo
2 Bellei Biaya yang dikeluarkan untuk
begawi,jujur
3 Pemakai Pakaian adat khusus yang telah
ditentukan untuk dipakaikannya dan
keluarganya dalam upacara adat
4 Pebeghukan kayeu Penumpukan kayu yang ditebang dari
hutan khusus untuk dibuat pepadun.
5 Sabuk jaran Ikat pinggang khusus dipakai dalam
upacara adat
6 Jupano / jepano Tempat asongan terhadap orang yang
akan dinobatkan menjadi penyimbang
/
penyembang
7 Jupano / jepano Jubung saghu Tempat asongan khusus yang telah
didandan.
8 Tajeru Memakai / menyisipkan keris
dipinggang tak kelihatan
9 Pengajin Dana atas izin terhadap pemakaian
sarana adat yang dibolehkan
10 Nohoi belli Pengakut mengeluarkan dana kepada f
orum musyawarah adat untuk setiap
gawi yang dikerjakan menyangkut
kedudukannya sebagai suami dan
penyimbang
11 Dipegeghno Dipadatkan lagi / dimantabkan
12 Ghamban Harga,nilai
13 Nyetih Menyetek, menumbuhkan kedudukan
baru atas izin penyimbangnya
14 Negei Membangun kedudukannya sebagai
pimpinan adat
15 Liwak Berpisah kedudukan dengan
Penyimbangnya
57

16 Paccah Ajei Tempat upacara ngerabung sanggagh


17 Tegagh Anjung Sampai ditempat bertemu, tempat
menebas sangkar
18 Sepuket Siger kecil, kembang goyang
19 Pangkek Kalai Kalung dari merjau, emas atau perak
20 Biyo Negi Pengakuk Sarana / peralatan pokok dalam lamara
n
termasuk uang bakal jujur
21 Masso Pengakuk Perolehan penyimbang dari orang yan
g
begawi atau karena orang mengambil
gadis dari lingkungannya (berupa uan
g)
22 Sesako Barang pusaka adat peninggalan turun-
temurun (berupa pedang, payan, keris,
batu-batu perhiasan dan sebagainya)
23 Belli Pengakuk Ongkos / biaya sarana untuk pesta adat
dan mendapatkan kedudukan / gelar
24 Ulu Pengakuk Pokok pembiayaan, biaya utama,
persyaratan pokok dalam hubungan
pengambilan gadis
25 Kibau Pengigo Kerbau yang dikirim kepada orang tua
gadis selaku penghargaan
26 Kibau Penyesan Kerbau dari orang tua gadis kepihak
besan (sabai)
27 Pangan Tuho Dana yang dibagi para penyimbang
perwatin adat termasuk sanksi, dari
marga / kebuaian sewaktu calon istri a
kan diberangkatkan kerumah calon
suaminya (ada juga dodolnya)
28 Bumbang Ajei Salah satu cara upacara mengambil
Gadis
29 Mighul Bibik atau anak, ponakan perempuan
yang sudah bersuami dan keluarga yan
g
punya upacara itu
30 Cangget Acara puncak dimalam hari dengan
menari dan lain-lain disesat dalam
rangka menyambut besok harinya yan
g punya hajatan dinobatkan / diberi gel
ar
sebagai pimpinan adat yang telah
ditentukan
31 Penyesan Barang dan alat pembawaan istri
58

ketempat suami
32 Pi`il Pasenggiri Punya harga diri, berpendirian yang
Tetap
33 Nemuh Nyimah Dermawan, suka memberi menghorma
ti
tamu, dan berlapang dada
33 Nengah Nyappur Bermasyarakat, bergaul baik dengan
masyarakat sekitar
34 Sakai Sembayan Gotong-royong, tolong-mrnolon, salin
g
Membantu
35 Julug Gelagh Nama pemberian adat waktu dia masih
anak-anak sama dengan julug dan
setelah kawin dengan keputusan
perwatin atau begawi diberikan gelar
atau adeg
36 Burung Garuda Kendaraan kebesaran zaman dahulu,
sekarang tinggal gambarnya saja
(burung elang yang besar)
37 Perwatin Forom musyawarah pimpinan adat
38 Cepalo Adat (sebumbangan) Sangsi adat kepada orang kebuaian lai
n
melarikan gadis harus bayar denda :
a. Pemccung tudung perbu = 10 - 5
b. Penyubukan tujuh = 7 - 6
c. Kacang Segelung Anek =7 - 6
d. Pengucilan Titi = 7 – 3
e. Peting Segelung Atung = 3
39 Pupadun Pemegat Sesat Pupadun utama dirumah sesat
40 Upih Bagal Kursi adat dasar (pertama)
41 Keghis Kebelah Keris sebelah disisipkan dipinggang
Kanan

C. Proses Pembagian Harta Waris Bersama Menurut Hukum Adat Lampung

Pepadun Di Kecamatan Sungkai Tengah


59

Hasil wawancara Penulis dengan Mangku Rajo gelar pangeran alam

selaku Punyimbang Adat di Tiuh Ratu Jaya Kecamatan Sungkai Tengah

Kabupaten Lampung Utara, Masyarakat Lampung yang bersifat Patrilineal,

memiliki konsep dasar pewaris berupa penerusan harta waris kepada anak laki-

laki tertua. Sebuah keadaan khusus, dimana dalam sebuah keluarga tidak memiliki

anak laki-laki, di mungkinkan melakukan pengangkatan anak secara adat dan

melakukan sebuah perkawinan adat semanda (ngakuk ragah). 84

Masyarakat suku Lampung Pepadun menganut prinsip garis keturunan dari

pihak ayah (patrilineal), dimana anak laki-laki tertua dari keturunan tertua

(penyimbang) memegang kekuasaan adat. Setiap anak laki-laki tertua adalah

penyimbang, yaitu anak yang mewarisi kepemimpinan ayah sebagai kepala

keluarga atau kepala kerabat seketurunan. Ada 3 (tiga) kelompok sistem

kekerabatan dalam masyarakat lampung pepadun, yaitu :

a. Kelompok kekeluargaan Yang Bertalian Darah Hubungan kekerabatan

ini berlaku diantara penyimbang dengan para anggota kelompok

keluarga warei, kelompok keluarga apak kemaman, kelompok warei

dan kelompok anak. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1) Kelompok warei, terdiri dari saudara-saudara seayah-seibu atau

saudara-saudara seayah lain ibu, ditarik menurut garis laki-laki

keatas dan kesamping termasuk saudara-saudara perempuan yang

84
Wawancara dengan Mangku Rajo Glr. Pangeran Alam di Kecamatan Sungkai Tengah
pada tanggal 6 Mei 2020
60

belum menikah atau yang bersaudara datuk (kakek) menurut garis

laki-laki.

2) Kelompok apak kemaman terdiri dari semua saudara-saudara ayah

(paman), baik yang sekandung maupun yang sedatuk atau

bersaudara datuk (kakek) menurut garis laki-laki. Dalam

hubungannya dengan apak kemaman, penyimbang berhak untuk

meminta pendapat nasehat dan berkewajiban untuk mengurus dan

memelihara apak kemaman. Baliknya apak kemaman berhak diurus

dan berkewajiban untuk menasehati.

3) Kelompok adek warei terdiri dari semua laki-laki yang bersaudara

dengan penyimbang baik yang telah berkeluarga maupun yang

belum berkeluarga.

4) Kelompok anak terdiri dari anak-anak kandung, Kedudukan anak

kandung adalah mewarisi dan menggantikan kedudukan orang tua

atau ayah kandungnya.

b. Kelompok Kekerabatan Yang Bertalian Perkawinan Kelompok ini

berlaku diantara penyimbang dan anggota kelompok, yaitu kelompok

kelama, kelompok lebu, kelompok benulung dan termasuk pula 14

kelompok kenubi serta ada pula kelompok persabaian, kelompok

Mirul-Mengiyan dan merau serta laku. Adapun penjelasannya sebagai

berikut :
61

1) Kelompok Kelama terdiri dari saudara-saudara laki-laki dari

pihak ibu dan keturunannya.

2) Kelompok Lebu terdiri dari saudara-saudara laki-laki dari

pihak ibunya ayah (nenek) dan keturunannya.

3) Kelompok Benulung terdiri dari anak-anak saudara

perempuan dari pihak ayah (bibi) dan keturunannya.

4) Kelompok Kenubi terdiri anak-anak saudara-saudara dari

pihak ibu bersaudara (sepupu dari pihak ibu) dan

keturunannya.

5) Kelompok Pesabaian (sabai-besan) terdiri dari kekerabatan

yang terjadi karena adanya perkawinan yang dilakukan oleh

anak-anak mereka.

6) Kelompok Mirul-Mengiyan, Merau, Dan Lakau terdiri dari

semua saudarasaudara perempuan yang telah bersuami

(Mirul) dan para suaminya (Mengiyan) kemudian saudara-

saudara dari Mirul dan Mengiyan tersebut yang merupakan

ipar (Lakau) para Mirul bersaudara suami serta para

mengiyan bersaudara istri disebut (Marau).

c. Kelompok Kekerabatan Yang Bertalian Adat Mewarei Timbulnya

hubungan kekerabatan ini karena hal-hal tertentu yang tidak dapat

dihindari berkaitan dengan adat seperti karena tidak mendapatkan


62

keturunan/anak laki-laki atau tidak mempunyai Warei atau

Saudara. Kekerabatan seperti ini diantaranya adalah sebagai

berikut:

1) Anak angkat yaitu anak yang diangkat oleh penyimbang yang

dilakukan dengan cara “Ngakuk Ragah” (mengambil anak

laki-laki) baik dengan cara adopsi maupun dengan

menikahkan dengan anak perempuan dari penyimbang

tersebut.

2) Mewarei adat atau yang disebut pula dengan bersaudara

orang luar. Sahnya mengambil anak laki-laki atau mengambil

anak sebagai anak sendiri, dan bersaudara dengan orang luar

harus diketahui oleh kerabat maupun masyarakat sebagai

warga adat persekutuan, yaitu dengan dilakukan upacara adat

dengan disaksikan oleh majelis perwakilan adat ataupun

tidak. Kedudukan anak angkat adalah merupakan hasil suatu

pengakuan dan pengesahan warga adat persekutuan, apabila

berstatus sebagai anak penyimbang maka ia akan mewarisi

dan menggantikan kedudukan orang tua atau ayah angkatnya.

Demikian pula dengan bersaudara angkat, kedudukannya

didalam kekerabatannya yang baru berdasarkan setatus

sebelumnya, apabila ia seorang penyimbang maka


63

kedudukannya sama dengan orang yang mewarei atau

mengangkat saudara.85

Berdasarkan wawancara dengan Responden Bapak Hi.Rizani Puspawijaya

Gelar Kanjeng Sutan Nyawo Mergo yang menjadi narasumber yang bertempat

tinggal di tiuh Ratu Jaya Kecamatan Sungkai Tengah, menyatakan bahwa apabila

suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki atau hanya perempuan saja, maka

akan dilakukan pengangkatan anak perempuan dari keluarga tadi. Adapaun

beberapa kemungkinan menjadi alasan untuk dilaksanakannya sebuah

pengangkatan antara lain :

a. Keluarga tersebut tidak memiliki anak.

b. Keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki, melainkan memiliki

anak perempuan.

c. Keluarga tersebut akan menikahkan anak mereka dengan orang yang

bukan asli Lampung.86

Jenis pengangkatan anak pada masyarakat adat Lampung Pepadun

Kecamatan Sungkai Tengah, sebagai berikut :

a. Pengangkatan anak dengan tujuan tidak meneruskan garis keturunan.

Pengangkatan anak dengan tujuan tidak meneruskan garis

keturunan atau kedudukan orang tua angkatnya dari sistem masyarakat

adat yang diangkat. Biasanya dikarenakan adanya faktor-faktor tertentu

85
Wawancara dengan Mangku Rajo Glr. Pangeran Alam di Kecamatan Sungkai Tengah
pada tanggal 24 Desember 2019
86
Wawancara dengan Rizani Puspawijaya Gelar Kanjeng Sutan Nyawo Mergo pada
tanggal 13 Mei 2020
64

kedudukan anak angkat seperti ini statusnya didalam kekeluarga hanya

sebatas hubungan emosi antara orang tua angkat dan anak angkat, akibat

hukum yang timbul dalam pengangkatan ini tidak ada.

Jenis-jenis pengangkatan anak tidak meneruskan garis keturunan ada

beberapa macam yaitu :

a. Pengangkatan anak dikarenakan permohonan perkawinan.

Pengangkatan anak juga ada yang dikarenakan adanya suatu

perkawinan yang mana anak laki-laki yang akan diangkat ingin

melangsungkan perkawinan dengan wanita suku Lampung sedangkan

anak tersebut berasal dari luar suku Lampung.

Pengangkatan macam ini biasanya dikarenakan adanya perkawinan

beda suku ataupun adat istiadat, seperti contohnya, perkawinan antara

orang Jawa dengan orang Lampung. yang mana orang yang bukan suku

Lampung dimasukkan kedalam adat Lampung , dengan cara

pengangkatan anak. Sesudah anak angkat masuk dalam adat Lampung

baru anak tersebut dapat melangsungkan perkawinan dengan cara adat

Lampung Pepadun Kecamatan Sungkai Tengah.

Dalam hal ini anak yang diangkat tersebut tidak mempunyai hak

apapun terhadap orang tua angkatnya apalagi dalam hal mewaris. Hanya

statusnya dalam masyarakat adat Lampung ia sebagai anak orang tua

angkatnya.
65

b. Pengangkatan anak dikarenakan belas kasih.

Karena belas kasihan kepada anak tersebut kepada anak tersebut

disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberi nafkah kepadanya.

Hal ini adalah motivasi yang positif karena disamping membantu si anak

guna masa depannya juga adalah membantu beban orang tua kandung si

anak, asalkan didasari dengan kesepakatan yang ikhlas antara orang tua

angkat dengan orang tua kandung sendiri.

Dengan demikian maka pengangkutan anak merupakan suatu

perbuatan yang bernilai positif dalam masyarakat hukum adat kita

dengan berbagai motivasi yang ada, sesuai dengan keanekaragaman

masyarakat dan bentuk kekeluargaan di Indonesia.

c. Pengangkatan anak dengan tujuan meneruskan garis keturunan melalui

perkawinan (Tegak-Tegi).

Menurut Tokoh Adat di tiyuh Ratu Jaya Kecamatan Sungkai

Tengah Bapak M.Rusdi Akib Gelar Raden Mutlak Pengangkatan anak

secara Tegak-Tegi ini terjadi biasanya didalam suatu keluarga tidak

mempunyai anak laki-laki tetapi hanya mempunyai anak perempuan,

sehingga anak perempuan dari keluarga tersebut dinikahkan dengan laki-

laki baik itu dari dari kerabat sendiri ataupun dari luar kerabat, setelah

menikah suami dari anak perempuan tersebut diangkat statusnya sama

dengan anak kandung (anak tegak-tegi).

Menurut penjelasan dari bapak Ali Hanafiah Gelar Rajo penutup

pengangkatan atau Ngakken anak dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :


66

1). Orang tua ayah si perempuan atau si Tegak-Tegi yang akan

menikah dengan melakukan suatu upacara adat bersaudara

(mewarei) dengan salah satu kerabat orang Lampung Pepadun

Abung Siwo Migo Buai Subing (bukan Lampung mewarei)

sehingga anak yang akan menikah secara otomatis menjadi

orang Lampung.

2). Si Perempuan atau Laki-laki yang akan menikah diangkat anak

oleh salah satu dari keluarga Lampung Pepadun, baik dari dari

dalam Kampung atau tiyuh tersebut maupun dari Kampung lain.

Apabila pengangkatan dilakukan oleh Kampung lain, maka

biasanya keluarga yang mengangkat atau Ngakken masih ada

hubungan keluaraga atau sahabat yang sudah dikenal sejak lama

dan mempunyai hubungan yang sangat dekat.

d. Pengangkatan anak dengan tujuan meneruskan garis keturunan tanpa

adanya perkawinan.

Alasan lain adanya pengangkatan anak adalah untuk

mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagian keluarga, apabila

dalam suatu perkawinan tidak menghasilkan keturunan (anak), baik

laki-laki maupun perempuan, maka menurut adat perkawinan itu

gagal, maka untuk mempertahankan perkawinan biasanya keluarga ini

akan mengangkat anak untuk penerus perkawinan dan mengurus harta

kekayaan.
67

Pada dasarnya jenis pengangkatan anak seperti ini tata cara

dan akibat hukumnya hampir sama dengan pengangkatan anak dengan

cara melalui perkawinan (Tegak-Tegi), hanya dalam proses

pengangkatannya saja yang berbeda yang mana jenis pengangkatan ini

tidak melalui perkawinan yang mana tidak ada pihak mantu yang

dijadikan anak angkat.

Tata cara pengangkatan anak pada masyarakat adat Lampung Pepadun

kecamatan Sungkai Tengah dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu:

1). Tahap I : Musyawarah Keluarga

2). Tahap II : Musyawarah Kerabat

3). Tahap III : Musyawarah Masyarakat Adat (merwatin)

4). Tahap IV : U pacara Adat

Musyawarah dipimpin oleh paman dari pihak yang akan mengangkat anak,

atau seseorang yang ditokohkan dalam keluarga, atau punyimbang dari suatu

keluarga langsung. Musyawarah dihadiri oleh paman dan bibi serta saudara laki-

laki calon ayah angkat. Pada umumnya mereka membicarakan alasan mengapa

keluarga yang bersangkutan akan mengangkat anak dan membicarakan tingkatan

upacara yang akan dilakukan oleh yang bersangkutan serta status anak angkat

tersebut dikemudian hari.

Apabila diperoleh kesepakatan dalam musyawarah keluarga maka

dilanjutkan dengan musyawarah kerabat. Musyawarah kerabat dipimpin langsung


68

oleh seseorang yang berstatus sebagai Punyimbang Keluarga. Pada musyawarah

ini dihadiri oleh :

a. Paman atau bibi dari ayah dan ibu.

b. Kakak dan adik laki-laki dan perempuan dari pihak ayah dan ibu yang

berstatus ipar.

c. Keluarga yang akan diangkat (ayah, ibu serta saudara-saudaranya).

Pada musyawarah ini, yang dibicarakan sama seperti tahap awal, antara

lain membicarakan tentang status dan upacara yang akan dilakukan serta fasilitas

yang perlu dipersiapkan, setelah diperoleh kesepakatan maka dilanjutkan ke

tahapan ketiga yaitu musyawarah adat masyarakat adat Lampung Pepadun

kecamatan Sungkai Tengah.

Adapun syarat dan prosedur pengangkatan anak sebagai berikut :

a. Adanya persetujuan antara orangtua angkat dan orangtua kandung

serta anak yang akan diangkat.

b. Pihak orang tua yang akan mengangkat anak memberitahukan

maksudnya terlebih dahulu kepada tuatua adat di Kecamatan Sungkai

Tengah.

c. Anak angkat agar ia dapat masuk kedalam salah satu penyimbang

dengan syarat menyerahkan kerbau, anak yang akan diangkat tersebut


69

harus membawa kerbau untuk diacarakan adat,dan jumlah kerbau

yang harus dibawa harus sesuai dengan kedudukan penyimbang.

d. Sesuai dengan rencana dalam pengangkatan anak jika rencana

pengangkatan anak itu untuk tujuan tegak tegi (anak yang diangkat

untuk menegakkan atau mengantikan kedudukkan ayah angkatnya)

apakah karena tidak mempunyai anak sama sekali, atau hanya

mempunyai anak perempuan saja. Sebab kalau karena tidak

mempunyai anak sama sekali, maka akan terjadi dua kali ngebal yaitu

ngebal anak laki-laki dan ngebal anak perempuan. Bila yang akan

mengangkat anak tersebut mempunyai anak perempuan saja maka hal

ini akan terjadi satu kali ngebal.

e. Yang diangkat harus membawa dodol (juadah) sejumlah kepala

keluarga yang ada dalam kepunyimbangan tersebut.

f. Yang diangkat anak kalau masih bujang/gadis diberi Jejuluk bila

sudah berkeluarga diberi Adek. Semua prosedur ini harus melalui

musyawarah (peppung) di sesat dengan membayar uang Pengajin,

Pemahau, Penguten, Penerangan dan lain-lain sesuai dengan rencana

(tujuan) pengangkatan anak tersebut. Biaya gawei tersebut pada

dasarnya tergantung dari maksud dan tujuan pengangkatan anak itu

sendiri, apakah bertujuan untuk Tegak Tegi atau pengangkatan anak

itu hanya berdasarkan rasa kasihan atau kemanusiaan.87

87
Ibid
70

Menurut Penjelasan dari bapak Rizani Puspawijaya Gelar Kanjeng Sutan

Nyawo Mergo salah satu kepala keluarga yang melakukan pengangkatan anak,

pengangkatan anak didalam masyarakat Adat lampung Pepadun di tiuh Ratu Jaya

kecamatan Sungkai Tengah, tidak harus dilakukan dengan upacara-upacara yang

resmi, cukup dilaksanakan secara kekeluargaan yaitu oleh tua-tua adat setempat,

di samping itu juga dilakukan dengan membuat surat perjanjian yang disaksikan

oleh tokoh-tokoh masyarakat dan tua-tua adat setempat serta kerabat dari yang

mengangkat anak.

Tetapi bila calon orang tua yang mengangkat mampu dan mau, maka dia

dapat dan akan mengadakan hajatan (Begawi) dengan memotong kerbau, dimana

dalam hajatan tersebut diumumkan pada khalayak ramai yang disaksikan oleh

sesepuh adat bahwa mereka mengangkat anak, yang merupakan persetujuan adat.

Menurut hukum adat Lampung Pepadun Kecamatan Sungkai Tengah

anak Tegak-Tegi sebagai anak kandung yang sah menurut adat sehingga anak

Tegak-Tegi tersebut mempunyai kekuasaan penuh atas harta kekayaan oraqng tua

angkatnya, namun ada harta tetentu yang tidak dapat dimilik oleh anak

TegakTegi. Berdasarkan penjelasan dari bapak Rusdi Akib Gelar Raden Mutlak

Salah satu tokoh adat di Kampung terbanggi Besar tentang harta warisan yang

didapat oleh anak Tegak-Tegi adalah :

Kedudukan anak angkat adat tadi terhadap harta kekayaan hasil warisan

orang tua angkatnya tidak ada sama sekali, hanya sebatas menikmati dan menjaga
71

harta tersebut. Anak laki-laki hasil pernikahan merekalah yang nanti akan berhak

atas harta warisan tersebut.

Terdapat pengecualian pula dalam hal apabila si anak wanita yang telah

melakukan perkawinan semanda (ngakuk ragah) dengan anak angkat adat tadi

(anak mentuha) dikemudian hari meninggal dunia dan belum dikaruniai keturunan

baik laki-laki ataupun perempuan. Apabila keadaan ini terjadi, hak menikmati atas

harta warisan yang didapat oleh anak angkat tadi secara otomatis akan hilang,

serta ia akan dianggap secara adat sudah keluar dari kekerabatan keluarga besar

istri.88

Masyarakat adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai tengah

khususnya di Tiuh Ratu Jaya biasanya menggunakan beberapa sistem pewarisan,

diantaranya adalah dengan cara penerusan atau pengalihan dan dengan cara

penunjukkan.89

Sistem pewarisan menurut konsep hukum adat Lampung Pepadun di

Kecamatan Sungkai Tengah dengan cara penerusan atau pengalihan dan dengan

cara penunjukkan sebagai berikut :

1. Penerusan atau Pengalihan

Di daerah Lampung penerusan atau pengalihan hak atas

kedudukan dan harta kekayaan, biasanya berlaku setelah pewaris

berumur lanjut di mana anak tertua lelaki sudah mantap berumah


Wawancara dengan Rizani Puspawijaya Gelar Kanjeng Sutan Nyawo Mergo pada
88

tanggal 13 Mei 2020


89
Wawancara dengan Mangku Rajo Glr. Pangeran Alam di Kecamatan Sungkai Tengah
pada tanggal 24 Desember 2019
72

tangga, demikian pula adik-adiknya. Dengan penerusan dan pengalihan

hak dan kewajiban sebagai kepala rumah tangga menggantikan ayahnya

atau dalam istilah Lampung Ngradu Tuha, maka selama ayah masih

hidup, ayah tetap kedudukannya sebagai penasehat, dengan cara

penerusan atau pengalihan anak hanya berhak dalam menikmati

manfaat dari harta yang telah ditunjuk tersebut dan bertanggung jawab

dalam pengurusannya. Biasanya saat pengalian kepemilikan harta

seluruh anggota dilibatkan dalam musyawarah keluarga.

2. Penunjukkan

Di daerah Lampung juga dikenal cara penunjukkan atau

Pengonjuk jelma tuha oleh orang tua kepada anak-anaknya atau pewaris

kepada ahli waris atas harta tertentu, maka berpindahnya penguasaan

dan pemilikannya baru berlaku dengan sepenuhnya kepada ahli waris

setelah pewaris wafat. Apabila orang tua masih hidup, maka ia berhak

dan berwenang menguasai harta yang ditunjukkan itu, tetapi di dalam

pengurusan atau pemanfaatannya dari harta itu sudah dapat dinikmati

oleh orang atau anak yang ditunjuk.

Misalnya, si Pewaris mengumpulkan semua para ahli waris

untuk melakukan musyawarah keluarga, setelah semua berkumpul, si

Pewaris akan akan memberikan pernyataan soal peunjukan harta

warisnya, misalnya sawah 5 (lima) hektar yang terletak disuatu tempat

adalah hak untuk anak si A, lalu mobil yang biasa dipakai adalah hak
73

untuk anak si B. Apabila sudah ditetapkan kemudian, kelak ketika

Pewaris meninggal dunia, anak si A dan si B tadi baru berhak atas harta

yang telah di nyatakan dalam musyawarah tadi. 90

Bagi masyarakat adat Lampung pepadun di Kecamatan

Sungkai Tengah, selain harta yang sudah diberikan dengan

penunjukkan, maka sisa harta yang tidak dibagi akan dikuasai oleh anak

tertua laki-laki. misalnya rumah peninggalan orang tua, kebun, sawah

dan harta berharga lainnya. maka walaupun orang tua tidak

meninggalkan wasiat atau pesan terhadap harta yang  tidak dibagi,

kedudukan harta itu secara otomatis akan dikuasai oleh anak tertua laki-

laki.91

Dari kedua proses pewarisan di atas, Yang paling melekat pada

masyarakat adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai Tengah adalah dengan

cara penerusan atau pengalihan. Bahkan, sejak anak laki-laki tertua masih balita

secara tidak langsung sudah diumumkan kepada pihak halayak bahwa anak laki-

laki tersebut akan menjadi penerus harta orang tua.92

Adapun terkait harta warisan masyarakat adat Lampung Pepadun

mengelompokan dalam dua bagian yaitu :93

2. Harta warisan adat yang tidak dapat dibagi

90
Wawancara dengan Mangku Rajo Glr. Pangeran Alam di Kecamatan Sungkai Tengah
pada tanggal 24 Desember 2019
91
Wawancara dengan Mangku Rajo Glr. Pangeran Alam di Kecamatan Sungkai Tengah
pada tanggal 24 Desember 2019
92
Wawancara dengan Mangku Rajo di Kecamatan Sungkai Tengah pada tanggal 24
Desember 2019
93
Wawancara dengan Mangku Rajo di Kecamatan Sungkai Tengah pada tanggal 24
Desember 2019
74

  Adapun harta warisan adat yang tidak dapat dibagi

memiliki arti bahwa harta tersebut dapat dimiliki bersama oleh para

ahli waris namun tidak dapat dikuasai secara perseorangan.

Harta tersebut biasa disebut harta pusaka yang turun

temurun diwariskan kepada penerus keturunannya. harta ini dikuasai

oleh penyimbang (anak laki-laki tertua atau kerabat laki-laki si

pewaris) menurut tingkatannya masing-masing harta pusaka itu sendiri

terbagi menjadi dua, Yaitu harta pusaka yang tidak berwujud dan harta

pusaka yang berwujud. untuk harta pusaka yang tidak berwujud, akan

secara otomatis turun kepada anak laki-laki tertua sebagai akibat

sistem pewarisan mayorat laki-laki yang dianut oleh masyarakat adat

Lampung pepadun.

bentuk harta yang tidak berwujud yaitu hak atas gelar adat

kedudukan adat hak-hak Atas pakaian perlengkapan adat hak mengatur

dan mewakili anggota kerabat. sedangkan hak-hak yang berwujud

yaitu pakaian perlengkapan adat, tanah pekarangan, bangunan rumah,

tanah pertanian dan perkebunan.

3. Harta warisan adat yang dapat dibagi

Harta warisan yang dapat dibagi adalah harta yang

dihasilkan orang tua semasa hidup bukan harta warisan dari nenek

moyang. proses pembagiannya dengan cara penerusan atau

penunjukan. pembagiannya dapat dilakukan ketika pewaris masih

hidup ataupun setelah pewaris meninggal dunia. tidak hanya anak laki-
75

laki, anak perempuan juga memiliki hak yang sama mendapatkan harta

waris orang tuanya. Namun, jika orang tuanya meninggal dunia dan

masih ada hartanya yang belum sempat dibagikan kepada anak-

anaknya semasa hidup maka harta tersebut menjadi hak mutlak anak

laki-laki.94

Subjek pewarisan menurut hukum adat Lampung Pepadun di kecamatan

Sungkai Tengah adalah pewaris dan ahli waris. pewaris adalah orang yang

memperoleh harta warisan (harta pusaka dan harta pencaharian) yang nantinya

harta tersebut akan dialihkan kepada ahli warisnya, sedangkan ahli waris adalah

anak laki-laki tertua yang diberi tanggung jawab oleh orang tuanya untuk menjaga

dan memelihara harta warisan dan dipergunakan sesuai dengan adat yang berlaku

pada masyarakatnya.

Objek warisan dalam hukum adat Lampung pepadun di Kecamatan

Sungkai Tengah adalah harta turun-temurun dari kakek yaitu rumah, tanah

perladangan dan seluruh barang-barang pusaka peninggalan dari kakek. apabila

ayahnya memiliki harta pencaharian sendiri maka harta tersebut dapat dibagikan

kepada anak-anaknya bergantung pada keputusan keluarga dengan musyawarah. 

Ahli waris ialah orang-orang yang dapat menerima harta warisan baik laki-

laki maupun perempuan, Adapun ahli waris dalam hukum Adat Lampung

Pepadun di Kecamatan Sungkai Tengah adalah :

1. Anak laki-laki

2. Ayah
94
Wawancara dengan Mangku Rajo di Kecamatan Sungkai Tengah pada tanggal 24
Desember 2019
76

3. Suami

4. Kakak dari ayah

Di dalam Hukum Adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai

Tengah yang berhak mewarisi seluruh harta warisan dari orang tua yaitu anak

laki-laki tertua, apabila tidak mempunyai anak laki-laki didalam keluarga tersebut

harta kekayaan bisa dikuasi kakak dari ayah atau paman, apabila didalam keluarga

tersebut mempunyai anak angkat maka hanya diberi harta hadiah (Hibah).

Menurut hukum pewarisan Islam, sebab-sebab hilangnya hak untuk

mendapatkan harta warisan ada dua, yaitu:

1. Perbedaan Agama

Perbedaan agama merupakan penyebab hilangnya hak kewarisan

sebagai mana ditegaskan bahwa seorang muslim tidak menerima warisan

dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima

warisan dari seorang muslim.95

2. Pembunuh Pewaris

Pembunuhan menghalangi seorang untuk mendapatkan

warisan dari pewaris yang dibunuhnya. Seorang yang membunuh

pewarisnya tidak berhak menerima warisan dari orang yang

dibunuhnya itu.96

95
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 218
96
Ibid, Hlm. 218
77

Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Sadili Glr. Rajo

Bintang selaku punyimbang adat Lampung Pepadun Anak perempuan dalam

sistem kekerabatan adat Lampung yang patrilineal pada dasarnya tidak mendapat

waris. Anak perempuan yang telah menikah yang kemudian mengikuti kerabat

keluarga suaminya disebut  pirul biasanya mendapatkan waris melalui

pemberian sansan, yaitu berupa rumah dan atau seperangkat perabot rumah

tangga lengkap kepada anak perempuan dan calon suaminya.97

Sansan bisa berupa barang, surat, harta bergerak dan tidak bergerak

karena selain berupa perabotan rumah tangga yang sudah jamak kita lihat pada

tradisi sansan, ada juga sansan yang berupa rumah atau tempat tinggal, emas,

perak, berlian, surat berharga, dan lain-lain. Yang pada intinya diberikan pihak

keluarga pengantin perempuan untuk menjalani mahligai rumah tangganya

bersama sang suami.  Sansan tersebut akan diserahkan kepada pihak keluarga

laki-laki umumnya pada saat acara resepsi pernikahan berlangsung yang sekaligus

sebagai penyerahan mempelai wanita kepada keluarga laki-laki.98

Selanjutnya, jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki,

tetapi memiliki anak perempuan saja, dimungkinkan melakukan pengangkatan

anak secara adat dan melakukan sebuah perkawinan adat semanda (ngakuk

ragah). Yang artinya perkawinan itu terjadi dikarenakan sebuah keluarga hanya

mempunyai anak perempuan, anaak perempuan itu mengambil laki-laki untuk

97
Wawancara dengan Sadili Glr. Rajo Glr. Rajo Bintang di Kecamatan Sungkai Tengah
pada tanggal 27 Desember 2019
98
Wawancara dengan Sadili Glr. Rajo Glr. Rajo Bintang di Kecamatan Sungkai Tengah
pada tanggal 27 Desember 2019
78

dijadikan suami dan mengikuti kerabat istri untuk selama perkawinan guna

menjadi penerus keturunan pihak istri.99

Istilah adat Lampung untuk anak angkat tersebut disebut anak mentuha.

Secara adat anak tersebut akan terputus hubungannya kepada orang tua

kandungnya, secara adat dan secara pribadi, tetapi secara hukum agama dan

hukum nasional, pemutusan hubungan itu tidak terjadi.

99
Wawancara dengan Sadili Glr. Rajo Glr. Rajo Bintang di Kecamatan Sungkai Tengah
pada tanggal 27 Desember 2019
79

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA HARTA WARIS BERSAMA APABILA


TERJADI PERSELISIHAN MENURUT HUKUM ADAT
LAMPUNG PEPADUN DI KECAMATAN SUNGKAI TENGAH

A. Pengertian Tentang Sengketa

Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan

oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini

kepada pihak kedua. Jika situas ini menunjukkan perbedaan pendapat, maka

terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa. Dalam konteks hukum yang

dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak

karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam

suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan kata lain telah terjadi

wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak.100

Dengan demikian, yang dimaksud dengan sengketa ialah suatu

perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling mempertahankan

persepsinya masing-masing, di mana perselisihan tersebut dapat terjadi karena

adanya suatu tindakan wanprestasi dari pihak-pihak atau salah satu pihak dalam

perjanjian.

Tahap timbulnya sengketa yaitu tahap keluhan (grievance) , tahap

perselisihan (Preconflict) , tahap perselisihan (conflict),  tahap sengketa (dispute).

tahap perselisihan mengacu kepada suatu keadaan atau kondisi yang menunjukkan

bahwa seorang atau kelompok merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak lain. hal
100
A,Kamilah, Tinjauan Tentang Sengketa, Diunduh Tanggal 24 Januari 2020, dari
https://eprints.uny.ac.id/22029/4/4.BAB%20II.pdf
80

ini merupakan dasar timbulnya kemarahan atau dendam.  keadaan merasa

dirugikan Ini mengandung berbagai kemungkinan. cara penyelesaian ini

bergantung kepada pihak yang merasa dirugikan.101

 Negosiasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan (ADR),  kedua

pihak yang bersengketa mengambil keputusan dalam penyelesaian sengketa nya

hanya disetujui oleh kedua pihak yang bersengketa tanpa adanya bantuan pihak

ketiga. penyelesaian perkara di luar pengadilan (ADR) dengan cara negoisasi

memiliki prinsip umum sebagai berikut :

a. Adanya dua pihak atau lebih yang bersengketa, baik sebagai

individu, kelompok masyarakat maupun badan hukum.

b. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui negoisasi diperlukan

adanya keaktifan para pihak yang bersengketa  untuk hasil hasil

yang diinginkan.

c. Salah satu pihak yang bersengketa  berkeyakinan bahwa dengan

negoisasi dapat membujuk pihak lawannya.

d. Sebagai bahan utama untuk tercapai hasil akhir negoisasi yaitu

adanya pertukaran informasi antara kedua belah pihak yang

bersengketa. 102

101
Andry Harijanto, Alternative Dispute Resolution, Lemlit Unib Press, Bengkulu, 2017,
Hlm.13

102
Ibid, Hlm. 39
81

Salah satu contoh  berfungsinya hukum dalam kebudayaan adalah hukum adat.

hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis (hukum non sta-tutair)  Disamping

itu hukum adat adalah hukum yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakat itu sendiri (the living law).

Perdamaian adat adalah adanya suasana kehidupan yang penuh dengan 

keakraban kekeluargaan, persahabatan dan tolong menolong. Hal ini bertujuan

untuk menciptakan suasana keseimbangan antara kehidupan material dan

immaterial atau untuk menciptakan keseimbangan kehidupan manusia yang lahir

dan batin, antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan masyarakat sekitar

manusia dengan alam sekitarnya dan manusia dengan Tuhannya.103

Para peneliti Antropologi Hukum telah mengumpulkan data perihal proses

sengketa dan jalan sejarah hidup yang tidak sesuai, antara individu dengan

individu atau antara kelompok dengan kelompok. Pada umumnya para peneliti itu

telah berusaha mencapai kesepakatan mengenai penggunaan istilah yang terdiri

dari tiga tahap di dalam proses penyelesaian sengketa yaitu tahap keluhan 

(grievance) atau tahap pra perselisihan (Praconflict) dan pada akhirnya tahap

sengketa (dispute).104

103
Ibid, Hlm.7
104
Ibid, Hlm. 12
82

B. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Apabila Terjadi Perselisihan

Menurut Hukum Adat Lampung Pepadun.

Beberapa faktor secara umum yang mendorong terjadinya konflik didalam

pembagian waris yaitu105 :

1. Tidak meratanya pembagian warisan yang dilakukan oleh orang tua

terhadap anak-anaknya,

2. Anak laki-laki pertama didalam keluarga banyak memposisikan diri

sebagai pemimpin keluarga sehingga ia beranggapan semua

peninggalan orang tua adalah haknya sebagai pemimpin yang

menggantikan orang tua.

3. Tidak adanya bukti tertulis didalam pembagian warisan yang

akhirnya dapat diklaim oleh anggota keluarga lainnya.

4. Harta yang sudah diwariskan oleh orang tua kepada anaknya banyak

juga dijual oleh orang tua tersebut tanpa sepengetahuan anak dan

anggota keluarga lain sehingga sangat mungkin terjadinya konflik

antara anak dengan orang tua.106

Dalam adat Lampung Pepadun, Kepenyimbangan artinya kepemimpinan

disalah satu kelompok keluarga besar. Penyimbang adalah salah seorang yang

mempunyai gelar atau kedudukan dalam Adat yang di bentuk oleh tua-tua Adat

atau tokoh adat. Penyimbang diambil dari anak tertua dari keluarga yang memiliki

kedudukan dalam Adat minimal memiliki gelar Ghajo dan Pangeghan. Untuk
105
Wawancara dengan Mangku Rajo di Kecamatan Sungkai Tengah pada tanggal 26
Desember 2019
106
Wawancara dengan Mangku Rajo di Kecamatan Sungkai Tengah pada tanggal 26
Desember 2019
83

mendapatkan gelar Penyimbang harus membayar uang adat dan menyembelih


107
kerbau (Begawi). Yang membentuk suatu keputusan dalam Adat Lampung

Pepadun yang disebut Penyimbang, adanya Penyimbang dalam Adat Lampung

Pepadun untuk menyatukan, mengharmoniskan dan menyelaraskan kehidupan

didalam suatu komunitas adat.

Dalam proses penyelesaian sengketa pembagian harta waris, dengan

persetujuan bersama, akan ditunjuk salah salah satu orang yang dituakan dalam

keluarga tersebut untuk dijadikan juru bicara sebagai pemimpin musyawarah.

Musyawarah tersebut juga harus dihadiri oleh ketua adat dengan tujuan untuk

menjadi orang yang netral dalam memberikan saran. ketua adat juga berperan

sebagai pemberi pendapat mengenai tata cara cara pembagian harta warisan yang

adil menurut ketentuan adat. Setelah permasalahan dikemukakan oleh para pihak

yang bersengketa, maka akan dicari jalan keluar yang terbaik untuk semua

pihak.108

Apabila dalam musyawarah keluarga tidak tercapai kata mufakat maka

perkara tersebut dapat dibawa ke dalam musyawarah adat yang dilakukan di balai

adat dengan dihadiri oleh penyimbang adat, anggota-anggota adat, pemuka adat

dan anggota-anggota kerabat yang bersengketa. Penyimbang berperan sebagai

mediator, penyimbang selalu mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Namun

dalam kondisi tertentu, penyimbang terkadang harus mengambil inisiatif untuk

menetapkan sendiri keputusan tersebut, dan biasanya keputusan yang diambil


107
Wawancara dengan Amir gelar Suttan Rajo Adat di Sungkai Tengah pada tanggal 25
Desember 2019.
108
Wawancara dengan Sadili Gelar Rajo Bintang di Kecamatan Sungkai Tengah pada
tanggal 26 Desember 2019
84

penyimbang merupakan keputusan yang final.109 Ketika terjadi pelanggaran dari

keputusan final tersebut maka akan di denda sesuai dengan ketentuan Adat

Lampung Pepadun. 110

Bagi masyarakat adat Lampung pepadun sistem musyawarah dan

pelaksanaan peradilan adat dapat berlaku menurut tingkatan-tingkatan

kekerabatan (serumah, sesuku, sekampung, semarga, antar marga) sebagaimana

urutan struktur masyarakat yang bersifat genealogis patrilineal. Apabila ternyata

dalam musyawarah adat masih tidak terjadi kesepakatan diusahakan masalah

tersebut tidak sampai diselesaikan melalui jalan pengadilan hukum.111

Tahapan musyawarah adat yang dilakukan dibalai adat yaitu seluruh

anggota keluarga dan kerabat akan dikumpulkan di balai adat, yang juga dihadiri

penyimbang adat dan anggota-anggota adat, selanjutnya penyimbang adat akan

membuka musyawarah tersebut dan akan mendengarkan penjelasan dari masing-

masing yang bersengketa secara bergantian yang juga disaksikan dengan kerabat

dan anggota-anggota adat, penyimbang adat sebagai mediator akan memberikan

saran dan memutuskan suatu sengketa dengan musyawarah yang melibatkan

masing-masing pihak yang bersengketa , anggota keluarga dan kerabat dengan

mencapai kata mufakat.112

109
Wawancara dengan Amir gelar Suttan Rajo Adat di Sungkai Tengah pada tanggal 25
Desember 2019.
110
Wawancara dengan Amir gelar Suttan Rajo Adat di Sungkai Tengah pada tanggal 28
Desember 2019.
Wawancara dengan Sadili Gelar Rajo Bintang di Kecamatan Sungkai Tengah pada
tanggal 26 Desember 2019
111
Wawancara dengan Sadili Gelar Rajo Bintang di Kecamatan Sungkai Tengah pada
tanggal 26 Desember 2019
112
Wawancara dengan Amir gelar Suttan Rajo Adat di Sungkai Tengah pada tanggal 28
Desember 2019.
85

Sejauh ini mengenai pembagian harta waris bersama tidak pernah ada

Permasalahan, masyarakat adat Lampung yang memiliki nilai sosial piil

pesenggiri akan merasa malu apabila masalah internal keluarga, seperti masalah

warisan harus diperlihatkan ke umum. Memperselisihkan sebuah warisan

merupakan perbuatan yang dianggap tabu dan bertentangan dengan kebiasaan

moral dengan istilah melanggar adat atau tidak tahu adat (cepalo).113

Kasus mengenai sengketa harta waris bersama sejauh ini belum pernah

terjadi, tetapi yang pernah terjadi dalam satu keluarga di Kecamatan Sungkai

Tengah karena orang tuanya meninggal dunia dan tidak meninggalkan pewaris

atau keturunan, sedangkan dalam Adat Lampung Pepadun memakai sistem

kewarisan mayorat yaitu sistem kewarisan yang berhak menerima harta waris

adalah anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan laki-laki yang merupakan ahli

waris tunggal dari si pewaris, tetapi dalam kasus ini orang tua tidak meninggalkan

keturunan satupun, sehingga tidak ada ahli waris yang berhak mendapatkan harta

waris tersebut. Oleh karena itu, Penyimbang berperan menentukan ahli waris dari

kasus tersebut, sehingga dari hasil mufakat adat yang berhak menjadi ahli waris

adalah anak laki-laki tertua dari paman. Kebijakan dari pengambilan keputusan

diatas diambil dari musyawarah adat (mufakat) antara Penyimbang dan dari

keluarga yang meninggal dunia.114

113
Wawancara dengan Mangku Rajo di Kecamatan Sungkai Tengah pada tanggal 28
Desember 2019
114
Wawancara dengan Mustofa Glr. Suttan Suku Dalem di Sungkai Tengah pada tanggal 28
Desember 2019.
86
87

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dituangkan dalam bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam hukum adat Lampung Pepadun di Kecamatan Sungkai Tengah

Kabupaten Lampung Utara Pembagian harta warisan bersama, Masyarakat

adat Lampung Pepadun biasanya menggunakan beberapa cara proses

pewarisan, diantaranya adalah dengan cara penerusan atau pengalihan dan

dengan cara penunjukkan, sejauh ini mengenai pembagian harta warisan

bersama tidak pernah ada permasalahan, harta waris bersama berbeda

dengan harta bawaan, yang diperoleh dari perseorangan suami atau isteri.

karena pada hakikatnya pembagian harta waris bersama di bagikan secara

merata, akan tetapi pada praktiknya harta waris bersama diberikan kepada

anak lelaki tertua dikeluarga dan anak perempuan hanya mendapat sesan

dari keluarga jika akan melangsungkan pernikahan. Harta bersama itu

meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dalam suatu kasus

apabila ada permasalahan seperti pewaris atau orang tuanya meninggal

dunia dan tidak meninggalkan ahli waris, dalam adat Lampung Pepadun

memakai sistem kewarisan mayorat yaitu sistem kewarisan yang berhak

menerima harta warisan adalah anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan

laki-laki yang merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris.

2. Penyelesaian sengketa waris bersama menurut hukum adat Lampung

Pepadun di Kecamatan Sungkai Tengah Kabupaten Lampung Utara.


88

Apabila terjadi persengketaan waris penyimbang berperan sebagai

mediator, penyimbang selalu mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

Namun dlaam kondisi tertentu, penyimbang bisa menetapkan sendiri

keputusan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan

terdapat dua macam musyawarah atau mufakat yang biasa dilakukan oleh

masyarakat adat Lampung Pepadun yaitu musyawarah keluarga dan

musyawarah adat.

B. Saran

1. Dalam pengumpulan informasi menurut hukum adat yang berlaku pada

daerah tertentu agar lebih diperbanyak narasumber yang memahai hal-hal

yang diperlukan dalam penelitian selanjutnya.

2. Pada suatu daerah tertentu memiliki hukum adat mengenai ahli waris yang

berbeda dan untuk penelitian selanjutnya dapat membandikan perbedaan

dalam dua atau lebih daerah mengenai hukum ahli waris.


89

Anda mungkin juga menyukai