Kelompok VI
Disusun oleh:
FAKULTAS HUKUM
JANUARI 2023
2
Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan sumber daya alam
utama, Tanah memiliki fungsi dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang beragam
dan meningkat, baik pada tingkat nasional maupun dalam hubungan dengan dunia
Internasional. Begitu pentingnya tanah dalam kelangsungan hidup dan penghidupan manusia,
sehingga tanah harus digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat. Dalam hukum adat,
tanah merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah
memiliki hubungan yang erat. Bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan
melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka tinggal, tanah yang memberi
mereka makan, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang-
orang halus pelindungnya serta arwah leluhurnya. Tanah adat merupakan milik dari
masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu. Tanah memegang peranan vital
dalam kehidupan dan perhidupan bangsa, serta pendukung suatu negara, lebih-lebih yang
corak agrarisnya berdominasi. Namun dalam hukum tanah adat masih adanya pengaruh
dualisme hukum tanah yang ada selama masa pemerintah Hindia Belanda, sehingga
ketidakpastian hukum, yakni suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan
yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan UUPA. Undang-Undang
1
Adrian Sutedi, 2007, “Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta:Sinar Grafika), Hlm 31
2
Ibid, Hlm 32
3
Seluruh negara dapat dipastikan memiliki suatu tradisi sendiri yang merupakan ciri
khas bagi negara tersebut. Ciri tradisi yang dimiliki oleh seluruh negara dapat berbentuk
budaya, kebiasaan, hukum dan seni. Indonesia sebagai negara yang berdaulat telah
memiliki pula tradisi budaya, seni dan kebiasaan yang beraneka ragam. Sehingga setiap
suku yang ada di Indonesia dipastikan mempunyai budayanya sendiri-sendiri. Oleh karena
itu tepatlah bahwasannya pemikiran pendiri bangsa ini dan perancang Hukum Agraria
Dalam pemberlakuan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional sesuai dengan
penjelasan konsiderans dalam UUPA.Pernyataan mengenai hukum adat dalam UUPA dapat
ditemui dalam :
Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan
sebagian besar tunduk pada aturan hukum adat, sehingga hukum agraria
adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan
pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan
b) Pasal 5
3
Supriadi, 2010, “Hukum Agraria”, ( Jakarta: Sinar Grafika), Hlm 52
4
Sejalan dengan penjelasan umum angka III (1) UUPA di atas, maka
dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
c) Penjelasan Pasal 5
d) Penjelasan Pasal 16
f) Pasal 584
tanah nasional, berdasarkan hukum adat dan bahwa hukum tanah nasional merupakan
hukum adat, yang menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan hukum
tanah nasional, yaitu hukum adat menurut pengertian yang sebenarnya sebagaimana telah
diuraikan di atas. Dalam pembangunan hukum tanah nasional, hukum adat berfungsi
sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Sedang dalam
4
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, (.Jakarta:Djambatan,( Edisi Revisi). Cetakan 10), Hlm 177-179.
5
hubungannya dengan hukum tanah nasional positif, norma-norma hukum adat berfungsi
Dimana segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, jual beli tanah,
dan segalanya mengalami perubahan. Sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih
milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama. Namun setelah
berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, hal ini dapat dilihat dari Pasal 3 UUPA,
yang berbunyi:
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
Bahwasannya dalam Pasal tersebut mengartikan hak ulayat dan hak-hak yang serupa
dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih
ada, namun di karenakan terjadinya proses individualis, sering hak ulayat ini mulai
Tumbuh dan kuatnya hak-hak yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat
Konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional adalah konsepsinya hukum Adat,
yaitu konsepsi yang bersifat komunalistik religius, yang dimungkinkan penguasaan tanah
secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung
unsur kebersamaan. Sifat komunalisitk religius dari konsepsi hukum tanah nasional
5
Ibid, Hlm 205
6
Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya”, (Jakarta: Sinar Grafika), Hlm 57-58
6
ditunjukkan pda Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang menyebutkan : “seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang
Dalam rangka hukum tanah nasional semua tanah dalam wilayah negara kita
merupakan tanah yang dimiliki bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa
Indonesia. Dalam rangka hukum tanah nasional dapat dimungkinkan rakyat negara Indonesia
masing-masing untuk menguasai bagian-bagian dari tanah bersama tersebut secara individual
secara hak-hak atas tanah yang bersifat individu, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.7
Dalam legalisasi pada aset tanah dan reforma agraria, kajian mutakhir menunjukkan
bahwasannya tidak adanya bukti klaim-klaim sertifikat sebagai aset modal bagi orang miskin,
untuk diberikan tanahnya kepada pemilik baru beserta segenap bukti haknya (sertifikat).
Legalisasi aset (sertifikasi) adalah tahap lanjutan dari redistribusi (land reform) untuk
menciptakan hak baru, bukan ajudikasi atas tanah-tanah milik yang memang sudah dikuasai
dan dibuktikan dalam kepemilikan adat. Program sertifikasi tidak dimaksudkan terlepas dari
agenda utama ini. Transisi agraria untuk memahami kaitan antara legalisasi aset dan transisi
agraria diuraikan terlebih dahulu beberapa pengertian berikut. Transisi agraria diartikan
penguasaan pemilikan dan pemanfaatan tanah untuk melaksanakan proses dalam Pasal 6
(fungsi sosial hak atas tanah), Pasal 7 (asas bahwa pemilikan/penguasaan atas tanah tidak tak
terbatas), Pasal 10 (asas bahwa setiap pemilik tanah harus menggarap/mengusahakan sendiri
tanahnya) dan Pasal 1 (asas bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk mengambil alih
7
Setyo Utomo, “Nilai-Nilai Kearifan Lokal Hukum Adat Dalam Hukum Tanah Nasional”, Jurnal Hukum Media
Bhakti (2018)
7
dan menguasai tanah yang melebihi batas maksimum pemilikan serta membagikannya
dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Dalam Pasal 2 TAP MPR No.
dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan
Reforma Agraria dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 antara lain untuk mengurangi
sumber-sumber agraria, dan mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan.9
Lahirnya UUPA ditujukan juga untuk mengakhiri dualisme hukum dalam masalah
agraria yang sekaligus mewajibkan hukum adat lokal untuk tunduk pada kesatuan hukum
nasional. kepemilikan tanah komunal di desa-desa juga diakhiri dengan undang-undang atau
sebelumnya merupakan hak komunal berubah menjadi tanah milik yang dimiliki oleh petani-
petani secara individual. Dalam reforma agraria sebagai suatu konsep struktur agraria yang di
dalamnya terdapat usulan tentang perombakan dan penggunaan tanah yang bertujuan untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur, meningkatkan taraf hidup petani penggarap dan
masyarakat pada umumnya, serta untuk memperkuat dan memperluas kepemilikan tanah bagi
seluruh rakyat indonesia, terutama kaum petani. Dalam perjalanan waktu, implementasi
reforma agraria sebagai konsep tersebut, di zaman sekarang, menuntut kembali lembaga
8
Safrin Salam, “Kepastian Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Komunal Sebagai Pelaksanaan Reforma Agraria.
Jurnal Cita Hukum. Vol IV, No. II, (2016), Hlm 5
9
Sulasi Rongiyati, “Reforma Agraria Melalui Perpres Nomor 86 Tahun 2018. Info Singkat”, Vol X, No. IX,
(2018), Hlm 2.
8
komunal atas tanah-tanah desa yang di awal berlakunya reforma agraria dengan undang-
undang menjadikan keberadaan tanah desa dengan hak komunal berubah menjadi tanah milik
yang dimiliki secara individu. Dengan dikeluarkannya Perka BPN No. 10 Tahun 2016, jelas
terlihat kemauan dan tekad dari pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian
hukum kepada masyarakat hukum adat dengan diberi peluang sebagai subjek pemegang hak
Dalam menjamin hak-hak masyarakat hukum adat dan hak masyarakat yang berada
dalam kawasan tertentu, yang menguasai tanah dalam jangka waktu yang cukup lama
sehingga, pemerintah telah mengesahkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 (Permen ATR/KBPN No.10 Tahun 2016)
tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan
globalisasi dalam pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentngan bisnis dan kepentngan umum.
pembangunan nasional dan pemanfaatan tanah ulayat akan memberikan fakta yang lengkap
tentang apa yang dibutuhkan perusahaan swasta yang akan berinvestasi dan apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat hukum adat terhadap pemanfaatan tanah ulayat yang dimiliki
oleh mereka.12
10
Dessy Ghea Herrayani, Lucky Faradila Soraya, Oemar Moechtar, “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat
Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria”, Jurnal Kertha Patrika, Vol. XXI, No. III,
(Desember,2019), Hlm 294-295
11
Markus H Simarmata, “Hukum Nasional Yang Responsif Terhadap Pengakuan dan Penggunaan Tanah
Ulayat”, Jurnal RechtsVinding, Vol. VII No. II, (Agustus 2018), Hlm 290
12
Ibid, Hlm 294
9
yang berkeadilan dalam pemamnfaatan tanah ulayat. Dengan demikian hukum nasional dapat
feksibel, adaptif, serta selalu megevaluasi diri terhadap perkembangan hukum adat yang
sinergis dengan pembangunan kemajuan ekonomi, investasi dan globalisasi. Oleh karena itu
dalam perspektf hukum responsif hukum yang baik adalah hukum yang lebih berkeadilan
prosedural namun hukum itu harus dilaksanakan oleh orang yang berkompeten, terkait
pertambangan dan investasi maka layak pula ditangani oleh lembaga hukum adat untuk
menangani setap perosalan hukum adat termasuk tanah ulayat yang sesuai dengan
kepentingan masyarakat hukum adat dan juga berperan serta dalam mendukung
perekonomian nasional.13
Berdasarkan analisis tersebut maka hukum nasional dan hukum adat yang
adat, pengusaha swasta, dan pemerintah berorientasi pada hasil yaitu kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat. Dengan demikian hukum responsif sangat berbeda dengan citra hukum
klasik yang tdak memperhatkan pada hasil. Dalam implementasinya sangat dibutuhkan
kolaborasi antara otoritas hukum dan kemauan politk. Gagasan tentang proses yang ”tetap”
ini kontras dengan interpretasi ”feksibel” yang lebih melihat aturan yang terikat pada masalah
dan konteks tertentu, dan berusaha untuk mengidentfkasi nilai-nilai yang dipertaruhkan
13
Ibid, Hlm 295
14
Ibid, Hlm 297
10
Pembukaan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang mewajibkan negara memberikan hak penuh
penguasaan dan penggunaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia. UUPA dianggap memiliki sifat
unifikasi hukum, sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
UUPA sebagai hukum agraria nasional disusun mengacu pada hukum adat yang tidak
Menurut Soepomo, Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat15. Hukum tanah nasional merupakan
sistem hukum yang mengatur hak-hak atas tanah dan properti di suatu negara. Dalam sistem
hukum tanah nasional di Indonesia, hukum adat memegang peranan penting sebagai dasar
berlakunya hukum tanah. Hukum adat merupakan sistem hukum yang berkembang dan
diterapkan secara turun-temurun dalam masyarakat suku atau komunitas tertentu. Namun,
saat ini permasalahan yang sering terjadi dalam hukum tanah adalah adanya konflik antara
hukum adat dengan hukum nasional. Konflik ini banyak dijumpai di daerah-daerah yang
memiliki tingkat pemanfaatan tanah yang tinggi, seperti di daerah-daerah perbatasan, daerah
pariwisata, dan daerah pertambangan. Konflik ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi,
sosial, dan lingkungan bagi masyarakat adat. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk
mengintegrasikan hukum adat dalam hukum tanah nasional untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
15
Soepomo (20 Soepomo. (2004) Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (cetakan keenambelas).
Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal tersusun dalam
suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara
masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya 16. Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) merupakan wujud nyata implementasi dari Pembukaan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3
yang mewajibkan negara memberikan hak penuh penguasaan dan penggunaan atas bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam rangka mencapai kesejahteraan
rakyat Indonesia. Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan Hukum Adat tentang tanah
komunalistik religius. Konsepsi hukum adat yang memiliki sifat komunalistik religius
Yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang
adat di Indonesia telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup panjang. Diperlukan beberapa
upaya dalam bentuk riset untuk kemudian dapat menyelesaikan perkara tersebut tanpa
mengintervensi pihak lainnya. B.F. Intan dalam jurnalnya yang berjudul “The Role of
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia banyak terbantu oleh peran hukum adat. Di
dalamnya peneliti tersebut menyatakan bahwa hukum adat menjadi salah satu dasar hukum
tanah nasional di Indonesia, terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang
berbasis masyarakat. Jurnal ini juga menyoroti kendala-kendala yang dihadapi dalam
implementasi hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti masalah-masalah
16
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta 1973 hlm 44.
17
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi
Cetakan Keduabelas, Jakarta: Djambatan, 2008 hlm 206.
12
yang berkaitan dengan pemahaman hukum adat dan konflik antara hukum adat dan hukum
pemahaman dan penerapan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti dengan
melakukan pendidikan hukum adat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan.
Riset terkait hukum adat tanah nasional yang ditulis T. Rees dalam jurnalnya
“Customary Law, State Law, and Land Tenure in Indonesia” yang dimuat dalam Journal of
Legal Pluralism menambahkan eksplorasi terkait hukum tanah bahwa ditemukan adanya
perbedaan dan konflik antara hukum adat dan hukum negara terkait dengan problematika
untuk mengatasi kendala-kendala dalam penerapan hukum adat, terutama dalam pengelolaan
Law in Indonesia: Problems and Prospects” juga menyoroti kendala-kendala serupa yang
berkaitan dengan konflik antara hukum adat dan hukum negara. Jurnal tersebut menyarankan
perlunya proses pengakuan hukum adat di Indonesia untuk prospek kebaikan pertanahan
nasional di masa mendatang dengan cara sosialisasi secara komprehensif dalam upaya untuk
meningkatkan pemahaman dan penerapan hukum adat yang berkeadilan dan sesuai
konstitusi.
Riset di atas memberikan gambaran bahwa upaya penegakan hukum adat dalam
hukum tanah nasional memiliki peranan penting agar terhindar dari konflik. Sehingga pada
Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA-1960), hukum adat dijadikan landasan dalam
pertanahan nasional. Sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga lembaga
hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah.
Menurut Kurnia Warman didalam buku Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk
(hlm.40) mengatakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat dalam pasal 3 UUPA:
13
1. Sepanjang kenyataanya masyarakat hukum adat itu masih ada: Mengenai hal ini,
sesuai dengan penjelasan pasal 67 ayat (1) UU No. 41 1999 tentang kehutanan “suatu
● Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih
ditaati
3. Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi kriteria dalam
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai bersama suatu persekutuan hukum
Permasalahan yang sering terjadi dalam hukum tanah adalah adanya konflik antara
hukum adat dengan hukum nasional. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam
penerapan hukum adat dan hukum nasional dalam pengelolaan tanah. Hukum adat cenderung
lebih fleksibel dan berbasis pada tradisi dan kearifan lokal, sementara hukum nasional
cenderung lebih formal dan berbasis pada undang-undang. M. Andriani dalam penelitiannya
mengungkapkan pentingnya peran hukum adat dalam upaya pengelolaan tanah terutama
terkait hutan18. M. Andriani memberikan banyak catatan bahwa implementasi hukum adat
dalam pengelolaan hutan memiliki tantangan yang cukup kompleks, sehingga penerapan
hukum adat yang inklusif perlu ditingkatkan dalam rangka pengelolaan hukum pertanahan
yang berlaku.
Integrasi hukum adat dalam hukum tanah nasional dapat dilakukan dengan cara
mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan properti yang diatur dalam hukum adat.
Hadirnya integrasi hukum adat dan hukum tanah nasional dapat membantu mengatasi konflik
tanah dan memastikan keadilan bagi masyarakat setempat, Dayak Kalimantan (Sari, 2018).
Di daerah Minangkabau juga demikian, penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana (2019)
bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana hukum adat dapat diterapkan dan diterima secara
efektif sebagai sistem hukum tanah nasional yang pada akhirnya dapat membantu mengatasi
Sehingga perlu dilakukan dengan mengatur hak-hak masyarakat adat dalam undang-
undang tanah nasional. Misalnya dengan mengatur hak-hak masyarakat adat dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Selain itu,
pengelolaan tanah. Mekanisme ini dapat dilakukan dengan cara memberikan hak pengelolaan
tanah kepada masyarakat adat atau dengan cara menyediakan mekanisme konsultasi dengan
18
“Customary Forest Management in Indonesia: An Analysis of Community-Based Forest Management”
15
masyarakat adat dalam pengelolaan tanah. Fathoni (2021) mengungkapkan peran hukum adat
dalam pertanahan nasional di Indonesia dapat mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh
Revolusi Industri 4.0. Hukum adat merupakan bagian integral dari sistem hukum Indonesia
dan memegang peran penting dalam masalah tanah. Dalam era Revolusi Industri 4.0,
dibutuhkan harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional untuk mengatasi masalah dan
memastikan perlindungan hak masyarakat adat. Oleh karena itu, peran hukum adat harus
diakui dan dimanfaatkan sebagai pondasi bagi hukum pertanahan nasional dalam menghadapi
hukum adat dalam hukum tanah nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengakui hak-
hak masyarakat adat atas tanah dan properti yang diatur dalam hukum adat, serta
pengelolaan tanah. UUPA dengan hukum adat adalah: “hukum aslinya golongan rakyat
pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung
unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang
berasaskan serta diliputi oleh suasana keagamaan”. Asas-asas Hukum Adat yang digunakan
dalam Hukum Tanah Nasional antara lain adalah asas religiusitas (Pasal 1 UUPA), asas
kebangsaan (Pasal 1, 2, dan 9 UUPA), asas demokrasi (Pasal 9 UUPA), asas kemasyarakatan,
pemerataan dan keadilan sosial (Pasal 6, 7, 10, 11 dan 13 UUPA), asas penggunaan dan
pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan 15 UUPA), serta asas pemisahan
Dalam rangka membangun Hukum Tanah Nasional, Hukum Adat merupakan sumber
utama untuk memperoleh bahan-bahannya, yaitu berupa : konsepsi, asas-asas, dan lembaga-
lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis, yang
disusun menurut sistem Hukum Adat. Dalam rangka Hukum Tanah Nasional, dimungkinkan
16
para warga negara Indonesia masing-masing menguasai bagian-bagian dari tanah bersama
tersebut secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
dirumuskan dengan kata-kata: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya hukum adat dalam hukum tanah nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyediakan pendidikan dan pelatihan tentang hukum adat dan hukum tanah nasional bagi
masyarakat adat. Pendidikan dan pelatihan ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan
lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang hukum adat dan hukum tanah. Putra dan
Farda (2019) mengungkapkan bahwa dalam praktik penerapan hukum adat dalam hukum
agraria nasional terdapat konflik dalam hal penentuan hak atas tanah. Sehingga menurutnya
dibutuhkan tinjauan yuridis yang tepat untuk mengatasi masalah ini dan memastikan
kedudukan hukum adat sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Dengan
demikian, kedudukan hukum adat dapat dipahami dan dimanfaatkan secara tepat dalam
perkembangan hukum agraria nasional. Hal tersebut didukung oleh Setyo Utomo (2018) yang
mengungkapkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang hidup secara turun temurun harus
agraria nasional. Dikuatkan oleh penelitian Wijaya (2022) dalam jurnal “The Integration of
Customary Law in National Land Law: A Study of The Asmat Community in Papua,
Indonesia” yang menyoroti pentingnya peran hukum adat dalam menjaga harmonisasi
Hukum adat memegang peranan penting sebagai dasar berlakunya hukum tanah
nasional di Indonesia. Namun, permasalahan yang sering terjadi adalah adanya konflik antara
hukum adat dengan hukum nasional dalam pengelolaan tanah. Upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengintegrasikan hukum adat dalam
17
hukum tanah nasional, mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan properti, serta
meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu penerapan hukum adat dalam hukum tanah di
Indonesia memerlukan keseimbangan antara hukum nasional dan hukum adat. Harmonisasi
keduanya harus dicapai untuk memastikan perlindungan hak masyarakat adat dan mengatasi
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dalam pengertian air
(5) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan
Ini berati bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya
diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-
Demikian dengan tanah-tanah yang berada didaerah dan begitu juga pulau bukan
berati semata-mata menjadi milik atau hak rakyat asli daerah dimana tanah dan pulau itu
berasal. Dengan demikian maka hubungan bangsa Indonesia sebagaimana yang disebutkan
19
Efendi perangin, S.H, HUKUM AGRARIA DI INDONESIA SUATU TELAAH DARI SAUDUT PANDANG PRAKTISI
HUKUM (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994) , hlm.214.
19
pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan suatu hak ulayat yang berada pada
tingkatan paling atas yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Adanya hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa yang
telah tertulis diatas bukan berati bahwa hak milik perseorangan atas (Sebagian dari) bumi
tidak dimungkinkan lagi, dalam hal ini hubungan yang dimaksud merupakan hubungan hak
ulayat, bukan merupakan hubungan hak milik. Didalam hak ulayat dikenal dengan adanya
Ada pun hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini yang berati selama masyarakat
Indonesia Bersatu yang membentuk bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta
ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dengan keadaan apapun tidak ada kekuasaan yang
Dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agrarian yang baru dikenal pula hak milik yang dipunyai
seseorang, baik sendiri maupun Bersama-sama dengan orang-orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (pasal 4
jo pasal 20).dalam pada itu hanya permukaan bumi saja yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang.20
Selain Hak Milik yang terkuat, turun-temurun, dan terpenuh yang merupakan hak
yang dapat dimiliki sesorang atas tanah, ada pula Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai, Hak Sewa, dan hak-hak lainya yang akan ditetapkam dengan undang-undang lain
(pasal 4 jo 16 )
20
Ibid.215
20
Tanpa adanya penguasaan Negara, maka tidak mungkin tujuan Negara yang telah ditetapkan dalam
konstitusi atau UUD dapat diwujudkan, namun demikian penguasaan oleh Negara itu tidak lebih dari semacam
“penguasaan” kepada Negara yang disertai dengan persyaratan tertentu, sehingga tidak boleh digunakan secara
sewenang-wenang yang dapat berakibat pelanggaran hukum kepada masyarakat. 21 Pada dasarnya pemberian
a. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “atributif”. Pemberian kekuasaan semacam ini disebut sebagai
pembentukan kekuasaan, karena dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang
timbul karena pembentukan ini sifatnya asali ( oorspronkelijk) . pada pembentukan kekuasaan
b. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “derivatif”. Pemberian kekuasaan ini disebut juga sebagai
“pelimpahan kekuasaan”, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada badan hukum
Pasal 2
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang
untuk :
21
Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2012, Hlm.27
22
Ibid.
21
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2)
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
Peraturan Pemerintah.
Pasal 2 ayat (2) UUPA mendefinisikan hak menguasai negara atas tanah ini sebagai
Wewenang yang diatur dalam pasal tersebut digunakan untuk mencapai kesejahteraan
kepada seluruh warga negara Indonesia. Yang dimana prinsipnya wewenang ini pada
23
Afifah Kusumadara,PENGEMBANGAN NEGARA HAK ATAS TANAH: HAK MENGUASAI ATAU MEMILIKI, VOL. 20
NO.2 DESEMBER 2013
22
pemerintah pusat, pelaksanaanya dapat di limpahkan pada pemerintah daerah asal tidak
bertentangan dengan kepentingan yang bersifat nasional. Wewenang yang dapat dilimpahkan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
Dan sebagaimana yang tertulis dalam pasal 2 (2b dan c) tidak dapat dilimpahkan ke
pemerintah daerah, karena dalam hal ini hanya pemerintah pusatlah yang mempunyai
wewenang.
Asas Persamaan Bagi Warga Negara Indonesia Untuk Memperoleh Hak Atas Tanah
Pasal 9.
(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan
bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
(2) Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan
yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari
Yang dimaksud dengan hubungan sepenuhnya dengan tanah tidak lain dan tidak
bukan adalah hak milik atas tanah. UUPA menyatakan hak milik adalah hak yang terpenuh
Hak milik atas tanah hanya boleh berada ditangan WNI (pasal 21 ayat 1). Ternyata, juga UUPA
menetapkan bahwa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tidak boleh dipunyai WNA. WNA hanya boleh
mempunyai hak pakai dan Hak sewa, yaitu ha katas tanah yang lemah.24
Pasal 11.
24
Efendi perangin, S.H, HUKUM AGRARIA DI INDONESIA SUATU TELAAH DARI SAUDUT PANDANG PRAKTISI
HUKUM (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994) , hlm.224.
23
(1)Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan
ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu
akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat
yang lemah.
Pasal ini mengandung atas perlindungan masyarakat golongan ekonomi yang lemah
yang dilakukan oleh golongan ekonomi kuat, bermaksud untuk mencegah penguasaan atas
Pasal 3.
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
Dapat dilihat dalam Pasal 3 UUPA. Sekalipun hak ulayat (tanah bersama menurut
hukum adat) masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum Agraria Nasional, akan tetapi
masyarakat hukum adat tidak dibenarkan untuk menolak penggunaan tanah untuk
pembangunan dengan dasar hak ulayatnya. Sehingga Negara memiliki hak untuk membuka
tanah secara besar-besaran, misalnya untuk kepentingan transmigrasi, areal pertanian baru
Pasal 6.
Asas ini tertulis dalam Pasal 6, berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang, tidak dapat dibenarkan bila digunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata
untuk kepentingan pribadinya, terutama apabila hal tersebut menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.
Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-
25
negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini
kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun
sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka
waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku
Pasal 21 ayat (1) UUPA.Hak milik adalah hak tertinggi yang dapat dimiliki individu
dan berlaku selamanya. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Asas ini tidak
mencakup warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing. Karena saat menikah
terjadi percampuran harta, sehingga pasangan warga negara Indonesia yang memiliki hak
milik akan kehilangan haknya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dibuat perjanjian pra-
Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan secara Arif oleh Pemiliknya
Pasal 10.
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
(2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan.
(3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan.
Asas ini terdapat pada Pasal 10 ayat (1) UUPA. Munculnya kegiatan land
Sehingga tanah yang dimiliki atau dikuasai seseorang tetapi tidak digunakan sebagaimana
PERNYATAAN
Kami Kelompok VI :
Menyatakan mengizinkan tulisan ini dikutip untuk keperluan akademik, dengan tetap
REFERENSI:
Adrian Sutedi, 2007, “Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta:Sinar
Grafika)
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, (.Jakarta:Djambatan,( Edisi
Revisi). Cetakan 10),
Supriadi, 2010, “Hukum Agraria”, ( Jakarta: Sinar Grafika)
Dessy Ghea Herrayani, Lucky Faradila Soraya, Oemar Moechtar, “Eksistensi Hak Komunal
Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria”, Jurnal
Kertha Patrika, Vol. XXI, No. III, (Desember,2019)
Markus H Simarmata, “Hukum Nasional Yang Responsif Terhadap Pengakuan dan
Penggunaan Tanah Ulayat”, Jurnal RechtsVinding, Vol. VII No. II, (Agustus 2018)
Setyo Utomo, “Nilai-Nilai Kearifan Lokal Hukum Adat Dalam Hukum Tanah Nasional”,
Jurnal Hukum Media Bhakti (2018)
Safrin Salam, “Kepastian Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Komunal Sebagai Pelaksanaan
Reforma Agraria. Jurnal Cita Hukum. Vol IV, No. II, (2016)
Sulasi Rongiyati, “Reforma Agraria Melalui Perpres Nomor 86 Tahun 2018. Info Singkat”,
Vol X, No. IX, (2018)
Dewi. K. (2020). “Customary Land and National Land Law in Indonesia: A Study of The
Dewi, K. (2020). The Integration of Customary Law in National Land Law: A Study of The
Ismail. S. (2018). Adat Law and National Land Law in Indonesia. Jakarta: Penerbit
M.Y. Fathini. (2021). Peran Hukum Adat Sebagai Pondasi Hukum Pertanahan Nasional
dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Putri A. (2021). “Customary Land Rights and National Land Law in Indonesia: A Study of
Rosdiana. (2019).“Adat Law and National Land Law in Indonesia: A Study of The
Sari R. (2018). “Integration of Customary Law in National Land Law: A Study of the Dayak
Unofficial Law.
Setyo Utomo. (2018). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional
Soepomo. (2004). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Widyastuti R. (2019). Customary Law and National Land Law in Indonesia: A Comparative
Wijaya, D. (2022). “The Integration of Customary Law in National Land Law: A Study of
Y.H. Putra, N.F. Farda. (2019). Tinjauan Yuridis Tentang Kedudukan Hukum Adat dalam
1994) , hlm.224.
Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Kencana Prenada