Anda di halaman 1dari 30

1

HUKUM TANAH NASIONAL

Tugas Mata Kuliah: Hukum Agraria

Dosen Pengampu: Mukmin Zakie SH., M.Hum., Ph.D

Kelompok VI

Disusun oleh:

Muhammad Boma Adichandra NIM: 21921060

Muhammad Firman Ahsan NIM: 21921061

Muhammad Iqbal Fikriyannoor NIM: 21921062

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

JANUARI 2023
2

Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan sumber daya alam

utama, Tanah memiliki fungsi dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang beragam

dan meningkat, baik pada tingkat nasional maupun dalam hubungan dengan dunia

Internasional. Begitu pentingnya tanah dalam kelangsungan hidup dan penghidupan manusia,

sehingga tanah harus digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat. Dalam hukum adat,

tanah merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah

memiliki hubungan yang erat. Bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan

melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka tinggal, tanah yang memberi

mereka makan, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang-

orang halus pelindungnya serta arwah leluhurnya. Tanah adat merupakan milik dari

masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu. Tanah memegang peranan vital

dalam kehidupan dan perhidupan bangsa, serta pendukung suatu negara, lebih-lebih yang

corak agrarisnya berdominasi. Namun dalam hukum tanah adat masih adanya pengaruh

dualisme hukum tanah yang ada selama masa pemerintah Hindia Belanda, sehingga

menimbulkan dualisme hukum di Indonesia. Sifat dualisme dapat menimbulkan

ketidakpastian hukum, yakni suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan

hukum itu sendiri.1

Sehubungan dengan itu, di Indonesia dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

peraturan dasar pokok-pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan UUPA. Undang-Undang

tersebut diciptakan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional.2

1
Adrian Sutedi, 2007, “Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta:Sinar Grafika), Hlm 31
2
Ibid, Hlm 32
3

Seluruh negara dapat dipastikan memiliki suatu tradisi sendiri yang merupakan ciri

khas bagi negara tersebut. Ciri tradisi yang dimiliki oleh seluruh negara dapat berbentuk

budaya, kebiasaan, hukum dan seni. Indonesia sebagai negara yang berdaulat telah

memiliki pula tradisi budaya, seni dan kebiasaan yang beraneka ragam. Sehingga setiap

suku yang ada di Indonesia dipastikan mempunyai budayanya sendiri-sendiri. Oleh karena

itu tepatlah bahwasannya pemikiran pendiri bangsa ini dan perancang Hukum Agraria

menjadikan hukum adat sebagai landasan hukum agraria nasional Indonesia.3

Dalam pemberlakuan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional sesuai dengan

penjelasan konsiderans dalam UUPA.Pernyataan mengenai hukum adat dalam UUPA dapat

ditemui dalam :

a) Penjelasan Umum Angka III (1)

Pada Penjelasan Umum angka III (1) UUPA bahwasannya dinyatakan :

Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan

kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Dikarenakan masyarakat Indonesia

sebagian besar tunduk pada aturan hukum adat, sehingga hukum agraria

yang baru tersebut akan didasarkan juga pada ketentuan-ketentuan hukum

adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan

dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam

hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme

Indonesia. Sebagaimana hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas

pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan

masyarakat yang swapraja dan feodal.

b) Pasal 5

3
Supriadi, 2010, “Hukum Agraria”, ( Jakarta: Sinar Grafika), Hlm 52
4

Sejalan dengan penjelasan umum angka III (1) UUPA di atas, maka

dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air

dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional dan Negara, yang didasarkan atas persatuan bangsa,

dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam

undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala

sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang didasarkan pada hukum

agama.Yang dimaksud UUPA dengan hukum adat itu adalah hukum

aslinya golongan rakyat pribumi, yakni hukum yang berkembang dalam

bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli,

yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan

keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.

c) Penjelasan Pasal 5

d) Penjelasan Pasal 16

e) Pasal 56 dan secara tidak langsung juga terdapat dalam

f) Pasal 584

Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwasannya pada pernyataan UUPA, hukum

tanah nasional, berdasarkan hukum adat dan bahwa hukum tanah nasional merupakan

hukum adat, yang menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan hukum

tanah nasional, yaitu hukum adat menurut pengertian yang sebenarnya sebagaimana telah

diuraikan di atas. Dalam pembangunan hukum tanah nasional, hukum adat berfungsi

sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Sedang dalam

4
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, (.Jakarta:Djambatan,( Edisi Revisi). Cetakan 10), Hlm 177-179.
5

hubungannya dengan hukum tanah nasional positif, norma-norma hukum adat berfungsi

sebagai hukum yang melengkapi.5

Setelah berlakunya UUPA, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan.

Dimana segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, jual beli tanah,

dan segalanya mengalami perubahan. Sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih

milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama. Namun setelah

berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, hal ini dapat dilihat dari Pasal 3 UUPA,

yang berbunyi:

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat

dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional

dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Bahwasannya dalam Pasal tersebut mengartikan hak ulayat dan hak-hak yang serupa

dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih

ada, namun di karenakan terjadinya proses individualis, sering hak ulayat ini mulai

mendesak, yang memberikan pengakuan secara khusus terhadap hak-hak perorangan.

Tumbuh dan kuatnya hak-hak yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat

mengakibatkan menipisnya hak ulayat.6

Konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional adalah konsepsinya hukum Adat,

yaitu konsepsi yang bersifat komunalistik religius, yang dimungkinkan penguasaan tanah

secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung

unsur kebersamaan. Sifat komunalisitk religius dari konsepsi hukum tanah nasional

5
Ibid, Hlm 205
6
Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya”, (Jakarta: Sinar Grafika), Hlm 57-58
6

ditunjukkan pda Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang menyebutkan : “seluruh bumi, air, dan ruang

angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik

Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang

angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Dalam rangka hukum tanah nasional semua tanah dalam wilayah negara kita

merupakan tanah yang dimiliki bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa

Indonesia. Dalam rangka hukum tanah nasional dapat dimungkinkan rakyat negara Indonesia

masing-masing untuk menguasai bagian-bagian dari tanah bersama tersebut secara individual

secara hak-hak atas tanah yang bersifat individu, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.7

Dalam legalisasi pada aset tanah dan reforma agraria, kajian mutakhir menunjukkan

bahwasannya tidak adanya bukti klaim-klaim sertifikat sebagai aset modal bagi orang miskin,

untuk diberikan tanahnya kepada pemilik baru beserta segenap bukti haknya (sertifikat).

Legalisasi aset (sertifikasi) adalah tahap lanjutan dari redistribusi (land reform) untuk

menciptakan hak baru, bukan ajudikasi atas tanah-tanah milik yang memang sudah dikuasai

dan dibuktikan dalam kepemilikan adat. Program sertifikasi tidak dimaksudkan terlepas dari

agenda utama ini. Transisi agraria untuk memahami kaitan antara legalisasi aset dan transisi

agraria diuraikan terlebih dahulu beberapa pengertian berikut. Transisi agraria diartikan

sebagai perubahan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan berbasis tanah.

Fungsi penataan penguasaan tanah mencakup tugas mengawasi pembatasan

penguasaan pemilikan dan pemanfaatan tanah untuk melaksanakan proses dalam Pasal 6

(fungsi sosial hak atas tanah), Pasal 7 (asas bahwa pemilikan/penguasaan atas tanah tidak tak

terbatas), Pasal 10 (asas bahwa setiap pemilik tanah harus menggarap/mengusahakan sendiri

tanahnya) dan Pasal 1 (asas bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk mengambil alih

7
Setyo Utomo, “Nilai-Nilai Kearifan Lokal Hukum Adat Dalam Hukum Tanah Nasional”, Jurnal Hukum Media
Bhakti (2018)
7

dan menguasai tanah yang melebihi batas maksimum pemilikan serta membagikannya

kepada yang memerlukan).8

Reforma agraria merupakan proses penataan ulang susunan kepemilikan, penguasaan,

dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Dalam Pasal 2 TAP MPR No.

IX/MPR/2001 menyebutkan bahwa “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang

berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,

dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan

perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan

Reforma Agraria dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 antara lain untuk mengurangi

kemiskinan, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah;

menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah, dan

sumber-sumber agraria, dan mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan.9

Lahirnya UUPA ditujukan juga untuk mengakhiri dualisme hukum dalam masalah

agraria yang sekaligus mewajibkan hukum adat lokal untuk tunduk pada kesatuan hukum

nasional. kepemilikan tanah komunal di desa-desa juga diakhiri dengan undang-undang atau

peraturan-peraturan yang mengikutinya. Sehingga akibatnya, tanah-tanah desa yang

sebelumnya merupakan hak komunal berubah menjadi tanah milik yang dimiliki oleh petani-

petani secara individual. Dalam reforma agraria sebagai suatu konsep struktur agraria yang di

dalamnya terdapat usulan tentang perombakan dan penggunaan tanah yang bertujuan untuk

mencapai masyarakat adil dan makmur, meningkatkan taraf hidup petani penggarap dan

masyarakat pada umumnya, serta untuk memperkuat dan memperluas kepemilikan tanah bagi

seluruh rakyat indonesia, terutama kaum petani. Dalam perjalanan waktu, implementasi

reforma agraria sebagai konsep tersebut, di zaman sekarang, menuntut kembali lembaga
8
Safrin Salam, “Kepastian Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Komunal Sebagai Pelaksanaan Reforma Agraria.
Jurnal Cita Hukum. Vol IV, No. II, (2016), Hlm 5
9
Sulasi Rongiyati, “Reforma Agraria Melalui Perpres Nomor 86 Tahun 2018. Info Singkat”, Vol X, No. IX,
(2018), Hlm 2.
8

komunal atas tanah-tanah desa yang di awal berlakunya reforma agraria dengan undang-

undang menjadikan keberadaan tanah desa dengan hak komunal berubah menjadi tanah milik

yang dimiliki secara individu. Dengan dikeluarkannya Perka BPN No. 10 Tahun 2016, jelas

terlihat kemauan dan tekad dari pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian

hukum kepada masyarakat hukum adat dengan diberi peluang sebagai subjek pemegang hak

atas tanah dengan hak komunal.10

Dalam menjamin hak-hak masyarakat hukum adat dan hak masyarakat yang berada

dalam kawasan tertentu, yang menguasai tanah dalam jangka waktu yang cukup lama

sehingga, pemerintah telah mengesahkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 (Permen ATR/KBPN No.10 Tahun 2016)

tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan

Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.11

Dalam Pengembangan hukum responsif sangat tepat untuk menjawab tantangan

globalisasi dalam pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentngan bisnis dan kepentngan umum.

Kejujuran sosiologis melalui keterbukaan semua pihak yang berkompeten terhadap

pembangunan nasional dan pemanfaatan tanah ulayat akan memberikan fakta yang lengkap

tentang apa yang dibutuhkan perusahaan swasta yang akan berinvestasi dan apa yang

dibutuhkan oleh masyarakat hukum adat terhadap pemanfaatan tanah ulayat yang dimiliki

oleh mereka.12

10
Dessy Ghea Herrayani, Lucky Faradila Soraya, Oemar Moechtar, “Eksistensi Hak Komunal Masyarakat
Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria”, Jurnal Kertha Patrika, Vol. XXI, No. III,
(Desember,2019), Hlm 294-295
11
Markus H Simarmata, “Hukum Nasional Yang Responsif Terhadap Pengakuan dan Penggunaan Tanah
Ulayat”, Jurnal RechtsVinding, Vol. VII No. II, (Agustus 2018), Hlm 290
12
Ibid, Hlm 294
9

Melalui dialogis konstruktif yang bersifat transparan akan mewujudkan kebijaksanaan

yang berkeadilan dalam pemamnfaatan tanah ulayat. Dengan demikian hukum nasional dapat

feksibel, adaptif, serta selalu megevaluasi diri terhadap perkembangan hukum adat yang

sinergis dengan pembangunan kemajuan ekonomi, investasi dan globalisasi. Oleh karena itu

dalam perspektf hukum responsif hukum yang baik adalah hukum yang lebih berkeadilan

prosedural namun hukum itu harus dilaksanakan oleh orang yang berkompeten, terkait

dengan pemanfaatan tanah ulayat, dalam mewujudkan kepentingan perkebunan,

pertambangan dan investasi maka layak pula ditangani oleh lembaga hukum adat untuk

menangani setap perosalan hukum adat termasuk tanah ulayat yang sesuai dengan

kepentingan masyarakat hukum adat dan juga berperan serta dalam mendukung

pengembangan sektor perkebunan, pertambangan dan investasi yang meningkatkan

perekonomian nasional.13

Berdasarkan analisis tersebut maka hukum nasional dan hukum adat yang

mengutamakan tujuan yaitu mewujudkan keharmonisan hubungan antara masyarakat hukum

adat, pengusaha swasta, dan pemerintah berorientasi pada hasil yaitu kesejahteraan bagi

seluruh masyarakat. Dengan demikian hukum responsif sangat berbeda dengan citra hukum

klasik yang tdak memperhatkan pada hasil. Dalam implementasinya sangat dibutuhkan

kolaborasi antara otoritas hukum dan kemauan politk. Gagasan tentang proses yang ”tetap”

ini kontras dengan interpretasi ”feksibel” yang lebih melihat aturan yang terikat pada masalah

dan konteks tertentu, dan berusaha untuk mengidentfkasi nilai-nilai yang dipertaruhkan

dalam perlindungan prosedural.14

HUKUM ADAT SEBAGAI DASAR BERLAKUNYA HUKUM TANAH NASIONAL

13
Ibid, Hlm 295
14
Ibid, Hlm 297
10

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan wujud nyata implementasi dari

Pembukaan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang mewajibkan negara memberikan hak penuh

penguasaan dan penggunaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia. UUPA dianggap memiliki sifat

unifikasi hukum, sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.

UUPA sebagai hukum agraria nasional disusun mengacu pada hukum adat yang tidak

mengandung pertentangan dengan kepentingan nasional serta mengindahkan unsur-unsur

yang dilandaskan pada hukum agama.

Menurut Soepomo, Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia

menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat15. Hukum tanah nasional merupakan

sistem hukum yang mengatur hak-hak atas tanah dan properti di suatu negara. Dalam sistem

hukum tanah nasional di Indonesia, hukum adat memegang peranan penting sebagai dasar

berlakunya hukum tanah. Hukum adat merupakan sistem hukum yang berkembang dan

diterapkan secara turun-temurun dalam masyarakat suku atau komunitas tertentu. Namun,

saat ini permasalahan yang sering terjadi dalam hukum tanah adalah adanya konflik antara

hukum adat dengan hukum nasional. Konflik ini banyak dijumpai di daerah-daerah yang

memiliki tingkat pemanfaatan tanah yang tinggi, seperti di daerah-daerah perbatasan, daerah

pariwisata, dan daerah pertambangan. Konflik ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi,

sosial, dan lingkungan bagi masyarakat adat. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk

mengintegrasikan hukum adat dalam hukum tanah nasional untuk mengatasi permasalahan

tersebut.

15
Soepomo (20 Soepomo. (2004) Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (cetakan keenambelas).

Jakarta: PT. Pradnya Paramita.


11

Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal tersusun dalam

suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara

masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya 16. Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) merupakan wujud nyata implementasi dari Pembukaan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3

yang mewajibkan negara memberikan hak penuh penguasaan dan penggunaan atas bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam rangka mencapai kesejahteraan

rakyat Indonesia. Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan Hukum Adat tentang tanah

dinyatakan dalam konsideran/berpendapat Undang Undang Pokok Agraria (Undang Undang

Nomor 5 Tahun 1960).

Boedi Harsono merumuskan konsepsi hukum adat mengenai pertahanan sebagai

komunalistik religius. Konsepsi hukum adat yang memiliki sifat komunalistik religius

dianggap memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan

Yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang

bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan17. Permasalahan terkait hukum

adat di Indonesia telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup panjang. Diperlukan beberapa

upaya dalam bentuk riset untuk kemudian dapat menyelesaikan perkara tersebut tanpa

mengintervensi pihak lainnya. B.F. Intan dalam jurnalnya yang berjudul “The Role of

Customary Law in the Management of Natural Resources in Indonesia” menyoroti bahwa

pengelolaan sumber daya alam di Indonesia banyak terbantu oleh peran hukum adat. Di

dalamnya peneliti tersebut menyatakan bahwa hukum adat menjadi salah satu dasar hukum

tanah nasional di Indonesia, terutama dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang

berbasis masyarakat. Jurnal ini juga menyoroti kendala-kendala yang dihadapi dalam

implementasi hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti masalah-masalah

16
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta 1973 hlm 44.
17
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi
Cetakan Keduabelas, Jakarta: Djambatan, 2008 hlm 206.
12

yang berkaitan dengan pemahaman hukum adat dan konflik antara hukum adat dan hukum

negara. Peneliti menyarankan bahwa diperlukan adanya upaya-upaya untuk meningkatkan

pemahaman dan penerapan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti dengan

melakukan pendidikan hukum adat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan.

Riset terkait hukum adat tanah nasional yang ditulis T. Rees dalam jurnalnya

“Customary Law, State Law, and Land Tenure in Indonesia” yang dimuat dalam Journal of

Legal Pluralism menambahkan eksplorasi terkait hukum tanah bahwa ditemukan adanya

perbedaan dan konflik antara hukum adat dan hukum negara terkait dengan problematika

pertanahan di Indonesia. T. Rees mengungkapkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif

untuk mengatasi kendala-kendala dalam penerapan hukum adat, terutama dalam pengelolaan

tanah di Indonesia. Sementara A. Heryanto dalam jurnalnya “The Recognition of Customary

Law in Indonesia: Problems and Prospects” juga menyoroti kendala-kendala serupa yang

berkaitan dengan konflik antara hukum adat dan hukum negara. Jurnal tersebut menyarankan

perlunya proses pengakuan hukum adat di Indonesia untuk prospek kebaikan pertanahan

nasional di masa mendatang dengan cara sosialisasi secara komprehensif dalam upaya untuk

meningkatkan pemahaman dan penerapan hukum adat yang berkeadilan dan sesuai

konstitusi.

Riset di atas memberikan gambaran bahwa upaya penegakan hukum adat dalam

hukum tanah nasional memiliki peranan penting agar terhindar dari konflik. Sehingga pada

Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA-1960), hukum adat dijadikan landasan dalam

pertanahan nasional. Sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga lembaga

hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah.

Menurut Kurnia Warman didalam buku Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk

(hlm.40) mengatakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat dalam pasal 3 UUPA:
13

1. Sepanjang kenyataanya masyarakat hukum adat itu masih ada: Mengenai hal ini,

sesuai dengan penjelasan pasal 67 ayat (1) UU No. 41 1999 tentang kehutanan “suatu

masyarakat hukum adat diakui keberadaanya, jika menurut kenyataannya memenuhi

unsur antara lain:

● Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap)

● Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya

● Ada wilayah hukum adat yang jelas

● Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih

ditaati

● Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan di wilayah hutan

sekitarnya untuk pemenuhan

2. Negara dan sesuai dengan kepentingan nasional.

3. Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi kriteria dalam

menentukan hak ulayat adalah:

● Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih

terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai bersama suatu persekutuan hukum

tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan

tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

● Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi

lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya

mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

● Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayah, yatu terdapatnya

tatanan hukum adat mengena kepenguasaan, penguasaan dan penggunaan

tanah. ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh pa


14

Permasalahan yang sering terjadi dalam hukum tanah adalah adanya konflik antara

hukum adat dengan hukum nasional. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam

penerapan hukum adat dan hukum nasional dalam pengelolaan tanah. Hukum adat cenderung

lebih fleksibel dan berbasis pada tradisi dan kearifan lokal, sementara hukum nasional

cenderung lebih formal dan berbasis pada undang-undang. M. Andriani dalam penelitiannya

mengungkapkan pentingnya peran hukum adat dalam upaya pengelolaan tanah terutama

terkait hutan18. M. Andriani memberikan banyak catatan bahwa implementasi hukum adat

dalam pengelolaan hutan memiliki tantangan yang cukup kompleks, sehingga penerapan

hukum adat yang inklusif perlu ditingkatkan dalam rangka pengelolaan hukum pertanahan

yang berlaku.

Integrasi hukum adat dalam hukum tanah nasional dapat dilakukan dengan cara

mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan properti yang diatur dalam hukum adat.

Hadirnya integrasi hukum adat dan hukum tanah nasional dapat membantu mengatasi konflik

tanah dan memastikan keadilan bagi masyarakat setempat, Dayak Kalimantan (Sari, 2018).

Di daerah Minangkabau juga demikian, penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana (2019)

bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana hukum adat dapat diterapkan dan diterima secara

efektif sebagai sistem hukum tanah nasional yang pada akhirnya dapat membantu mengatasi

konflik tanah dan memastikan keadilan bagi masyarakat Minangkabau.

Sehingga perlu dilakukan dengan mengatur hak-hak masyarakat adat dalam undang-

undang tanah nasional. Misalnya dengan mengatur hak-hak masyarakat adat dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Selain itu,

diperlukan mekanisme yang memungkinkan masyarakat adat untuk ikut menentukan

pengelolaan tanah. Mekanisme ini dapat dilakukan dengan cara memberikan hak pengelolaan

tanah kepada masyarakat adat atau dengan cara menyediakan mekanisme konsultasi dengan

18
“Customary Forest Management in Indonesia: An Analysis of Community-Based Forest Management”
15

masyarakat adat dalam pengelolaan tanah. Fathoni (2021) mengungkapkan peran hukum adat

dalam pertanahan nasional di Indonesia dapat mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh

Revolusi Industri 4.0. Hukum adat merupakan bagian integral dari sistem hukum Indonesia

dan memegang peran penting dalam masalah tanah. Dalam era Revolusi Industri 4.0,

dibutuhkan harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional untuk mengatasi masalah dan

memastikan perlindungan hak masyarakat adat. Oleh karena itu, peran hukum adat harus

diakui dan dimanfaatkan sebagai pondasi bagi hukum pertanahan nasional dalam menghadapi

Revolusi Industri 4.0.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan upaya untuk mengintegrasikan

hukum adat dalam hukum tanah nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengakui hak-

hak masyarakat adat atas tanah dan properti yang diatur dalam hukum adat, serta

menyediakan mekanisme yang memungkinkan masyarakat adat untuk ikut menentukan

pengelolaan tanah. UUPA dengan hukum adat adalah: “hukum aslinya golongan rakyat

pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung

unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang

berasaskan serta diliputi oleh suasana keagamaan”. Asas-asas Hukum Adat yang digunakan

dalam Hukum Tanah Nasional antara lain adalah asas religiusitas (Pasal 1 UUPA), asas

kebangsaan (Pasal 1, 2, dan 9 UUPA), asas demokrasi (Pasal 9 UUPA), asas kemasyarakatan,

pemerataan dan keadilan sosial (Pasal 6, 7, 10, 11 dan 13 UUPA), asas penggunaan dan

pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan 15 UUPA), serta asas pemisahan

horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.

Dalam rangka membangun Hukum Tanah Nasional, Hukum Adat merupakan sumber

utama untuk memperoleh bahan-bahannya, yaitu berupa : konsepsi, asas-asas, dan lembaga-

lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis, yang

disusun menurut sistem Hukum Adat. Dalam rangka Hukum Tanah Nasional, dimungkinkan
16

para warga negara Indonesia masing-masing menguasai bagian-bagian dari tanah bersama

tersebut secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus

mengandung unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan tersebut dalam Pasal 6 UUPA

dirumuskan dengan kata-kata: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan

pentingnya hukum adat dalam hukum tanah nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan

menyediakan pendidikan dan pelatihan tentang hukum adat dan hukum tanah nasional bagi

masyarakat adat. Pendidikan dan pelatihan ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan

lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang hukum adat dan hukum tanah. Putra dan

Farda (2019) mengungkapkan bahwa dalam praktik penerapan hukum adat dalam hukum

agraria nasional terdapat konflik dalam hal penentuan hak atas tanah. Sehingga menurutnya

dibutuhkan tinjauan yuridis yang tepat untuk mengatasi masalah ini dan memastikan

kedudukan hukum adat sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Dengan

demikian, kedudukan hukum adat dapat dipahami dan dimanfaatkan secara tepat dalam

perkembangan hukum agraria nasional. Hal tersebut didukung oleh Setyo Utomo (2018) yang

mengungkapkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang hidup secara turun temurun harus

mendapatkan pengakuan secara berkelanjutan dan dimanfaatkan dalam penerapan hukum

agraria nasional. Dikuatkan oleh penelitian Wijaya (2022) dalam jurnal “The Integration of

Customary Law in National Land Law: A Study of The Asmat Community in Papua,

Indonesia” yang menyoroti pentingnya peran hukum adat dalam menjaga harmonisasi

masyarakat setempat ketika terjadi konflik tanah.

Hukum adat memegang peranan penting sebagai dasar berlakunya hukum tanah

nasional di Indonesia. Namun, permasalahan yang sering terjadi adalah adanya konflik antara

hukum adat dengan hukum nasional dalam pengelolaan tanah. Upaya yang dapat dilakukan

untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengintegrasikan hukum adat dalam
17

hukum tanah nasional, mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan properti, serta

meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu penerapan hukum adat dalam hukum tanah di

Indonesia memerlukan keseimbangan antara hukum nasional dan hukum adat. Harmonisasi

keduanya harus dicapai untuk memastikan perlindungan hak masyarakat adat dan mengatasi

konflik tanah yang mungkin timbul.


18

Asas-asas tanah nasional

1. Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria

1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh

rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai

karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa

bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional

(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang

angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang

bersifat abadi.

(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh

bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dalam pengertian air

termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.

(5) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan

air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.

Ini berati bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya

diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-

semata menjadi hak dari pada pemiliknya saja19.

Demikian dengan tanah-tanah yang berada didaerah dan begitu juga pulau bukan

berati semata-mata menjadi milik atau hak rakyat asli daerah dimana tanah dan pulau itu

berasal. Dengan demikian maka hubungan bangsa Indonesia sebagaimana yang disebutkan

19
Efendi perangin, S.H, HUKUM AGRARIA DI INDONESIA SUATU TELAAH DARI SAUDUT PANDANG PRAKTISI
HUKUM (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994) , hlm.214.
19

pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan suatu hak ulayat yang berada pada

tingkatan paling atas yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.

Adanya hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa yang

telah tertulis diatas bukan berati bahwa hak milik perseorangan atas (Sebagian dari) bumi

tidak dimungkinkan lagi, dalam hal ini hubungan yang dimaksud merupakan hubungan hak

ulayat, bukan merupakan hubungan hak milik. Didalam hak ulayat dikenal dengan adanya

hak milik seorangan.

Ada pun hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa

Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini yang berati selama masyarakat

Indonesia Bersatu yang membentuk bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta

ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dengan keadaan apapun tidak ada kekuasaan yang

dapat memutuskan atau meniddakan hubungan tersebut

Dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agrarian yang baru dikenal pula hak milik yang dipunyai

seseorang, baik sendiri maupun Bersama-sama dengan orang-orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (pasal 4

jo pasal 20).dalam pada itu hanya permukaan bumi saja yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang.20

Selain Hak Milik yang terkuat, turun-temurun, dan terpenuh yang merupakan hak

yang dapat dimiliki sesorang atas tanah, ada pula Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

Hak Pakai, Hak Sewa, dan hak-hak lainya yang akan ditetapkam dengan undang-undang lain

(pasal 4 jo 16 )

20
Ibid.215
20

Tanpa adanya penguasaan Negara, maka tidak mungkin tujuan Negara yang telah ditetapkan dalam

konstitusi atau UUD dapat diwujudkan, namun demikian penguasaan oleh Negara itu tidak lebih dari semacam

“penguasaan” kepada Negara yang disertai dengan persyaratan tertentu, sehingga tidak boleh digunakan secara

sewenang-wenang yang dapat berakibat pelanggaran hukum kepada masyarakat. 21 Pada dasarnya pemberian

kekuasaan bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “atributif”. Pemberian kekuasaan semacam ini disebut sebagai

pembentukan kekuasaan, karena dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang

timbul karena pembentukan ini sifatnya asali ( oorspronkelijk) . pada pembentukan kekuasaan

semacam ini menyebabkan adanya kekuasaan baru

b. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “derivatif”. Pemberian kekuasaan ini disebut juga sebagai

“pelimpahan kekuasaan”, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada badan hukum

publik lain. Oleh karena itu sifatnya derivatif ( afgeleid)22

Asas Penguasaan Negara

Pasal 2

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal

sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh

Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang

untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa,

21
Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2012, Hlm.27
22
Ibid.
21

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2)

pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti

kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum

Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada

daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan

dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 2 ayat (2) UUPA mendefinisikan hak menguasai negara atas tanah ini sebagai

kewenangan negara untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa,

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 23

Wewenang yang diatur dalam pasal tersebut digunakan untuk mencapai kesejahteraan

kepada seluruh warga negara Indonesia. Yang dimana prinsipnya wewenang ini pada

23
Afifah Kusumadara,PENGEMBANGAN NEGARA HAK ATAS TANAH: HAK MENGUASAI ATAU MEMILIKI, VOL. 20
NO.2 DESEMBER 2013
22

pemerintah pusat, pelaksanaanya dapat di limpahkan pada pemerintah daerah asal tidak

bertentangan dengan kepentingan yang bersifat nasional. Wewenang yang dapat dilimpahkan

merupakan wewenang yang disebut dalam 2 (a) : mengatur dan menyelenggarakan

peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa

Dan sebagaimana yang tertulis dalam pasal 2 (2b dan c) tidak dapat dilimpahkan ke

pemerintah daerah, karena dalam hal ini hanya pemerintah pusatlah yang mempunyai

wewenang.

Asas Persamaan Bagi Warga Negara Indonesia Untuk Memperoleh Hak Atas Tanah

Pasal 9.

(1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan

bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.

(2) Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan

yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari

hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Yang dimaksud dengan hubungan sepenuhnya dengan tanah tidak lain dan tidak

bukan adalah hak milik atas tanah. UUPA menyatakan hak milik adalah hak yang terpenuh

dan terkuat lagi turun temurun (pasal 20 ayat 1)

Hak milik atas tanah hanya boleh berada ditangan WNI (pasal 21 ayat 1). Ternyata, juga UUPA

menetapkan bahwa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tidak boleh dipunyai WNA. WNA hanya boleh

mempunyai hak pakai dan Hak sewa, yaitu ha katas tanah yang lemah.24

Asas Perlindungan Bagi Masyarakat Golongan Ekonomi Lemah

Pasal 11.

24
Efendi perangin, S.H, HUKUM AGRARIA DI INDONESIA SUATU TELAAH DARI SAUDUT PANDANG PRAKTISI
HUKUM (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994) , hlm.224.
23

(1)Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan

ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu

akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah

penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.

(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat

dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional

diperhatikan,dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi

yang lemah.

Pasal ini mengandung atas perlindungan masyarakat golongan ekonomi yang lemah

yang dilakukan oleh golongan ekonomi kuat, bermaksud untuk mencegah penguasaan atas

penghidupan orang lain yang melampaui batas.

Peraturan pelaksanaan dari UUPA akan memperhatikan kebutuhan golongan

masyarakat yang berbeda. Misalnya, peraturan pendaftaran tanah (khususnya pelaksanaan

dan biayanya berbeda dikota dan didesa).

Asas Mengutamakan  Kepentingan Nasional dan Negara berdasarkan atas

bangsa daripada Kepentingan Perseorangan dan Golongan

Pasal 3.

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan

hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan

nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan

dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.


24

Dapat dilihat dalam Pasal 3 UUPA. Sekalipun hak ulayat (tanah bersama menurut

hukum adat) masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum Agraria Nasional, akan tetapi

karena pelaksanaannya berdasarkan asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan,

masyarakat hukum adat tidak dibenarkan untuk menolak penggunaan tanah untuk

pembangunan dengan dasar hak ulayatnya. Sehingga Negara memiliki hak untuk membuka

tanah secara besar-besaran, misalnya untuk kepentingan transmigrasi, areal pertanian baru

dan alasan lain yang merupakan kepentingan nasional.

Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial

Pasal 6.

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Asas ini tertulis dalam Pasal 6, berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada

seseorang, tidak dapat dibenarkan bila digunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata

untuk kepentingan pribadinya, terutama apabila hal tersebut menimbulkan kerugian bagi

masyarakat.

Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah

Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan

syarat-syaratnya.

(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena

pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-
25

negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini

kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun

sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka

waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan

tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang

membebaninya tetap berlangsung.

(4) Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-

negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku

ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.

Pasal 21 ayat (1) UUPA.Hak milik adalah hak tertinggi yang dapat dimiliki individu

dan berlaku selamanya. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Asas ini tidak

mencakup warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing. Karena saat menikah

terjadi percampuran harta, sehingga pasangan warga negara Indonesia yang memiliki hak

milik akan kehilangan haknya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dibuat perjanjian pra-

nikah yang menyatakan pemisahan harta.

Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan secara Arif oleh Pemiliknya

Sendiri dan Mencegah Cara-cara Bersifat Pemerasan

Pasal 10.

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada

azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan

mencegah cara-cara pemerasan.


26

(2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan

peraturan perundangan.

(3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan

perundangan.

Asas ini terdapat pada Pasal 10 ayat (1) UUPA. Munculnya kegiatan land

reform atau agrarian reform, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah.

Sehingga tanah yang dimiliki atau dikuasai seseorang tetapi tidak digunakan sebagaimana

mestinya dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.


27

PERNYATAAN

Kami Kelompok VI :

1. Muhammad Boma Adichandra NIM: 21921060

2. Muhammad Firman Ahsan NIM: 21921061

3. Muhammad Iqbal Fikriyannoor NIM: 21921062

Menyatakan mengizinkan tulisan ini dikutip untuk keperluan akademik, dengan tetap

memperhatikan kaidah dan norma akademik.


28

REFERENSI:

Adrian Sutedi, 2007, “Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta:Sinar
Grafika)
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, (.Jakarta:Djambatan,( Edisi
Revisi). Cetakan 10),
Supriadi, 2010, “Hukum Agraria”, ( Jakarta: Sinar Grafika)
Dessy Ghea Herrayani, Lucky Faradila Soraya, Oemar Moechtar, “Eksistensi Hak Komunal
Masyarakat Hukum Adat dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria”, Jurnal
Kertha Patrika, Vol. XXI, No. III, (Desember,2019)
Markus H Simarmata, “Hukum Nasional Yang Responsif Terhadap Pengakuan dan
Penggunaan Tanah Ulayat”, Jurnal RechtsVinding, Vol. VII No. II, (Agustus 2018)
Setyo Utomo, “Nilai-Nilai Kearifan Lokal Hukum Adat Dalam Hukum Tanah Nasional”,
Jurnal Hukum Media Bhakti (2018)
Safrin Salam, “Kepastian Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Komunal Sebagai Pelaksanaan
Reforma Agraria. Jurnal Cita Hukum. Vol IV, No. II, (2016)
Sulasi Rongiyati, “Reforma Agraria Melalui Perpres Nomor 86 Tahun 2018. Info Singkat”,
Vol X, No. IX, (2018)
Dewi. K. (2020). “Customary Land and National Land Law in Indonesia: A Study of The

Toraja Community” Journal of Southeast Asian Law.

Dewi, K. (2020). The Integration of Customary Law in National Land Law: A Study of The

Dayak Community in Kalimantan. Penerbit Pustaka Pelajar.

Ismail. S. (2018). Adat Law and National Land Law in Indonesia. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia Press.

M.Y. Fathini. (2021). Peran Hukum Adat Sebagai Pondasi Hukum Pertanahan Nasional

dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum

Volume 5 Nomor 2, April 2021.

Putri A. (2021). “Customary Land Rights and National Land Law in Indonesia: A Study of

The Batak Community” Journal of Law and Society.


29

Rosdiana. (2019).“Adat Law and National Land Law in Indonesia: A Study of The

Minangkabau Community” Journal of Asian Law.

Sari R. (2018). “Integration of Customary Law in National Land Law: A Study of the Dayak

Community in West Kalimantan, Indonesia” Journal of Legal Pluralism and

Unofficial Law.

Setyo Utomo. (2018). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional

Jurnal Hukum Media Bhakti.

Soepomo. (2004). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA). LN. 1960/No. 104, TLN No. 2043, LL SETNEG: 17 Halaman.

Widyastuti R. (2019). Customary Law and National Land Law in Indonesia: A Comparative

Study. Penerbit Pustaka Pelajar

Wijaya, D. (2022). “The Integration of Customary Law in National Land Law: A Study of

The Asmat Community in Papua, Indonesia” Journal of Legal Anthropology

Y.H. Putra, N.F. Farda. (2019). Tinjauan Yuridis Tentang Kedudukan Hukum Adat dalam

Perkembangan Hukum Agraria Nasional Journal Review of Justisia Vol.1 Issue.1,

Maret 2019 (66 – 76).

Efendi perangin, S.H, HUKUM AGRARIA DI INDONESIA SUATU TELAAH DARI

SAUDUT PANDANG PRAKTISI HUKUM (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

1994) , hlm.224.

Afifah Kusumadara,PENGEMBANGAN NEGARA HAK ATAS TANAH: HAK MENGUASAI

ATAU MEMILIKI, VOL. 20 NO.2 DESEMBER 2013


30

Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, 2012, Hlm.27

Anda mungkin juga menyukai