Anda di halaman 1dari 4

EKSISTENSI HUKUM TANAH ADAT DI DALAM IMPEMENTASI HUKUM

AGRARIA INDONESIA
Untuk Memenuhi Tugas 2
Hukum Agraria
Kelas F

OLEH :
MUTIARA SHABILA SANDY
195010107111197 / 63

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2021
Topik permasalahan mengenai pertanahan tidak hanya berkaitan dengan hubungan
kepemilikannya di dalam Hukum Adat, tetapi juga nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan
yang ada pada kepemilikan ataupun pemanfaatan dari tanah tersebut. Seiring dengan
perkembangan era dan dinamika sistem politik serta hukum di Indonesia, hukum adat dalam
hal pertanahan dijadikan sebagai dasar utama untuk membentuk Undang-undang No.5
Tahun 1960 atau dengan kata lain disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA tersebut dibentuk dengan tujuan mengakhiri dualisme sistem hukum pertanahan yang
meliputi Hukum Adat dan Hukum Barat untuk menyatukan atau menyelaraskan peraturan
hukum tentang pertanahan nasional dalam tatanan Hukum Tanah Nasional..

Pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan Hukum Adat, dinyatakan
dalam Konsiderans/Berpendapat UUPA pada:
a. Penjelasan Umum angka III (1), yang menyatakan;
“Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran
hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk
pada hukum adat, maka Hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada
ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan
dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan
dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme
Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak
terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan
masyarakat swapraja yang feudal”
b. Pasal 5, menyatakan bahwa;
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan- 10 peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini (UUPA) dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
c. Penjelasan Pasal 5, dinyatakan;
Penegasan bahwa Hukum Adat dijadikan dasar dari Hukum Agraria yang baru.
d. Penjelasan Pasal 16, dinyatakan, bahwa;
“Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas
yang diletakkan dalam Pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan
atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini
didasarkan atas sistematik dari Hukum Adat.
e. Pasal 56, dinyatakan diantara lain;
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat 1
terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat…….sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini (UUPA)
f. Pasal 58, disebutkan tidak secara eksplisit sebagai Hukum Adat tetapi peraturan-
preaturan yang tidak tertulis, yang mencakup Hukum Adat.

Di dalam UUPA Hukum adat, selain sebagai sumber tunggal pembangunan, Undang-
Undang Pokok Agraria juga diakui dan dijadikan sebagai pelengkap produk hukum positif
yang tertulis. Hal tersebut didasarkan pada kondisi tertentu dimana UUPA atau peraturan
perundangan lain belum ada yang mengatur kasus tersebut. Dengan catatan tidak
bertentangan atau melanggar peraturan dan nilai-nilai yang sudah dituliskan di dalam
peraturan perundang-undangan sehingga hukum adat tetap menjadi sebuah hukum positif
yang tetap dijalankan di dalam masyarakat yang menyakininya dan menjadi bagian dari
tatanan Hukum Tanah Nasional. Perlu diingat lagi dapat berjalan selama ketentuan di dalam
hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maupun
kepentingan nasional Bangsa Indonesia.

Bentuk implementasi dari eksistensi hukum adat dalam hukum agraria merupakan
adanya hak ulayat, Hak Ulayat adalah hak kepemilikan tanah yang dimiliki oleh suatu
persekutuan adat (hak kepunyaan bersama) bukan secara individualistik seperti pemahaman
Hukum Barat. Namun dalam perkembangannya, Hak Ulayat dalam budaya/hukum adat
berkembang juga menjadi hak milik yang hingga kini masih diterapkan dalam sebagian
besar masyarakat yang juga bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, atas:
1. Adanya sangsi-sangsi,
2. Adanya aturan-aturan walaupun bersifat tidak tertulis tetapi sangat ditaati, dan
diakui sebagai sebuah aturan yang harus dipatuhi.
3. Dilindungi oleh sesuatu kekuatan yang mempunyai wewenang (power and
otority) yang dipegang oleh Kepala Persekutuan Adat (Kepala Suku/Ketua Adat)
maupun unsur nilai magis-religius yang diyakini oleh masyarakat/persekutuan
hukum.
Adapun ketentuan yang secara umum harus dijalankan persekutuan hukum yang
memiliki hak milik atas tanah di wilayah hukum adat, yaitu :
1. Tidak menimbulkan gangguan terhadap warga lainnya,
2. Apabila diperoleh sesuatu sumber yang mengandung bahan/unsur yang
bermanfaat bagi kehidupan, penggunaannya diserahkan pada kebijaksanaan
Kepala Persekutuan Hukum, dan
3. Apabila tanah tersebut ditelantarkan maka tanah tersebut akan kembali menjadi
milik persekutuan hukum yang dilindungi oleh Hak Ulayat dan Kepala
Persekutuan Hukum akan mengatur pendayagunaannya atau dapat digunakan
untuk kepentingan bersama.

Hak Ulayat yang berlaku dalam tatanan Hukum Adat pada dasarnya diakui di dalam
UUPA, tetapi harus disertai dengan 2 poin syarat yang meliputi “pelaksanaanya” dan
“eksistensi” yang disebutkan di dalam Pasal 3 UUPA. Pada hakekatnya menjelaskan bahwa
Hak Ulayat diakui jika pada kenyataannya masih ada di daerah-daerah yang meyakini hal
tersebut. Dengan kata lain, hak ulayat tidak diberlakukan kembali di daerah-daerah yang
sudah tidak menganggap Hak Ulayat itu ada. Menurut Prof. Boedi Harsono, di dalam
bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia, menyatakan bahwa “UUPA sengaja tidak
membentuk sebuah peraturan atau perundangan khusus yang mengatur mengenai Hak
Ulayat. Kemudian, pengaturan dan pengurusan terkait Hak Ulayat diserahkan seluruhnya
pada ketentuan Hukum Adat. Hal tersebut dikarenakan pengaturan terhadap hak ulayat
menurut beberapa ahli hanya akan mengakibatkan terhambatnya perkembangan alamiah
hak ulayat itu sendiri dan lambat laun dapat menyebabkan konflik khususnya di daerah.

Anda mungkin juga menyukai