Anda di halaman 1dari 19

HUKUM AGRARIA

EKSISTENSI TANAH ULAYAT DI INDONESIA


Dosen : Esther Masri, S.H., M.Kn

Tugas Kelompok 3
Disusun Oleh:

Sisca Tunjung Panghesti 201710115042


Faula Hanum 201710115021
Tzar Daniel Simanjuntak 201710115022
Nikmahtul Uzma Azzahra N 201710115044

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
BEKASI
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam
juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria, dengan ini penulis
mengangkat judul “Eksistensi Tanah Ulayat di Indonesia”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat
hidup seluruh masyarakat Indonesia yang sangat mendasar, karena tanah memiliki
karaakteristik yang bersifat multi dimensi, multi sektoral, multi disiplin dan memiliki
kompleksitas yang tinggi. Sejarah hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari
hak ulayat. Jauh sebelum terciptanya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA), masyarakat hukum kita telah mengenal hak ulayat.
Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh
nenek moyang atau kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan
tanahyang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu
(Boedi Harsono, 1999).
Hak ulayat itu sendiri bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat hukum
adat. Bagi masyarakat hukum adat tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat
penting karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam
keadaannya, bahkan lebih menguntungkan. Selain itu tanah merupakan tempat
tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan
mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para leluhur
persekutuan (Soerejo Wignjodipoero, dalam Aminuddin Salle 2007) Pada garis
besarnya pada masyarakat hukum adat terdapat 2 (dua) jenis hak atas tanah yaitu hak
perseorangan dan hak persekutuan hukum atas tanah. Selain itu mereka berhak
mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah serta semua isi yang ada di atas
tanah persekutuan hukum sebagai objek (Aminuddin Salle, 2007) Hukum tanah adat
yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong
dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius.
Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau genealogik. Hak-
hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada
hak bersama tersebut. Oleh karena, itu biarpun sifatnya pribadi, dalam arti
penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, tetapi berbeda dengan
hakhak dalam Hukum Tanah Barat, sejak kelahirannya sekaligus dalam dirinya sudah
terkandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak
bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan
hukum disebut Hak Ulayat. (Boedi Harsono, 1999) Seiring perkembangan zaman,
pergerakan pola hidup dan corak produksi masyarakat Indonesia dari pola-pola atau
corak-corak tradisional menuju ke pola atau corak yang modern mengakibatkan
tergerusnya secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam hak ulayat. Dewasa ini
masyarakat tidak lagi mengedepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir
individualistik. Saat ini meskipun Indonesia telah memiliki unifikasi hukum
pertanahan yang berpuncak di UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA).
Dengan adanya UUPA tersebut, tidak ada lagi dualisme hukum pertanahan,
dimana hukum yang berlku didasarkan pada golongan masing-masing namun penting
untuk diingat bahwa hukum adat dan termasuk pula didalamnya ada hak ulayat adalah
merupakan dasa hukum Tanah Nasional.
Olehnya itu adalah sesuatu yang sangat rasional untuk melihat dan mengkaji
keberadaan hak ulayat dalam Hukum Positif Indonesia khususnya di bidang hukum
pertanahan. Dalam makalah ini akan disajikan bahasan mengenai hak ulayat dengan

Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hak Ulayat?


2. Bagaimana Eksistensi Tanah Ulayat di Indonesia dari dulu hingga saat ini?

Tujuan Penulisan

1. Agar dapat mengetahui tentang Hak ulayat.


2. Agar dapat mengetahui Sejarah Eksistensi Tanah Ulayat hingga saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hak Ulayat


Pengertian hak ulayat dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok
Agraria yang menyebutkan bahwa “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang
dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,
didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan
dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang
berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum
adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu
masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para
warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum
perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat
yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai
peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib,
sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup
seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum
publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan,
penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern
dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga
atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan
persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial),
maupun yang didasarkan pada keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan
berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga,
dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan
merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat
yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ualayat,
melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan
yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang
perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu:
a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa
terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan
hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya
tatanan hukum adat menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum
tersebut.

2. Hak Milik Menurut Hukum Adat Dalam hubungannya dengan tanah


Menurut hukum adat tertanam suatu kepercayaan bahwa bagi setiap kelompok
masyarakat hukum adat, tersedia suatu lingkungan tanah sebagai pemberian dari
sesuatu kekuatan gaibsebagai pendukung kehidupan kelompokdan para anggotanya
sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan satu generasi melainkan
untuk 1 generasi berikutnya dari kelompok hukum adat tersebut. Lingkungan yang
merupakan faktor pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya adalah
kepunyaan bersama masyarakat hukum adat. Hak kepunyaan secara bersama disebut
beschikkingrecht yang diterima dalam perundang-undangan sebagai hak ulayat yang
merupakan hak atas penguasaan atas tanah yang tertinggal dari masyarakat hukum
adat. Kelompok masyarakat adat ini merupakan kesatuan yang mempunyai wilayah
tertentu, mempunyai kesatuan hukum, mempunyai penguasa dan mempunyai
kekayaan tersendiri.
Menurut Bushar Muhammad (2002:104), hak ulayat berlaku keluar dan kedalam.
Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak
diperbolehkan turut mengenyam/ menggaraptanah yang merupakan wilayah
persekutuan yang bersangkutan. Hanya dengan seizin persekutuan. Serta membayar
ganti rugi orang luar dapat memperoleh kesempatan untuk ikut serta menggunakan
hak ulayat. Berlaku kedalam, karena hanya persekutuan dalam arti seluruh warganya
yang dapat memetik hasil dari tanah serta segala tumbuhan dan binatang yang hidup
dalam wilayah persekutuan. Hak persekutuan itu pada hakikatnya membatasi
kebebasan usaha para warga sebagai perorangan, demi kepentingan persekutuan.
Seiring dengan perkembangan kehidupan, maka penggunaan tanah ulayat tidak hanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Proses penguasaan individu
ini terus berlangsung secara turun temurun dan diakui oleh masyarakat hukum adat.
Selain dalam penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku maka
anggota masyarakat lain harus menghormatinya dan tidak boleh mengganggunya.
Apabila ditelantarkan dalam jangka waktu tertentu, atau diperlukan untuk kepentingan
yang lebih luas, maka penguasa adat dapat menentukan peruntukan dan penggunaan
selanjutnya. Menurut Rustandi Ardiwilaga (1962 :47-48), bahwa lahirnya pemilikan
tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada
kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanda itu akan digarap. Tanda
itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada
hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan
mengambil hasilnya. Bentuk usaha seperti ini bersifat sementara, merupakan hak
memungut hasil (genotsrecht), setelah panen ditinggalkan dan menggarap tanah di
tempat yang lain yang belum pernah dibuka. Walaupun hak memungut hasil hanya
satu sampai dua musim saja, hal ini tidak menghilangkan hubungan antara penggarap
dengan tiap-tiap ladangyang pernah digarap, biasanya setelah tiga tahun penggarap
kembali ke ladang yang ditinggalkan sehingga hubungan ini dapat diwariskan ke anak
cucunya. Ladang berpindang bersifat ladang milik.
Dengan demikian hak milik diperoleh dengan pembukaan tanah, setelah lebih
dulu dibuat tanda-tanda batasnya. Dalam konsesi hak bersama, para anggota
masyarakat diliputi suasana magis religius sebagai keyakinan bahwa tanah merupakan
karunia dari Tuahan Yang maha Esa, karena itu mereka menyadari kewajibannya
untuk menjaga, menggunakan, serta memelihara dengan baik sesuai dengan norma-
norma sebagai kristalisasi nilai luhur kehidupan yang telah dibentuk dan dihormati
dulu.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa mengenai proses
lahirnya hak individu yang merupakan awal kepemilikan atas tanah menurut hukum
adat, pada dasarnya meliputi unsur :
a. Penguasaan secara individu dan turun temurun
b. Penguasaan itu digunakan untuk Eksistensi
c. Pemanfaatan tanah dengan tetap memelihara keselarasan kepentingan individu dan
masyarakat
d. Memperoleh pengakuan dari penguasa adat dan dihormati oleh tetangga berbatasan
dan masyarakat adat lainnya
e. Penguasa adat mempunyai kewenangan mengatur peruntukan dan penguasaan
tanah
f. Ada hubungan yang bersifat “magis religius” antara manusia dan tanah

2. Pengertian Hak Ulayat UUPA

Tidak memberikan pengertian hak ulayat, kecuali menyebutkan yang dimaksud hak
ulayat adalah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut “beschikkingsrecht”
(penjelasan Pasal 3 UUPA). Menurut Ter Haar (dalam Farida Patittingi) hak ulayat adalah
hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan, sungai, danau, perairan pantai,laut,
tanamantanaman dan binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang
bersangkutan Menurut Pasal 1 angka 4 RUU SDAgraria (dalam Farida Patittingi) hak ulayat
adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama
pemanfaatan tanah, perairan, tanaman serta binatangbinatang yang ada di wilayah masyarakat
hukum yang bersangkutan, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Farida Patittingi sendiri memberikan definisi Hak Ulayat adalah hak masyarakat hukum adat
terhadap tanah dan perairan serta isinya yang ada di wilayahnya berupa wewenang
menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah dan perairan
serta lingkungan wilayahnya di bawah pimpinan kepala adat.
Sementara itu Boedi Harsono (1999) bahwa Hak Ulayat merupakan seperangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah
yang terletak dalam wilayahnya. Hak Ulayat merupakan pendukung utama penghidupan dan
kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.

Hak Ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum pada lembaga hukum dan
hubungan hukum konkret antara masyarakat masyarakat hukum adat dengan tanah
wilayahnya, yang disebut tanah ulayat.

Hak Ulayat masyarakat hukum adat mempunyai unsur :

- Mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama anggota atau warganya,
yang termasuk bidang hukum perdata.

- Mengandung unsur kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan,


pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya, yang termasuk dalam hukum publik.

Menurut Maria Sumardjono, dapatlah dikatakan, bahwa kriteria penentu masih ada
atau tidaknya hak ulayat, harus dilihat pada tiga hal, yaitu :

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek
hak ulayat

2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang


merupakan obyek hak ulayat.

3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan


tertentu.

3. Hubungan Antara Hak Ulayat Dan Hak Perseorangan

Sihombing (dalam Sri Susyanti Nur, 2005 :55) membagi hukum tanah adat dalam 2
jenis yaitu :

a. Hukum Tanah Adat Masa Lalu Ciri-ciri hukum adat masa lampau adalah tanah-tanah yang
dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki
dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai
dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun temurun masih berada di
lokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan
dan simbol-simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah sesuai
dengan daerah yang ada di Negara Republik Indonesia.

b. Hukum Tanah Adat Masa Kini Ciri-ciri tanah hukum adat masa kini adalah tanah-tanah
yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan masyarakat di daerah
pedesaan maupun kawasan perkotaan. Sesuai dengan daerah suku dan budaya hukumnya
kemudian secara turun temurun atau telah berpindah tangan kepada orang lain dan
mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau dikuasai sendiri dan atau
dikuasai orang/badan hukum.

Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hubungan antara Hak Ulayat dengan Hak milik
Perorangan yakni semakin kuat hak ulayat, maka semakin lemah hak perorangan dan
sebaliknya semakin lemah hak ulayat maka semakin kuat hak perorangan.

4. Sistem Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah

Hukum Adat hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak ulayat, yang
mengandung 2 (dua) unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Subyek hak
ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik teritorial ataupun genealogik, sebagai bentuk
bersama para warganya.

Tanah hak ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Di bawah hak ulayat adalah Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, yang
sebagai petugas masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur dan memimpin
peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah bersama tersebut.

Tugas kewenangan ini beraspek hukum publik semata. Kemudian ada berbagai hak-
hak atas tanah yang dikuasai oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak ulayat sebagai
hak bersama.

Dengan demikian tata susunan dan hirarki hak-hak penguasaan tanah dalam hukum
adat adalah:

a. Hak ulayat masyarakat hukum adat, sebagai hak penguasaan tertinggi, beraspek
hukum keperdataan dan hukum publik.
b. Hak kepala adat dan para tetua adat, yang bersumber pada hak ulayat dan beraspek
hukum publik semata.

c. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang secara langsung ataupun tidak
langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan.

5. Eksistensi Hak Ulayat Dalam Hukum Positif Indonesia

Tidak hanya menghadirkan suatu kebaruan dalam bernegara dan bermasyarakat di


Indonesia, tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan lama ke dalam masa transisi.
Konsep tentang hubungan negara dengan sumberdaya alam, atau hak masyarakat atas
sumberdaya alam menguat pada tahap pewacanaan dan gerakan. Paket empat kali
amandemen UUD 1945 (1999- 2002) menjadi ruang dimana pertarungan ide berlangsung.
Setidaknya ada dua komponen yang berkaitan dengan relasi antara masyarakat adat dengan
sumberdaya alam (hak ulayat) serta relasi antara negara dengan sumberdaya alam, yang mesti
dilihat sebagai suatu keterkaitan.

Keterkaitan itu beranjak dari asumsi bahwa “hak” merupakan tema yang bersifat
formal, relasional dan diskretif. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya
dinyatakan dalam pasal 18B ayat 2 (amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”. Dan juga
pada pasal 28i ayat 3 (amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan
sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945.

Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyebutkan :

(1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang


bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undangundang.
Maria S.W. Sumardjono menyebutkan bahwa eksistensi hak ulayat dalam hukum
positif Indonesia dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan.

 Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup,
 Undang-undang Nomor 22 tentang Tenaga Listrik,
 Undang-undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua,
 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
 Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan,
 Undangundang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

6. Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Kaum Adat di Indonesia Pasca Undang-Undang


Kehutanan

Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 ayat (1), yang berbunyi:
“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, berhak:

1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari


dari masyarakat adat yang bersangkutan;
2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan UU,
3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.”

Di dalam penjelasan Pasal 67 UU No 24 Tahun 2003 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa


“sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur, antara lain:

1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap)


2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya
3. ada wilayah hukum adat yang jelas
4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.”
Memisahkan antara persoalan tata pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa
yang diatur dengan UU (Pasal 18B ayat 1) dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya
(Pasal 18 ayat 2). Selama ini, persoalan ulayat sering dikaitkan dengan hak-hak atas sumber
daya alam yang ditarik dari sistem kerajaan pada masa lalu. Pemisahan antara Pasal 18B ayat
1 dengan Pasal 18B ayat 2 memberi arti penting untuk membedakan antara bentuk
persekutuan masyarakat (hukum) adat dengan pemerintahan “kerajaan” lama yang masih
hidup dan bersifat istimewa. Meski sudah mengakui dan menghormati keberadaan
masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya secara deklaratif, Pasal 18B ayat 2
mencantumkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat
dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat beserta hak ulayat yang dapat dinikmatinya
secara aman. Persyaratan-persyaratan itu secara kumulatif adalah:

a. Sepanjang masih hidup


b. Sesuai dengan kepentingan Nasional
c. Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi.

Persyaratan yang demikian bersifat diskriminatif karena terkait erat dengan eksistensi
kebudayaan. Orientasi persyaratan yang muncul adalah upaya untuk menundukan hukum
adat / lokal dan mencoba mengarahkannya menjadi hukum formal / positif / nasional. Di sisi
lain juga memiliki pra anggapan bahwa masyarakat adat adalah komunitas yang akan
“dihilangkan” untuk menjadi masyarakat yang modern, yang mengamalkan pola produksi,
distribusi dan konsumsi ekonomi moderen.

Pengakuan bersyarat terhadap masyarakat adat dalam sejarah Republik Indonesia


dimulai pada UUPA, UU kehutanan lama, UU Pengairan, UU Kehutanan baru dan beberapa
Peraturan Departemen dan Lembaga Pemerintahan. Stelah UUD 1945 mengadopsi empat
persyaratan bagi masyarakat adat, kemudian berbagai UU yang lahir pasca amandemen
mengikuti alur tersebut, antara lain oleh UU Sumberdaya Air, UU Perikanan dan UU
Perkebunan.

Pengakuan bersyarat ini mengindikasikan bahwa pemerintah masih belum


bersungguhsungguh membuat ketentuan membuat ketentuan yang jelas untuk menghormati
dan mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang masyarakat adat dan
hak ulayatnya sampai hari ini masih bersifat tidak jelas dan tidak tegas. Tidak jelas karena
belum ada aturan yang konkret tentang apa saja hakhak yang terkait dengan keberadaan
masyarakat yang dapat dinikmatinya.

Dikatakan tidak tegas karena belum ada mekanisme penegakan yang dapat ditempuh
dalam pemenuhan hak masyarakat adat, yang dapat dituntut dimuka pengadilan (Justiciable).
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara
ketidakmampuan dan ketidak-mauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang
pengakuan (hak-hak) masyarakat adat.

Tidak mampu karena persekutuan masyarakat adat di Indonesia sangat beragam


berdasarkan sebaran pulau, system sosial, antropologis dan agama. Tidak mau karena
pengaturan yang kabur tentang masyarakat memberikan ruang diskresi dan hegemoni kepada
pemerintah untuk dapat memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi
sumberdaya alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Ketidakmauan ini
menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat adat.

Persyaratan dalam Pasal 18B ayat 2 beserta dengan serangkaian persyaratan yang
dilanjutkan oleh beberapa UU Sumberdaya Alam menunjukan bahwa Negara/ Pemerintah
baru bisa mengakui dan menghormati hak ulayat masyarakat adat secara deklaratif, belum
sampai pada tindakan hukum untuk melindungi dan memenuhi agar hak ulayat masyarakat
adat dapat terpenuhi. Bahkan sama sekali belum menyentuh mekanisme penegakan hukum
nasional bila terjadi pelanggaran terhadap hak ulayat yang sudah dianggap sebagai hak asasi
manusia.

Contoh Kasus:
 Minggu, 12 Maret 2017 — 18:24

PT.NABIRE BARU DAN PT.SARIWANA ADHI PERKASA TERUS


BUKA LAHAN BARU

Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1


Nabire, Jubi - Perjuangan suku besar Yerisiam Dari awal kami juga bilang tidak mau plasma,” ujar
Gua sedang di meja mekanisme Rountable salah sorang perwakilan warga yang tidak mau
Sustainable Palm Oil (RSPO). Dalam kujungan sebutkan namanya di dalam pertemuan tersebut.
perwakilan RSPO ke Kampung Sima, Distrik Yaur,
Kabupaten Nabire, mereka mendengar langsung Gunawan Inggeruhi, salah seorang anggota
tuntutan masyarakat terkait penggusuran dusun masyarakat yang terkenal paling depan membela
sagu keramat oleh PT. Nabire Baru, intimidasi hak-hak masyarakat Yerisiam terhadap PT. Nabire
lewat aparat Brimob, dan tanggung jawab sosial Baru, mengatakan bahwa pertemuan hari itu adalah
perusahaan yang hampir-hampir tidak ada di pertemuan pertama kali dalam sejarah kehadiran
kampung itu. PT tersebut di wilayah adat Yerisiam Gua.

Dua orang perwakilan RSPO Jakarta dan Malaysia “Saya bersyukur pada Tuhan karena pertemuan
mendatangi masyarakat Yerisiam di Kampung yang bisa menghadirkan pimpinan perusahaan,
Sima, Distrik Yaur-Nabire. Rabu (28/9/2016). semua perwakilan masyarakat, RSPO dibantu
Bersama masyarakat dan perwakilan pimpinan PT. Yayasan Pusaka, bisa terjadi hari ini. Ini pertama
Nabire Baru, mereka turun ke Dusun Sagu keramat kalinya kami bertemu muka di pertemuan resmi
yang sempat digusur pada bulan April 2016 lalu dengan pimpinan perusahaan,” ujarnya di dalam
oleh pihak perusahaan. pertemuan yang juga dihadiri oleh pimpinan induk
perusahaan PT. Nabire Baru, Edi Suhardi mewakili
Setelah menijau Dusun Sagu, mereka mendatangi PT. Goodhope yang menjadi anggota RSPO.
Kampung Sima, yang terletak tak lebih dari 2 KM
dari Dusun. Pertemuan dengan masyarakat Selama ini, lanjut Gunawan, perusahaan hanya
dilakukan di rumah adat Suku Yerisiam, 100 meter melakukan pembicaraan melalui oknum atau
saja dari bibir pantai, berlangsung dari pukul 10.00 kepala-kepala koperasi di Kampung Sima.  “Kami
hingga sekitar pukul 13.00 WIT. ingin pertemuan yang melibatkan struktur
masyarakat adat, bukan oknum atau koperasi saja,
“Sejak awal di bulan Februari lalu, kami sudah agar tidak ada stigma dan saling curiga antar
bilang, Dusun Sagu ini tidak boleh digusur, ini masyarakat,” ujarnya.
perut kami. Semua orang Yerisiam dari berbagai
sub suku dan kampung cari makan disitu. Tetapi Gunawan juga meminta agar RSPO dapat memberi
mereka (perusahaan) tetap bongkar, tidak mau petunjuk bagaimana mekanisme hukum agar Dusun
duduk dan bicara dengan semua, tidak tanya-tanya.
Sagu dapat dilepaskan dari Hak Guna Usaha Oktober mendatang, dalam pertemuan luas
(HGU) perusahaan. masyarakat Yerisiam Gua beserta 3 Koperasi
(Saramoi, Bumiofi, Akaba) perusahaan serta
Aspirasi masyarakat mengerucut pada tiga hal pimpinan perusahaan.(*)
dalam pertemuan tersebut. Mereka meminta Dusun
Sagu tidak boleh digusur dengan pertimbangan PART II– Dua perusahaan sawit yakni
apapun, menyusun Memorandum of Understanding PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Adhi Perkasa
(MoU) antara perusahaan dengan Suku Yerisiam perkebunan kelapa sawit (GoodHope Group) yang
Gua, dan ganti rugi atas pohon-pohon sagu yang beroperasi di Wami, Nabire Papua, terus
sudah dirusak pada penggusuran tanggal 12-16 melakukan pembukaan areal baru tanpa
April 2016. sepengetahuan pemilik tanah adat, Suku Yerisiam.

Pertemuan yang difasilitasi RSPO itu dilakukan “Kami tidak tahu sama sekali. Penambahan
atas dasar pengaduan Yayasan Pusaka, atas tersebut di luar areal yang sudah disepakati
permintaan masyarakat Suku Yerisiam, tertanggal bersama,” kata Kepala suku Yerisiam Gua Daniel
14 April 2016. Mereka meminta RSPO untuk Yarawobi kepada Jubi, Sabtu (11/3/2017).
melakukan verifikasi lapangan dan kompensasi dari
PT. Nabire Baru atas aktivitas penggusuran Dusun Lanjut Yarawobi, permasalahan tentang
Sagu. Pengaduan tersebut diajukan ke Panel penebangan Dusun Sagu Keramat Yerisiam hingga
Komplain RSPO sejak Mei 2016. kini belum diselesaikan, namun perusahaan sawit
melakukan penebangan areal baru.
“Dasar komplain tersebut adalah adanya fakta
bahwa informasi status dan rencana-rencana “Kami sudah sampaikan bahwa tidak ada
perusahaan tidak tersosialisasi dengan luas dan penebangan-penebangan hutan lagi untuk dijadikan
bebas kepada masyarakat (Free Prior Iinform kebun sawit. Karena masalah dusun belum selesai,
Consent/FPIC), pelibatan aparat keamanan tapi dua perusahan sawit itu terus lakukan
(brimob) dalam aktivitas perusahaan telah pembukaan areal baru,” tuturnya.
membuat masyarakat merasa tertekan, penggusuran
dusun sagu bertentangan dengan prinsip RSPO Sementara itu, Sekertariat Suku Yerisiam Gua,
karena tempat yang keramat dan penting bagi Roberthino Hanebora menambahkan, pemerintah
kelangsungan pangan masyarakat, serta bagaimana dan lembaga terkait seperti RSPO perlu mereview
perusahaan bisa mengedepankan kepentingan ulang keberadaan kedua perusahan tersebut, karena
masyarakat,” demikian penjelasan Y.L Franky, masuknya kedua perusahaan itu tak ada perubahan
direktur pelaksana Yayasan Pusaka di dalam yang signifikan kepada masyarakat pemilik tanah.
pertemuan tersebut.
“Mereka hanya akan timbul konflik-konflik yang
lama maupun yang baru. Kalau seperti ini apa yang
Imam, perwakilan RSPO di Jakarta menegaskan mau diharapkan dari investasi ini?” katanya.
bahwa RSPO bertujuan untuk memastikan agar PT.
Goodhope, anggota RSPO yang merupakan induk Masyarakat Yerisiam juga sudah menyampaikan ke
perusahaan PT.Nabire Baru, menjalankan prinsip- RSPO (Roundtable on Sustainnable Palm Oil),
prinsip produksi sawit yang berkelanjutan. sebuah wadah yang menentukan masa depan
perusahan sawit di Indonesia.
“RSPO hadir di tengah percepatan pertumbuhan
industry kelapa sawit, untuk memastikan agar Respon RSPO melakukan investigasi ke
produksi dilakukan secara ramah sosial dan ramah Kampung
lingkungan,” ujarnya.
“Pada 15 Maret 2017 nanti, direncanakan akan ada
Dia juga mengatakan bahwa pihaknya hendak pertemuan masyarakat Yerisiam dengan perwakilan
memastikan bahwa pengembangan industri sawit PT.Nabire Baru (GoodHope Group) untuk
oleh PT. Goodhope di Nabire harus bebas atau menentukan dan memilih pihak mediator untuk
kecil konflik sosial, dan berkepentingan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini,” kata
mendudukkan pihak-pihak yang berkonflik untuk Robertino.
bisa berdialog.
Pertemuan ini adalah bagian dari aturan dan syarat
Pertemuan Rabu itu menyepakati pembicaraan RSPO untuk menyelesaikan masalah PT.Nabire
lanjutan terkait MOU antara perusahaan dan Baru dengan memilih pihak mediator untuk
masyarakat yang rencananya akan dilakukan 10 menyelesaikan konflik tersebut. (*)
Analisa Penulis:

Ada UU yang mengatur tentang dasar pengaturan tanah Ulayat yakni:


 berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945(“UUD 1945”) bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
 pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.
 Lalu, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) mengatur bahwa hak menguasai dari
Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintah.
 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
Alasan masyarakat Yerisiam menggugat karena :
1. Dusun Sagu tidak boleh di gusur oleh PT.Nabire karena disitulah sumber mata
pencaharian mereka ( bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 )
2. Masyarakat Yerisiam yang ingin memperjuangkan hak-hak tradisional masyarakat
adatnya ( berdasarkan pasal 18b ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 2 ayat 4 UU No.5/1960
UUPA )
3. Tidak adanya itikad baik dari Perusahaan karena belum adanya putusan terkait dusun
sagu, perusahaan tersebut justru mengeksploitasi areal baru tanpa sepengetahuan
pemilik tanah adat, Suku Yerisiam.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu berasal dari masyarakat hukum adat,
didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat
hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan.

Eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia dapat dilihat dalam peraturan-
peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 22 tentang Tenaga Listrik,
Undang-undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undangundang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan, dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Saran

 Adanya sosialisasi dari Pemerintah kepada masyarakat adat tentang pendaftaran tanah

hak ulayat agar kepastian hukum tercapai.

 Penentuan yang jelas mengenai batas-batas wilayah hak ulayat antar suku di
Indonesia dengan melibatkan masing-masing kepala suku supaya tidak ada tumpang
tindih wilayah hak ulayat.
DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.

Undang-Undang Dasar 1945;

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999

tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

https://www.academia.edu/15268297/Hak_Ulayat_di_Tanah_Papua di akses pada tanggal 22 April

2019, pukul 22:11

http://www.tabloidjubi.com/16/2016/03/14/yeresiam-gua-pt-nabire-baru-mau-ambil-dusun-sagu

-keramat-lagi/ di akses pada tanggal 22 April 2019 pukul 23.45

Anda mungkin juga menyukai