Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUKUM ADAT ATAS PENGUASAAN TANAH


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat
Dosen pengampu :
Ayi Ishak Sholih Muchtar, S.Sy., M.H.

Disusun oleh :

Muhammad Sidik(2002002057)
Dadi Nasirudin(2002002050)

KELAS 4B
AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS JAWA BARAT
2022
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah dengan
berjudul Masyarakat Hukum Adat .
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas semester 4 kelas Ahwal Al-Syakhsiyyah dari
Bapak Ayi Ishak Sholih Muchtar, S.Sy., M.H pada mata kuliah Hukum Adat. Selain itu, penyusunan
makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang Masyarakat Hukum Adat.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Ayi Ishak Sholih Muchtar, S.Sy., M.H
selaku dosen Mata Kuliah Hukum Adat. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan
penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak kesalahan.
Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan yang pembaca temukan
dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan
kesalahan dalam makalah ini.
Wassalamualaikum wr. wb.

Ciamis, 13 April
2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I : Pendahuluan........................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................
BAB II : Pembahasan........................................................................................................
A. hukum adat atas penguasaan tanah dalam undang-undang agraria.........................
B. sisem pengelolaan tanah .........................................................................................
C. kearifan lokal masyarakat adat tentang tanah..........................................................
D. pluralisme hak penguasaan......................................................................................
BAB III : Penutup..............................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
Daftar Pustaka .....................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tanah merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan
salah satu hak milik yang sangat berharga bagi umat manusia, 2 demikian pula bangsa Indonesia,
konsep yang ideal menggambarkan hubungan manusia dengan tanah, manusia dengan sang pencipta
Tuhan Yang Maha Esa telah menjadi landasan filosofis kehidupan manusia untuk hidup di bumi.
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari tanah karena merupakan satu sumber kehidupan dalam
tatanan kehidupan sejak zaman tradisional sampai zaman modern.
1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memberikan
landasan hukum bahwa masyarakat hukum adat dapat melakukan pengelolaan terhadap sumber daya
hutan maupun sumber daya alam lainnya yang berada di wilayah adat.Hal itu dapat dilihat di Pasal 2
ayat 4 UUPA yang menyatakan:
“Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”
Ketentuan ini dapat dipahami bahwa hak masyarakat hukum adat terhadap sumberdaya hutan
maupun sumber daya alam lainnya yang berada di wilayah adat adalah hak yang bersumber dari
pendelegasian hak menguasai negara. Pemberlakuan Pasal 2 ayat 4 ini juga memberikan persyaratan
bagi masyarakat hukum adat dan dalam hal ini negara dapat menghilangkan hak-hak masyarakat
hukum adat.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu hukum adat atas penguasaan tanah dalam undang-undang agraria?
2. Bagaimana sisem pengelolaan tanah?
3. Bagaimana kearifan lokal masyarakat adat tentang tanah?
4. Apa itu pluralisme hak penguasaan?
C. Tujuan
1. Mengetahui hukum adat atas penguasaan tanah dalam undang-undang agraria
2. Memahami sistem pengelolaan tanah
3. Mengetahui kearifan lokal masyarakat adat tentang tanah
4. Mengetahui pluralisme hak penguasaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. hukum adat atas penguasaan tanah dalam undang-undang agraria
Di Indonesia, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat
dimana sendi-sendi dari hukum tersebut berasal dari masyarakat hukum adat setempat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa dan
sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut B.F Sihombing, hukum tanah adat adalah hak
pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan
masa kini serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis,
kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis. 9 Bagi masyarakat hukum adat,
maka tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Tanah merupakan tempat di mana warga
masyarakat hukum adat bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan penghidupan baginya.
Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah, Ter Haar menyatakan sebagai berikut:
“Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik ke luar maupun ke
dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai
hak untuk menikmati tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam masyarakat mengatur
bagaimana masing-masing anggota masyarakat melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya,
dengan cara membatasi peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian
tanah tertentu dari hak menikmatinyasecara pribadi, untuk kepentingan masyarakat.” Masyarakat
hukum adat tersebut, sebenarnya dapat ditinjau sebagai suatu totalitas, kesatuan publik maupun badan
hukum. Sebagai totalitas, maka masyarakat hokum adapt merupakan penjumlahan dari warga-
warganya termasuk pula pemimpinnya atau kepala adatnya. Sebagai suatu kesatuan publik, maka
masyarakat hukum adat sebenarnya merupakan suatu badan penguasa yang mempunyai hak untuk
menertibkan masyarakat serta mengambil tindakantindakan tertentu terhadap warga masyarakat.
Sebagai badan hukum, maka masyarakat hukum adat diwakili oleh kepala adatnya, dan lebih banyak
bergerak di bidang hukum perdata. Dengan demikian, maka sebenarnya hubungan antara masyarakat
hukum adat dengan tanahnya, merupakan suatu hubungan publik maupun hubungan perdata, oleh
masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah tersebut. Penguasaan dan pemilikan atas tanah
oleh masyarakat hukum adat oleh Van Vollen Hoven disebut sebagai beschikkingrecht. Masyarakat
hukum adat sebagai suatu totalitas, memiliki tanah dan hak tersebut dinamakan hak ulayat yang oleh
Hazairin disebut sebagai hak bersama. Oleh karena itu, maka masyarakat hukum adat menguasai dan
memiliki tanah terbatas yang dinamakan lingkungan tanah (wilayah beschikkingskring). Lingkungan
tanah tersebut lazimnya berisikan tanah kosong murni, tanah larangan dan lingkungan perusahaan yang
terdiri dari tanah di atasnya terdapat pelbagai bentuk usaha sebagai perwujudan hak pribadi atau hak
peserta atas tanah. Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan
tanah mungkin dikuasai dan dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu atau beberapa
masyarakat hukum adat. Oleh karena itu biasanya dibedakan antara: (a) Lingkungan tanah sendiri,
yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat, misalnya,
masyarakat hukum adat tunggal (desa di Jawa), atau masyarakat hukum adat atasan (Kuria di
Angkola), atau masyarakat hukum adat bawahan (Huta di Penyabungan). (b) Lingkungan tanah
bersama, yaitu suatu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh beberapa masyarakat hukum
adat yang setingkat, dengan alternatifalternatif, sebagai berikut: (1) Beberapa masyarakat hukum adat
tunggal, misalnya beberapa belah di Gayo. (2) Beberapa masyarakat hukum adat atasan, misalnya luhat
di Padanglawas. (3) Beberapa masyarakat hukum adat bawahan, misalnya huta-huta di Angkola. Pada
dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut
masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena
itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di
daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali. Pelaksanaan
tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPA dapat
dipahami juga bahwa hak ulayat diakui sebagai sebagai suatu hak atas tanah tersendiri, apabila
memenuhi dua persyaratan, yaitu Hak tersebut ada (eksis) dan Pelaksanaan hak yang masih ada
tersebut harus 9 sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan. Namun demikian tidak terdapat ketentuan dan penjelasan lebih lanjut
tentang kriteria “ada” nya hak ulayat dan tentang batasan “kepentingan nasional dan negara”. Boedi
Harsono menyebutkan bahwa alasan pembentuk UUPA tidak mengatur tentang hak ulayat karena
pengaturan hak ulayat, baik dalam penetuan kriteria maupun pendaftarannya, akan melestarikan
keberadaan hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecendrungan melemahnya hak ulayat.10
Berkenaan dengan batasan harus sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, Maria SW.
Sumardjono menyatakan bahwa pemikiran yang melandasi penyusun UUPA saat itu lebih didorong
oleh pengalaman empiris berupa hambatan ketika Pemerintah memerlukan tanah yang dipunyai
masayarakat hukum adat untuk proyek pertanian di Sumatera Selatan menjelang tahun 1960, yang
antara lain membuahkan pokok-pokok pikiran bahwa kepentingan masyarakat hukum adat harus
tunduk kepada kepentingan nasional dan bahwa hak ulayat tidak bersifat eksklusif.11 Dalam banyak
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang
memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata
dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai
taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan
dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu
efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.
Sehingga dalam hukum agraria nasional hukum adat dijadikan juga sebagai landasannya. Hukum
agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat dalam peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian ataupun transaksi-transaksi
yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang-undang no. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi
Hasil Pertanian, Undang-undang no. 2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah
pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi
oleh peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa). Pada dasarnya hak ulayat
keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh
syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat
dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah
dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali. Dengan adanya pengakuan hak
ulayat, maka pada dasarnya masyarakat kolektif secara adat akan diperhatikan sepanjang kenyataannya
memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan, sebaliknya jika berdasarkan hak
ulayat menjadi penghalang kemajuan pembangunan masyarakat dan sertifikasi tanah, sehingga harus
diutamakan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
B. Sisem pengelolaan tanah
Pengolahan lahan merupakan suatu proses mengubah sifat tanah dengan mempergunakan alat
pertanian sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh lahan pertanian yang sesuai dengan kebutuhan
yang dikehendaki manusia dan sesuai untuk pertumbuhan tanaman.
Pengolahan lahan dalam usaha pertanian bertujuan untuk :
1. Menciptakan kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi lebih baik
2. Membunuh gulma dan tanaman yang tidak diinginkan
3. Menempatkan sisa-sisa tanaman (seresah) pada tempat yang sesuai agar dekomposisi berjalan
dengan baik
4. Menurunkan laju erosi
5. Meratakan tanah untuk memudahkan pekerjaan di lapangan
6. Menyatukan pupuk dengan tanah
7. Mempersiapkan tanah untuk mempermudah pengaturan irigasi
Secara umum, pengolahan dilakukan dua kali, yaitu:

1. Pengolahan pertama atau primer (primary tillage)


Pengolahan primer (primary tillage) biasanya dilakukan dengan menggunakan mesin bajak,
sehingga sering disebut dengan pembajakan.Tujuan dari pengolahan primer yaitu untuk membalik atau
membongkar tanah menjadi gumpalan-gumpalan tanah. Kegiatan pembajakan dilakukan sedalam 30
sampai 50 cm.
Alat yang digunakan dalam pengolahan primer antara lain bajak singkal (mold board plow), bajak
priringan (disk plow), bajak rotari (rotary plow), bajak brujul (chisel plow), bajak bawah tanah (subsoil
plow), dan bajak raksasa (giant plow).
1. Pengolahan kedua atau sekunder (secondary tillage)
Pengolahan sekunder dilakukan setelah pembajakan (pengolahan primer) yang dapat diartikan
sebagai pengadukan tanah sampai jeluk yang relatif tidak terlalu dalam (kedalaman tertentu yaitu 10
sampai 15 cm). Tujuan pengolahan sekunder adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperbaiki pertanian dengan menggemburkan tanah yang lebih baik
2. Untuk mengawetkan lengas tanah
3. Untuk menghancurkan sisa-sisa tanaman yang tertinggal dan mencampurnya dengan tanah
lapisan atas
4. Untuk memecah bongkahan tanah dan sedikit memantapkan lapisan  tanah atas, sehingga
menempatkan tanah dalam kondisi lebih baik untuk penyebaran perkecambahan benih
5. Mempersiapkan kondisi tanah yang siap tanam (guludan, bedengan dll)
6. Membunuh gulma dan mengurangi penguapan terutama tanah bero.
Alat yang dapat digunakan dalam pengolahan sekunder yaitu garu (harrow), bajak pengaduk tanah
di bawah permukaan (sub surface tillage and field cultivation), ataupun dapat menggunakan peralatan
dalam pengolahan primer dengan melakukan beberapa modifikasi.
 Menurut intensitasnya, pengolahan  tanah  dapat dibedakan menjadi  tiga macam
1. No tillage(Tanpa Olah Tanah / TOT)
Pengolahan lahan no tillage atau TOT merupakan sistem pengolahan tanah yang merupakan adopsi
sistem perladangan dengan memasukkan konsep pertanian modern. Tanah dibiarkan tidak terganggu,
kecuali alur kecil atau lubang untuk penempatan benih atau bibit. Sebelum tanam sisa tanaman atau
gulma dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu penempatan benih atau bibit
tersebut. Seresah tanaman yang mati dan dihamparkan dipermukaan tanah ini dapat berperan sebagai
mulsa dan menekan pertumbuhan gulma baru dan pada akhirnya dapat memperbaiki sifat dan tata air
tanah.
Pada sistem tanpa olah tanah (TOT), erosi tanah dapat diperkecil dari 17.2ton/ha/tahun menjadi 1
ton/ha/tahun dan aliran permukaan ditekan 30 – 45%. Keuntungan  lain yang di dapat pada sistim
tanpa olah tanah yaitu adanya kepadatan perakaran yang lebih banyak, penguapan lebih sedikit, air
tersedia bagi tanaman makin banyak.
2. Minimum tillage(pengolahan lahan secara minimal)
Pengolahan minimum (minimum tillage) merupakan suatu pengolahan lahan yang dilakukan
seperlunya saja (seminim mungkin), disesuaikan dengan kebutuhan pertanaman dan kondisi tanah.
Pengolahan minimum bertujuan agar tanah tidak mengalami kejenuhan yang dapat menyebabkan tanah
sakit (sick soil) dan menjaga struktur tanah. Selain  itu, dengan pengolahan minimum dapat
menghemat biaya produksi.
Dalam sistem pengolahan minimum, tanah yang diolah hanya pada spot-spot tertentu dimana
tanaman yang akan dibudidayakan tersebut ditanam. Pengolahan tanah biasanya dilakukan pada bagian
perakaran tanaman saja (sesuai kebutuhan tanaman), sehingga bagian tanah yang tidak diolah akan
terjaga struktur tanahnya karena agregat tanah tidak rusak dan mikroorganisme tanah berkembang
dengan baik.
Pada pengolahan minimum, tidak semua lahan tidak diolah sehingga ada spot-spot dari lahan
tersebut yang diistirahatkan. Hal tersebut dapat memperbaiki struktur tanah karena dalam lahan
yang diistirahatkan, mikroorganisme tanah akan melakukan dekomposisi bahan-bahan berat. Selain
itu, mikroorganisme akan mengimmobilisasi logam-logam berat sisa pemupukan yang ada dalam
tanah sperti Al, Fe dan Mn.
3. Maximum tillage(pengolahan lahan secara maksimal)
Pengolahan lahan secara maksimal merupakan pengolahan lahan secara intensif yaang dilakukan
pada seluruh lahan yang akan ditanami. Ciri utama pengolahan lahan maksimal ini antara lain adalah
membabat bersih, membakar atau menyingkirkan sisa tanaman atau gulma serta perakarannya dari
areal penanaman serta melalukan pengolahan tanah lebih dari satu kali baru ditanamai.
Pengolahan lahan maksimum mengakibatkan permukaan tanah menjadi bersih, rata dan bongkahan
tanah menjadi halus. Hal tersebut dapat mengakibatkan rusaknya struktur tanah karena tanah
mengalami kejenuhan, biologi tanah yang tidak berkembang serta meningkatkan biaya produksi.
C. Kearifan lokal masyarakat adat tentang tanah
Kearifan lokal adalah segala bentuk kebijaksanaan yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan yang
dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama
(secara turun temurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah tertentun yang menjadi
tempat tinggal mereka.
Salah satu bentuk kebijakan hukum adat yang ditetapkan oleh masyarakat adat adat di Maluku
yakni sistem ‘Sasi’. Beberapa kajian yang mendefinisikan sasi yakni Frank Coley, dimana hasil
kajiannya menyebutkan bahwa sasi merupakan larangan memetik buah – buahan tertentu di darat dan
mengambil hasil tertentu dari laut selama jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah
negeri (desa). Penelitian yang dilakukan Judge (2008) menyebutkan bahwa sasi merupakan tradisi
masyarakat adat/negeri di maluku dalam rangka menjaga potensi-potensi tertentu. Kesadaran
masyarakat adat di Maluku untuk menjada kelestarian alam dan lingkungan sudah disadari oleh nenek
moyang mereka sebelum Indonesia merdeka. Pada zaman dahulu keberadaan masyarakat di Maluku
sangat tergantung pada sumber daya alam dan sumber daya laut yang menyimpan potensi dan
kekayaan yang berlimpah, namun apabila tidak dijaga dengan baik maka tentulah akan berkurang dan
mengalami kerusakan. Hal ini yang mendorong masyarakat untuk menetapkan suatu aturan yang
berimplementasi terhadap adanya sanksi apabila terjadi pelanggaran. Masyarakat di Maluku khususnya
masyarakat lokal begitupun dengan pendatang mematuhi dan menghormati adanya ‘sasi’ yang telah
ditetapkan baik sasi daratan maupun sasi laut. Beberapa sasi yang masih berlaku di Maluku yakni sasi
air meliputi sasi laut dan sasi sungai sebagai contohnya masyarakat tidak diperkenankan menangkat
biota laut tertentu seperti ikan lompa, teripang pada masa tertentu, masyarakat tidak diperkenankan
mengkap dengan menggunakan alat yang merusak habitat laut, larangan untuk tidak menebang pohon
di dekat sungai kecuali pohon sagu, dsb. Sasi laut dan sasi sungai yang telah ditetapkan sejak jaman
dahulu ini apabila disandingkan dengan hukum nasional saat ini pada dasarnya memiliki tujuan yang
sama yakni menjaga kelestarian lingkungan dan menekan terjadinya kerusakan/degradasi alam. Selain
sasi laut, kebijakan terhadap sasi daratan juga dilakukan yakni sasi hutan, sasi pribadi, sasi binatang,
sasi babailang dan sasi negeri (Judge 2008). Prosiding Seminar Nasionar Tanah Adat Tahun 2019 165
Perlindungan Penetapan adanya lokasi yang di sasi dilakukan dengan upacara adat yang dilakukan oleh
pemangku adat atau pada saat ini dilakukan oleh pemangku gereja, dan ditandai dengan adanya tanda
khusus yakni adanya bambu ataupun kayu yang ditandai dengan ciri khusus di bagian ujung kayu
terdapat daun kelapa muda. Norma dan budaya di Maluku khususnya di daerah pelosok hingga saat ini
masih kental dengan adanya kepercayaan dan upacara yang bersifat sakral. Apabila masyarakat
melanggar sasi yang telah ditetapkan maka tidak hanya sanksi langsung/fisik yang diberikan oleh
masyarakat, namun yang bersangkutan juga akan mendapatkan sanksi yang lebih berat yakni adanya
sanksi moral. Bentuk sanksi yang diberikan apabila terdapat masyarakat melakukan pelanggaran yakni
berupa sanksi denda, diarak keliling kampung, dikucilkan dari masyarakat dan hukuman yang diyakini
masyarakat dari arwah leluhur yang menyebabkan sakit berkepanjang (Judge 2008). Kebijakan sasi
yang telah ditetapkan oleh raja dan diketahui oleh masyarakat tidak hanya berhenti sebatas aturan saja,
akan tetapi sistem pengawasan yang terus menerus juga dilakukan (Angga 2018). Pihak yang
berwenang untuk mengawasi semua sumber daya alam baik yang ada di darat ataupun yang ada di laut
serta mengawasi aturan sasi disebut sebagai kewang. Keberadaan sasi yang masih dipegang oleh
masyarakat di Maluku serta adanya pihak yang melakukan pengawasan terhadap masyarakat apabila
melakukan pelanggaran sasi inilah yang menjadikan kelestarian sumber daya alam serta kelestarian
lingkungan di Maluku lebih terjaga apabila dibandingkan dengan daerah lain. Sasi juga memiliki
dampak positif karena orang/masyarakat tidak lagi melakukan pencurian, saling menjaga hak milik
bersama dan hak milik orang lain, serta hubungan antara manusia dengan alam menjadi harmonis
(Warawarin 2017). Sistem pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang ada di Maluku dengan
adanya masyarakat adat dan hukum adat tersebut tidak hanya berlaku secara internal dalam artian
hanya menjaga dan mengatur penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan fungsi ruang bagi
masyarakat internal semata. Akan tetapi pengaturan tersebut juga bersifat eksternal yakni pemerintahan
adat yang dipimpin oleh raja juga memiliki aturan terhadap pihak eksternal yang akan masuk untuk
mengolah sumber daya 166 Prosiding Seminar Nasionar Tanah Adat Tahun 2019 alam yang ada di
wilayahnya. Skema pengaturan dan perlindungan terhadap sumber daya alam dengan seperangkat
sanksi hukum ini dianggap lebih efektif dan efisien dalam menerapkan aturan yang telah ditetapkan.
Kebijakan yang diterapkan masyarakat adat di Maluku ini selaras dan sejalan dengan hukum nasional
terhadap perlindungan wilayah pesisir maupun wilayah yang ada di sempadan sungai yang dituangkan
dalam bentuk tata ruang. Perbedaanya yakni untuk skema pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
adat di Maluku dilakukan secara bottom-up dimana masyarakat melalui hukum adat menerapkan
aturan yang sebelumnya sudah ada sejak nenek moyang mereka, adanya pengawasan yang dilakukan
secara internal oleh masyarakat setempat dan adanya sanksi yang selalu dilaksanakan/ditepati serta
dipatuhi oleh masyarakat. Kondisi inilah yang menjadikan sistem perlindungan alam dan lingkungan
dapat terus berlangsung, dimana adanya kesadaran masyarakat bahwa pantang melanggar sasi karena
jika ada pelanggaran maka masyarakat akan mendapatkan sanksi yang membuatnya jera serta
memalukan diri mereka sendiri. Konsep yang diterapkan dalam sistem sasi pada masyarakat adat
Maluku ini sama dengan sistem hukum nasional dimana ketika terjadi pelanggaran maka akan
dikenakan sanksi, baik pelanggaran terhadap tata ruang ataupun pelanggaran yang menimbulkan
kerusakan lingkungan. Hal yang sangat berbeda adalah di dalam hukum nasional masyarakat tidak
seluruhnya mengetahui bahwa aturan itu ada dikarenakan kurangnya sosialisasi yang mudah diterima
masyarakat, kurangnya kesadaran masyararakat terhadap arti pentingnya tujuan aturan pemanfaatan
ruang, tidak adanya pengawasan yang ketat/pengawasan terhadap implikasi tata ruang sangatlah lemah
sehingga sanksi yang telah ditetapkan dalam undang-undang sama sekali tidak mampu menjangkau
pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran.
D. Pluralisme hak penguasaan
Isu maupun kajian seputar pluralisme hukum bukan isu baru ataupun ranah studi baru di
Indonesia. Secara sederhana, pluralisme hukum hadir sebagai kritikan terhadap sentralisme dan
positivisme dalam penerapan hukum kepada rakyat. Terdapat beberapa jalan dalam memahami
pluralisme hukum. Pertama, pluralisme hukum menjelaskan relasi berbagai sistem hukum yang
bekerja dalam masyarakat. Kedua, pluralisme hukum memetakan berbagai hukum yang ada dalam
suatu bidang sosial. Ketiga, menjelaskan relasi, adaptasi, dan kompetisi antar sistem hukum.
Ketiga, pluralisme hukum memperlihatkan pilihan warga memanfaatkan hukum tertentu ketika
berkonflik. Dari tiga cara pandang tersebut dan masih banyak cara pandang lainnya, secara ringkas
kita bisa katakan bahwa pluralisme hukum adalah kenyataan dalam kehidupan masyarakat. Senada
dengan itu, meminjam ungkapan dari Brian Z. Tamanaha, legal pluralism is everywhere.[3]
Ungkapan ini menegaskan bahwasanya di area sosial keragaman sistem normatif adalah
keniscayaan. Namun, hal menarik tentang pluralisme hukum bukan hanya terletak pada
keanekaragaman sistem normatif tersebut, melainkan pada fakta dan potensi untuk saling
bersitegang hingga menciptakan ketidakpastian. Ketidakpastian ini menjadi salah satu titik lemah
yang “diserang” dari pluralisme hukum, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar karena
permasalahan pokok dari potensi konflik tersebut adalah adanya relasi yang asimetris dari sistem
normatif tersebut.
Berjalinan dengan itu, John Griffiths mengemukakan konsep pluralisme hukum yang lemah (weak
pluralism) dan pluralisme hukum yang kuat (strong pluralism).[4] Pluralisme hukum disebut
sebagai pluralisme hukum yang lemah ketika negara mengakui kehadiran anasir sistem hukum lain
di luar hukum negara, tetapi sistem-sistem hukum non negara tersebut tunduk keberlakuannya di
bawah hukum negara. Sementara itu, pluralisme hukum yang kuat hadir ketika negara mengakui
keberadaan hukum non negara dan sistem hukum tersebut mempunyai kapasitas keberlakuan yang
sama dengan hukum negara.
Pandangan Tamanaha dan Griffiths di atas pada akhirnya membawa kita pada ulasan tentang
kelemahan dan kritik terhadap pluralisme hukum. Ketika ketimpangan dominasi kekuasaan
diantara eksponen berbagai sistem hukum tersebut tetap langgeng, maka pluralisme hukum bisa
jadi sebatas mitos atau delusi, dan terciptanya ketidakpastian hukum bukan tidak mungkin terjadi
apabila pluralisme hukum membuka ruang pengakuan bagi setiap sistem hukum lain di luar hukum
negara tanpa adanya batasan yang jelas. Dua hal ini setidaknya memberikan ‘peringatan’ pada kita
bahwa pluralisme hukum yang semula hadir untuk mengkritik juga tidak sepi dari kritikan. Pada
bagian berikut ini akan dibahas ihwal kritik atas pluralisme hukum dan kaitannya dengan
permasalahan yang ada pada konteks pembangunan sistem hukum di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Ksimpulan
Pertama, Hak masyarakat adat dilindungi dalam Pasal 28I ayat yang menyatakan «identitas budaya
dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.»
Berdasarkan Pasal tersebut terlihat bahwa kesatuan masyarakat adat dengan hak tradisionalnya yang
masih hidup diakui eksistensinya. TAP XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia telah memberikan
perlindungan yang layak bagi eksistensi hak-hak masyarakat adat termasuk hak ulayatnya. Hal tersebut
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 tentang hak untuk mempertahankan kehidupan, Pasal 6 tentang
hak untuk memperjuangkan hakhaknya secara kolektif, Pasal 8 tentang persamaan di muka hukum,
Pasal 23 tentang hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya,
Pasal 32 tentang jaminan hak miliknya untuk tidak diambil sewenang-wenang. Berdasarkan ketentuan
Pasal 3 UUPA dapat dipahami juga bahwa hak ulayat diakui sebagai suatu hak atas tanah tersendiri,
apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu Hak tersebut ada dan Pelaksanaan hak yang masih ada
tersebut harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan.
Namun demikian tidak terdapat ketentuan dan penjelasan lebih lanjut tentang kriteria «ada» nya
hak ulayat dan tentang batasan kepentingan nasional dan negara.
Pengolahan lahan maksimum mengakibatkan permukaan tanah menjadi bersih, rata dan bongkahan
tanah menjadi halus. Hal tersebut dapat mengakibatkan rusaknya struktur tanah karena tanah
mengalami kejenuhan, biologi tanah yang tidak berkembang serta meningkatkan biaya produksi.
Kearifan lokal masyarakat adat di Maluku berupa sasi laut dan sasi darat
merupakan warisan regulasi yang harus terus dipertahankan. Kebijakan masyarakat adat dalam
mengelola lingkungan serta keberlanjutan sumber daya alam ini tidak terlepas dari sistem pengawasan
yang dilakukan oleh kewang serta kebijakan dan kewenangan Prosiding Seminar Nasionar Tanah Adat
Tahun 2019 167 tertinggi/kewenangan penuh yang dilakukan oleh raja yang bertindak sebagai
pimpinan negeri.
Pluralisme hukum sebagai pendekatan atau kajian tidak lain adalah alat bantu bagi negara
dalam proses pembentukan hukum dan pembangunan hukum yang lebih dekat dengan masyarakat ke
depannya. Pendekatan ini bukanlah pendekatan final yang nihil kelemahan dan kritik atau bukanlah
solusi yang serta merta menyelesaikan  segala permasalahan hukum yang ada pada masyarakat hingga
lapis terbawah. Pluralisme hukum hadir untuk memberikan perspektif keberagaman sistem normatif
pada Pemerintah, Legislator baik di tingkat pusat maupun daerah, dan aparat penegak hukum bahwa
sudah saat nya membuang jauh-jauh cara berhukum yang sentralistik dengan mengabaikan keragaman.
Namun di sisi lain, kepastian hukum tetap menjadi prinsip penting yang perlu diperhatikan di tengah-
tengah perspektif keberagaman sistem hukum tersebut. Inilah  tantangan kajian pluralisme hukum saat
ini dan di masa mendatang.
B. Saran
Pertama, Saran yang dapat diberikan sebagai solusi atas permasalahan yang pemerintah hendaknya
memberlakukan hukum adat sejajar dengan hukum nasional. Kedua, Pemerintah hendaknya
menjadikan hukum adat sebagai sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional. Maka perlu
dilakukan inventarisasi oleh pemerintah terkait hukum adat dan hak tradisional adat. Ketiga, Melalui
kewenangan otonomi daerahnya, diharapkan pemerintah daerah berperan aktif dalam pembuatan perda
yang menjamin tentang perlindungan hak masyarakat adat.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Yusuf, Muslim. (2016). Kepastian Hukum Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Dan
Sumberdaya Alam, Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1.
Harsono, Boedi. (1999). Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria Dan Pelaksanaanya, Jakarta; Djembangan.
Harsono, Boedi. (2003). Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid 1, Jakarta: Djambatan.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Suwitra, I Made. (2010). “Dampak Konversi dalam UUPA terhadap Status Tanah Adat”. Jurnal
Hukum, Vol. 17 No.1, Januari 2010.
SW Sumardjono, Maria, 2007, Kebijakan Pertanahan Anatar Regulasi Dan Implementasi,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
SW. Sumardjono, Maria. (1990). Telaah Konseptual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik,
pembahasan terhadap makalah Chadijah Dalimunthe “Konsep Akademis Hak Milik Atas Tanah
menurut UUPA”, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Agraria ke-3, kerja sama BPN-FH
USU, Medan, 19-20 September.
Warman, Kurnia. (2012). Studi Tentang Kebijakan Penguatan Tenurial Masyarakat Dalam
Penguasaan Hutan, Bogor: Social Forestry Specialist, World Agroforestry Centre Southeast Asia
Regional.
Zein, Ramli. (1995). Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai