Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM AGRARIA

SENGKETA TANAH

Disusun Oleh:
FADHILAH YUSTISIA SYAHBANI
NIM : B022231064

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Hak Asasi Manusia dan
undang- undang dalam peraturan Hak Asasi Manusia”.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal
jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu,
penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.

Makassar, Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KataPengantar.....................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3

A. Latar Belakang ..................................................................................................… 3


 Gambaran / kondisi wilayah konflik......................................................… 4
 Peta / sket wilayah konflik.....................................................................… 4
B. Identifikasi Masalah..........................................................................................…..5
C. Tujuan Analisis Konflik Pertanahan..................................................................… 6
D. Manfaat Analisis Konflik Pertanahan................................................................… 6

BAB II LANDASAN TEORI / TINJAUAN LITERATUR..........................................… 7

A. Penjelasan...............................................................................................................7

BAB III ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN KONFLIK DALAM


MENYELESAIKAN KONFLIK SENGKETA PERTANAHAN..............................… 10

B. Pengertian-pengertian......................................................................................… 10

BAB VI KESIMPULAN..................................................................................................17

BAB V DAFTAR PUSTAKA....................................................................................… 19


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta
melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan
tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun
tidak langsung selalu memerlukan tanah.

Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebut
sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya diwilayah pedesaan, tanah ini diakui oleh
hukum adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah. Seiring
dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama
masyarakat adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan
yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam sistem
pemilikan komunal. Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan
sejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan colonial Belanda pada abad ke tujuh
belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.

Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan dualisme
hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah dibawah hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk
kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan colonial, tanah bersama milik adat dan
tanah milik adat perorangan adalah tanah dibawah penguasaan Negara.Hak individual atas
tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepadayang tunduk kepada hukum barat.
Hak milik ini umumnya diberikan atastanah-tanah diperkotaan dan tanah perkebunan di
pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui
penguasaan.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di berbagai tempat, khususnya di Indonesia beberapa


waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia
merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya.

Persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda. Masalah tanah bagi manusia
tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam penghidupan dan
hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu
lintas, perjanjian dan padaakhirnya tempat manusia berkubur. Sebagaimana diketahui
sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat
hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah
adat dan yang lainbersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat.

Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960)maka
terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan
padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk kedalam sisem dari UUPA diselesaikan
dengan melalui lembaga konversi. Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang
lingkupnya pada hakatas tanah, seharusnya ada suatu peraturan yang menjelaskan lebih
jelasdan mengikat mengenai hak atas tanah.Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan
secepatnya dibuat dandiundangkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan
jaminanperlindungan hukum kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah.

GAMBARAN / KONDISI WILAYAH KONFLIK

Kondisi wilayah ialah terletak di kota bekasi bagian selatan, kecamatan bekasi
selatan, kelurahan cibaliung tengah yang berjarak 100 km dari pusat kota bekasi dengan luas
lahan 25.Ha yang di klaim sebagai kepemilikan perusahaan Portaniaga Bakrie,tbk dan
masyarakat di wilayah cibaliung dan gorgol. Dimana sebelumnya lahan tersebut di gunakan
sebagai lahan pertanian dan perkebunan masyarakat sekitar. Dan kini masih dalam proses
penggusuran yang dilakukan oleh pihak perusahaan.

PETA / SKET WILAYAH KONFLIK

BEKASI SELATAN

BATAS CROP BIRU ADALAH LAHAN YANG MENJADI PERSENGKETAHAN


B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah?


2. Apa saja yang termasuk Hak Atas Tanah?
3. Bagaimanakah contoh kasus dalam permasalahan Hak Atas Tanah?

KASUS:
Waktu itu, si A, si B, dan si C membeli tanah-tanah girik dari warga Udik. Seluruh tanah ini
mencapai luas 78 hektar dan kemudian dijual dengan harga Rp300 per meter persegi ke
perusahaan properti.Masalah muncul ketika pihak perusahaan menuduh tiga mandor itu
belakangan membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus
pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban .

Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik tersebut kepada
beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah daerah sekitar seluas 15 hektare, kepada
PT Intercone (2 hektare) danPT Copylas (2,5 hektare), serta kepada BRI seluas 3,5
hektar.Sang mandor divonis hukuman setahun penjara oleh pihak pengadilan.
Berbekal putusan pidana itu, pihak perusahaan kemudian menggugat perdata ketiga mandor
tersebut. Ketika itu, Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare
yangdiklaim milik Porta. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan banding.

Namun, kemudian, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai diMahkamah
Agung. Mahkamah memenangkan Porta.Putusan perkara pidanadan bukti jual-beli yang jadi
pegangan putusan kasasi.Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha
melawan putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke
Pengadilan.Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigrake
polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara.
Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut di Duta Merlin yang
ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama Portanigra.Portanigra sendiri kini
menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencarisolusi untuk tak merugikan pihak ketiga.

Badan Pertanahan yang disebut-sebut ikut punya andil membuat masalah ini jadi kisruh
sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang
PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa
memiliki sertifikat hakmilik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah

Nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini jadi masalah.

“Girik sebagaimana dimaksud diatas tadi, sebenarnya bukanlah merupakan bukti hak
kepemilikan hak atas tanah. Tapi sebagian masyarakat kita masih mengartikan bahwa dengan
adanya girik tersebut berarti status tanah ybs sudah berstatus hak milik. Tanah dengan status
girik adalah tanah bekas hak milik adat yang belum di daftarkan pada Badan Pertanahan
Nasional. Jadi girik bukanlah merupakan bukti kepemilikan hak, tetapi hanya merupakan
bukti penguasaan atas tanah dan pembayaran pajak atas tanah tersebut.”
C. TUJUAN ANALISIS KONFLIK PERTANAHAN

Pembuatan makalah yang berjudul Hak Atas Tanah ini memiliki tujuan yangingin dicapai,
yaitu:

1. Agar kita dapat mengetahui apakah yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah.
2. Agar kita dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam Hak Atas Tanah.
3. Agar kita mengetahui contoh-contoh kasus dalam permasalahan HakAtas Tanah.

D. MANFAAT ANALISIS KONFLIK PERTANAHAN

Manfaat yang penyusun dapat setelah menyusun makalah yang berjudul Hak Atas Tanah ini,
yaitu :

Manfaat teoritis :
1. Penyusun mendapat lebih banyak pengetahuan mengenai Hak AtasTanah.
2. Penyusun mendapatkan pengetahuan mengenai apa saja yang termasukkedalam Hak Atas
Tanah.

Manfaat Praktis :
1. Penyusun dapat memaparkan mengenai Hak Atas Tanah.
2. Penyusun dapat mengetahui bagaimana kepemilikan Hak Atas Tanah diIndonesia.
3. Jika suatu hari penyusun bekerja pada bidang Hukum Agraria atau yang berhubungan
dengan pertanahan maka penyusun sudah mengetahui bagaimanakah penjelasan mengenai
Hak Atas Tanah Tersebut serta dapat pula mengaplikasikannya apabila terjadi masalah yang
berhubungan dengan Hak Atas Tanah.
BAB II
LANDASAN TEORI / TINJAUAN LITERATUR

A. PENJELASAN

HAK ATAS TANAH Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah
tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas
tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan
atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud
ditentukandalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain:

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
6. Hak Membuka Tanah
7. Hak Memungut Hasil Hutan
8.Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementarasebagaimana disebutkan dalam
pasal 53.

Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan
hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak-hak itu
tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun
kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya
untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut
merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak-hak atas tanah yang
disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadaanya
dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak-hak yang dimaksudantara lain :

1. Hak gadai,

2. Hak usaha bagi hasil,

3. Hak menumpang,

4. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnyaakan
dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak-hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh
golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini
tentu saja tidak sesuaidengan asas-asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu,
hak-hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yangmenyebutkan bahwa tanah
pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dandiusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang
mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan
tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalamhak-hak atas
tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA
menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari
hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah
dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan
budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang diIndonesia yang oleh karena
Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim.Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari
penguasa tertinggi. Sultan syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat
Amerika(1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budayamasyarakat
Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari
Belanda merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah
membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang-wenang dan mencapai
kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan pemberontakan G
30 S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun1948 tapi ancaman bahaya totaliter
tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan
yang sebetulnya hakatas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak-hak atas tanah
dikelompokkan sebagai berikut :

1.Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

1. Hak Milik.
2. Hak Guna Usaha.
3. Hak Guna Bangunan.
4. Hak Pakai.
5. Hak Sewa Tanah Bangunan.
6. Hak Pengelolaan.

2.Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

1. Hak Gadai.
2. Hak Usaha Bagi Hasil.
3. Hak Menumpang.
4. Hak Sewa Tanah Pertanian.
PENCABUTAN HAK ATAS TANAH

Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara
yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan
pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas
tanah tersebut. MenurutUndang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas
tanahdan benda-benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan
wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum
mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri
Dalam Negeri, MenteriHukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah
Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan
Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya
dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia
bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.
BAB III

ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN KONFLIK DALAM


PENYELESAIAN KONFLIK SENGKETA PERTANAHAN

B. PENGERTIAN-PENGERTIAN

1. Hak milik
Hak milik diatur didalam pasal 20-27 UUPA. Hak milik bersifat turun-temurun,terkuat,
dan terpenuh, berfungsi sosial. Maksudnya adalah, turun temuruncontohnya dapat
diwariskan, terkuat maksudnya dapat dipertahankan,terpenuh maksudnya adalah tidak
mengenal jangka waktu, dan berfungsisosial yaitu harus sesuai dengan sifat dan tujuannya
(pasal 6 UUPA).

Hak milik dapat dialihkan kepada siapa saja, dapat didirikan Hak gunabangunan diatasnya.

Subjek hak milik :


a. Warga Negara Indonesia.
b. Badan hukum tertentu ( PP No. 38 tahun 1963) yaitu, badan hukumperbankan negara,
koperasi pertanian, dan usahasosial/keagamaan.

Luas kepemilikan hak atas tanah dibatasi oleh CEILING yang dibatasisecara maksimum
dan minimum.

Berakhirnya suatu hak milik atas tanah yaitu dapat dengan cara :
a. Pencabutan hak.
b. Melanggar prisip nasionalitas.
c. Terlantar.
d. Penyerahan secara sukarela.
e. Tanahnya musnah misalnya karena bencana alam longsor.

Dasar hak milik :


a. Konversi dari tanah-tanah eks-BW dan dari tanah eks-tanah adat.
b. Dari hasil pengelolaan yang teruang dalam perjanjian pendirian hak tersebut/
c. SK pemberhentian hak oleh pemerintah BPN.

2. Hak guna usaha


Hak guna usaha diatur didalam pasal 28-34 UUPA, dan PP No. 40 tahun1996.
Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasaioleh negara.
Obyeknya merupakan tanah negara.

1. Subyek hak guna usaha :

1. Warga Negara Indonesia.


2. Badan HukumIndonesia.

Hak guna usaha dapat dapat dialihkan asal kepada WNI. Hal ini berdasarkanprinsip
asas nasionalitas.

Penggunaan hak guna usaha dapat digunakan untuk pertanian(perkebunan), perikanan,


peternakan. Dan dapat dijadikan objek haktanggunangan atau dapat dijaminkan.

Jangkau waktunya : Didalam UUPA 25 tahun, diperpanjang maksimal 35tahun dengan


perpanjangan waktu 25 tahun, perpanjangan ataupembaharuan dapat diberikan
sekaligus (pasal 11 PP 40 Tahun 1996) 30tahun diperbaharui.

Berakhirnya hak : waktunya berakhir melanggar syarat pemberian, dilepashaknya,


dicabut haknya untuk kepentingan umum, tanahnya musnah,melanggar prinsip
nasionalitas.

Dasar hak : PMDN No 6 Tahun 1972 jo. Peraturan kepala BPN No 16 Tahun1990
sampai dengan 100 HA asal tidak dengan fasilitas penanaman modaloleh Kanwil
BPN ; diatas 100 HA oleh Kepala BPN (Pasal 2 s.d 18 PP No 40Tahun 1996).

3. Hak guna bangunan


Hak untuk mengusahakan dan mempunyai bangunan atas tanah bukanmilik sendiri
Subyeknya :
1. WNI.
2. Badan Hukum Indonesia.

2. Hak guna Bangunan dapat dialihkan asal kepada WNI, berdasarkan asasnasionalitas

Dapat sebagai objek hak tanggungan

Jangka waktu hak guna bangunan : paling lama 30 tahun dapatdiperpanjang 20 tahun,
perpanjangan/ pembaharuan dapat diberikansekaligus

Berakhirnya hak guna bangunan:


Jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktu berakhir,dilepas oleh
pemegang hak, dicabut untuk kepentingan umum,ditelantarkan, tanah musnah, bukan
WNI lagi (pasal 30 ayat 2 jo pasal 20PP 40/ 1996.

Alas/ dasar hak guna bangunan


1. PMDN 6/1972 sampai 2000m2 oleh kepala BPN ps 22 PP 40/1996.
2. Hak pengelolaan Vide PMDN 1/77 jo PMDN 6/1972 jo ps 22 ayat (2) PP40/1996.
3. Konversi tanah ex adat.
4. Kinversi tanah ex BW : hak eigendom, hak opstal, hak erfacht.
5. Karena perjanjian, pemilik HM dan seseorang untuk menimbulkan hakguna
bangunan.

4. HAK PAKAI

1) Hak pakai keperdataan

Hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasainegara/ tanah
yang dikuasai seseorang dengan hak milik.

Subjeknya : WNI, Badan Hukum Indonesia, orang asing penduduk Indonesia( pasal 39
PP 40/ 1996), badan hukum asing yang mempunyai manfaat bagipenduduk Indonesia
dan badan hukum asing yang ada ijin operasional

Dapat dialihkan ; dapat menjadi objek tanggungan

Berakhirnya hak : jangka waktu berakhir, tanah musnah, dicabut untukkepentingan


umum, ditelantarkan

Jangka waktu :
• Tidak jelas ( pasal 41-43 UUPA)

• PMDN 6/1972 = 10 tahun

• Pasal 45 PP 40/ 1996 -25 tahun dengan perpanjangan 20 tahun

• Hak pakai di atas hak milik = 25 tahun dengan pembaharuan 25 tahun

2) Hak pakai khusus:


Hak milik mempergunakan tanh untuk pelaksanaan tugas yang berasal daritanah yang
dikuasai negara.
Subjeknya ialah departemen, LPND, PEMDA, perwakilan negara asing,lembaga
keagamaan, dan lembaga sosial (Lembaga pemerintah nondepartemen).
Tidak dapat dialihkan :

1.Tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan

2.Berakhirnya hak:

3.Jika tidak dapat dipergunakan lagi kembali kepada negara.

4.Jangka waktu :

5.Tidak terbatas selama masih dipergunakan (pasal 45 ayat 1 PP. 40 tahun1996).

Hak-hak sementara

a. Pengertian
Hak-hak yang bersifat sementara dikatakan sementara karena mengandungsifat-sifat
yang bertentangan dengan UUPA (mengandung unsur pemerasan). Maka hal-hal
tersebut diusahakan agar dapat dihapus dalamwaktu singkat, sebelum ada peraturan-
peraturan yang baru, sementaraketentuan yang sudah ada dianggap masih berlaku.

Hak-hak tersebut adalah:

1. Hak Usaha Bagi Hasil, berasal dari hukum adat “hak menggarap”, yaituhak
seseorang untuk mengusahakan pertanian diatas tanah milik oranglain dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi bagi kedua belah pihak berdasarkan perjanjian.
Diatur dalam Undang-Undang No.2 tahun 1960tentang perjanjian bagi hasil, Permenag
No. 8 tahun 1964, Inpres No.13tahun 1980.

2. Hak Gadai, berasal dari hukum adat “Jual Gadai”, yaitu penyerahansebidang tanah
oleh pemilik kepada pihak lain dengan membayar uangkepada pemilik tanah dengan
perjanjian, bahwa tanah itu akandikemalikan apabila pemilik mengembalikan uang
kepada pemegangtanah. Hal itu diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No.56/ Prp/
1960tentang penetapan luas tanah pertanian, pasal 7 : “Barangsiapamenguasai tanah
pertanian dengan hak gadai, sudah berlangsung 7 tahunatau lebih, wajjib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalamwaktu sebulan stelah tanaman
selesai dipanen. Dengan tidak ada hakuntuk menuntut pembayaran uang tebusan.”
3. Hak Menumpang, yaitu hak yang mengizinkan seseorang untukmendirikan serta
untuk menempati rumah diatas tanah pekarangan oranglain dengan tidak membayar
kepada pemilik pekarangan tersebut, sepertihak pakai, tetapi sifatnya sangat lemah,
karena setiap saat pemilik dapatmengambil kembali tanahnya.

4. Hak Sewa Tanah Pertanian, bersifat sementara karena berkaitan denganpasal 10


ayat 1 UUPA yang menghendaki setiap orang atau badan hukumyang mempunyai
suatu hak atas tanah pertanian. Pada asasnyadiwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif dengancara mencegah cara pemerasan.

Tujuan dari reformasi agraria yang hendak dicapai oleh UUPA dapat dilihat di
dalam konsidern UUPA yang merumuskan tujuannya sebagai berikut:

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang


akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan
keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat adil dan makmur;

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan


hukum pertanahan;

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai


hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.Dalam pembangunan, peranan tanah untuk
pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat baik sebagai tempat bermukim
maupun untuk kegiatan usaha.

Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan mengenai jaminan kepastian
hukum di bidang pertanahan. Pendaftaran tanah, sebagai pelaksanaan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
memberikan jaminan kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum tersebut meliputi :
jaminan kepastian hukum mengenai orang atau badan hukum yang menjadi pemegang
hak (subyek hak atas
tanah); jaminan kepastian hukum mengenai letak, batas, dan luas suatu bidang
tanah(obyek hak atas tanah); dan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanahnya.Jaminan kepastian hukum mengenai obyek hak atas tanah sangat erat
kaitannya dengan kegiatan pengukuran dan pemetaan tanah yang menghasilkan
datafisik. Data fisik yang dihasilkan dari pengukuran bidang-bidang tanah tersebut

kemudian dipetakan ke dalam Peta Dasar Pendaftaran ataupun Peta Pendaftaran.


Olehkarena itu, peta-peta yang dihasilkan harus dapat memberikan gambaran yang
jelas mengenai letak bidang-bidang tanah yang tergambar didalamnya terhadap bidang
– bidang tanah yang ada dalam satu wilayah.
”Bahwa pemetaan hasil pengukuran pada peta pendaftaran bertujuan untuk
mendapatkan kepastian letak bidang tanah terhadap bidang-bidang tanah
yang ada disekitarnya. Hal ini untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
batas-batas bidang tanah baik sebagian maupun seluruhnya terhadap bidang
tanah yang lain yang sudah terlebih dahulu diukur dan dipetakan”.

Selama ini, masalah pertanahan khususnya yang terkait dengan kegiatan


pengukuran dan pemetaan tanah sangat mudah terjadi. Salah satu penyebab
permasalahan tersebut adalah banyaknya peta yang digunakan oleh suatu kantor
pertanahan untuk memetakan bidang-bidang tanah yang terdaftar sehingga kepastian
letak suatu persil atau bidang tanah menjadi tidak terjamin. Permasalahan tersebut
dapat diatasi apabila ada kepastian data mengenai bidang-bidang tanah yang terdaftar
pada kantor pertanahan. Untuk menciptakan kepastian mengenai bidang-bidang tanah
yang terdaftar tersebut harus dibangun satu sistem peta pendaftaran secara tunggal.

Dengan peta tunggal, setiap bidang tanah yang terdaftar hanya akan dipetakan pada
satu peta untuk satu wilayah dalam lokasi yang bersangkutan. Eko Budi Wahyono
mengemukakan bahwa ‘sudah saatnya dalam satu kantor pertanahan mempunyai Peta
Pendaftaran dalam satu sistem dan semua kegiatan pengukuran dan pemetaannya
mengacu pada satu peta (Peta Pendaftaran Sistem Tunggal) tersebut’.

Azwan Pangihutan Tarigan, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sejak


penggunaan peta tunggal, sengketa-sengketa pertanahan yang terjadi tidak terkait
dengan ketidakpastian letak. Hal ini terjadi karena peta tunggal dapat memberikan
jaminan kepastian mengenai letak bidang-bidang tanah yang terdaftar. 6 Berikut,
dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih kita kenal dengan singkatan
UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 direvisi dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan
singkatan PP 24/1997 yang mempunyai kedudukan sangat strategis dan menentukan,
bukan hanya sekedar sebagai pelaksana ketentuan Pasal 19Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), tetapi lebih dari itu ia menjadi tulang punggung yang mendukung
berjalannya administrasi pertanahan dan hukum
pertanahan.

Ketentuan ini sebenarnya sudah cukup jauh menjabarkan berbagai prinsip


politik hukum pertanahan, sehingga melalui peraturan tersebut diharapkan akan dapat
terwujud adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Namun, semenjak ditetapkan
pada tanggal 25 Maret 1961 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan direvisi
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
hingga saat ini masih belum berjalan efektif untuk seluruh wilayah Indonesia.
Penetapan berlakunya yang dibuat secara bertahap untuk berbagai daerah di Indonesia
kelihatannya lebih banyak bersifat formal, sedangkan dalam realita ternyata tidak
semulus yang dibayangkan orang, masih terdapat banyak persoalan problematik
kepastian hukum kepemilikan atas tanah yang telah bersertifikat hak milik.

Apakah problematik tersebut memang disebabkan oleh substansi peraturan


yang banyak tidak sesuai lagi dengan kondisi dan situasi masa kini, ataukah termasuk
Administrasi pertanahannya. Hal ini penting untuk diperhatikan, karena
bagaimanapun baiknya ketentuan penyempurnaan dibuat, akan tetapi belum ada
dukungan positif, katakanlah dalam sistem administrasi pertanahan misalnya,
peraturan ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ingin direvisi sekarang.

Analisis kasus

Perspektif legal

Kasus Meruya sebenarnya adalah persoalan pidana antara PT Porta Nigradengan Juhri
CS. PT Porta Nigra yang dalam hal ini dirugikan denganpenipuan yg dilakukan Juhri
CS dalam proses pengambilalihan lahan diMeruya. Secara legal, tanah yang dibeli
Porta Nigra dari Juhri CS belumberalih karena dasar hukum atas tanah tersebut, dalam
hal ini girikdinyatakan palsu oleh pengadilan pidana dan berdasarkan
putusanpengadilan negeri dimusnahkan.

Selain itu, dalam proses peralihan hak atas tanah, PT.Portanigra sebagaiperusahaan
developer melakukan kesalahan karena tidakmelakukantransaksi beli tanah sesuai
aturan dan tidak mengurus sertifikat pascatransaksi maka Porta Nigra belum dapat
disebut sebagai pemilik secarayuridis atas tanah tersebut.

Perspektif yurisdiksi

Putusan Mahkamah Agung untuk melakukan eksekusi tanah di Meruyamemang patut


dipertanyakan karena penerbitan sertifikat tanah adalahputusan dari BPN (pejabat
negara). jadi, yang dapat mempertanyakansertifikat tersebut adalah peradilan Tata
Usaha Negara. Seharusnya putusandari MA adalah memaksa Juhri CS untuk
mengganti kerugian akibatpenipuan yang dilakukannnya dan bukan menyerahkan
tanah yg menjadiobjek jual beli pada awalnya. terlebih secara hukum proses peralihan
hakatas tanah tersebut belum terjadi. Atau setidaknya tidak ada dokumen hukumyang
menunjukkan hal tersebut.
BAB.IV
KESIMPULAN

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yangmempunyai
hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanahtersebut. Di dalam
pelaksanaannya banyak terdapat masalah-masalah akibat ketidaktahuan atau
ketidakmengertian masyarakat tanah.

Masalah tanah bagi manusia seperti tidak ada habisnya karena tanahmempunyai arti yang
sangat penting dalam penghidupan manusia Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk
mengetahui dan mengertimengenai hak-hak atas tanah agar kejadian-kejadian
persengketaan tanah.

Kesimpulan

Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan


konflik laten dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa
disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran
komunal maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak
jika kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan
penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya
yaitu sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak
beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah
yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan
produktivitas tanah.

Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan


Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok
Agraria, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada
dasarnya memberi kewenangan untuk menjalankan reforma agraria yang besar kepada
pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria secara serius.
Rekomendasi

Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat,


masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap
berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian
sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini
permasalahan sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya
dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup
mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke
pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan
membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan
pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan
penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan
Daftar Pustaka
• Harsono,Boedi,2008
, Hukum Agraria Indonesia ,HimpunanPeraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan,
Jakarta
• Catatan kuliah Hukum Agraria
• Harsono, Boedi, 2008,
Hukum Agraria Indonesia, Sejarahpembentukan Undang-undang Pokok Agraria, isi
danpelaksanaannya, Djambatan, Jakarta
• Perangin, Effendi, 1986, 401
Pertanyaan dan JawabanTentang Hukum Agraria
, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

• www.google.com/kasushakatastanah
• www.google.com/hakatastanah
• http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah

Anda mungkin juga menyukai