Anda di halaman 1dari 19

1

STUDI KONSTITUSI

SANGKETA TANAH DI KALIMANTAN TENGAH

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Konstitusi

Dosen pengampu : Charles Hutapea, S.IP., M.IP

Di susun oleh :
Mega Mawarni (GAC 117 128)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

TAHUN 2019
2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………….. ..1

DAFTAR ISI ………………………………………………………….2

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………. ...3

 A. Latar Belakang ……………………......................................3


 B. Batasan Masalah ……………………………………...…....5
 B. Rumusan Masalah …………………………………….…..11
 Istilah Penting ………………………………………….. ..…10

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………12

 Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian……………………....12

BAB III ISI …………………………………………………………..14

1. Peran otoritas…………………………………………………..14
2. Konflik Laten…………………………………………………..15
3. Konflik Manifest……………………………………………….15
4. Faktor Penghambat Upaya Penyelesaian Sengketa……………16
a). Sikap gengsi sosial budaya : nilai harga diri……………….16
b). Kekerasan Langsung……………………………………….16
c). Kekerasan Kultural………………………………………....17
5. Penyebab Konflik……………………………………………...17

a. Akar konflik…………………………………………………17

b). Pemicu konflik……………………………………………...17

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….. ...19


3

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.


Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat
manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan
hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan
tanah.

Kepemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh


masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya
diwilayah pedesaan, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis baik berdasarkan
hubungan keturunan maupun wilayah . Seiring dengan perubahan pola sosial
ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama masyarakat adat ini secara
bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran.
Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam sistem pemilikan
komunal.

Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan


sejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan kolonial Belanda pada
abad ke tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka. Tanah
mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selama masa penjajahan
Belanda, pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan dualisme hukum
pertanahan, yaitu tanah-tanah dibawah hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk
kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan kolonial, tanah bersama
milik adat dan tanah milik adat perorangan adalah tanah dibawah penguasaan
Negara.
4

Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas
kepada yang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atas
tanah-tanah diperkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula
beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.

Sengketa terkait penguasaan sumber daya agraria pada umumnya telah


terjadi sejak puluhan tahun lalu dan terjadi di hampir di seluruh pelosok wilayah
Indonesia. Sengketa tersebut adalah sengketa yang menyangkut persoalan tenurial
(sistem dari pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional, maupun
oleh sistem lokal) yang bermuara pada terciptanya kondisi yang tidak ideal yang
disebut sebagai masalah ketidakpastian tenurial dan ketimpangan struktur
penguasaan sumber daya agraria. Muara dari seluruh sengketa ini adalah
munculnya kerawanan sosial kehidupan berbagai kelompok masyarakat sehari
hari, dan turunnya tingkat banyak warga yang terlibat dalam sengketa dimaksud.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di berbagai tempat, khususnya di
Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa
selama 63 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan
jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Persoalan sengketa tanah mengenai hak
milik tak pernah reda.

Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai


arti yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan
saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada
akhirnya tempat manusia berkubur. Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di
Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat
dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat.

Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5


Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat (tanah hak barat ialah
tanah bekasmilik orang asing, dalam hal ini Belanda) maupun tanah-tanah dengan
hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk
5

kedalam sistem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.


Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang lingkupnya pada hak atas
tanah, seharusnya ada suatu peraturan yang menjelaskan lebih jelas dan mengikat
mengenai hak atas tanah.Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan
secepatnya dibuat dan diundangkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan
jaminan perlindungan hukum kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah. Hal ini
di karenakan yang menjadi tujuan pokok UUPA adalah salah satunya meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, kesederhanaan dalam hukum
pertanahan dan juga memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat seluruhnya tanpa terkecuali. Akan tetapi dalam pelaksanaan di
lapangan, sengketa yang berkaitan dengan agraria maupun tanah tidak bisa hilang
begitu saja, karena berbagai kepentingan di dalamnya berusaha untuk bisa
memiliki atau menggunakan suatu lahan/tanah sebagai cara untuk bisa meraih
keuntungan walaupun harus berurusan dengan pihak yang juga tidak mau di
rugikan dengan penggunanaan lahan tersebut.

Penyelesaian sengketa tanah di Indonesia sendiri melibatkan pemerintah


yaitu Badan Pertanahan Nasional. Badan Pertanahan Nasional (disingkat BPN)
adalah lembaga pemerintah nonkementerian di Indonesia yang mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional
dan sektoral. BPN dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur
melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor
85 Tahun 2012.

Dalam melaksanakan tugas Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan


fungsi :perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;perumusan kebijakan
teknis di bidang pertanahan;koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan;pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
pertanahan;penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahan;pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin
kepastian hukum;pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;pelaksanaan
penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah
6

khusus;penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik


negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan;pengawasan dan
pengendalian penguasaan pemilikan tanah;kerjasama dengan lembaga-lembaga
lain;penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan;pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;pengkajian
dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang
pertanahan;pengkajian dan pengembangan pertanahan;penelitian dan
pengembangan di bidang pertanahan;pendidikan, latihan dan pengembangan
sumber daya manusia di bidang pertanahan;pengelolaan data dan informasi di
bidang pertanahan;pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan
dengan bidang pertanahan;pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara
orang, dan badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku;fungsi lain di bidang pertanahan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di Indonesia sendiri kasus mengenai sengketa tanah semakin tahun


semakin bertambah. Pada tahun 2013 kasus mengenai sengketa tanah semakin
hari semakin banyak terjadi, tercatat di data Badan Pertanahan Nasional kasus
mengenai sengketa tanah adat sampai pada tahun 2013 sudah terjadi 4.000 jumlah
kasus dan 1.600 kasus atau 40% sudah diselesaikan, hal ini adalah sisa kasus dari
tahun 2012 yakni sebanyak 8.000 kasus. Kasus yang tercatat tersebut merupakan
jumlah keseluruhan kasus sengketa tanah yang pernah terjadi antara masyarakat
dengan masyarkat, masyarakat dengan pemerintah maupun antara masyarakat
dengan pihak swasta. Banyaknya kasus sengket tanah yang terjadi di Indonesia,
maka Badan Pertanahan Nasional membentuk 11 tim yang beranggotakan pakar
dan pihak yang berkompeten untuk melakukan pengumpulan data-data mengenai
daerah yang berpotensi bersengketa. Setelah mendapatkan informasi yang valid,
maka tim di atas akan menindak lanjuti hal tersebut, supaya dapat dikembalikan
kepada pihak yang benar.

Khusus di Provinsi Kalimantan Tengah kasus mengenai sengketa tanah


terdata di Polda Kalimantan Tengah ada 7 kasus yang terjadi baik bidang
7

perkebunan maupun kehutanan. Rinciannya masih banyak kasus perkebunan,


yaitu satu kasus perambahan hutan, dan enam lainnya sengketa tanah perkebunan.
Khusus ke Kota Palangkaraya kasus sengketa tanah yang terjadi pada tahun 2013
ada 29 kasus yang rinciannya 18 kasus terjadi antara masyarakat dengan
masyarakat itu sendiri, kemudian 4 kasus terjadi antara masyarakat dengan pihak
pemerintah dan 7 kasus sisanya antara masyarakat dengan swasta. Penyelesaian
sengketa tanah di Kota Palangkaraya melibatkan seorang Damang atau kepala
adat sebagai perwakilan Dewan Adat Dayak Kota Palangka Raya dalam
menyelesaikan sengketa tanah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. yang
melibatkan seorang warga Kota Palangkaraya yaitu Yohanes Arnold Pisy dengan
pihak lain.

Melalui hukum adat, suku dayak membentuk lembaga kedamangan


sebagai lembega penegak hukum adat sesuai dalam Peraturan Gubernur Pasal 4
Nomor 13 tahun 2009 di jelaskan mengenai beberapa fungsi dari fungsi
fungsionaris kedamangan tersebut yaitu membantu Pemerintah dalam bidang
pertanahan; mengurus dan mengatur tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah;
mengurus dan mengatur ketentuan dalam hukum adat, terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di wilayahnya, guna
kepentingan keperdataan adat, termasuk dalam hal adanya persengketaan atau
perkara adat; dan menjaga, memelihara dan menuntun masyarakat adat Dayak
untuk memanfaatkan tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah semaksimal
mungkin untuk kesejahteraan bersama. Selain itu juga di jelaskan bahwa
Wewenang Fungsionaris Kedamangan adalah :mengatur dan menetapkan
kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan pembagian tanah adat dan hak-hak
adat di atas tanah di wilayahnya. memberikan rekomendasi tertulis dalam hal
adanya pengalihan atau pelepasan tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah.

Dalam hal pengalihan atau pelepasan sebagaimana dimaksudpada


Peraturan Gubernur Pasal 4 Nomor 13 Tahun 2009 pada pasal 5 ayat huruf c
berupa Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, maka bagi pemegang Hak Guna Usaha
atau Hak Pakai jika sampai jangka waktunya, maka hak atas tanah adat tersebut
8

kembali kepada pemegang hak adat sebelumnya dan penggunaan selanjutnya


harus berdasarkan persetujuan baru. Memberikan sanksi berupa tidak diakuinya
kepemilikan secara adat, apabila ternyata tanah adat atau hak-hak adat di atas
tanah tersebut tidak diinventarisasi bahkan ditelantarkan berturut-turut selama 6
(enam) tahun terhitung sejak mulai berlakunya Peraturan Gubernur. Ini
mendorong masyarakat Adat Dayak setelah melakukan inventarisasi agar
dilanjutkan dengan mendaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut
ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Melalui Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah nomor 13 tahun 2009 tentang tanah adat dan hak-hak adat di
atas tanah di Provinsi Kalimantan Tengah dan Peraturan Daerah Kota
Palangkaraya Nomor 15 Tahun 2009 tentang kelembagaan adat daya maka secara
penuh ketika ada permasalahan mengenai masalah sosial termasuk tanah adat
maka yang berperan dan bertugas menyelesaikan masalah tersebut adalah damang
yang kemudian damang tersebut akan bertugas sesuai wilayahnya yang tersebar di
5 kecamatan di kota Palangkaraya.

Hal ini dikarenakan tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di
wilayah kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai
berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan
9 batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang
keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat. Berkaitan dengan permasalahan
tanah adat,banyak kasus yang kemudian di selesaikan oleh Damang Kepala Adat
karena dalam penyelesaian perkara mempunyai model yang sangat penting dan
strategis karena memberikan manfaat yang sangat besar tidak saja bagi para pihak
yang berperkara, melainkan juga sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dalam hal ini kasus sengket tanah adat yang terjadi di Kota Palangkaraya
pada tahun 2009 terjadi 10 kasus, pada tahun 2010 terjadi 15 kasus, pada tahun
2011 terjadi 8 kasus, pada tahun 2012 terjadi 10 kasus dan pada tahun 2013 terjadi
7 kasus. Diantara 50 kasus yang terjadi tersebut 45 kasusnya terjadi antara
masyarakat dengan masyarakat sendiri dan sisanya 5 kasus terjadi antara
masyarakat dengan pihak swasta. Berbagai faktor yang menyebabkan sengketa
9

tanah terjadi yaitu juga adanya Surat Kepemilikkan Tanah ( SKT ) yang tumpang
tindih dan juga kesadaran masyarakat adat sendiri yang mendaftarkan kepemilikan
tanahnya sehingga ketika ada pihak lain yang mengklaim bahwa tanah itu
miliknya, masyarakat baru protes dan mengadukan hal itu. Selain itu juga masih
banyak masyarakat yang belum bisa mengerti antara hak diatas tanh dan hak atas
tanah sehingga ketika mereka menghasilkan sesuatu dari sebidang tanah,maka
mereka mengklaim bahwa tanah itu milik mereka. Hal ini yang kemudian
menjadikan sering terjadinya sengketa tanah adat sesama masyarakat itu sendiri
maupun antara masyarakat dengan pihak swasta yang ingin mengelola tanah adat
tersebut. Prosedur penyelesaian perkara secara perdamaian adat sangat sederhana,
cepat, epektif, adil dan dengan biaya murah akan memberikan keuntungan
ekonomis bagi para pihak yang berperkara.

Penyelasaian perkara melalui Damang Kepala Adat, hasilnya lebih


mengedepankan perdamaian diantara para pihak yang berperkara, dan
memungkinkan tetap terpeliharanya hubungan-hubungan baik antara para pihak
dalam jangka panjang sehingga dapat membawa ketentraman tidak saja bagi para
pihak berselisih tetapi juga bagi keharmonisan hubungan dalam masyarakat secara
lebih luas. Hal inilah yang kemudian masyarakat memilih menyelesaiakan
sengketa tanah kepada seorang Damang, karena disisi lain bagi masyarakat
adanya lembaga ini berkaitan dengan nilai-nilai tradisional yang tumbuh dan
berkembang di kalangan masyakarat suku dayak. Kenyataan lain, menunjukan
bahwa masyarakat dayak memiliki identitas yang membuat orang Dayak dan
budayanya mampu bertahan dan tetap eksis, seperti adanya organisasi sosial
religius yang khas Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah yang disebut
dengan istilah kedamangan. Bagi masyarakat Dayak adanya lembaga ini berkaitan
erat dengan nilai-nilai tradisional yang tumbuh dan berkembang dikalangan
masyarakat suku Dayak.

Nilai tersebut terangkum dalam sebutan Belom Badat (hidup beradat)


sebagai suatu tatanan nilai berkenaan dengan hidup dan kehidupan yang sering
diperbincangkan dalam kaitannya dengan kehidupan modern.selain itu juga
10

filosofis Belom Bahadat (hidup beradat) merupakan konsep dan keharmonisan


hidup masyarakat dalam suasana kehidupan ideal dan harmonis menurut filosofis
Belom Bahadat adalah harmonis antara manusia dengan dewa,sangiang, dan roh
leluhur, kemudian harmonis antara manusia dan alam lingkungan dan juga
harmonis manusia dengan 11 sesamanya.

Sedangkan artinya yang paling mendasar dari lembaga kedemangan ini


adalah sebagai wadah interaksi sosial masyarakat dayak yang terpola dalam suatu
pola hubungan yang khas dari kehidupan masyarakat adat. Secara khusus warga
kedemangan diikat oleh tradisi adat yang membuat masyarakat Dayak sangat
sensitif terhadap hukum adatnya. Norma adat dijadikan pedoman untuk mengatur
kehidupan sosial masyarakat, siapapun yang melanggar ketentuan hukum adat
harus menghadapi peradilan adat yang disebut perakara. Putusan diambil oleh
para ketua adat yang berwibawa dengan mengacu hukum adat yang berlaku masih
dipraktekan sampai sekarang.
11

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu


penelitian, karena dengan perumusan masalah seorang peneliti telah
mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai
menjadi jelas. Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang dibahas dalam
makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peran Damang Kepala Adat dalam penyelasaian sengketa


tanah adat di Kota Palangkaraya ?
2. Kendala-kendala apa saja yang di hadapi Damang Kepala Adat dalam
penyelesaian sengketa tanah adat ?
12

BAB II

PEMBAHASAN

1. Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian


Sengketa Sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan bahwa
bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa adalah negosiasi, mediasi,
konsiliasi, dan arbiterase. Apabila kita baca rumusan Pasal 1 angka 10 dan
alenia ke sembilan dari Penjelasan Umum Undangundang Nomor 30
Tahun 1999, dikatakan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai
alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut
dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.
Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa
adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan
cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Menurut Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 pada
dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaiakan sendiri sengketa
yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian
tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui
oleh para pihak.
Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah
suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang
sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan
mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada
beberapa hal yang membedakan, yaitu: Pada negosiasi diberikan tenggang
waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan penyelesaian sengketa
tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan
diantara para pihak yang bersengketa. pertemuan langsung oleh dan
diantara para pihak yang bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa
13

negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa


yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat
dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun
setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
14

BAB III

ISI

1. Peran Otoritas
Seperti yang dikemukakan Dahrendrof yang menganalisis konflik dengan
mengidentifikasi berbagai peran otoritas dan kekuasaan dalam masyarakat. Ia
mendefinisikan kekuasaan : "Kemungkinan bahwa satu aktor dalam suatu
hubungan sosial akan berada dalam posisi melakukan perlawanan tanpa
melihat kemungkinan perlawanan itu menyerah" (Dahrendrof. 1959:166). Hal
ini terlihat pada otoritas yang dimiliki Bapak. Guyur sebagai Kepala Desa
Tumbang Marak yang memegang kekuasaan di desa tersebut dengan
menggerakkan masyarakat asli Desa Tumbang Marak untuk melakukan
perlawanan terhadap pihak Penampil. Dahrendorf mengatakan pertentangan
yang terjadi karena golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status
quo. Hal tersebut terlihat dimana Bapak.
Guyur selaku Kepala Desa Tumbang Marak bersama aparatur desa
Tumbang Marak dan melibatkan Mantir Desa Tumbang Marak
mempertahankan kepemilikan tanah adat Betang Sangkuwu adalah milik
masyarakat asli Desa Tumbang Marak selain karena cerita dari pembakas
Lewu tentang kepemilikan Betang Sangkuwu adalah milik nenek moyang
masyarakat asli Desa Tumbang Marak, juga karena lokasi berdirinya Betang
Sangkuwu berada di wilayah Desa Tumbang Marak. Dahrendorf melihat yang
terlibat konflik adalah kelompok semu (quasi group), yaitu para pemegang
kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama karena munculnya
kelompok kepentingan. Hal ini dilihat dari keterlibatan kepala desa sebagai
penggerak pihak kelompok masyarakat asli Desa Tumbang Marak dan
keterlibatan sekretaris desa dan mantir adat desa sebagai anggota pihak
kelompok masyarakat asli Desa Tumbang Marak dengan kepentingan yang
sama. Dahrendorf, adapun kelompok kedua adalah kelompok kepentingan yang
terdiri dari kelompok semu yang lebih luas.
15

Kelompok kepentingan ialah yang menjadi sumber nyata timbulnya


konflik dalam masyarakat. Hal ini dilihat bahwa konflik bermula dari
pengklaiman dan tuntutan pihak kelompok Penampil tentang kepemilikan
Betang Sangkuwu.
2. Konflik Laten

Kepentingan laten adalah tingkah laku potensil (―undercurrents


behavior‖) yang telah ditentukan bagi seseorang karena dia menduduki peranan
tertentu tetapi masih belum disadari. Artinya, tingkah laku potensil merupakan
tingkah laku yang dapat memunculkan konflik, namun tidak disadari. Hal ini
temukan bahwa konflik perebutan hak kepemilikan Betang Sangkuwu telah
mengarah kepada sikap saling curiga dan saling gunjing antar pihak berkonflik,
dan saling ancam antara kedua pihak berkonflik.

3. Konflik Manifest

Dalam konflik yang terjadi antar pihak kelompok Penampil dengan pihak
kelompok masyarakat asli Desa Tumbang Marak, terdapat konflik manifest yaitu
kepentingan-kepentingan yang terwujud kepermukaan dalam bentuk tujuan-tujuan
yang disadari, hal ini terwujud dalam bentuk saling tuntut mengajukan tuntutan
antar kedua pihak yang berkonflik tentang siapa yang berhak memiliki tanah adat
tersebut, seperti : Adanya pihak Penampil yang membuat laporan hak kepemilikan
tanah adat Betang Sangkuwu yang disampaikan kepada Damang Kecamatan
sehingga dilaksanakan upacar adat Dayak Hinting, serta adanya upayaupaya
pengumpulan bukti dari pihak kelompok masyarakat Desa Tumbang Marak baik
meminta dukungan dengan pembakas lewu terkait yang mengetahui asal usul
Betang Sangkuwu, dan juga adanya upaya pembuatan silsilah keturunan baik dari
pihak kelompok Penampil, ataupun pihak kelompok masyarakat asli Desa
Tumbang Marak. Serta upaya pengaduan ke kabupaten sehingga ditempuhnya
mediasi sekitar bulan Oktober 2014 yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah
Katingan melalui Tim Terpadu yang dibentuk berdasarkan SK dari Sekretaris
Daerah.
16

4. Faktor Penghambat Upaya Penyelesaian Sengketa

a). Sikap gengsi sosial budaya : nilai harga diri

Jadi terdapat sikap gengsi sosial budaya berupa nilai harga diri yang kuat
oleh pihak Penampil yaitu, antara lain : Sikap dimana tidak adanya keinginan
dari pihak Penampil untuk mundur dari konflik karena penggerak sudah
memobilisasi dan menjanjikan kepada anggotanya bahwa Betang Sangkuwu
adalah milik Desa Rantau Asem, serta janji mengenai per kepala keluarga akan
mendapatkan bagian masing-masing Rp 30.000.000,/KK (tiga puluh juta Rupiah
per kepala keluarga), sedangkan hasil Mediasi tidak memenuhi hal tersebut. Jadi,
hal itu yang membuat pihak kelompok Penampil yang saat ini di gandengi oknum
KCW enggan untuk mundur dari konflik dan akan mengangkat masalah ke ranah
hukum positif (pengadilan). Dengan kata lain terdapat nilai harga diri dari
penggerak kelompok tersebut guna mempertahankan tujuannya. Sikap dimana
adanya keinginan besar dari pihak Penampil dalam mempertahankan tanah adat
Betang Sangkuwu dijadikan sebagai situs budaya guna melestarikan peninggalan
nenek moyang mereka atas nama Temanggung Doho nenek moyang Desa Rantau
Asem, sedangkan hasil mediasi tidak mengeluarkan hasil tentang siapa yang
memiliki hak kepemilikan tanah adat Betang Sangkuwu. Hal ini terkait dengan
pihak Penampil yang telah mengakui dan memperjuangkan tujuannya bahwa
mereka adalah keturunan Temanggung Doho.

b). Kekerasan Langsung

Adapun digunakannya konsep kekerasan Johan Galtung dalam penelitian,


guna menjadi teori pendukung yang menjelaskan tentang konflik bersifat Laten
serta adanya hubungan antar kedua teori tersebut sama-sama merupakan teori
struktural. Dalam teori Dahrendorf yang peneliti identifikasi yaitu berupa saling
ancam merupakan salah satu bentuk konflik Laten, sedangkan hal tersebut dalam
konsep kekerasan Johan Galtung termasuk dalam kekerasan langsung. Bahwa
kekerasan langsung itu tidak hanya dengan kekerasan menimbulkan korban fisik,
tetapi juga ada kekerasan langsung dengan bentuk lain.
17

c). Kekerasan Kultural

Galtung menekankan makna kekerasan budaya yang ia maksud bukanlah


hendak menyebut kebudayaan sebagai keseluruhan sistemnya, namun aspek-aspek
dari kebudayaan itu.

5. Penyebab Konflik

a. Akar konflik

Pertama, keberadaan perusahaan. Dari temuan data bahwa sebelum


berdirinya perusahaan di sekitar tanah adat Betang Sangkuwu tidak pernah terjadi
konflik perebutan hak kepemilikan atas tanah adat Betang Sangkuwu. Kedua,
perbedaan versi cerita tentang kepemilikan tanah adat, pihak masyarakat asli
memiliki cerita bahwa kepemilikan tanah adat tersebut adalah milik Oko Apang
Beren yaitu nenek moyang masyarakat asli Desa tumbang Marak, sedangkan
pihak kelompok Penampil memiliki cerita bahwa tanah adat tersebut milik nenek
moyang mereka yaitu Temanggung Doho orang Desa Rantau Asem. Ketiga,
perbedaan tuntutan dimana pihak masyarakat asli desa menuntut agar dijadikan
situs budaya Betang Sangkuwu milik masyaakat Desa Tumbang Marak,
sedangkan pihak Penampil menuntut tanah adat Betang Sangkuwu di jadikan situs
budaya milik nenek moyang Desa Rantau Asem, dan meminta agar pihak
perusahaan membayar denda karena terpakai tanah adat Betang Sangkuwu.

b). Pemicu konflik

Pemicu konflik yang terjadi merujuk pada makna tanah menurut Fiona
Atkins, arti penting tanah itu pada hakikatnya muncul karena tanah mempunyai
apa yang dinamakan Fiona Atkins (1990) sebagai Rent.20 Mengingat tanah
tersebut merupakan tanah adat tempat untuk memuja Sang Pencipta (nilai
sakralbudaya) atau termasuk pada Rent Ricardian sehingga adanya tuntutan agar
Betang Sangkuwu dijadikan situs budaya. Tanah adat tersebut secara jelas
mengandung nilai ekonomi yaitu dengan adanya tuntutan pihak Penampil kepada
perusahaan untuk ganti rugi tanah terpakai seluas 10.000 Ha (sepuluh ribu Hektar)
18

sebesar Rp. 32 Miliyar (tiga puluh dua Miliyar rupiah). Sengketa tanah adat yang
terjadi tidak lepas dari apa yang disebut dengan Rent Sosial, dimana adanya upaya
mempertahankan kepemilikan tanah adat Betang Sangkuwu oleh masyarakat asli
Desa Tumbang Marak, guna memegang teguh peninggalan nenek moyang
mereka. Dalam hal tersebut terdapat sosial previlages atau harga diri sebagai
masyarakat asli Desa Tumbang Marak.
19

DAFTAR PUSTAKA

Jailan, M. Syahran. Ragam Penelitian Qualitative (Ethnografi,


Fenomenologi, Grounded Theory, dan Studi
Kasus).http://download.portalgaruda.org/article. php?article=25270
8&val=6813&title=Ragam%20P enelitian%20Qualitative %20(Eth
nografi,%20Fenomenologi,%20G rounded%20Theory,dan%20Stud i%20Kasus)7
/1/2015.

Narwoko, Dwi J. &Suyanto, Bagong.2004. Edisi Keempat. Sosiologi :


Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta : Kencana.

Widen, Kumpiyadi. http://kumpiadywiden.com/2013/ 01/23/potensi-konflik-


dalam-eraotonomi-daerah-di-kalimantantengah/ . 16/12/2014

Usop, Sidik. R. Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Terhadap


MasyarakatAdat.http://Www.Gcf taskforce.Org/Documents/May_ Aceh/Side_
Event_Presentations/ Sidik%20usop,%20kebijakan%2 0pemerintah%20provinsi
%20kali mantan%20tengah%20terhadap% 20masyarakat%20adat.Pdf16/12/ 2014

Anda mungkin juga menyukai