Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah atau wilayah merupakan unsur utama penting bangsa. Bagi bangsa

Indonesia dimana merupakan bangsa agraris ataiu negara berbentuk kepulauan, tanah

memilki posisi penting dalam rangka penyelenggaraan keberlangsungan hidup. 1


Dilain

sisi, bagi negara dan pembangunan, tanah adalah suatu kebutuhan dasar bagi

penyelenggaraan kehidupan bernegara dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) dan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan

rakyat. Karena kedudukan itu maka pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah dijamin perlindungannya dalam pemerintahan

Model Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu negara hukum yang bertujuan

dalam kesejahteraan umum sebagaimana tertuang dalam Undang- Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, tidak akan lepas dari sengketa hukum pertanahan yang

merupakan permasalahan mendasar dalam masyarakat, khususnya mengenai tanah.

Dalam bentuk negara seperti itu, pemerintah akan memasuki hampir seluruh elemen

kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik sebagai individu maupun sebagai

masyarakat. Warga negara harus selalu mau mempertahankan haknya, sedangkan

pemerintah juga harus melaksanakan keperluan tercapainya kesejahteraan dan

kemakmuran umum bagi seluruh lapisan warga Negara yang ada.

1
Maria S.W. Sumardjono Tanahh Dalam Pandangan Hak Ekonomi, Budaya dan sosial ( Kompas Jakarta,
2009) hlm.41

1
Tuntutan kehidupan daerah dapat terjadi sebagai satu kesatuan, menjaga

terselenggaranya kepentingan umum sangat penting. Hal ini dapat dipahami jika ada

aturan, ketetapan atau standariasi yang harus dilaksanakan daerah setempat. Karena

merupakan hak utama, hak istimewa atas kepemilikan ttanah sangat penting sebagai

indikasi kehadiran, kesempatan, hingga harga diri seseorang. 2Kemudian lagi, komitmen

untuk memastikan kepastian yang sah atas hak-hak istimewa tanah meskipun fakta

bahwa kebebasan ini tidak langsung dengan alasan bahwa mereka dibatasi oleh

kepentingan orang lain, wilayah setempat dan negara.

Dalam realita biasa, persoalan pertanahan muncul dan mampu dilakukan oleh

semua lapisan masyarakat. Perdebatan tanah adalah isu yang sering muncul dan selalu

menjadi kenyataan, seiring dengan pertambahan penduduk, peningkatan kemajuan, dan

meningkatnya perkumpulan untuk menjadikan tanah sebagai keperluan mendasar dalam

berbagai kepentingan. Persoalan tanah adalah hal yang sangat berbelit-belit dan sifatnya

sangat pelik, karena mencakup beragam aspek kehidupann manusia, baik itu sosial,

finansial, politik, mental, dll, sehingga dalam mengurus masalah pertanahan tidak hanya

harus fokus. pada perspektif yuridis namun di samping itu harus fokus pada bagian

kehidupan yang berbeda. orang lain agar masalah tidak menjadi persoalan yang nantinya

mempengaruhi ketergantungan masyarakatt.

Maraknya beragam persoalan pertanahan memperlihatkan pemanfaatan,

penguasaan, dan tanggung jawab di negara kita belum sistematis dan terkoordinasi.

Masih banyak peliputan tanah yang melibatkan beragam keperluan yang tak seperti yang

seharusnya.Selain itu data menunjukkan bahwasanya

2
Budi Harsono. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – undang Pokok Agraria, isi dan
pelaksanannya ( Djambatan : Jakarta,2003 ) hlm.24.

2
pemilikan dan penguasaan tanah masih tumpang tindih. Ada perkumpulan kecil yang

memiliki wilayah secara gelap dan selangit, dan ada pula perkumpulan besar yang hanya

memiliki lahan yang sangat terbatas. Kenyataannya, banyak yang tidak memiliki apa-apa,

sehingga mereka terpaksa hidup sebagai kultivator. Bukan tidak konsisten, dan bukan

sesuatu yang aneh, muncul tentang penguasaan oleh komponen-komponen tentunya

secara tunggal. Bisa dikata pertanyaan dalam hal tanah tidak pernah surut, bahkan

cenderung bertambah rumit dan jumlahnya seiring dengan unsur-unsur di bidang

keuangan, politik serta sosial.

Protes tentang persoalan tanah pada hakikatnya adalah keganjilan dalam

mempertanyakan realitas suatu regulasi yang berkaitan dengan pertanahan. Ini bisa

berupa barang-barang tanah, sejarah pengamanan tanah, kontrol, kepemilikan,

penggunaan dan penggunaan tanah, perolehan tanah, dan lain – lain.

Hampir semua bagian tanah dapat muncul sebagai sumber perdebatan tanah, seperti

salah menilai batas tanah atau salah memberikan warisan. Dengan cara ini, tanah harus

dikelola dan yayasan negara yang secara eksplisit terlibat dan disetujui dalam usaha tanah

atau tanah yang berurusan dengan masalah. Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang

Penyelenggaraan Pertanahan Umum, menegaskan landasan Badan Pertanahan Umum

(BPN) yang siap dengan mempertimbangkan tujuan dan bagian dari kerjasama daerah

untuk membantu bantuan pemerintah secara keseluruhan. Dengan tujuan agar BPN

berperan membantu dan melayani daerah dalam mendapatkan hak-hak istimewa atas

tanahnya, serta membantu daerah dengan memiliki pilihan untuk menelusuri

3
jawaban jika nantinya muncul suatu persoalan antara masyarakat mengenai hak- haknya

dalam pertanahan.

Segala masalah membutuhkan pengaturan total. Dalam hal persoalan di bidang

tanah mengingat keberadaannya, tanah memiliki hubungan yang sangat nyaman dengan

keberadaan dan kehidupan manusia, berbagai pengaturan dapat diambil untuk mengatasi

masalah pertanahan yang telah dikuasai dalam pedoman pendeta agraria. dan penataan

ruang/puncak organisasi pertanahan umum nomor 21 tahun ini. 2020 Tentang

penanganan dan penyelesaian perkara pertanahan. Dalam Pedoman Ulama Masalah

Agraria dan Penataan Ruang/Puncak Badan Pertanahan Umum Nomor 21 Tahun 2020

tentang Nomor

21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Perkara Pertanahan, telah

diarahkan bagaimana menentukan sengketa tanah baik non -gugatan dan penuntutan.

Tujuan pertanyaan, khususnya debat pertanahan, yang tentunya merupakan debat

lokal yang paling berbelit-belit, harus terlihat dari protes yang sering terjadi dalam

berbagai variasi kasus, serta “pengaturan saling menguntungkan” terakhir yang

merupakan keinginan masyarakat lokal. daerah yang membutuhkan bantuan orang luar

untuk membantu menyelesaikan perdebatan. menyelidiki tujuan debat elektif yang

berbeda.

Secara praktis, penyelesaian sengketa pertanahan sebagaimana diarahkan dalam

pedoman imam agraria dan penataan ruang/atas organisasi pertanahan umum nomor 21

tahun 2020 tentang pengurusan dan penyelesaian perkara pertanahan menunjukkan

kecenderungan yang dimiliki daerah setempat. mendapat tempat. Dalam perpanjangan

konvensional, BPN melalui aturan Perundang-undangan Nomorr 10 Tahun 2006 tentang

Kantor Pertanahann

4
Umum menempatkan Perwakilan Evaluasi dan Penanganan Masalah Pertanahan dan

Bentrokan di dalam desain hierarki BPN.

Pelaksanaan Khusus BPN telah memberikan Pedoman Khusus Penataan dan

Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Penetapan Pimpinan Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007. Sejalan dengan itu, selain layak

untuk digunakan, tujuan utama usaha dan elemen Organisasi Pertanahan Umum dapat

mengingat tujuan debat untuk sepanjang garis ini. Mengingat bahwa masyarakat

Indonesia populer untuk menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai

kesepakatan serta dalam perangkat hukum umum publik melalui eksekutif hukum,

dipercaya bahwa pemanfaatan Pedoman Imam Usaha Agraria dan penataan ruang/ Badan

Pertanahan Umum Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembinaan dan Penyelesaian Perkara

Pertanahan dapat ditambah sebagaimana mestinya oleh Pimpinan Negara. kantor

pertanahan untuk kota palopo.

Ilustrasi kasus yang terjadi pada batas tanah objek Deklarasi Kemerdekaan Hak

Milik Nomor 00971/Songka demi Sugeng yang ditunjukkan oleh adik perempuan Bakti

Aryanti memasuki wilayahnya; bahwa yang menjadi objek pertanyaan adalah tempat

dimana terdapat Perjanjian Hak Milik Nomor 00971/Kelurahan Songka, surat penetapan

Nomor 1407/Songka/2016 tanggal 5 Desember 2016 disimpan untuk kepentingan Sugeng

yang dibagikan mengingat Pengucapan Kepala Kantor Pertanahan Kota Palopo tanggal 1

Desember 2016 Nomor 318/HM/BPN 73.73/2016; bahwa objek perdebatan tersebut

kemudian disebutkan untuk diintervensi oleh Bakti Ariyanti melalui perantaranya, Yudi

Asrul, S.H. dihubungkan dengan pertanyaan batas; bahwa objek perdebatan pertama

adalah tanah yang dibeli oleh saudara Sugeng pada tahun 2016 ketika

5
objek daerah tersebut ditunjuk oleh Basri, salah satu penerima manfaat utama dari pemilik

tanah; bahwa tanah yang dibeli oleh Sugeng pada ayat (3) tersebut selanjutnya disebut-

sebut untuk memberikan wasiat melalui administrasi Akuntan Publik Risma Irma

Purnamasari, SH., M.Kn; itu saudara kandung Bakti Aryanti Tahun 20220 kemudian

merasakan keberatan atas luas objek tanah Sertifikat Hak Milik

Nomor.00971/Kelurahan.Songka, surat ukur Nomor.1407/Songka/2016 tanggal 05

Desember 2016 tercatat atas nama Sugeng yang diindikasikan terjadi perbedaan luas dan

masuk pada tanah yang dibelinya; bahwa terhadap permasalahan ini Bakti Aryanti

melalui kuasanya Yudi Asrul,S.H kemudian mengajukan permohonan Mediasi ke Kantor

Pertanahan Kota Palopo guna meminta Klarifikasi atas penerbitan Sertifikat Hak Milik

Nomor.0971/Songka atas nama Sugeng; Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik dari

uraian kasus diatas bahwa setelah dilakukan kajian maka terhadap permasalahan ini perlu

adanya tindak lanjut penyelesaian karena merupakan kategori kasus yang berada dalam

lingkup penanganan Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Kantor Pertanahan Kota Palopo dalam hal penerbitan Sertifikat Hak Milik

Nomor.0971/Songka atas nama Sugeng; bahwa dalam rangka penyelesaian kasus

sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2021 Perlu diadakan Mediasi guna penelitian

kasus lebih lanjut.

Dari Penjelasan kasus diatas maka kemudian akan menghasilkan dampak positif

bagi kedua belah pihak apabila suatu kasus dapat diselesaikan melalui jalur Mediasi.

Sehingga dengan uraian tersebut yang telah diterangkan di atas, maka penulis tertarik

untuk meneliti dan mengusulkannya dalam suatu skripsi dengan judul : “Tinjauan

Yuridis Penanganan dan Penyelesaian masalah

6
Sengketa Tanah di Kantor Pertanahan kota Palopo Berdasarkan Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

21 tahun 2020.”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Tahapan penanganan sengketa tanah di kantor Pertanahan kota Palopo

berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan tata ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional nomor 21 tahun 2020 ?

2. Bagaimana Tata cara penyelesaian Sengketa Tanah di Kantor Pertanahan Kota Palopo

berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan tata ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional nomor 21 tahun 2020 ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan dalam penelitian

ini yaitu :

1. Untuk mengetahui seperti apa tahapan penanganan sengketa tanah di kantor

Pertanahan kota Palopo berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan tata ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional nomor 21 tahun 2020.

2. Untuk mengetahui bagaiamana tata cara penyelesaian Sengketa Tanah di Kantor

Pertanahan Kota berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan tata ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional nomor 21 tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini ialah :

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat menjadi rujukan, sumbangan bagi ilmu

pengetahuan serta menjadi kajian studi ilmu hukum khususnya yang terkait

7
dengan upaya penanganan dan penyelesaian sengketa tanah dan pentingnya

menyelesaikan tanah yang bersengketa, baik secara alternatif maupun secara

peradilan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai tambahan wawasan

ilmu pengetahuan dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan

dengan penanganan dan penyelesaian sengketa tanah.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Tanah

2.1.1 Pengertian Tentang Tanah

Rujukan Kata Besar Bahasa Indonesia yang diedarkan oleh Dinas Diklat

Kebudayaan mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah lapisan

permukaan atau lapisan bumi yang ada di atasnya. 3Pengertian tanah menurut agronomi

geografi, tanah merupakan lapisan bebas permukaan dunia yang berada di lapisan atas.

Digunakan untuk mengembangkan tanaman, disebut tanah garapan, tanah karangan,

areal pertanian dan tanah manor. Sementara itu, apa yang digunakan untuk membangun

bangunan disebut tanah bangunan4

Tanah adalah lapisan bumi yang paling luar, yang dalam pemanfaatannya meliputi

bagian tubuh dunia di bawahnya dan bagian ruang di atasnya, dengan halangan dalam

pasal 4 hanya diperlukan untuk keuntungan yang langsung dikaitkan dengan pemanfaatan

tanah yang bersangkutan. dalam batas-batas sesuai Peraturan Dasar. Peraturan Agraria

(UUPA) dan pedoman lain yang lebih tinggi.5

Ungkapan "tanah" dapat dimaknai dengan implikasi yang berbeda, sehingga

pemanfaatannya harus dibatasi sehingga disadari dalam arti apa istilah tersebut

digunakan. Dalam peraturan pertanahan, istilah “tanah” digunakan dari

3
Muhammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Media Abadi,
Yogyakarta,2005,Hlm.24
4
Y.W Sunindhia, dan Ninik Widiyanti. Pembaharuan Hukum Agraria. Bina Aksara. Jakarta.,1988 Hlm.8
5
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.Jakarta: 2008. Hlm.262

9
segi yuridis, sebagai suatu pengertian yang secara formal telah dibedakan dengan

peraturan perundang-undangan.Pokok Agraria (UUPA).

Tanah adalah lapisan terluar bumi atau lapisan bumi yang berada di atas sekali.
6
Tanah dalam arti yang sah memainkan peran penting dalam keberadaan manusia karena

ia dapat menentukan keberadaan dan kesesuaian hubungan dan kegiatan yang sah, baik

mengenai orang maupun pengaruhnya terhadap orang lain. Tanah dalam perspektif

yuridis adalah lapisan terluar bumi, kebebasan tanah adalah hak istimewa atas bagian

tertentu dari permukaan dunia, yang dibatasi, memiliki dua aspek dengan panjang dan

lebar. 7Premis kepastian yang sah dalam penyusunan pedoman-pedoman yang sah sebagai

pelaksana dari Peraturan Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, memungkinkan individu-

individu yang terlibat secara dekat untuk dengan mudah memahami peraturan yang

bersangkutan dan para ahli serta komitmen-komitmen terkini di atas tanah yang mereka

miliki. Karena kebutuhan manusia akan tanah saat ini semakin berkembang.

Hal ini karena jumlah penduduk yang meningkat, sedangkan wilayah daratan tidak

bertambah. Peraturan Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pedoman Pokok Agraria (UUPA) dan

yang mengandung pengertian tanah adalah lapisan terluar bumi. Pasal 4 ayat (1)

menyatakan bahwa “berdasarkan hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, diputuskan bahwa ada berbagai macam kebebasan di permukaan dunia, yang

disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dimiliki oleh orang perseorangan, baik

sendiri atau bersama-sama dengan orang lain dan zat yang sah."

6
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2008,Kamus Besar Bahasa
Indonesia,Jakarta:Rajagrafindopersada.Hal.1433.
7
Effendiperangin,1994,Hukumagrariaindonesia,Suatutelaahdarisudutpandangpraktisihukum,Jakarta
,Rajagrafindo,Hal.17

1
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) masih dipandang sebagai batas peraturan

pertanahan umum, Peraturan Pokok Agraria (UUPA) mengatur hamper semua hak-hak

atas tanah sebagaimana diarahkan dalam pasal 16 dengan pengecualian hak istimewa

dewan. Meski demikian, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan

pemahaman yang tegas tentang peraturan pertanahan. Undang-undang Pokok Agraria

(UUPA) hanya memperhatikan arti penting pengaturan tanah sebagaimana diatur dalam

pengaturan Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan: berdasarkan hak menguasai negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diputuskan bahwa ada berbagai macam hak-hak

istimewa atas permukaan dunia, yang disebut tanah yang diberikan kepada dan dimiliki

oleh individu-individu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain

serta badan – badan hukum.8

Dalam perspektif John Salindeho, itulah yang dia ungkapkan: Tanah adalah objek

yang bernilai finansial dalam perspektif masyarakat Indonesia, dia juga orang yang sering

memberikan getaran dalam harmoni dan sering menyebabkan guncangan di arena publik,

kemudian, pada saat itu dia juga sering menyebabkan keterkejutan dalam pelaksanaan

perbaikan.9

Menurut Asuransi, tanah hanyalah satu bagian dari bumi. 10Pembatasan pengertian

tanah dengan lapisan bumi yang demikian itu diatur lebih lanjut dalam penjelasan Pasal-

pasal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat

II angka I bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah tanah. lapisan luar bumi.

8 Zaman,Nurus,2016,Politik Hukum Pengadaan Tanah Antara Kepentingan Umum dan Perlindungan Hak
Asasi Manusia, Madura: Refika Aditama, Hlm.2.
9 John Salindeho,1993,Masalah Tanah Dalam Pembangunan,Cetakan Kedua,Jakarta:
SinarGrafika,Hlm.23
10 A.P Perlindungan,1990,Konversi Hak-Hak Atas Tanah,Bandung: Mandar Maju,Hlm.90

1
Pengaturan pertanahan menunjukkan hubungan sinergis antara bagian- bagian

pengaturan yang berbeda tentang hubungan pertanahan. Hal ini tergantung pada

bagaimana setiap aktivitas individu (korpus) di darat yang sah akan terus-menerus

dikaitkan secara konsisten dan memasukkan bagian-bagian yang sah yang diarahkan oleh

pedoman di berbagai bagian regulasi seperti organisasi negara, administrasi, kriminal,

pertukaran, tuduhan, perbankan, militer, dan, yang mengejutkan, regulasi

Internasional.11

Van Vollenhoven juga mengemukakan hubungan sinergis antara bagian- bagian

regulasi yang berbeda ketika ia melahirkan istilah 'beschikkingsrecht' untuk memahami

hipotesis regulasi pertanahan standar Indonesia. Van Vollenhoven menyebut hipotesis

regulasi pertanahan 'beschikkingsrecht' sebagai "regulasi unggulan di darat untuk seluruh

kepulauan Indonesia". Hak ini karena hipotesa peraturan pertanahan Indonesia yang baku

menghubungkan hubungan sinergis antara peraturan bersama dan kekuatan kelompok

penduduk asli atas tanah, yang tidak sama dengan hubungan sinergis antara peraturan

bersama dan ketatanegaraan Belanda12.

Sebagai aturan umum, Herman Soesangobeng merencanakan pengaturan tanah

sebagai: “berbagai pedoman yang mengarahkan hubungan sinergis dari berbagai bagian

pengaturan dan status yang sah dari kesetaraan sosial individu atas tanah sebagai barang

tahan lama, yang dikendalikan untuk diklaim. atau digunakan dan hasilnya dinikmati oleh

orang-orang, baik secara pribadi maupun secara bersama.13

11
Herman Soesangobeng,2012,Filosofi,Asas,Ajaran,TeoriHukumPertanahan ,
danAgraria,Yogyakarta:STPNPrees,Hlm.12
12
Ibid, Hlm. 5-6
13
Ibid,Hlm.7

1
Sebagian dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan

tanah adalah bagian dari permukaan dunia termasuk tubuh bumi di bawahnya serta yang

terendam yang secara langsung dibatasi oleh negara atau diklaim dengan hak-hak

istimewa oleh negara. orang atau zat yang sah.

2.1.2 Pengertian Hak-hak Atas Tanah

Hak terhadap tanah adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang

yang memiliki hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.14Apabila melihat ketentuan

Pasal 16 jo. Pasal 53 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok

Agraria), maka macam-macam hak atas tanah dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :

Hak terhadap tanah artinya hak yang menyampaikan wewenang pada seorang yang

mempunyai hak buat mempergunakan atau merogoh manfaat atas tanah tadi. Hak atas

tanah tidak sama menggunakan hak penggunaan atas tanah. apabila melihat ketentuan

Pasal 16 jo. Pasal 53 Undang-Undang angka 5 Tahun 1960 (Undang-Undang utama

Agraria), maka macam-macam hak atas tanah bisa dibagi menjadi tiga (3), yaitu :

1. Hak atas tanah yang bersifat permanen, yaitu hak-hak atas tanah yg akan permanen

terdapat selama Undang-Undang PokokiAgraria (UUPA) masih berlaku. Macam-

macam hak atas tanah yg masuk pada kelompok ini yaitu Hak Milik, Hak Guna

perjuangan, Hak Guna Bangunan, Hak pakai, Hak Sewa buat Bangunan, Hak

Membuka Tanah, dan Hak Memungut yang akan terjadi Hutan.

14
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Djambatan,200) hlm. 330.

1
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan menggunakan undang-undang, maksudnya

adalah hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan menggunakan

undang-undang. Hak atas tanah yg disebutkan dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 Undang-

Undang pokok Agraria (UUPA) tidak bersifat limitatif, merupakan, pada samping hak-

hak atas tanah yg disebutkan pada Undang-Undang pokok Agraria (UUPA), kelak

masih dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yg diatur secara khusus

menggunakan undang- undang3.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu Hak atas tanah yang sifatnya

sementara, dalam waktu singkat diusahakan akan dihapus sebab mengandung sifat-

sifat pemerasan, feodal, dan yang tidak sesuai dengan jiwa atau asas-asas Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA). Macam- macam hak atas tanah yang bersifat

sementara ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian

Bagi Hasil),Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.15

2.2 Dasar Hukum Hak Atas Tanah

Hak atas tanah diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak

milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka

tanah dan hak memungut hasil hutan serta hak-hak lain yang bersifat sementara

yang diatur dalam pasal 53 yakni hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak

menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.Berikut ini adalah pengertian hak-hak

atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA):

15
Chulaemi Ahmad, Hukum Agraria, Perkembangan, Macam-macam Hak atas Tanah, Semarang : FH UNDIP,
l993.

1
A. Pengertian Hak Milik

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuhi yang dapat

dipunyai oleh orang atas tanah, dengan sifat mengingat ketentuan Pasal 6 (berfungsi

sosial). Hak milik dapat beralihdan dialihkan (Pasal 20). Dalam Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA), hak milik atas tanah diatur pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 27

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

B. Pengertian Hak Usaha

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung

oleh negara dalam jangka waktu yang ditentukan guna untuk perusahaan pertanian,

perikanan dan peternakan. Hak guna usaha di atur pada Pasal 28-34 Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) Jo. Pasal 2 sampai 18 Peraturan Pemerintah Nomor 40

Tahun1996.16

C. Pengertiann Hak Guna Bangunan.

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di

atas tanah yang bukan miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat

diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria). Hak guna bangunan

diatur dalam Pasal 35 sampai 40 Undang-Undang Pokok Agraria jo. Pasal 19 sampai 38

Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 1996.

D. Pengertian Hak Pakai.

Hak pakai adalah hak untuk memakai dan/atau memungut hasil dari tanah yang

dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain dalamn jangka waktu yang

tidak tertentu (Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria).

E. Pengertian Hak Sewa.

16 Umar Said Sugiarto, 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.


1
Hak sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk

keperluan bangunan dengan membayar sewa kepada pemiliknya (Pasal 44 Undang-

Undang Pokok Agraria).

F. Pengertian Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan

Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan adalah hak yang berasal dari

hukum adat sehubungan dengan adanya hak ulayat.Hak membukatanah dan memungut

hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia yang diatur dengan

Peraturan Pemerintah ( Pasal 46 Undang-Undang Pokok Agraria).

G. Hak-hak yang bersifat sementara

Hak-hak yang bersifat sementara adalah hak-hak atas tanah yang diatur pada

Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria. Hak atas tanah yang bersifat sementara ini

adalah hak yang sangat merugikan pemilik tanah gadai dan penggarap tanah.

Berikut ini adalah macam-macam hak atas tanah yang bersifat sementara:

1. Hak gadai adalah hak gadai tanah pertanian merupakan pengertian “jual gadai” tanah

yang berasal dari hukum adat.

2. Jual gadai adalah penyerahan sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain

dengan membayar uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa tanah akan

dikembalikan pekan agar hak-hak ini dihapuskan dari hukum pertanahan atau hukum

agraria nasional.17

2.3 Tinjauan Tentang Sengketa Tanah

2.3.1 Pengertian Sengketa Tanah

17
Umar Said Sugiarto, 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.

1
Sengketa adalah pertentangan, perselisihan, atau percekcokan yang terjadiantara

pihak yang satu dengan pihak lainya dan atau antara pihak yang satu dengan

berbagai pihak yang berkaitan dengan sesuatu yang bernilai, baik itu berupa uang

maupun benda.18

Istilah sengketa berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu dispute. Sedangkan

dalam bahasa belanda disebut dengan istilah geding atau process. Sementara itu,

penggunaan istilah sengketa itu sendiri belum ada kesatuan pandangan dari para ahli.

Ada ahli yang menggunakan istilah sengketa, dan ada juga yang menggunakan istilah

konflik. Kedua istilah itu sering kali digunakan oleh para ahli.

Berikut ini beberapa pandangan Ahli yang menggunakan Istilah sengketa dan

istilah konflik :

1. Richard L. Abel menggunakan istilah sengketa, yaitu melihat dari aspek

ketidakcocokan atau ketidaksesuain para pihak tentang sesuatu yang bernilai.

Sesuatu yang bernilai dimaknakan sebagai suatu yang mempunyai harga atau

nilai.

2. Daen G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin menggunakan istilah konflik, yaitu melihat dari

perbedaan kepentingan atau tidak dicapainya kesepakatan para pihak. Yang

diartikan dengan perbedaan kepentingan adalah berlainannya keperluan atau

kebutuhan dari masing-masing pihak.19

3. Priyatna Abdulrasyid mengemukakan bahwa dalam setiap sengketa, salah satu pihak

mungkin merupakan pihak yang benar, juga kemungkinan memiliki elemen hak

hukum satu pihak mungkin benar dalam satu masalah dan pihak lain benar

dalam masalahnya lainnya, atau kedua

18
Salim, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Di Indonesia, Mataram: Pustaka Reka Cipta, 2012,
hlm. 221.
19
Salim, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Di Indonesia, hlm. 219

1
tuntutan pada dasarnya bermanfaat untuk keduanya, atau salah satu pihak

mungkin benar secara hukum namun pihak lainya benar secara moral. Oleh

karena itulah sengketa

pada dasarnya merupakan perbedaan mendasar menyangkut suatu persepsi atau

konsep yang membuat kedua pihak benar jika ditinjau dari sudut yang berbeda.20

2.3.2 Jenis – Jenis Sengketa Tanah

Permasalahan tanah sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang

kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan secara komprehensif.

Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan

administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tetapi

kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan

terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia. Persoalan tanah juga

masuk ke persoalan hukum pidana yakni persengketaan tanah yang disertai dengan

pelanggaran hukum pidana (tindak pidana).21

Adapun jenis-jenis atau perkara sengketa pertanahan yaitu:

1. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai, atau pendapat,

kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau

belum dilekati hak (tanah negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak

tertentu.

2. Sengketa batas, yaitu perbedaan, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan

luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah

20
Priyatna Abdulrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Fikahati Aneska, 2002, hlm.
6.
21
Robert L. Weku, Kajian Terhadap Tanah Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana dan Hukum Perdata,
Jurnal Penyerobotan Tanah, portalgaruda.org., 1 Desember 2017.

1
ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang

masih dalam proses penetapan batas.

3. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan

mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.

4. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentinganmengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari

jualbeli kepada lebih dari 1 orang.

5. Sertifikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentinganmengenai

suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat atas haktanah lebih.

6. Sertifikat pengganti, yaitu suatu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan

mengenai suatu bidang tanah tertentu yang telah diterbitkansertipikat hak terhadap

atas tanah pengganti;

7. Akta jual beli palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,kepentingan

mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.

8. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan

mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yangtelah

ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan

penunjukan batas yang salah.

9. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas

dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya

tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.

1
10. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan

mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak

atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.22

2.4 Tinjauan tentang BPN (Badan Pertanahan Nasional)

2.4.1 Pengertian Badan Pertanahan Nasional

Badan Pertanahan Nasional atau biasa disingkat dan disebut dengan BPN adalah

Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Presiden dan dipimpin oleh kepala, ini sesuai dengan Peraturan presiden

Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan pengertian dari

Kantor pertanahan adalah suatu instansi vertikal dari Badan Pertanahan Nasional di

kabupaten atau kota yang bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional

melalui Kantor Wilayah BPN Propinsi.

Badan Pertanahan Nasional terdiri dari :

1. Kepala;

2. Sekretariat Utama;

3. Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan;

4. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah;

5. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan;

6. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat;

7. Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan

Konflik Pertanahan;

8. Inspektorat Utama (Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang

22
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Penanganan Kasus Pertanahan,
http://www.bpn.go.id., 1 Januari 2017.

2
Badan Pertanahan Nasional).

BPN (Badan Pertanahan Nasional) dalam suatupembentukannya memiliki visi

ataupun misi yang diamanahkan dalam pelaksanaan maupun penyelenggaraanya. Visi

dari Badann Pertanahan Nasional Adalah “Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan

tanah dan pertanahan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan

keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik

Indonesia”.

Sedangkan misi dalam pelaksanaan tugas oleh BPN (Badan Pertanahan

Nasional) adalah :

1. Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber–sumber baru kemakmuran

rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan

ketahanan pangan;

2. Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat

dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

(P4T);

3. Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi

berbagai sengketa, konflik dan seluruh perkara pertanahan di seluruh tanah air dan

penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak

melahirkan sengketa, konflik dan perkara dikemudian hari;

4. Berkelanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan

memberikan akses seluas – luasnya pada generasi yang akan datang terhadap

tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat;

5. Menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat,prinsip

2
dan aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan aspirasi

masyarakat secara luas.

Sesuai dengan pengertian dari Kantor Pertanahan sendiri dalam Peeraturan Kepala

Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan bahwa Kantor

pertanahan merupakan instansi yang meliputi di bawah Badan Pertanahan Nasional, maka

Kantor Pertanahan yang bertanggung jawab kepada Badan Pertanahan Kabupaten / kota

yang bersangkutan. Kantor Pertanahan dipimpin oleh seorang kepala.

2.4.2 Sejarah Perkembangan Badan Pertanahan Nasional

Badan Pertanahan Nasional bermula dari zaman pemerintahan colonial Belanda

sampai sekarang. Saat sebelum kemerdekaan landasan hokum pertanahan menggunakan

peraturan Pemerintahan Belanda. Namun pada pasca proklamasi kemerdekaan

pemerintah Indonesia bertekad membenahi dan menyempurnakan pengelolaan

pertanahan.Setelah kemerdekaan, landasan hukum pertanahan yang masih

menggunakan produk hukum warisan pemerintahan Belanda mulai diganti. Melalui

Departemen Dalam Negeri pemerintah mempersiapkan landasan hukum pertanahan

yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tahun 1948 - 1951, pemerintah membentuk pada tahun 1948 Panitia

Agraria Yogyakarta berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948.Tiga

tahun kemudian terbit Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 yang membentuk

Agraria Jakarta dan sekaligus membubarkan Panitia Agraria Yogyakarta. Pembentukan

Panitia Agraria itu sebagai upaya mempersiapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan

yang sesuai dengan

2
kepribadian bangsa Indonesia.

Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955 pemerintah

membentuk Kementrian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari Departemen

Dalam Negeri. Pada 1956 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956

maka dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang sekaligus

membubarkan Panitia Agraria Jakarta. Tugas Panitia Negara Urusan Agraria ini antara

lain adalah mempersiapkan proses penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA).

Pada tahun 1957 - 1958, tepat pada 1 Juni 1957 Panitia Negara Jakarta selesai

menyusun Rancangan Undang - Undang Pokok Agraria. Pada saat yang sama,

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1957, jawatan pendaftaran tanah

yang semula berada di Kementrian Kehakiman dialihkan ke Kementrian Agraria tahun

1958 yang berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1958 dan Panitia

Urusan Agraria dibubarkan. Pada 24 April 1958 Rancangan Undang - Undang Agraria

Nasional diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Titik tolak reformasi hokum Pertanahan Nasional terjadi pada 24 September 1960.

Pada saat itu Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria disetujui menjadi Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960. Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria tersebut,

untuk pertama kali pengaturan tanah di Indonesia menggunakan produk hukum

nasional yang bersumber dari hukum adat. Tahun 1960 ini menandai lahirnya

Undang – Undang Pokok Agraria di Indonesia.

Pada tahun 1964 - 1986 terjadi banyak perubahan di Badan Pertanahan

Nasional. Pada tahun 1964 melalui Peraturan Menteri Agraria

2
Nomor 1 Tahun 1964, ditetapkan tugas, susunan, dan pimpinan Dapertemen

Agraria. Peraturan tersebut nantinya disempurnakan dengan Peraturan Mentri Agraria

Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang

mengurai tugas Dapertemen Agraria serta menambahkan Direktorat Transmigrasi dan

Kehutanan dalam organisasi. Pada periode ini terjadi penggabungan antara Kantor

Inspeksi Agraria- Dapertemen Dalam Negeri, Direktor Tata Bumi–Dapertemen Pertanian

,dan Kantor Pendaftaran Tanah –Dapertemen Kehakiman. Pada tahun 1965 agraria

dipisah dan dijadikan sebagai lembaga yang terpisah dari naungan Menteri Pertanian dan

pada saat itu Menteri Agraria pada saat itu dipimpin oleh R.Hermanses,S.H.

Pada tahun 1986 secara kelembagaan mengalami perubahan pada saat itu

dimasukkan dalam bagian Departemen Dalam Negeri dengan nama Direktoral Jenderal

Agraria. Pada tahun 1988-1990 mengalami perubahan lembaga yang menangani Urusan

Agraria dipisah dari Departemen Dalam Negeri dan dibentuk menjadi Lembaga Non

Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional dengan terbitnya Keputusan

Presiden Nomor

26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan Nasional. Tahun tersebut Badan

Pertanahan Nasional dipimpin oleh Mentri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.

Namun pada tahun 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993 tugas

kepala Badan Pertanahan Nasional kini dirangkap oleh Menteri Negara Agraria.

Kedua lembaga dipimpin oleh satu orang sebagai Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional.

Pelaksana tugasnya, Kantor Menteri Negara Agraria berkonsentrasi

2
merumuskan kebijakan yang bersifat koordinasi sedangkan Badan Pertanahan

Nasional lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat operasional. Pada tahun 1999

terbit Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999 Tentang Perubahan Keputusan

Presiden Nomor 26 Tahun 1988. Kepala Badan Pertanahan dirangkap oleh Menteri

Dalam Negeri. Pelaksana pengelolaan pertanahan sehari-harinya dilaksanakan Wakil

Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Tahun 2000 sampai sekarang Badan Pertanahan Nasional beberapa kali

mengalami perubahan struktur organisasi. Namun tidak hanya mengalami perubahan

struktur organisasi saja tugas dan fungsi juga berubah. Pada tahun 2015 Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia berubah menjadi Kementrian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun

2015 Tentang Kementrian Agraria yang Berfungsi Tata Ruang dan Peraturan Presiden

Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional yang ditetapkan pada 21

Januari 2015.

2.4.3 Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional

Pasal 2 Peraturan Presiden nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional menerangkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas untuk

melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan secara nasional, regional dan

sektoral. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan

Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;

2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;

2
3. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;

4. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;

5. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang

pertanahan;

6. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;

7. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;

8. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan

wilayah-wilayah khusus;

9. Penyiapan administrasi atas tanah yang telah dikuasai dan/atau milik

negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;

10. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;

11. Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;

12. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan

13. program di bidang pertanahan;

14. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

15. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang

pertanahan;

16. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;

17. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

18. Pendidikan,latihan dan pengembangan sumber daya manusia dalam bidang

pertanahan;

19. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;

20. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;

21. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau

2
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

22. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Semua unsur di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dalam melaksanakan

tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam

lingkungan Badan Pertanahan Nasional sendiri maupun dalam hubungan antar instansi

pemerintah baik pusat maupun daerah. Tertera dalam Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor

4 Tahun 2006 tentang lembaga instansi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan mempunyai tugas

melaksanakan sebagian tugas dari Badan Partanahan Nasional di Kabupaten / Kota yang

bersangkutan. Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

30, Kantor pertanahan mempunyai fungsi:

1. Penyusunan rencana, program, penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas

pertanahan;

2. Pelayanan, perijinan, serta rekomendasi dalam bidang pertanahan;

3. Pelaksanaan survei,pengukuran, pemetaan dasar,pengukuran,dan pemetaan

4. Bidang, pembukuan tanah, pemetaan tematik, dan survei potensi tanah;

5. Pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah, dan penataan

pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan, dan wilayah tertentu;

6. Pengusulan dan pelaksanaan penetapan hak tanah, pendaftaran hak

2
tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi tanah aset pemerintah;

7. Pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan

tanah kritis, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;

8. Penanganan konflik, sengketa, dan perkara pertanahan;

9. Pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;

10. Pengelolaan Sistem Informasi dalam Manajemen Pertanahan Nasional

(SIMTANAS);

11. Pemberian penerangan serta informasi Pertanahan kepada masyarakat, pemerintah

dan swasta;

12. Pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;

13. Pengkoordinasian pengembangan sumber daya manusia pertanahan;

14. Pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana serta prasarana,

perundang-undangan serta pelayanan pertanahan.

2.5 Bentuk PenyelesaianSengketa

2.5.1 Litigasi

Pada prinsipnya, proses penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ditempuh

melalui badan peradilan. Menurut Usman penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi

merupakan cerminan dari doktrin trias politica dimana badan-badan peradilan diberi

wewenang dan memegang otoritas mengadili suatu sengketa.Setiap proses penyelesaian

sengketa melalui jalur litigasi, para pihak yang terlibat dalam sengketa harus

menempuh prosedur yang telah ditetapakan dalam hukum acara (due toprocess).

2
Sengketa perdata yang terjadi antara dua pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak

tergugat yang bersengketa. Barang siapa yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh

orang lain, maka yang bersangkutan apabila menghendaki penyelesaian melalui

pengadilan, menurut pasal 118 HIR/Pasal 142 RBG harus mengajukan gugatan dengan

permohonan agar pengadian memanggil kedua belah pihak untuk menghadap dimuka

sidang pengadilan untuk diperiksa sengketanyaatas dasar gugatan tersebut.23

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu polapenyelesaian

sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, dimana dalam penyelesaian

sengketa itu diselesaiakan oleh pengadilan. Penyelesaian melalui litigasi tidak hanya

menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu, yaitu menjamin suatu bentuk ketertiban

umum, yang tertuang dalam undang-undangsecara eksplisit maupun implisit.24

Sengketa perdata yang terjadi antara dua pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak

tergugat yang bersengketa. Barang siapa yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh

orang lain, maka yang bersangkutan apabila menghendaki penyelesaian melalui

pengadilan, menurut pasal 118 HIR/Pasal

142 RBG harus mengajukan gugatan dengan permohonan agar pengadian memanggil

kedua belah pihak untuk menghadap dimuka sidang pengadilan untuk diperiksa

sengketanya atas dasar gugatan tersebut.

Prosedur formal dan tahapan prosedur sebagaimana diatur dalam hukum acara

ternyata menimbulkan ketidakpuasan para pencari keadilan, pemeriksaan perkara

dilembaga peradilan ternyata memerlukan biaya yang tinggi serta membutuhkan waktu

relative lama.Selain itu,pemeriksaan perkara

23
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta, Liberty, 2006, hlm. 113.
24
Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Dalam Seri Dasar Hukum.

2
melalui jalur litigasi mengakibatkan adanya pemenang dan pecundang, tidak ada

tawaran solusi win-win solution. Ketidakpercayaan para pencari keadilan terhadap jalur

litigasi kemudian diperparah dengan maraknya praktik mafia peradilan di indonesia.

Beranjak dari realitas tersebut, para pencari keadilan mulia berfikir untuk menggunakan

alternatif penyelesaian sengketa diluar jalur litigasi (alternative dispute

resolution).

2.5.2 Non-ligitasi

Non litigasi atau alternative disputere solution adalah sengeketa di luar

mekanisme badan peradilan. Lazimnya, penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi

dapat melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan

arbitrase.

1. konsultasi

Konsultasisebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa. Peran

dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa tidaklah dominan

sekali, konsultan hanya memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh

kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut

akan diambil oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultasi juga diberi

kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki

oleh para pihak yang bersengketa.25

2. Negosiasi

Dalam bahasa sehari - hari kata negosiasi seringkali dipadankan denganistilah

“berunding”, “bermusyawarah”, atau “bermufakat”. Menurut Goodfaster (2014:44),

negosiasi merupakan proses upaya untuk mencapai

25
Nia Kurniati, Hukum Agraria Sengketa Pertanahanpenyelesaian Melalui Arbitrase Dalam Teori Dan
Praktik, Bandung: Refika Aditama, 2016, hlm. 186.

3
kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan

beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa, sebagaimana manusia itu sendiri.

Negosiasi tidak harus menghasilkan kesepakatan dan bisa saja mengalami

kebuntuhan. Hal ini bisa terjadi disebabkan masing- masing pihak tetap bertahanpada

posisi tawarannya dan bersikap saling kompetitif. Tindakan ini dilakukakan dalam rangka

mempertahankan kepentingan, hak-hak, dan status kekuasaan yang dimiliki para pihak.

Ketiga hal ini merupakan faktor penentu berhasil tidaknya para negosiator mencapai

titik temu sebagai akhir dari proses negosiasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjelaskan arti negosiasi sebagai

berikut;

a. Proses tawar menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan

bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau

organisasi) yang lain.

b. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang

bersengketa.26

Dalam kaitannya dengan negosiasi, rumusan yang diberikan dalam pasal 6 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan; ’penyelesaian sengketa atau beda pendapat

melalui alternative penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14

hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.27

26
Departemen Pendidikan Nasional Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, 3003.
27
Nia Kurniati,H Ukum Agraria Sengketa Pertanahan Penyelesaian Melalui Abitrase Dalam Teori
Dan Praktik, Bandung: Refika Aditama, 2016, hlm.187-190.

3
3. Mediasi

Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediator”, yang artinya penyelesaian

sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah. Orang yang menengahinya

dinamakan dengan dengan mediator. Menurut Goodfaster mediasi adalah proses

negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral

bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh

kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.

Berbeda dengan hakim, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan

sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini, para pihak mengusakan kepada

mediator untuk membantu mereka menyelesaiakan persolan-persoalan diantara mereka.

asumsinya, pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika social hubungan

konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak,

dengan memberi pengetahuan atau informasi atau dengan menggunakan proses negosiasi

yang lebih efektif, dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan yang dipersengketakan.28

4. Konsiliasi

Kata konsiliasi conciliation (dalam bahasa inggris) berarti perdamaian dalam

bahasa Indonesia. Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun

mediasi, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa tidak memberikan suatu rumusan secara eksplisit atas pengertian

atau definisi dari konsiliasi ini. Bahkan tidak dapat

28
Syahril Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Adat, Hukum
Nasional, Bandung: Kencana Prenada Media Group,2016, hlm. 190-192.

3
temui satu ketentuan pun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur mengenai konsiliasi.

Kata konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternative penyelesaian sengketa dapat

ditemukan dalam ketentuan pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 penjelasan umum

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, menyebutkan: Alternatifpenyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian

sengketa ataubeda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu

penyelesaian diluarpengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,

atau penilaian ahli dan arbitrase.

5. Penilaian Ahli

Istilah “penilaian ahli” dikenal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketasebagai bagian dari

alternatif penyelesaian sengketa, dan bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk

kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan

pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam perjanjian pokok,

melainkan juga dapat memberi konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat

hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya tidak terbatas pada

para pihak dalam perjanjian.29

Pemberian pendapat hukum tersebut diberikan atas nama permintaan dari para

pihak secara bersama-sama dengan melalui mekanisme, sebagaimana halnya suatu

penunjukkan (lembaga) arbitrase dalam

29
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Alternative Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Pt Raja Garindo, 2001,
hlm. 96.

3
menyelesaikan suatu perbedaan pendapat atau perselisihan paham maupun sengketa yang

ada, atau lahir dari suatu perjanjian, maka pendapat hukum ini pun bersifat akhir

(final) bagi para pihak yang meminta pendapatnya pada lembaga arbitrase

termaksud. Hal ini ditegaskan kembali dalam rumusan pasal 52 Undang -Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Tidak

dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Jika memperhatikan

sifat pendapat hukum yang diberikan, yang secara hukum mengikat dan merupakan

pendapat pada tingkat akhir, dapat dikemukakan bahwasebenarnya sifat pendapat

hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau

bentuk putusan lembaga arbitrase.30

6. Arbitrase

Didalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pengertian arbitrase adalah cara

penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan pengertian didalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanya perkara perdata saja yang dapat

diselesaikan dan diputuskan oleh lembaga arbitrase.

Perjanjian arbitrase sebagaimana dimakasud dalam undangundang adalah suatu

kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis

yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa

30
Nia Kurniati, Hukum Agrarian Sengketa Pertanahan Penyelesaian Melalaui Arbitrase Dalam Teori Dan
Praktik, Bandung: Refika Aditama, 2016, hlm. 199-200.

3
atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa. Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah dilibatkannya

litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. sifat pribadi dari arbitrase memberikan

keuntungan-keuntungan melebihi adjudikasi melalui pengadilan negeri. Didalam

arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaiakan sengketanya kepada pihak netral

yang mereka pilih untuk membuat keputusan.

Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan,

berbeda dengan sistem pengadilan yang telah menetapkan hakim yang akan berperan.

Hak ini dapat menjamin kenetralan dan keahlian yang mereaka anggap perlu dalam

sengketa mereka. Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandingkan dengan

adjudikasi public karena para pihak secara efektif memilih hakim mereka. Mereka tidak

perlu antri menunggu pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan. pada sebagian

besar yurisdiksi, hal tersebut betul-betul merupakan suatu penantian yang panjang.

Arbitrase juga cenderung lebih informal dibandingkan adjukasi publik, prosedurnya

tidak begitu dan lebih dapat menyesuaikan. Karna arbitrase tidak sering mengalami

penundaan dan prosedur pada umumnya lebih sederhana, arbitrase mengurangi

biaya-biaya dengan adjudikasi publik.31

Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Arbitrase
31

Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,1995, hlm. 8.

3
2.6 Kerangka Fikir

Tinjauan Yuridis Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Tanah di


Kantor Pertanahan kota Palopo Berdasarkan
Peraturann Menteria Agrarias dan Tata Ruang/Kepala Badan
PeraturanMenteriAgraria &Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Pertanahan Nasional Nomor21tahun 2020Tentang Penanganan dan
Nomor 21 tahun
Tahapan penanganan 2020Tentangg Penanganan
sengketa dann Penyelesaian Sengketa
TataPertanahan.
Cara penyelesaian Kasuss di
Penyelesaian Kasus
Pertanahan.
di Kantor Pertanahan Kota Palopo: Kantor Pertanahan Kota Palopo :

1. Pengkajian kasus 1. Non-litigasi:

2. Gelar awal A. Konsultasi

3. Penelitian B. Negosiasi

4. Ekspos hasil penelitian C. Konsiliasi

5. Rapat koordinasi D. Mediasi

6. Gelar akhir 2. Litigasi

7. Penyelesaian kasus

Tercapainya Kepastian Hukum terhadap penanganan dan


penyelesaian sengketa tanah di Kantor Pertanahan Kota
Palopo

3
BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan suatu penelitian tentunya diperlukan suatu metode. Sebab hal itu

adalah suatu cara yang dalam melakukan suatu penelitian guna mendapatkan,, mengelola,

dan mensimpulkan hal-hal yang tentunya memperoleh suatu masalah.32

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis Penlitian Normatif Empiris. Jenis penelitian

normatiff merupakan menelaah hukum suatu kaidah dimana dianggap sama halnya

pendidikann hukum yang ttertulis. Pendekatan ini dilakukan melalui penelitian

kepustakaan dengan cara mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas

konsepsi,hukum, pandangan, peraturan hukum serta sistem hukum yang berkaitan dengan

permasalahan dalam penulisan proposal. Sedangkan jenis penelitian empiris yaitu

pendekatan yang dilakukan dengan cara menggali informasi dan melakukan penelitian

dilapangan guna mengetahui secara lebih jauh mengenai permasalahan yang dibahas.

Dalam hal ini penulis melakukan pemantauan dan wawancaira dengan Pegawai/Staf

diKantorPertanahan Kota Palopo , guna mendapatkan informasi yang akurat.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian yang akan dijadikan tempat untuk melakukan penelitian adalah di

kantor Pertanahan Kota Palopo.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data pada penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu:

32
Lexy J. Meleong, 2011, Metode Penelitian, Pt Remaja Rosda Karya, Bandung, hlm. 186.

3
1. Data Primer Data .Primer adalah data yang didapat .secara .langsung melalui

Sumberpertama Data primer merupakan data yang diperoleh dari studi .lapangan

.yang .pastinya .bersangkut dengann masalah yang akan diteliti dan dibahas.

Penulis .akan meneliti dan mengkaji .sumber datayang diperoleh dari hasil penelitian

di Kantor Pertanahan Kota Palopo Adapun responden yangdipilih adalah Pegawai/staf

.KantorPertanahan .Kota Palopo.

2. Data Sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian

kepustakaan dengan melakukan studi di Instansi Pemerintahan yang terkait,

kepustakaan, melalui dokumen, arsip, dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-

hal yang berkaitan dengan pokok-pokok penulisan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara,

yaitu :

1. Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan

pertanyaan dan wawancara yang dibicarakan jawaban atas pertanyaan itu. Untuk

mendapatkan data – data terkait penelitian yang peneliti butuhkan. Maka dilakukan

wawancara langsung dengan pihak- pihak yang berkopeten dengan penelitian ini.

2. Dokumentasi. Dokumentasi yaitu mengumpulkan materi - materi yang berkaitan

dengan materi penelitian berupa tulisan para ahli atau pihak-pihak yang berwenang

dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun

data melalui naskah resmi yang ada.

3
3.5 Teknik Analisa Data

Analisa data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan

tema dan merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai

usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan proses kerja itu Data yang diperoleh

baik dari data primer maupun sekunder. Diolah dan dianalisa secara kuantitatif

kemudian hasil analisa dipaparkan secara deskriptif yaitu dengan menjelaskan,

menguraikan dan menggambarkan permasalahan yang berkaitan erat dengan

penelitian ini, sehingga menjadikan datanya dapat mudah dipahami dan menjawab

masalah- masalah yang ada.

3
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Tahapan Penanganan Sengketa Tanah di Kantor Pertanahan

Palopo

Sengketa tanah merupakan salah satu masalah yang tidak ada habis- habisnya

untuk dibahas dan dibicarakan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai lembaga

pemerintahan Non kemeterian salah satu fungsinya adalah melakukan pengkajian dan

penanganan masalah, sengketa, konflik dan perkara di bidang pertanahan. Persoalan

yang menyangkut sengketa dibidang pertanahan, khususnya yang terjadi di wilayah

kota Palopo dapat dikatakan tidak pernah surut seiiring dinamika dibidang ekonomi,

sosial, politik dan budaya. Oleh karena itu diperlukan Badan Pertanahan Nasional, yang

dalam hal ini mengatur persoalan tentang tanah, termasuk ikut serta dalam

menyelesaikan persoalan sengketa tanah yang terjadi di masyarakat.

Badan Pertanahan Nasional juga mempunyai kewenangan untuk membawa

sengketa atau kasus tanah pada ranah pengadilan, apabila penyelesaian di Badan

Pertanahan Nasional (BPN) tidak dapat titik temu antara kedua belah pihak yang

berselisih/bersengketa. Sebelum masuk ke ranah pengadilan, semua kasus sengketa

tanah yang masuk di Kantor Pertanahan kota Palopo akan di tangani oleh kepala

bidang pengedalian dan penanganan sengketa. Kasus sengekta tanah yang di tangani

oleh kepala Bidang Pengedalian dan Penanganan Sengketa akan melakukan tahapan

penanganan sengketa berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional Nomor 21 tahun 2020 tentang

4
Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan:33

1. Pengkajian kasus

Pengkajian kasus dituangkan dalam bentuk telaahan staf yang

memuat:

a. Judul;

b. Pokok permasalahan yang menguraikan subjek yang bersengketa, keberatan atau

tuntutan pihak pengadua, letak, luas dan status objek kasus;

c. Riwayat kasus;

d. Data dan dokumen yang tersedia;

e. Klasifikasi kasus;

f. Hal lain yang dianggap penting.

2. Gelar Awal

Gelar awal dilakukan dengan tujuan:

a. Menentukan instansi atau lembaga atau pihak-pihak yang mempunyai kewenangan

dan/atau kepentingan terkait kasus yang ditangani;

b. Merumuskan rencana penanganan;

c. Menentukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan

d. Menentukan data yuridis, data fisik, data lapangan dan bahan yang diperlukan;

e. Menyusun rencana kerja penelitian;

f. Menentukan target dan waktu penyelesaian.

4
33
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 tahun 2020 tentang
Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan
Adapun hasil Gelar Awal untuk:

a. Menyiapkan surat kepada instansi lain untuk menyelesaikan jika kasus

merupakan kewenangan instansi lain;

b. Menyiapkan surat kepada instansi lain untuk menyelesaikan jika kasus

merupakan kewenangan instansi lain;

c. Menyiapkan surat kepada KepalaKantor Pertanahan untuk melaksanakan

penanganan dan penyelesaian kasus;

d. Menyiapakan tanggapan atau jawaban kepada pengadu;

e. Menyiapakan kertas kerja penelitian sebagai dasar melaksanakan

penelitian.

3. Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengumpulkan :

a. data fisik berupa peta tematik maupun kadastral, terestris maupun fotogrametris,

peta citra yang menunjukkan letak, luasa dan batas tanah, peta tata ruang, peta

penatagunaan tanah dan peta lain yang terkait dengan kasus yang ditangani;

b. data yuridis berupa dokumen tentang subjek yang bersengketa, dokumen

mengenai alas hak, akta/surat perolehan tanah, dokumen yang menunjukkan

status tanah, riwayat tanah, putusan pengadilan menyangkut objek kasus, dan

data/dokumen administrasi lain yang menunjukkan proses administrasi terbitnya

produk hukum atas tanah yang menjadi objek kasus;

c. data lapangan merupakan fakta yang menggambarkan kondisi

senyatanya, penguasaan dan pemanfaatan penggunaan tanah yang menjadi ojek

kasus; dan/atau

4
d. bahan keterangan merupakan data/informasi dari orang-orang yang terlibat dalam

proses dan/atau yang mengetahui proses penerbitan produk hukum dan/atau

pihak yang mengetahui hubungan antara para pihak dengan tanah yang menjadi

objek kasus. Penelitian dilaksanakan oleh petugas penelitian sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang- undangan disertai dengan surat tugas dan surat

pengantar, serta petugas penelitian menyiapkan kertas kerja penelitian dan

menyampaikan terlebih dahulu kepada satuan kerja terkait.

Apabila dalam hal penelitian, data fisik dan data yuridis tidak ditemukan

maka dilakukan:

a. penelusuran terhadap proses penerbitan hak atas tanah dalam daftar isian/daftar

umum;

b. meminta keterangan petugas yang memproses penerbitas hak atas tanah;

c. meminta keterangan para pihak; dan/atau

d. meminta keterangan kepala desa/lurah atau instansi terkait atau pihak lain yang

diperlukan.

Hasil penelitian dituangkan dalam berita acara penelitian yang ditandatangani oleh

petugas dan diketahui oleh kepala kantor wilayah atau kepala kantor pertanahan atau

pejabat yang mewakili.

4. Ekspos Hasil Penelitian

Ekspos hasil penelitian dimaksudkan untuk menyampaikan data/bahan yang

menjelaskan status hukum produk maupun posisi hukum masing- masing pihak.

Ekspos hasil penelitian bertujuan untuk:

4
a. Evaluasi dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam penanganan dan

penyelesaian kasus;

b. Mengetahui kemajuan penanganan kasus yang dicapai;

c. Menentukan rencana tindakan lebih lanjut;

d. Memastikan kesesuaian hal-hal yang menjadi pengaduan dengan bukti fakta yang

diiperoleh dari penelitian;

e. Menentukan hukum/perundangan-undangan yang digunakan;

f. Melakukan koordinasi dengan instansi/lembaga atau pihak terkait dalam hal kasus

yang ditangani menyangkut kewenangan dan/atau kepentingan

instansi/lembaga atau pihak lain dalam hal diperlukan;

g. Memastikan penyelesaian sesuai target yang ditetapkan;

h. Menentukan keputusan penyelesaian atas kasus yang ditangani;dan

i. Mengembangkan rencana dan sasaran penanganan jika masih diperlukan atau

untuk menggelar rapat koordinasi dalam hal diperlukan.

Ekspos hasil penelitian dituangkan dalam berita acara yang berisi kesimpulan dan

rekomendasi yang ditanda tangani oleh;

a. Direktur dan seluruh peserta ekspos dalam hal ekspos;

b. Kepala Bidang V atau Kepala Seksi V dan seluruh peserta ekspos.

5. Rapat koordinasi

Rapat koordinasi dilaksanakan untuk memperoleh masukan dari ahli atau

instansi/lembaga terkait yang berkompoten dalam rangka penyelesaian kasus, serta

untuk menghasilkan kesimpulan berupa:

a. Penyelesaian kasus;

4
b. Rekomendasi atau petunjuk masih diperlukan data atau bahan keterangan

tambahan untuk sampai pada kesimpulan penyelesaian kasus.

6. Gelar akhir

Gelar akhir dilakukan untuk mengambil keputusan penyelesaian kasus yang akan

dilakukan oleh Menteri, kepala kantor wilayah atau kepala kantor pertanahan, serta

dimaksudkan untuk:

a. Evaluasi penanganan yang telah dilakukan;

b. Memastikan kesesuaian antara data bukti dan bahan keterangan saksi dan/atau

ahli;

c. Penyempurnaan berkas kasus;

d. Menentukan layak tidaknya penerapan hukum dan ketentuan peraturan

perundangan-undangan terhadap kasus yang ditangani.

Rekomendasi hasil gelar akhir dituangkan dalam bentuk:

a. Surat rekomendasi penyelesaian kasus kepada kantor wilayah atau kantor

pertanahan jika gelar akhir dilakukan oleh kementerian akan tetapi penerbitan

keputusan penyelesaian kasus merupakan kewenangan kantor wilayah atau

kantor pertanahan;

b. Surat usulan penyelesaian kasus yang disampaikan kepada menteri jika gelar

akhir dilakukan oleh kantor wilayah dan/atau kantor pertanahan akan tetapi

penerbitan keputusan penyelesaian kasus merupakan kewenangan menteri;

c. Surat ususla penyelesaian kasus disampaikan kepada kepala kantor wilayah jika

gelar akhir dilakukan oleh kantor pertanahan akan tetapi

4
penerbitan keputusan penyelesaian kasus merupakan kewenangan kantor

wilayah;

d. Surat rekomendasi penyelesaian kasus yang disampaikan kepada kepala kantor

pertanahan jika gelar akhir dilakukan oleh kementerian dan/atau kantor wilayah

akan tetapi pelaksanaan penyelesaian kasus merupakan kewenangan kantor

pertanahan.

Dalam hal tindak lanjut kewenangan penyelesaian kasus ada pada kantor

wilayah atau kantor pertanahan, hasil gelar akhir yang dilaksanakan kementerian

disampaikan kepada kepala kantor wilayah atau kepala kantor pertanahan dalam bentuk

surat yang berisi kesimpulan dan rekomendasi untuk dilakukan penyelesaian kasus.

Dalam hasil gelar alhir yang dilaksanakan oleh kepala kantor wilayah dan kepala

kantor pertanahan dilaporkan kepada menteri, yang kemudian dituangkan dalam berita

acara gelar akhir.

7. Penyelesaian kasus

Hasil putusan dalam gelar akhir akan dibuatkan dalam bentuk risalah pengolahan

data yang ditandatangani oleh pengolah sampai dengan Dirjen VII apabila

kewenangan penyelesaian kasus ada pada menteri, pengolah sampai dengan kepala

bidang V (Pengedalian dan penanganan sengketa) apabila kewenangan penyelesaian

kasus ada pada kepala kantor wilayah dan pengolah samoai dengan kepala seksi V

(Pengendalian dan Penanganan Sengketa) apabila kewenangan penyelesaian kasus ada

pada kepala kantor pertanahan yang kemudian disebut dengan penyelesaian kasus.

Tabel I. Pengaduan Sengketa Tanah yang masuk di Kantor Pertanahan Kota

4
Palopo.

Tahun Jumlah Pengaduan

2020 48 Kasus

2021 22 Kasus

Jumlah 70

Sumber: Kantor Pertanahan Kota Palopo

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan. Jumlah pengaduan yang masuk

sejak tahun 2020 hingga 2021 berjumlah 70 kasus. Data pengaduan terbanyak terjadi

pada tahun 2020 sebanyak 48 kasus sedangkan data pengaduan paling sedikit terjadi pada

tahun 2021.

Perbedaan yang sangat signifkan dalam Penanganan dan Penyelesaian Kasus

Pertanahan terjadi setelah Perubahan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional Nomor 11 tahun 2016 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus

Pertanahan menjadi Perubahan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional Nomor 21 tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus

Pertanahan. Hasil Wawancara dengan Bapak Achmad Aidil Marala, S.H selaku Kasubsi

Sengketa,Konlik dan Perkara Pertanahan Pada Tanggal 25 Februari 2022 diKantor

Pertanahan Kota Palopo mengemukakan bahwa:

Sebelum terbitnya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan


Nasional nomor 21 tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Sengketa
yang sebelumya di atur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan,
proses penyelesaian sengketa tanah hanya mencakup pada tahap pengkajian kasus sampai
dengan gelar awal saja hingga masuk pada tahap Mediasi. Namun dalam peraturan
menteri yang baru tahapan penyelesaian sengketa terbagi menjadi 7 (tujuh) yaitu,
Pengkajian kasus, Gelar awal, Penelitian, Ekspos hasil penelitian, Rapat kordinasi, Gelar
akhir dan Penyelesaian kasus.

4
4.2 Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tanah di Kantor Pertanahan

Palopo

Badan Pertanahan Nasional sebagai penyelenggara dalam hal pertanahan

.dan yang mengeluarkan sertifikat pasti mempunyai tugas dalam hal sertifikat

diterbitkannya. BPN sebagai Lembaga Negara diberikan .kewenanganoleh peraturan

perundang-undangan di bidang pertanahan dalam penyelesaian sengketa atau konflik

pertanahan Kewenangan tersebut kemudian diatur dalam .pasal satu ayat 6

Peraturan .Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun

2022 yan i Penanganan Kasus yang Selanjutnya disebut .penanganan dalah mekanisme

.atau proses .yang dilaksanakan oleh Kementrian .Agraria dan Tata .Ruang/Badan

Pertanahan Nasional, .Kantor Wilayah Badan .Pertanahan Nasional, .Kantor

.Pertanahan

.sesuai kewenagannya dalam rangka penyelesaian kasus.”

Terkhususnya dalam penyelesaian sengketa tanah dapat dilakukan

.melalui dengan 2 (dua) cara yaitu igitasi an non-ligitasi Namun penyelesaian

secara ligitasi membutuhkan jangka waktu yang .lama Maka

.dalam hal ini diperlukan .peranan .BPN untuk memberikan .penyelesaian secara .non-

ligitasi berupa mediasi fasilitasi kepada para pihak yang bersengketa agar

.mencapai kesepakatan tanpa melalui proses

.ligitasi/pengadilan.

4.2.1 Non Litigasi

Non litigasi atau alternative dispute resolution adalah sengketa di luar mekanisme

badan peradilan. Lazimnya, penyelesaian sengketa non ligitasi dapat melalui cara

konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, dan arbitrase. Namun,

khususnya dalam hal penyelesaian sengketa tanah Kantor

4
Pertanahan Kota Palopo dilakukan dengan beberapa cara, yaitu Konsultasi, Negosiasi,

Mediasi, dan Konsiliasi.

A. Konsultasi

Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak

tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak

konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan

kebutuhan kliennya. Konsultasi merupakan Pemberian pendapat kepada pihak yang

merasa sedang mengalami masalah pertanahan, dimana pendapat tersebut sifatnya tidak

mengikat dalam artian keputusan mengenai langkah selanjutnya yang akan diambil oleh

pihak yang merasa sedang mengalami masalah pertanahan diserahkan sepenuhya

kepadanya.

Pemberian pendapat ini dilakukan oleh pihak yang dinilai memiliki wewenang

kekuasaan dan otoritas untuk memberikan pertimbangan, saran atau usulan yang

bertujuan untuk menyelesaikan masalah pertanahan yang sedang dialami oleh suatu

pihak. Dalam hal Penyelesaian Masalah Sengketa Tanah yang terjadi di Kantor

Pertanahan Kota Palopo melalui jalur konsultasi, Pihak Kantor Pertanahan bertindak

sebagai Pihak yang berwenang memberikan pendapat atau saran terkait langkah-langkah

apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak yang merasa sedang mengalami masalah

pertanahan.

B. Negosiasi

Negosiasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh para pihak dengan sukarela

untuk bertatap muka secara langsung untuk memperoleh kesepakatan yang dapat diterima

kedua belah pihak mengenai suatu masalah tertentu yang sedang dibahas. Negosiasi

adalah sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya

tanpa keterlibatan pihak ketiga. Negosiasi

4
sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya

tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, sehingga tidak ada prosedur baku, akan

tetapi prosedur dan mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang

bersengketa tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak

sehingga sifatnya informal.

Masalah Pertanahan yang terjadi di Kantor Pertanahan Kota Palopo dalam Proses

Penyelesaian Sengketa Tanah secara jalur Negosiasi, Pihak Kantor Pertanahan Kota

Palopo hanya bertindak sebagai Pihak yang memfasilitasi tempat pertemuan kedua belah

pihak, dan tidak memiliki wewenang memberikan pendapat atau putusan mengenai

masalah pertanahan yang dialami oleh kedua belah pihak.

C. Konsiliasi

Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga

(konsiliator), dimana konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif

menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan

kepada para pihak yang bersengketa. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu

merumuskan suatu kesepakatan, maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari

sengketa. Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi

hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat bergantung pada

itikad baik para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian Sengketa Pertanahan, di Kantor Pertanahan Kota Palopo melalui jalur

Konsiliasi, Pihak Kantor Pertanahan kota Palopo sebagai Konsiliator bertugas untuk

menguraikan/menjelaskan terkait fakta-fakta dan alas-alas hak mengenai terbitnya suatu

sertifikat tanah. Setalah mendengar para pihak, Kantor

5
Pertanahan kota Palopo lalu memberikan pendapat atau saran yang nantinya menjadi

rujukan para pihak dalam mencapai suatu kesepakatan.

D. Mediasi

Mediasi merupakan kosa kata atau istilah yang berasal dari kosa kata inggris yaitu

mediation. Dalam KKBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), mediasi adalah proses

pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.

Mediasi merupakan cara penyelesaian yang sangat diharapkan untuk dapat

menyelesaiakan sengketa secara adil. Hal ini disebabkan karena proses mediasi

merupakan musyawarah antara para pihak yang bersengketa. Aparatur pertanahan baik

pusat maupun daerah dituntut secara aktif untuk menyelesaikan sengketa dan konflik

pertanahan melalui mediasi sebagai prioritas utama dengan mengedepankan netralitas

Badan Pertanahan Nasional sebagai mediator.

Sebagai instansi vertikal yang berada dibawah naungan dan bertanggung jawab

langsung kepada menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan Wilayah Badan Pertanahan

Nasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional nomor 21 tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan,

mediasi merupakan inisiatif kementerian, kantor wilayah, kantor pertanahan sesuai

dengan kewenangannya dan/atau atas inisiatif pihak yang bersengketa. Dalam proses

mediasi apabila salah satu pihak atau para pihak di undang 3 (tiga) kali secara patut tetapi

tidak hadir maka mediasi dinyatakan gagal. Apabila mediasi tercapai kesepakatan

perdamaian akan dituangkan dalam akta perdamaian dan didaftarkan oleh para pihak di

pengadilan negeri ilayah hukum letak tanah yang menjadi objek kasus untuk memperoleh

putusan perdamaian. Jika tidak menghasilkan kesepakatan

5
dan/atau gagal maka kementerian, kantor wilayah, kantor pertanahan sesuia

kewenangannya mengambil keputusan penyelesaian kasus.

Tabel II. Penyelesaian Sengketa Tanah melalui jalur non litigasi di Kantor Pertanahan Kota

Palopo.

Tahun Kasus

2020 41 Kasus

2021 14 Kasus

Jumlah 55

Sumber: Kantor Pertanahan Kota Palopo

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, Jumlah Kasus Sengketa Tanah yang

diselesaikan melalui jalur non litigasi mulai dari tahun 2020 hingga tahun 2021 berjumlah

55 kasus. Penyelesaian Sengketa Tanah melalui jalur non litigasi terbanyk terjadi pada

tahun 2020 dengan jumlah 41 kasus.Sedangkan Penyelesaian sengketa dengan jumlah

paling sedikit terjadi pada tahun 2021 dengan jumlah 14 kasus.

Hasil Wawancara dengan Bapak Achmad Aidil Marala, S.H selaku Kasubsi

Sengketa,Konlik dan Perkara Pertanahan Pada Tanggal 25 Februari 2022 diKantor

Pertanahan Kota Palopo menjelaskan bahwa:

Jalur penyelesaian Sengketa Tanah melalui jalur Non Litigasi (Mediasi) merupakan
itikad baik dari Kantor Pertanahan Kota Palopo sebagai Fasilitator dalam mencari solusi
terhadap kedua belah pihak yang sedang berurusan dengan perkara Sengketa Tanah.
Namun memang pada kenyataannya dilapangan jalur Mediasi nantinya kebanyakan tidak
membuahkan hasil (gagal) disebabkan masing-masing pihak bersikeras. Kantor
Pertanahan Kota Palopo tidak sebagai pihak yang mempunyai kewenangan mengatakan
pihak mana yang salah atau benar karena tugas tersebut berada pada ranah Pengadilan.

4.2.2 Ligitasi

Ligitasi merupakan suatu istilah dalam hukum mengenaii penyelesaiain suatu

sengketa yang dihadapi melalui jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa

5
melalui ligitasi/peradilan dapat dikatakan sebagai penyelesaian sengketa yang memaksa

salah satu pihak untuk menyelesaiakan sengketa dengan perantara pengadilan. Ligitasi

lebih bersifat formal dan teknis.

Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap merupakan salah satu cara

untuk mencapai tujuan dan fungsi hukum. Karena putusan yang dikeluarkan oleh

pengadilan yang sah dan berwenang merupakan tolak ukur ataupun dasar seseorang untuk

mendapatkan haknya yang telah dilanggar oleh pihak lain.

Dalam penyelesaian sengketa tanah jalur ligitasi merupakan cara yang sering

dilakukan oleh pihak yang bersengketa. Jalur ligitasi biasanya ditempuh apabila dalam

mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka Badan Pertanahan Nasional akan memberikan

rekomendasi untuk diselesaikan melalui jalur ligitasi. Dalam jalur ligitasi yang ditempuh

oleh salah satu pihak yang bersengketa, biasanya Badan Pertanahan Nasional ikut serta

dalam tergugat dikarenakan pihak tidak setuju oleh putusan Badan Pertanahan Nasional

yang disimpulkan atau hasil dari mediasi. Penyelesaian kasus sengketa tanah melalui

peradilan. Badan Pertanahan Nasional selalu diikut sertakan baik itu sebagai saksi

maupun sebagai tergugat. Dalam proses penyelesaian sengketa melalui ligitasi terdapat 2

(dua) peradilan yang harus dilalui agar mendapatkan hak atas tanah yang bersengketa,

yaitu peradilan perdata dan peradila tata usaha negara.

Dalam peradilan Perdata hasil putusannya mengeluarkan yang berhak memiliki

atas tanah yang bersengketa. Namun sertifikat yang dibuat oleh Badan Pertanahan

Nasional tidak akan dibatalkan. Jika pihak tergugat ingin membatalkan sertifikat yang

telah dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional, maka pihak yang bersengketa juga harus

melalui peradilan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan

5
Pertanahan Nasional nomor 21 tahun 2020 tentang Penanganan dan penyelesaian

sengketa, surat kuasa dalam penangan perkara diberikan kepada:

a. Pejabat dan pegawai pemerintah Non pegawai negeri di lingkungan Ditjen VII di

kementerian berdasarkan surat kuasa khusus ,menteri;

b. Pejabat dan pegawai pemerintah Non pegawai negeri di kantor wilayah berdasarkan

surat kuasa khusus kepala kantor wilyah;

c. Pejabat atau pegawai pemerintah Non pegawai negeri di kantor pertanahan

berdasarkan surat kuasa khusus kepala kantor pertanahan;

d. Dalam hal tertentu kuasa khusus dapat juga diberikan kepada jaksa pengacara negara,

pengacara profesional pada kantor hukum dan/atau lembaga hukum.

Dalam penanganan perkara di pengadilan Badan Pertanahan nasionall memiliki

mekanisme penanganan perkara:

a. Penerimaan pangggilan sidang (relaas);

b. Pengunpulan data dalam rangka penangan perkara;

c. Penyiapan surat tugas dan surat kuasa;

d. Penyiapan jawaban/gugatan;

e. Penyiapan replik/duplik;

f. Penyiapan bukti;

g. Penyiapan saksi dan/atau ahli;

h. Pemeriksaan setempat;

i. Kesimpulan; dan

j. Upaya hukum.

Tabel III. Penyelesaian Sengketa Tanah melalui jalur litigasi di Kantor Pertanahan Kota

Palopo.

5
Tahun Kasus

2020 7 Kasus

2021 8 Kasus

Jumlah 15 Kasus

Sumber: Kantor Pertanahan Kota Palopo

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, Jumlah Kasus Sengketa Tanah yang

diselesaikan melalui jalur litigasi mulai dari tahun 2020 hingga tahun 2021 berjumlah 15

kasus. Penyelesaian Sengketa Tanah melalui jalur Litigasi terbanyak terjadi pada tahun

2021 dengan jumlah 8 Kasus. Sedangkan Penyelesaian sengketa dengan jumlah paling

sedikit terjadi pada tahun 2020 dengan jumlah 7 kasus.

Hasil wawancara dengan Bapak Achmad Aidil Marala, S.H selaku Kasubsi

Sengketa,Konlik dan Perkara Pertanahan Pada Tanggal 25 Februari 2022 diKantor

Pertanahan Kota Palopo mengemukakan bahwa:

Upaya yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional dalam suatu peradilan baik
sebagai saksi maupun tergugat. Badan Pertanahan Nasional akan mengeluarkan atau
membeberkan yang menjadi alas-alas hak dalam penerbitan atau pembuatan sertifikat
tanah yang bersengketa.

5
BAB V

PENUTUP

Berdasarkan Uraian-uraian pada Bab sebelumnya mengenai Tinjauan Yuridis

Penanganan dan Penyelesaian masalah Sengketa Tanah di Kantor Pertanahan kota Palopo

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 21 tahun 2020.” Maka dapat Penulis kemukakan Kesimpulan dan Saran

sebagai berikut:

5.1 Kesimpulan

Dari hasil Penelitian yang berangkat dari Rumusan masalah yang diangkat, maka

Kesimpulan pada Penelitian ini yaitu:

1. Kantor Pertanahan Kota Palopo selaku penyelenggara dibidang pertanahan dan badan

yang menerbitkan sertifikat tentu mempunyai tanggung jawab terhadap sertifikat yang

dikeluarkannya. Terkhususnya dalam penyelesaian sengketa tanah dapat dilakukan

melalui dengan 2 (dua) cara yaitu Ligitasi dan Non Litigasi.

3. Non litigasi atau alternative dispute resolution adalah sengketa di luar

5
mekanisme badan peradilan. Lazimnya, penyelesaian sengketa non ligitasi dapat

melalui cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, dan arbitrase.

Namun, khususnya dalam hal penyelesaian sengketa tanah di Kantor Pertanahan Kota

Palopo melakukan cara penyelesaian melalui jalur konsultasi, negoisasi, konsiliasi,

dan mediasi. Dalam penyelesaian sengketa tanah melalui jalur Ligitasi merupakan cara

yang sering dilakukan oleh pihak yang bersengketa. Jalur ligitasi biasanya ditempuh

apabila Badan pertanahan Nasional tidak mampu menyelesaiakan sengketa tanah,

maka Badan Pertanahan Nasional akan memberikan rekomendasi untuk diselesaikan

melalui jalur ligitasi. Dalam jalur ligitasi yang ditempuh oleh salah satu pihak yang

bersengketa, biasanya Badan Pertanahan Nasional ikut serta dalam tergugat

dikarenakan pihak tidak setuju oleh putusan Badan Pertanahan Nasional yang

disimpulkan atau hasil dari mediasi.

5.2 Saran

Dari hasil Penelitian Tentang Tinjauan Yuridis Penanganan dan Penyelesaian

masalah Sengketa Tanah di Kantor Pertanahan kota Palopo Berdasarkan Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 tahun

2020. Penulis memberikan Saran sebagai berikut:

1. Hendaknya Badan Pertanahan Nasional Kota Palopo dalam mengatasi sengketa tanah

yang terjadi di Kota Palopo lebih meningkatkan lagi layanan dan kinerja pegawai atau

stafnya dalam mengurusi pertanahan khususnya masalah sengketa tanah, serta

meningkatkan upaya pencegahan terjadinya sengketa tanah.

5
2. Pihak-pihak yang bersengketa sebaiknya perlu memperhatikan dan juga

mempertimbangkan upaya mediasi dan juga solusi-solusi yang ditawarkan Badan

Pertanahan Nasional Kota Palopo guna dalam mempercepat proses penyelesaian

sengketa tanah yang terjadi guna mewujudkan ketentraman dan kedamaian.

3. Kantor Pertanahan Kota Palopo dalam menerbitkan Sertifikat Tanah harus lebih teliti

dalam melihat Alas Hak sebagai dasar dalam menerbitkan Sertifikat Tanah. Sehingga

Permasalahan seperti Sertifikat Ganda dan lain sebagainya

dapat terhindari.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahmat Fathoni. 2000. Metodelogi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi.


Rineka Cipta. Jakarta.

Adrian Sutedi. 2009. Tinjauan Hukum Pertanahan. PT Prandya paramita. Jakarta

Ahmad Chulaemi. 1993. Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak


atas Tanah. FH UNDIP. Semarang.

Budi Harsono.2007. Hukum Agraria indonesia. Sejarah Pembetukan Undang- Undang


Pokok Agraria. Isi pelaksanaannya. Djambatan: Jakarta.

Emirzon,Joni,2000. Alternative Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan


(Negosasi, Mediasi, Konsiliasi, Dan Arbitrase). PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

Hakim, Abdul. 2007. Penyelesaian Sengketa (AlternatifDisputeResolution).


Medan.

Harun, Badriyah. 2013. Solusi Sengketa Tanah dan Bangunan. Penerbit Pustaka
Yustisia.Yogyakarta.

Hendra Winarta,Frans,2011. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan


Internasional.Sinar Grafika. Yogyakarta.

Murad. Rusmadi. 1991.Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Alumni.


Bandung.

5
Murad, Rusmadi, 2003. Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan Penanganan
Kasus Tanah. Jakarta.

Nia Kurniati. 2008 Hukum Agraria Sengketa Pertanahan penyelesaian Melalui


Arbitrase Dalam Teori dan Praktik. Refika Aditama. Bandung.

Sigit Angger dan Widayanto Erdha. 2015. Awas Jangan Beli Tanah Sengketa.
Pustaka Yustisia. Yogyakarta.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Soerjono

Soekanto, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Umam, Khotibul, 2010. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pustaka Yustisia.


Jakarta.

Usman, Rachmadi, 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan. Citra


Aditya Bakti. Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Pokok Agraria atau Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian


Sengketa.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Pertanahan


Nasional.

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
21 Tahun 2020Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

Artikel Internet

http://derryjie.blogspot.co.id/2013/11/makalah-sengketa-lahan_26.html http://intan-

isna.blogspot.co.id/2013/06/penerapan-prinsip-prinsip-mediasi-di.html

http://www.bpn.go.id/Tentang-Kami/Sejarah

5
http://www.hukumtenagakerja.com/mediasi-hubungan-industrial/

6
6

Anda mungkin juga menyukai