Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEBIJAKAN PERTANAHAN

“ PEMBEBASAN TANAH”

DOSEN PEMBIMBING :

Ardieansyah, S. STP,. M. Soc,. Sc

DISUSUN OLEH :

Kelompok 10

Retno Eki Restuningtyas Pravita (27.0775)

Julfikar Cahyadi Pasambuna (27.0663)

Wolfridus Ladju (27.0587)

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

KAMPUS SUMATERA BARAT

TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami Panjatkan
puji syukur atas rahmat serta karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah dengan judul Pembebasan Tanah ini dibuat sebagai bagian dari rangkaian pembelajaran
mata kuliah Kebijakan Pertanahan yang diampuh oleh Bapak Ardieansyah, S. STP,. M. Soc,. Sc. Salah
satu kebijakan pertanahan Indonesia setelah kemerdekaan RI diatur dalam UUPA No. 5 tahun 1960
adalah mengenai pencabutan dan pembebasan hak atas tanah. Hal tersebut juga menjadi amanat UUPA
pasal 18. Menjawab amanat tersebut maka dibentuklah UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-
Hak Tanah Dan Benda Yang Ada Diatasnya dan PMDN No. 15 tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan
mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

Kami menyadarinbahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena kesempurnaan hanya
milik Allah SWT dan kekurangan datangnya dari diri kami pribadi. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kami
sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berperan dalam penyusunan
makalah ini dari awal hingga akhir semoga Allah SWT meridhoi segala usahanya.

Baso, Februari 2018


DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

PEMBAHASAN

1. Hak Atas Tanah


2. Pengaturan Tentang Pengadaan Tanah di Indonesia
3. Analisa Faktual
4. Analisa Rencana Solusi

PENUTUP

Kesimpulan
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Kehidupan manusia hampir sebagian besar tergantung pada tanah, baik untuk mata
pencaharian, kebutuhan sandang, pangan, papan atau tempat tinggal dan kebutuhan lain yang
bersifat religius. Tanah juga merupakan kekayaan nasional yang dibutuhkan oleh manusia baik
secara individual, badan usaha maupun pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan
nasional
Setelah Indonesia merdeka tidak ada peraturanyang mengatur baik pembebasan tanah
atau pencabutan hak atas tanah. Pada tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas
mengenai pembebasan tanah. Sedangkan pencabutan atas tanah diatur dalam UUPA. Dalam Pasal
18 UUPA disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan berdasarkan peraturan dalam Undang-Undang. Dapat dikatakan bahwa pencabutan hak
atas tanah dapat dilakukan sepanjang tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum.

Kepemilikan tanah di Indonesia menganut system fungsi sosial, artinya, kegunaan dari
tanah itu lebih mengutamakan kepentingan umum dari kepentingan individu atau golongan.
Sebagaimana termuat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa : “ semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial ”. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa fungsi sosial,Inilah yang
kadang kala mengharuskan kepentingan pribadi atas tanah dikorbankan guna kepentingan umum.

Kewenangan Negara dalam pengambilan alih hak atas tanah untuk kepentingan umum di
Indonesia diderivikasikan dari Hak Menguasai Negara. Hak Menguasai Negara memberikan
kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi negara dan dalam perkecualian untuk
kepentingan umum baru dapat mengambil alih hak atas tanah.

Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum saat ini dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
harus dilakukan dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum, pemberian ganti rugi
kepada yang terkena kegiatan pengadaan tanah dan pelepasan hubungan hukum dari pemilik
tanah kepada pihak lain.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini, dalam praktikpengadaan tanah bagi
kepentingan umum terkadang timbul persoalan antara pemerintah dan masyarakat, terutama
dalam hal pembebasan lahan. Mulai dari penggantian kerugian atas lahan yang dibebaskan dan
waktu pembebasan lahan ataupun masalah relokasi terhadap masyarakat.
Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran dan fungsi
tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah. Dengan demikian pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang
seimbang dan ditempuh dengan jalan musyawarah langsungdengan para pemegang hak atas
tanah.
Pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum memang hampir selalu mengalami
hambatan dan tantangan. Mengenai prosedur sebenarnya pada masa sekarang tidak begitu banyak
masalah, namun kesulitan yang prinsipal berada pada budaya yang tumbuh di masyarakat, yaitu
masih adanya anggapan bahwa hak atas tanah adalah hak yang mutlak, yang konsekuensinya
pemilik tanah berhak menentukan besarnya ganti rugi. Untuk mengubah budaya masyarakat
dalam melepaskan haknya atas tanah perlu di cari persamaan budaya antara pemerintah dengan
masyarakat. Selama tidak ada persamaan budaya, permasalahan serius akan selalu timbul.
Sebenarnya perbedaan budaya antara pemerintah dengan masyarakat terletak pada penetapan
harga ganti rugi. Pihak masyarakat menghendaki harga yang setinggi-tingginya dari harga pasaran
atau paling tidak sesuai harga pasaran, bahkan ada masyarakat yang menghendaki harga ganti
rugi itu didasarkan pada harga sekian tahunedepan atau setelah tanahnya dibebaskan dan telah
dijadikan sarana umum

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi Landasan Hukum Pembebasan atau Pengadaan Tanah di Indonesia?
2. Apa saja analisa serta solusi yang dilakukan?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hak Atas Tanah

Tanah dan manusia mempunyai hubungan multidemensi antara lain tanah sebagai faktor
produksi, tanah sebagai unsur lingkungan, tanah sebagai property, sebagai barang yang punya
nilai emosional, sebagai ruang da lokasi (OECD, 1992 dalam Djurdjani, 2009). Dalam sistem
property right, hubungan tanah dan manusia akan mengatur tentang cara membagi, melemahkan,
menekan dan mengambil hak (Buitelaar, 2003b) atau satu berkas property rights terdiri atas hak
untuk memiliki (mengelola, mengeluarkan dari), menggunakan dan memindahkan hak atas tanah
(Guerin,2003). Hubungan formalnya disebut dengan land tenure, ditinjau dari subyeknya dapat
dibedakan kedalam tanah negara dan tanah private.

Aktor yang terlibat dalam pengadaan tanah adalah pemerintah, pemilik tanah dan pihak
swasta (Ball dkk, 1998; Fischer, 2005). Keterlibatan pemerintah dengan memberlakukan aturan-
aturan formal seperti property right. Pemilik aktif dicirikan dengan keinginan untuk membangun
tanah, mau bekerjasama dengan swasta untuk membangun atau mentransfer tanah bila tidak
mampu membangun. Sedangkan pemilik pasif dicirikan tidak adanya langkah diambil untuk
membangun atau membawa ke pasar tanah. Ada banyak alasan yang menyebabkan kendala supl
ai yaitu harapan pemilik tanah untuk memperoleh harga yang tinggi, tidak adanya kesepakatan
antara penjual dan pembeli atau memang tak ada keinginan dari pemilik (Adams, 1994).
Sedangkan pihak swasta adalah para pengembang adalah rekanan pemerintah yang mewujudkan
pembangunan yang direncanakan.

Pada dasarnya ada dua cara pemilik tanah melepaskan hak kepemilikan yaitu melalaui
pelepasan secara suka rela (pasar) dan melalui pembebasan tanah (Eggertsson, 1995). Pelepasan
suka rela sangat dipengaruhi sikap dari pemilik tanah terhadap cara pandang secara sosial,
pengaruh adat atau nilai historis, nilai ekonomi dan kondisi fisik tanah. Dalam pembebasan tanah,
persoalan yang sering dihadapi dan menimbulkan konflik adalah nilai kompensasi. Usilapan
(1996) mengatakan bahwa dalam kompensasi pengertian harga pasar sering menjadi sumber
perbedaan karena cara pandang pemilik tanah dengan pihak pemerintah tidak selalu sama. Hal
lain yang sering muncul adalah penggunaan definisi “kepentingan umum” dalam proses
pembebasan tanah yang sering tak definitip (Andrian, 2007).
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk menyiapkan tanah agar siap apabila
dilakuka pembangunan adalah konsolidasi tanah (Andrian, 2007). Konsolidasi tanah
dimaksudkan untuk menata kembali struktur keruangan tanah seperti bidang tanah yang kecil
sehingga akan meme nuhi aspek kemudahan akses pada setiap tanah yang pada akhirnya
meningkatkan nilai, hasil dari tanah tersebut (Djurdjani, 2009).

2. Peraturan Tentang Pangadaan Tanah Di Indonesia


a. Peraturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangannya
telah mengalami berbagai perubahan yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai Tata Cara
Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 dan yang terakhir dalam rapat paripurna di DPR, Jumat 16 Desembar 2011.
b. Undang-Undang tersebut mengatur secara komprehensif pengadaan tanah untuk
kepentingan umum mulai dari perencanaan, persiapan, hingga pelaksanaan. Hal itu untuk
memastikan pengadaan tanah sesuai tujuan, yakni untuk kepentingan umum. Ketua
Panitia Khusus Undang-Undang Pengadaan Tanah Daryatmo Mardiyanto mengatakan
adanya penjelasan secara spesifik mengenai kriteria kepentingan umum agar tidak terjadi
penyalahgunaan pengadaan tanah dengan dalih kepentingan umum. Dalam definisinya,
kepentingan umum disebutkan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara,
dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-
besanrnya untuk kemakmuran rakyat.
c. Hal penting lainnya adalah diwajibkannya konsultasi publik dalam tahap perencanaan
pengadaan tanah. Jika dalam konsultasi publik itu tidak menemui titik temu, pihak yang
berhak atas tanah dapat mengajukan keberatan kepada pemerintah. Pemerintah melalui
gubernur dapat membentuk tim untuk mengkaji keberatan itu, lalu mengambil keputusan.
Jika gubernur menolak keberatan, pihak yang berhak atas tanah diberi kesempatan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga ke Mahkamah
Agung.Ketentuan itu agar pemerintah provinsi atau gubernur cermat mengikuti seluruh
ketentuan dan prosedur pengadaan tanah yang diatur dalam undang-undang ini.

Yang tidak kalah pentingnya adalah dibentuknya lembaga penilai independen untuk
menentukan ganti rugi atas tanah. Adapun bentuk ganti rugi yang ditawarkan tak hanya uang,
melainkan tanah pengganti, permukiman, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui
oleh kedua belah pihak.

3. Analisa Faktual

1. Pembebasan Tanah Proyek Waduk Pluit, DKI Jakarta

Lemahnya pengawasan terhadap lahan hijau dan maupun waduk telah menjadi masalah.
Permasalahan Waduk Pluit ini karena sedikit demi sedikit waduk menjadi daratan dan tidak
dirawat Pemerintah. Lahan ini akhirnya digarap oleh orang yang tidak bertanggungjawab,
lalu dijual oleh orang yang berminat dan akhirnya berdiri bangunan dan menjadi
perkampungan padat penduduk.

Pemprov DKI Jakarta berniat merealisasikan proyek normalisasi Waduk Pluit. tetapi hal
ini tidak gampang dilaksanakan karena sebagian dari ribuan warga yang menempati areal
waduk menolak pindah. Juga banyak pemilik tanah yang meminta ganti rugi yang nilainya
cukup fantastis. Warga bahkan meminta perlindungan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) sampai beredar opini bahwa Pemprov DKI Jakarta telah melanggar HAM.
Seperti telah diulas sebelumnya, Pemprov

DKI Jakarta tidak melakukan pelanggaran HAM. Dalam proses relokasi Waduk Pluit ini
Pemda telah menyediakan akses yang memungkinkan warga masyarakat yang direlokasi bisa
berkembang dan terentas dari kemiskinan. Di sekitar rumah susun yang disediakan Pemprov
DKI telah tersedia lapangan kerja, fasilitas sekolah, dan sarana transportasi air dan darat
yang memadai. Selain itu juga terdapat sejumlah rumah susun yang sangat layak huni bagi
warga korban gusuran karena rumah susun sewa tersebut harganya sangat terjangkau dan
dilengkapi dengan fasilitas mebel, lemari es, kasur, televisi bahkan fasilitas Internet. Jadi di
sini tidak terjadi proses pemiskinan warga, melainkan pemprov telah melakukan tindakan
mensejahterakan dan memperbaiki taraf kesehatan dan kehidupan warga korban gusuran
tersebut, sehingga unsur pelanggaran HAM terhadap warga areal Waduk Pluit itu tidak
terbukti.

Ditinjau secara historis, baik legal dan kegunaan, Waduk Pluit sejak dibangunnya adalah
milik negara untuk pengendali banjir di Jakarta. Seperti diketahui, areal Waduk Pluit adalah
tanah negara,tetapi sekarang karena warga merasa sudah puluhan tahun menempati areal
tersebut, mereka melakukan klaim sepihak dengan meminta uang ganti rugi yang jumlahnya
sangat fantastis.Sementara, penguasaan sepihak atas tanah orang lain bisa dipidana, apalagi
jika itu merupakan tanah negara yang merupakan tanah milik rakyat Indonesia.

Pengertian Tanah Negara dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953
tentang penguasaan tanah tanah negara. Dalam pasal 1a ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan tanah negara adalah tanah yang dikuasai oleh negara. Jika penjelasan PP ini ditelaah,
substansi pengertian tanah negara adalah semua tanah yang bebas sama sekali dari hak-hak
yang melekat atas tanah (baik hak-hak barat seperti Eigendom, erfpacht dan postal maupun
hak adat seperti hak ulayat dan hak pribadi). Berdasarkan UU No 5 tahun 1960 UUPA,
terutama dalam penjelasannya, dijelaskan bahwa tanah negara adalah tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, yaitu tanah yang bebas sama sekali dari hak-hak yang melekatinya

2. Pembebasan Tanah Daerah Kabupaten Sinjai

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan hal-hal sebagai berikut :


a. Pembentukan Panitia Pembebasan Tanah dikeluarkan berdasarkan Keputusan Bupati Sinjai
Nomor 990 tahun 2016 dengan susunan Sekretaris Daerah Kabupaten Sinjai sebagai
Penasehat, Kepala dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sinjai sebagai Ketua, Kepala BPN
sebagai Wakil Ketua, Kepala Bidang Prasarana Jalan dan Jembatan sebagai Sekretaris,
Asisten Tata Praja Setdakab sebagai anggota, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setdakab
sebagai anggota, Kabag Adm. Pemerintahan Umum Setdakab sebagai anggota, Camat Sinjai
Timur sebagai anggota, dan Lurah Samataring sebagai anggota.
b. Proses musyawarah pembebasan tanah di Kecamatan Sinjai Timur dilakukan selama 3 kali
musyawarah dikarenakan jumlah ganti rugi yang ditawarkan pemerintah yang memerlukan
tanah tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemilik tanah.
c. Setelah dilakukan musyawarah yang ketiga kalinya akhirnya terjadi kesepakatan antara
pemilik tanah dengan pemerintah. Adapun kesimpulan. Panitia Pembebasan Tanah yaitu
bahwa harga tanah disekitar Jalan Poros Sinjai – Kajang berkisar Rp. 163.000,- s/d Rp.
266.000,-. Sedangkan disekitar Kelurahan Samataring berkisar Rp. 98.000,- s/d Rp. 107.000,-
permeter.

2. Standar penentuan ganti rugi pembebasan hak milik atas tanah di Kecamatan Sinjai Timur
untuk pelebaran jalan yaitu pendekatan penilaian yang digunakan sesuai dengan harga pasar
yang berlaku.
3. Faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan pembebasan hak milik atas tanah di
Kecamatan Sinjai Timur yaitu :
a. Adanya sengketa diatas tanah yang akan dibebaskan dimana tanah tersebut adalah harta
warisan.
b. Banyaknya warga yang mengaku sebagai pemilik atau yang berhak atas tanah tersebut
namun tidak dapat memberikan bukti-bukti atau surat kepemilikan berupa sertifikat.
c. Terdapat pemilik tanah yang belum mendapat ganti rugi terhadap tanahnya yang
dibebaskan, sementara proyek pelebaran jalan telah dilakukan.
d. Adanya pihak ketiga yang sengaja memanfaatkan untuk mencari keuntungan dengan
adanya pembebasan tanah tersebut.

4. Analisa Rencana Solusi

a. Solusi Waduk Pluit, DKI Jakarta

Untuk mengatasi luapan banjir ketika terjadi hujan di Jakarta maka perlu dibuat
kanal atau dikenal dengan istilah flood way. Untuk membuat kanal tersebut dibutuhkan tanah
seluas 19 ha yang meliputi dua kecamatan atau enam kelurahan. Adapun lokasi yang terkena
jalur kanal tersebut adalah berupa lahan pemukiman, pertanian dan industri. Sebagai dasar
hukum pelaksanaan untuk memenuhi kebutuhan tanah tersebut adalah Keppres No.55 Th.
1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.Dari permasalahan yang ada disarankan agar dalam proses pengadaan tanah perlu
dilakukan penelitian yang akurat sebelum dilakukan penetapan besarnya ganti rugi dengan
mempertimbangkan letak tanah, kriteria terhadap tanah dan bangunan, penggunaan tanah,
kualitas bangunan, kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak, sosialisasi yang tepat dan
berulang berkaitan dengan tingkat pentingnya kegiatan pengadaan tanah sehingga masyarakat
memahami akan manfaat proyek dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan untuk
kepentingan umum tersebut.
b. Solusi Daerah Kabupaten Sinjai

Dilakukannya Pembentukan Panitia Pembebasan Tanah. Proses musyawarah pembebasan


tanah di Kecamatan Sinjai Timur dilakukan oleh pemerintah yang memerlukan tanah tidak
sesuai dengan yang diharapkan oleh pemilik tanah. Melakukan standart penentuan ganti rugi
pembebasan hak milik atas tanah di Kecamatan Sinjai Timur untuk pelebaran jalan yaitu
pendekatan penilaian yang digunakan sesuai dengan harga pasar yang berlaku.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Yang diperlukan saat ini adalah kampanye penyadaran kepada warga di Waduk Pluit.
Seluruh warga ibukota harus berdiri di belakang PemprovDKI, bahwa rehabilitasi dan revitalisasi
Waduk Pluit sangat urgent demi kebaikan bersama. Apalagi,saat ini hujan masih sering turun dan
tak terasa sudah mendekati musim penghujan. Semua pihakharus menyadari waduk adalah salah
satu ikhtiar manusia untuk mengendalikan air. Waduk berfungsi menampung air, mencegah
bencana banjir dan menanggulangi kekeringan. Jika upaya ini sukses, tentu menjadi parameter
penertiban permukiman liar di lahan-lahan milik negara lainnya yang terbukti menjadi biang
bencana di Ibukota Jakarta. Sudah saatnya masyarakat diberi pengertian bahwa menempati lahan
negara, apalagi yang memiliki fungsi ekologis dan menyangkut hajat hidup orang banyak adalah
pelanggaran hukum. Oleh karenanya, semua pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat
(LSM), seyogyanya membantu mengampanyekan hal tersebut, sehingga ke depan tercipta
ketertiban sosial di dalam masyarakat.

Kami menyimpulkan bahwa yang menjadi faktor penghambat pembebasan hak milik atas
tanah di Kecamatan Sinjai Timur yaitu karena diatas tanah yang ingin dibebaskan terdapat
sengketa mengenai siapa pemilik tanah tersebut. Satu orang mengatakan bahwa dialah pemilik
tanah tersebut dan yang lainnya mengatakan dialah yang berhak. Ada yang bersedia
membebaskan dan ada pula tidak berkeinginan. Beberapa orang pula keberatan tanahnya
dibebaskan namun mereka sendiri tidak punya suratsurat dan alat bukti kepemilikan. Selain itu
faktor penghambat lainnya yaitu karena adanya pihak ketiga yang sengaja memanfaatkan dengan
mencari keuntungan dengan adanya pembebasan tanah tersebut. Serta adanya pemilik tanah yang
belum mendapat ganti kerugian sementara pelebaran jalan telah dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai