Anda di halaman 1dari 5

NAMA : M.

Nur Irfan Soamole


NIM : 015433484
MATA KULIAH : Administrasi Pertanahan
1. Dasar hukum sengketa tanah menjadi landasan penting yang harus Anda

perhatikan ketika memiliki masalah dengan lahan tanah. Karena dengan

adanya dasar hukum tersebut, tentunya Anda pun bisa menemukan solusi

dengan tepat. Sehingga setiap permasalahan pun dapat diatasi dengan

mudah. Berikut ini adalah beberapa aturan yang berkaitan dengan hukum

sengketa tanah, di antaranya :

- Aturan yang berkaitan dengan pemindahan hak atas tanah karena proses

jual beli

o Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berisikan

tentang pendaftaran tanah. Lebih tepatnya pada pasal 37 ayat 1.

o Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Namun pada pasal

32 yang berisikan tentang sertifikat sebagai surat tanda bukti hak

yang tentunya dikenal sebagai bukti kuat.

- Aturan yang berkaitan dengan peralihan hak karena pewarisan

o Pasal 42 ayat 1 dari Peraturan Pemerintan Nomor 24 tahun 1997

mengenai aturan yang berkaitan dengan pendaftaran peralihan

hak karena bentuk pewarisan.

- Aturan yang berkaitan dengan sengketa dari batasan tanah

o Aturan ini tertera pada Undang-undang nomor 5 Tahun 1960

mengenai Pokok Agraria.

Selain beberapa dasar hukum di bagian atas tadi. Ada pula aturan hukum

sengketa tanah yang cukup sering digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Aturan tersebut terlihat melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 di

tahun 2016.
2. Mengenai gadai tanah pertanian, terdapat pengertian yang diberikan peraturan
perundang-undangan. Gadai tanah pertanian, dalam penjelasan Perppu Nomor 56
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang kemudian disahkan menjadi
undang-undang, disebutkan bahwa gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang padanya. Selama utang tersebut
belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan
uang tadi (pemegang-gadai). Dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria (UU Pokok Agraria), bagian penjelasannya dinyatakan bahwa
pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak
boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar
"freefight", akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan
syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara
pemerasan. Oleh karenanya muncullah UU Nomor 56 Prp 1960. Pada Pasal 7 peraturan
tersebut dinyatakan bahwa tanah-tanah yang sudah di gadaikan selama 7 tahun
dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tembusan.
Sedangkan Gadai yang waktunya kurang dari 7 tahun, besarnya uang tembusan dengan
rumus: (7 + ½ ) - ( waktu gadai) / 7 X Uang Gadai = Rp. .................. Ketentuan bahwa
tanah yang digadaikan selama 7 tahun wajib dikembalikan tanpa membayar uang
tebusan, dalam banyak kasus, Mahkamah Agung telah memutus demikian. Hal ini bisa
dilihat pada putusan Mahkamah Agung No. 38 K/Sip/1961 tanggal 17-5-1976, di mana
dapat diambil kaidah hukumnya yakni: “Walaupun dalam perkara ini yang digugatkan
adalah tanah pekarangan dengan rumah diatasnya menurut Mahkamah Agung pasal 7
No. 5o/1960 dapat diperlakukan anoloog sehingga pekarangan dan rumah haruslah
dikembalikan kepada pemiliknya tanpa pemberian kerugian.” Begitu juga pada putusan
Putusan Mahkamah Agung No. 903 K/Sip/1972 tanggal 10-10-1974. Didapati kaidah
hukum: “Istilah hak gadai yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 1960
pasal 7 adalah sama halnya dengan jual beli sende (sawah) tanah, oleh karenanya tanah
tersebut harus dikembalikan tanpa uang tebusan.”
3. Selain itu ada beberapa peraturan lainnya yang bertujuan untuk membantu masyarakat
dalam usahanya untuk menjadikan daerah itu tertib dan teratur. Dalam pembentukan
peraturan-peraturan ini pemerintah memiliki keterlibatan yang sangat dominan. Salah
satu peraturannya yakni peraturan tentang konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah ini
dituangkan dalam Peraturan Kepala BPN No. 4 / 1991 tentang Konsolidasi Tanah.
Masalah konsolidasi tanah ini menjadi sangat penting karena pada hakekatnya
pelaksanaan land reform menuju kepada konsolidasi tanah. Pada dasarnya kegiatan land
reform ini adalah suatu kegiatan yang menuju kepada apa yang disebut konsolidasi tanah
(land consolidation). Di dalam kasus tanah ini yang menjadi sasaran utamanya untuk
membuat penguasaan tanah yang semula tidak teratur menjadi teratur dan
menyeragamkan bentuk dan luasnya agar merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka
jelas program yang diadakan oleh pemerintah bertujuan untuk membantu masyarakat
untuk menjadikan daerahnya tertib dan teratur serta memberikan hasil yang bermanfaat
bagi rakyat Indonesia. Namun ditengah-tengah usaha pemerintah dalam menjalankan
program ini, ditemukan beberapa hambatan. Yang antara lain adalah beberapa Pasal dari
UUPA yang menjadi induk program ini bermasalah sehingga sulit diterapkan serta di
dukung kondisi sosial, politik, ekonomi pada saat itu (tahun 1961 – 1965) yang masih
labil.

4. Pembebasan tanah untuk proyek infrastruktur sampai saat ini masih menjadi persoalan
utama yang dihadapi dalam percepatan penyediaan infrastruktur di Indonesia. Hasil
kajian Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) menyebutkan
masalah pembebasan lahan menempati urutan kedua tertinggi setelah masalah
perencanaan dan penyiapan. Meskipun sudah lahir Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, namun
masih banyak masyarakat yang menolak tanahnya digunakan untuk pembangunan
infrastruktur. Negara didirikan demi kepentingan umum dan hukum adalah sarana utama
untuk merealisasikan tujuan itu. Salah satu isu pokok yang sering dipermasalahkan
adalah mengenai definisi kepentingan umum. Definisi kepentingan umum dikemukakan
oleh Huybers (1982:286) adalah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang
memiliki ciri-ciri tertentu antara lain menyangkut semua sarana publik bagi berjalannya
kehidupan yang beradab. Terdapat perbedaan pengertian konsep kepentingan umum
antara Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang sebelumnya menjadi landasan hukum soal pertanahan dengan aturan yang
terbaru yakni UU No 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Dalam UU No.5/1960, konsep kepentingan umum tidak disebutkan
secara jelas. Istilah kepentingan umum hanya digunakan sebagai legitimasi tindakan
negara untuk mencabut hak rakyat atas tanah. Hal itu termaktub dalam pasal 18 yang
menyatakan bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Hal itu
berbeda dengan UU No.2/2012 yang menyebutkan secara jelas pengertian kepentingan
umum dalam pasal 1 ayat 6 sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Untuk itu, disinilah kita perlu kembali memahami esensi dasar dari kepentingan
umum seperti yang termaktub dalam UU No. 22/2012 tersebut. Beragam penafsiran
tentang konsep kepentingan umum dalam konteks pembangunan mendorong kita untuk
menyatukan persepsi terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan
umum itu sendiri. Secara sederhana kepentingan umum dapat diartikan sebagai untuk
keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas.
Namun pengertian tersebut masih terlalu umum, tidak mampu memberikan suatu batasan
yang jelas. Menurut Maria SW Sumardjono dalam Buku Kebijakan Pertanahan; Antara
Regulasi dan Implementasi (2001) dijelaskan bahwa kepentingan umum yang
terumuskan dalam UU No.5/1960, UU No.20/1961 Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Benda-benda Yang Ada Di Atasnya dan Inpres No.9/1973 Tentang Pelaksanaan
Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, belum
menegaskan esensi kriteria kepentingan umum secara konseptual. Kepentingan umum
dinyatakan dalam arti “peruntukannya” yaitu kepentingan bangsa dan negara,
kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sedangkan dalam
Inpres No.9/1973 kepentingan umum diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut 4
macam kepentingan yaitu kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, kepentingan
bersama dan kepentingan pembangunan. Untuk Pengadaan Tanah, konsep kepentingan
umum didefiniskan dalam Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah memberikan klarifikasi dan
definisi yang tegas mengenai kepentingan umum yang mencakup 3 ciri yaitu kepentingan
seluruh masyarakat, kegiatan pembangunan yang dilakukan dimiliki oleh pemerintah dan
tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian interpretasi tentang
kegiatan termasuk dalam kategori kepentingan umum dibatasi pada terpenuhinya ketiga
unsur tersebut secara kumulatif. Konsep kepentingan umum dalam Keppres No 55/1993
kemudian diperkuat dalam Perpres no.36/2005 jo Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat. Rumusan kepentingan umum dalam Perpres tesebut
lebih tepat dengan menggunakan rumusan “sebagian besar lapisan masyarakat”. Sebab
sarana umum yang dibangun belum tentu dapat dinikmati semua masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai