PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara agraris, tanah memegang peranan penting bagi kehidupan
masyarakat, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.
Kebutuhan tanah untuk keperluan pembangunan semakin meningkat, di sisi lain persediaan
tanah negara sudah sangat terbatas…untuk itu salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk
memenuhi kebutuhan atau permasalahan diatas ialah melalui pembebasan tanah milik rakyat
atau tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dengan hak adat atau tanah dengan hak
lainnya.
Pasal 18 UU Nomor 5 tahun 1960 ( UUPA), meliputi :
^ UU Nomor 20 Tahun 1961
^ Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975
^ Keputusan Pesiden Nomor 36 Tahun 2005
^ Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
^ Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007
Nah, rincian tersebut ialah ketentuan yang mengatur pengadaan tanah, baik yang masih
berlaku maupun yang sudah tidak berlaku..
kenapa terbatas? karena sebagai negara agraris yang mayoritas pendudukanya bermata
pencaharian sebagai petani, maka dari itu berlakuya prinsip bahwa tanah itu oleh negara
dibagikan kepada sebanyak mungkin penduduk ( dengan hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha,dsb..)
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 ; pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan
dengan cara seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah
langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 telah diperbarui oleh UU Nomor 12 tahun 2012,
selanjutnya diatur lebih jelas dalam Perpres 71 Tahun 2012. Peraturan lanjutan dari
pengadaan tanah diperbaiki oleh Perpres Nomor 40 Tahun 2014, UU NOMOR 12
Tahun 2012 ditopang oleh pendanaan yang diatur dalam Permendagri Nomor 72
Tahun 2012
PENGERTIAN DAN MAKSUD PENGADAAN TANAH
Dalam Pasal 1 angka 3, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang dimaksud dengan pengadaaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepas atau menyerahkan tanah, bangunan, dan benda benda yang berkaitan
dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Pengadaan tanah sebenarnya merupakan perbahan dari istilah pencabutan hak atas tanah dan
pembebasan tanah. UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak hak atas tanah dan
benda benda yang ada di atasnya serta Peraturan Menteri Dalam Negeri ( PMDN ) Nomor 15
Tahun 1975.
Pengadaan tanah digunakan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993,
Peraturan Presiden (Prepres) Nomor 36 Tahun 2005, dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
65 Tahun 2006.
Sejak keluarnya Keppres Nomor 55 Tahun 1993, masalah pelepasan hak atas tanah
didelegasikan kepada pemerintah daerah, terutama kepada bupati/wali kota. Dalam Keppres
Nomor 55 Tahun 1993, istilah pembebasan tanah tidak lagi dipergunakan, tetapi yang dipakai
adalah pengadaan tanah dan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang menunjuk pada
perbuatan hukum yang melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah. Dalam
pasal 1 angka 1 Keppres Nomor 55 Tahun 1993, dikemukakan pengertian pengadaan tanah
sebagai setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada
yang berhak atas tanah tersebut.
Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 sebagai Perpres
perubahan terhadap Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang dimaksud dengan pengadaan tanah
adalah setiap kegiatan untuk mendapatakan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda benda yang
berkaitan dengan tanah.
Perpres Nomor 65 Tahun 2006, ganti rugi yang ditetapkan berdasarkan nilai jual objek pajak,
seperti yang diatur dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005. Perubahan terhadap peraturan
dilakukan melalui hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 2 dan Perpres Nomor 71
Tahun 2012 Pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak. UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012, pengadaan
tanah yang dilakukan oleh pemerintah adalah suatu rangkaian kegiatan yang
dimaksudkan untuk menyediakan tanah bagi pemerintah, kegiatan tersebut dilakukan
memberi ganti rugi dengan besaran yang layak pada masyarakat yang memiliki hak atas
tanah. Sementara itu, pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan demi
kepentingan umum dilaksanakan dengan,
1.) jual beli
2.) tukar-menukar
3.) kesepakatan sukarela oleh pihak pihak yang bersangkutan
Prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 6 Perpres Nomor 65 Tahun 2006, yaitu pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dan tanah
yang dikuasai dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
Sementara itu, pengertian pelepasan hak berdasarkan Pasal 1 ayat 6 UU Nomor 12 Tahun
2012, yaitu pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hokum dari pihak yang
berhak kepada negara melalui lembaga pertanahan. Melalui kegiatan musyawarah pemegang
hak atas tanah diupayakan memperoleh kesepakatan mengenai :
1.) pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
2.) bentuk dan besarnya ganti rugi.
Dalam Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang pedoman pedoman pencabutan hak-hak atas
tanah, dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan
pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan tersebut menyangkut :
- kepentingan bangsadan negara
- kepentingan masyarakat luas
- kepentingan rakyat
- kepentingan pembangunan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, yang dimaksud dengan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah meliputi :
- jalan umum, jalan tol, rel kereta api
- waduk,bendungan,irigasi
- rumah sakit umum
- pelabuhan, bandar udara,stasiun kereta api, terminal
- peribadatan, sekolah, pasar umum, dsb..
Berdasarkan Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2012, dalam hal pengadaan tanah dilakukan
untuk infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi, pengadaannya diselenggarakan berdasarkan
rencana strategis dan rencana kerja instansi yang memerlukan tanah. Pada Pasal 1 dijelaskan
bahwa pengadaan tanah diselenggarakan sesuai dengan,
1.) rencana tata ruang wilayah
2.) rencana pembangunan nasional
3.) rencana strategis
4.) rencana kerja setiap instansi yang perlu tanah
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan
tanah yang dibentuk oleh gubernur di setiap kabupaten/kota. Sementara itu, pengadaan tanah
yang berkenaan dengan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan
bantuan panitia pengadaan tanah tingkat provinsi.
Panitia pengadaan tanah dalam pasal 6 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 meliputi, wilayah
kabupaten/kota dibentuk oleh bupati, wilayah DKI dibentuk oleh gubernur, wilayah
terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih dibentuk oleh gubernur, susunan
panitia pengadaan tanah terdiri dari unsur pemda terkait dan BPN.
Berdasarkan Pasal 51 ayat 2 Perpres 71 Tahun 2012, susunan keanggotaan pelaksana
pengadaan tanah berunsurkan :
- pejabat yang membidangi urusan pengadaan tanah dilingkungan kantor
pertanahan
- pejabat pada kantor pertanahan setempat pada lokasi pengadaan tanah
- pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan
pertanahan
- camat setempat pada lokasi pengadaan tanah
- lurah/Kepala desa pada lokasi pengadaan tanah.
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengadaan tanah untuk kebutuhan proyek proyek
pembangunan sebagai berikut :
^ pengadaan tanah untuk proyek pembangunan harus memenuhi syarat tata
ruang dan tata guna tanah
^ penggunaan tanah tidak boleh melibatkan kerusakan atau pencemaran
terhadap kelestarian alam dan lingkungan
^ penggunaan tanah tidak boleh mengakibatkan kerugian masyarakat dan
kepentingan pembangunan.
Pengadaan tanah harus didahului oleh musyawarah dalam arti suatu proses atau
kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat. Musyawarah disini
bukan berarti breafing dan semacamnya yaa, akan tetapi dalam musyawarah semua pihak
yang terlibat dalam pengadaan tanah duduk bersama untuk mencapai kesepakatan, terutama
mngenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Ganti rugi yang dimaksud adalah penggantian
terhadap hak atas tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, yang
diberikan untuk hak atas tanah, tanaman, bangunan, benda benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Berdasarkan Pasal 33, penilaian besarnya nilaiganti rugi oleh penilai dilakukan bidang per
bidang tanah meliputi : Tanah, Ruang atas dan bawah tanah, Bangunan, Tanaman,
Benda yang berkaitan dengan tanah, Kerugian lain yang dapat dinilai.
Bentuk ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah dalam prngadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umun dapat berupa : Uang, Tanah pengganti,
Permukiman kembali, gabungan dan dua atau lebih bent ganti kerugian, Bentuk lain
yang disetujui oleh pihak pihak yang bersangkutan.
Dalam hal pemeang ha katas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi, dapat
diberikan komensasi berupa penyertan modal ( saham ) sesuai dengan ketentuan
peraturan prundang-undangan. Khusus terhadap tanah ulayat, sebagai penghargaan
dari hak hak komunal maasyarakat adat, tida mungkin diukur dengan sejumlah uang,
tetapi suatu recognisi yang dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ditekankan berupa
pembangunan fasilitas umum.
TATA CARA PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK
KEPENTINGAN UMUM
Masalah pencabutan hak atas tanah didasari oleh ketentuan Pasal 18 UU Nomor 5 Tahun
1960 tentang UU Pokok Agraria yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat.
Pasal tersebut di satu pihak memberikan landasan hukum kepada penguasa untuk dapat
memperoleh tanah yang diperlukan guna menyelenggarakan kepentingan umum. Secara
implisit, ketentuan pasal tersebut memungkinkan dilakukannya pencabutan hak itu sesuai
dengan syarat syarat yang ditetapkan.
Dari penjelasan umum pasal 18 UU Nomor 5 Tahun 1960, dinyatakan bahwa pada asasnya
jika diperlukan tanah kepunyaan orang lain untuk suatu keperluan haruslah terlebih dahulu
diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan pemilik tanah, misalnya
melalui jual beli, atau tukar menukar. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 UUPA tentang
fungsi sosial tanah, yaitu dalam kepentingan masyarakat umum dalam keadaan memaksa
haruslah ada wewenang pemerintah untuk mengambil dan menguasai tanah tersebut secara
sepihak dan dengan kuasa undang undang, yaitu undang undang tentang pencabutan hak atas
tanah.
Pencabutan hak atas tanah menurut UU pokok agraria adalah pengambilan tanah kepunyaan
suatu pihak oleh negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus,
tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalain dalam memenuhi
sesuatu kewajiban hukum dan walaupun pencabutan hak atas tanah dilakukan secara paksa
oleh negara.
Dapat pula dikatakan bahwa pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum
merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah-tanah untuk kepentingan umum setelah
berbagai cara lain melalui jalan musyawarah dengan yang empunya tanah menemui jalan
buntu dan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan, sedangkan keperluan untuk
penggunaan tanah dimaksud sangat mendesak sekali.
Saat ini, istilah yang digunakan untuk pencabutan hak atas tanah ataupun pembebasan
tanah adalah pengadaan tanah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 2007.
A. TATA CARA PENCABUTAN HAK ATAS TANAH
Undang undang yang mengatur pelaksanaan pencabutan ha katas tanah, yakni UU Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas tanah, yang mulai berlaku pada 26 september 1961.
Berlakunya UU ini sekaligus mengakhiri berlakunya peraturan warisan kolonial tentang pencabutan
hak atas tanah, yaitu Onteigeningsordonnantie. Ordonasi tersebut telah beberapa kali diubah dan
ditambah, dengan maksud menyesuaikan perubahan keadaan dan keperluan. Peraturan tersebut
disusun atas dasar pengertian hak eigendom, yaitu hak milik perseorangan yang tertinggi menurut
hukum barat, yang sifatnya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Ada beberapa aspek yang berbeda antara UU Nomor 20 Tahun 1961 dengan
Onteigeningsordonnantie yang meliputi :
- UU Nomor 20 Tahun 1961
- dalam system Onteigeningsordonnantie
- dalam system UU Nomor 20 Tahun 1961
- karena system yang berbeda seperti yang diungkapkan oleh system hukum
Peraturan pelaksana sebagai penjabaran dari UU Nomor 20 Tahun 1961 :
- peraturan pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh
pengadilan tinggi
- instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang pelaksanaan pencabutan hak-hak atas
tanah
Pencabutan ha katas tanah hanya boleh dilakukan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
- untuk kepentingan umum
- sebagai cara yang terakhir untuk memperoleh tanah yang diperlukan
Syarat-syarat ini, apabila digabung dengan isi Pasal 18 UUPA, ada lima syarat sebagai berikut :
- dilakukan untuk kepentingan umum
- memberi ganti rugi yang layak
- dilakukan menurut cara yang diatur oleh UU
- tidak mungkin memperoleh tanah di tempat lain untuk keperluan tersebut
Pencabutan hak diadakan untuk keperluan usaha-usaha negara karena menurut Pasal 18 UUPA hal itu
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum. Instansi yang berwenang melakukan pencabutan
hak atas tanah adalah Presiden sebagai pejabat eksekutif tertinggi.
Dalam pasal 1 pedoman pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dari lampiran Instruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 1973 diberikan perincian tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum :
- suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan
umum
- bentuk bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
- presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya, kecuali
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, pasal ini yang menurut pertimbangan perlu bagi
kepentingan umum.
Dengan adanya ketentuan ayat 3 yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk menenukan
bentuk kegiatan pembangunan sebagai kepentingan umum, pencabutan hak ini diadakan guna
keperluan usaha-usaha negara, baik untuk pemerintah pusat maupun daerah. Pencabutan hak untuk
kepentingan umum tidaklah dapat dilakukan dengan semuanya saja, tetapi harus dilakukan sesuai
dengan tata cara yang sudah digariskan dalam berbagai ketentuan perundang undangan.
Untuk mengadakan pencabutan hak menurut Oenteigeningordonnantie itu harus dilalui jalan yang
panjang dan memerlukan waktu yang cukup lama karena harus mengikutsertakan tiga instansi yaitu,
legislatif, eksekutif, dan pengadilan.
Menurut pasal 18 UUPA dan Pasal 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961, hak ha katas tanah
dapat dicabut apabila kepentingan umum menghendakinya. Dalam UUPA pencabutan hak ini
dipandang sebagai salah satu hal yang menyebabkan hapusnya hak atas tanah , UUPA hanya
menyebutkan hal ini dalam tiga pasal, yaitu pasal 27 (hak milik), pasal 34 (hak guna usaha), pasal 40
(hak guna bangunan). Menurut Pasal 27 UUPA, pencabutan hak ini adalah salah satu perbuatan
hukum yang mengakibatkan berpindahnya hak dari seseorang yang dicabut haknya kepada negara
yang melakukan pencabutan. Menurut pasal tersebut, hak milik hapus apabila terdapat :
- tanahnya jatuh kepada negara
- tanahnya musnah
-oleh kepala inspeksi agraria diusahakan supaya permintaan itu dilengkapi dengan
pertimbangan para kepala daerah
Terdapat ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para pemilik
tanah. Perlindungan hukum itu berupa kesempatan untuk minta banding kepada pengadilan tinggi
setempat mengenai besarnya ganti rugi apabila ganti ruginya dinilai terlalu rendah atau tidak
memuaskan. Permintaan banding tersebut harus diajukan selambat-lambatnya dalam waktu satu
bulan terhitung sejak keputusan Presiden
Dalam pasal 8 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 1961, dinyatakan bahwa sengketa mengenai bentuk
dan besarnya ganti kerugian dan sengketa sengketa lainnya tidak menunda jalannya pencabutan hak
dan penguasaan tanah yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “ sengketa-sengketa” adalah
sengketa mengenai siapa yang berhak atas tanah atau haknya dicabut itu. Setelah ditetapkan surat
keputusan pencabutan haknya oleh Presiden dan diselesaikan pembayaran ganti kerugiannya kepada
yang berhak, hapuslah hak milik tanah yang bersangkutan,sejak itu tanahnya menjadi tanah milik
negara. Baru kemudian tanah tersebut diberikan kepada yang berkepentingan dengan suatu hak yang
sesuai.
Berkenaan dengan masalah pencabutan hak atas tanah dan pembebasan di negara kita, berlaku
berbagai macam peraturan, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun isntruksi
Presiden sebagai surat edaran. Peraturan dimaksud mempunyai fungsi sebagai lanadasan hukum bagi
pemerintah untuk mendapatkan tanah dari warga masyarakat untuk kepentingan pembangunan atau
untuk sebagai kepentingan yang dapat menunjang pembangunan.
1.) pemilik hak atas tanah melepaskan haknya kepada negara dengan tujuan supaya
pihak yang membutuhkan diberikan hak atas tanah yang sesuai
2.) pihak yang membutuhkan tanah itu mengajukan permohonan kepada negara
3.) negara yang berwenang mengeluarkan surat keputusan pemberian hak
4.) pihak yang diberi hak memenuhi kewajibannya seperti yang ditentukan
1.) Tata Cara Pengadaan Tanah Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
- pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dilakukan berdasarkan prinsip
penghormatan terhadap ha katas tanah
- pencabutan ha katas tanah, dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang
nomor 20 tahun 1961
2.) Tata Cara Pengadaan Tanah Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
- pengadaan tanah bagi pelaksaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
pemerintah
- pengadaan tanah, dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar
- pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah
- pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota
- pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum