Anda di halaman 1dari 24

Pengadaan Tanah, Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda

yang ada Diatasnya

Dosen pengampu :

Disusun Oleh : (Kelompok VII)

-Yasmin Tri Sharma (200201117)

-Sofiana

-Robi Setiawan

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri Mataram

2021/2011

Bab I

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk

kelangsungan hidup manusia. Kehidupan manusia hampir sebagian besar

tergantung pada tanah, baik untuk mata pencaharian, kebutuhan sandang,

pangan, papan atau tempat tinggal dan kebutuhan lain yang bersifat

religius. Tanah juga merupakan kekayaan nasional yang dibutuhkan oleh

manusia baik secara individual, badan usaha maupun pemerintah dalam

rangka mewujudkan pembangunan nasional.

pembangunan di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Kegiatan

pembangunan gedung sekolah, rumah sakit, pasar, stasiun kereta api,

tempat ibadah, jembatan, pengadaan berbagai proyek pembuatan dan

pelebaran jalan serta pembangunan lainnya memerlukan tanah sebagai

sarana utamanya.Kepemilikan tanah di Indonesia menganut sistem fungsi

sosial, artinya , kegunaan dari tanah itu lebih mengutamakan kepentingan

umum dari kepentingan individu atau golongan. Sebagaimana termuat

dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa : “ semua hak

atas tanah mempunyai fungsi sosial ”.

B. Rumusan Masalah

Dari tema dan judul makalah ini di dapatkan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Apa itu pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah ?

2. Bagaimana pelaksanaan,dan Bentuk pengadaan serta pencabutan

hak atas tanah di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dibahasnya materi terkait "pengadaan tanah,pencabutan hak atas

tanah dan benda-benda yang ada diatas tanah adalah:

1. Mengetahui dan memahami apa itu pengadaan dan pencabutan

hak atas tanah.

2. Memahami asas-asas,Dasar hukum, Bentuk-bentuk dan prosedur

pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah.

3. Mengetahui bagaimana penilaian harga tanah dan ganti

kerugiannya.

Bab II

Pembahasan

A. Pengadaan Tanah

1. Pengertian

Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah

dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau

menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah. Istilah pengadaan tanah dipergunakan

pertama kali di dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993


tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 pengadaan tanah

didefinisasikan sebagai berikut : "Pengadaan tanah adalah setiap

kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti

rugi kepada yang berhak atas tanah tersebut."

Pada tahun 2012 pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ketentuan Pasal 1 angka 2

mendefinisikan pengadaan tanah sebagai berikut : "Pengadaan tanah

adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti

kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak."

Adapun menurut beberapa ahli berpendapat sebagai berikut :

a. Boedi Harsono

Perbuatan hukum yang berupa melepaskan hubungan hukum yang

semula ada antara pemegang hak dan tanahnya yang diperlukan,

dengan pemberian imbalan dalam bentuk uang, fasilitas atau

lainnya, melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat antara

empunya tanah dan pihak yang memerlukan.

b. Gunanegara

Proses pelepasan hak atas kepemilikan orang atas tanah dan/atau

benda-benda yang ada di atasnya yang dilakukan secara sukarela

untuk kepentingan umum.

Berdasarkan definisi diatas, diketahui bahasa pengadaan tanah

memiliki beberapa unsur,yaitu :


a. Perbuatan hukum berupa pelepasan hak atas tanah menjadi

tanah Negara.

b. Pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum.

c. Perbuatan hukum didasarkan pada musyawarah dan

kesukarelaan.

d. Disertai ganti rugi yang adil dan layak.

2. Asas-asas

Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 menyatakan

kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, Negara, dan

masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pada Bab II undang-undang ini menjelaskan asas dan tujuan dari

pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Pasal 2 berbunyi

Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan

asas :

a. Kemanusiaan

Pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta

penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan

martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional.

b. Keadilan

Memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak

yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga

mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan

kehidupan yang baik.

c. Kemanfaatan
Hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara

luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

d. Kepastian

Memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses

pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan

jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti

kerugian yang layak.

e. Keterbukaan

Pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan

memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan

informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.

f. Kesepakatan

Proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para

pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan

bersama.

g. Keikutsertaan

Dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui

partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak

langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan

pembangunan.

h. Kesejahteraan

Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai

tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang berhak dan

masyarakat secara luas.

i. Keberlanjutan
Kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus

menerus, ber kesinambungan , untuk mencapai tujuan yang

diharapkan.

j. Keselarasan

Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan

sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara.

Pada Pasal 3 menyatakan Pengadaan Tanah untuk kepentingan

umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan

kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap

menjamin kepentingan umum yang berhak.

3. Dasar hukum

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai

dengan sekarang telah berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961,

kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN

(Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian

dicabut dan diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Namun dengan berlakunya

ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan

konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari

Keppres No. 55 Tahun 1993 dan dikaitkan pula dengan Undang-undang

No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang

No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah.

Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor

36 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden


Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan saat ini Indonesia belum

memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang

Pengadaan Tanah.

Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah

diatur dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang

Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65

Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36

Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

4. Bentuk-bentuk

Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk

pengadaan tanah yaitu :

a. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas

tanah (pembebasan hak atas tanah).

b. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.

Perbedaan yang menonjol diantara keduanya yaitu ; pencabutan hak

atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak

atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan

tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah.

Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas

bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan

hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun

dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan

bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak


dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam

Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara

pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara

pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila

jalur musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana

jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum

mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.

Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara

cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun

2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku.

Ini agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan tidak dengan mudah

saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan

tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No

65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-

peraturan sebelumnya.

Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga

memberikan suatu terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal

18A. Pasal 18A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-

benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia

menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap

jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta

banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak

Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan

Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti

Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-


Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal

18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961.

Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No.

20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-

Perpres yang ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada

Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri. Sehingga

dianggap dapat memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-

wenangan birokrasi eksekutif yang notabene adalah pihak yang paling

berkepentingan dalam urusan ini.

5. Prosedur

Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 19 Tahun 2021

(Permen ATR/BPN 19/2021) tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor

19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum resmi terbit. Dalam Permen

ATR/BPN 19/2021 disebutkan terdapat empat tahap pengadaan tanah

untuk kepentingan umum.Keempat tahap tersebut adalah perencanaan,

persiapan, pelaksanaan, serta penyerahan hasil.

a. Perencanaan
Pada tahapan ini setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum menyusun Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah,
yang sedikitnya memuat:
1) Maksud dan tujuan rencana pembangunan,

2) Kesesuaian dengan rancangan tata ruang wilayah (RTRW) dan prioritas


pembangunan,
3) Letak tanah,

4) Luas tanah yang dibutuhkan,

5) Gambaran umum status tanah,


6) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah dan pelaksanaan
pembangunan,
7) Perkiraan nilai tanah, dan

8) Rencana penganggaran.
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah tersebut disusun berdasarkan studi
kelayakan yang mencakup survei sosial ekonomi, kelayakan lokasi, analisis biaya
dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat, perkiraan harga tanah,
dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat pengadaan
tanah dan bangunan, serta studi lain yang diperlukan. Dokumen Perencanaan
tersebut selanjutnya diserahkan oleh instansi yang memerlukan tanah kepada
Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah berada.
b. Persiapan
Dalam tahapan persiapan, Gubernur membentuk Tim Persiapan dalam waktu
paling lama 10 hari kerja, yang beranggotakan Bupati/Walikota, SKPD Provinsi
terkait, instansi yang memerlukan tanah, dan instansi terkait lainnya. Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan, Gubernur membentuk sekretariat
persiapan Pengadaan Tanah yang berkedudukan di Sekretariat Daerah Provinsi.
Adapun tugas Tim Persiapan sebagai berikut:
1) Melaksanakan Pemberitahuan Rencana Pembangunan
Pemberitahuan rencana pembangunan ditandatangani Ketua Tim
Persiapan dan diberitahukan kepada masyarakat pada lokasi rencana
pembangunan, paling lama 20 hari kerja setelah Dokumen Perencanaan
Pengadaan Tanah diterima resmi oleh Gubernur. Pemberitahuan dapat
dilakukan secara langsung melalui sosialisasi, tatap muka, dan/atau
surat pemberitahuan, atau melalui pemberitahuan secara tidak
langsung melalui media cetak maupun media elektronik
2) Melakukan Pendataan Awal Lokasi Rencana Pengadaan
Pendataan awal lokasi rencana pengadaan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah
bersama aparat kelurahan/desa paling lama 30 hari kerja sejak
pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan dituangkan
dalam bentuk daftar sementara lokasi rencana pembangunan yang
ditandatangani Ketua Tim Persiapan sebagai bahan untuk pelaksanaan
Konsultasi Publik rencana pembangunan.
3) Melaksanakan Konsultasi Publik Rencana Pembangunan
Konsultasi Publik rencana pembangunan dilakukan untuk mendapatkan
kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak dan
masyarakat yang terkena dampak, dan dilaksanakan paling lama 60 hari
kerja sejak tanggal ditandatanganinya daftar sementara lokasi rencana
pembangunan. Hasil kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan
dituangkan dalam berita acara kesepakatan.
4) Menyiapkan Penetapan Lokasi Pembangunan
Penetapan Lokasi Pembangunan dibuat berdasarkan kesepakatan yang
telah dilakukan Tim Persiapan dengan Pihak yang Berhak atau
berdasarkan karena ditolaknya keberatan dari Pihak yang Keberatan.
Penetapan Lokasi Pembangunan dilampiri peta lokasi pembangunan
yang disiapkan oleh instansi yang memerlukan tanah. Penetapan Lokasi
Pembangunan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat dilakukan
permohonan perpanjangan waktu 1 kali untuk waktu paling lama 1
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum 10 tahun kepada gubernur yang
diajukan paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu
Penetapan Lokasi Pembangunan.
5) Mengumumkan Penetapan Lokasi Pembangunan
Pengumuman atas Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan
umum paling lambat 3 hari sejak dikeluarkan Penetapan Lokasi
Pembangunan yang dilaksanakan dengan cara ditempelkan di kantor
Kelurahan/Desa, dan/atau kantor Kabupaten/Kota dan di lokasi
pembangunan maupun diumumkan melalui media cetak dan/atau
media elektronik. Pengumuman Penetapan Lokasi Pembangunan
dilaksanakan selama paling kurang 14 hari kerja.
c. Pelaksanaan
Berdasarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan umum, instansi
yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan dilengkapi/dilampiri Dokumen
Perencanaan Pengadaan Tanah dan Penetapan Lokasi Pembangunan. Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah diserahkan kepada Kepala BPN,
yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah. Pelaksana Pengadaan Tanah kemudian melakukan
penyiapan pelaksanaan Pengadaan Tanah yang dituangkan dalam Rencana Kerja
yang memuat hal-hal sebagai berikut:
1) Rencana pendanaan pelaksanaan

2) Rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan

3) Rencana kebutuhan pelaksana pengadaan

4) Rencana kebutuhan bahan dan peralatan pelaksanaan

5) Inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor penghambat dalam


pelaksanaan
6) Sistem monitoring pelaksanaan.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah secara garis besar meliputi:
1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah
Dilakukan dengan jangka waktu paling lama 30 hari. Adapun
kegiatannya meliputi pengukuran dan pemetaan bidang per bidang
tanah serta pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan
Tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah tersebut wajib diumumkan di
kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan dan tempat Pengadaan Tanah
dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja. Dalam hal tidak
menerima hasil inventarisasi, Pihak yang Berhak dapat mengajukan
keberatan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dalam waktu
paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi,
untuk kemudian dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling
lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas
hasil inventarisasi.
2) Penilaian Ganti Kerugian
Hasil pengumuman dan/atau verifikasi serta perbaikan atas hasil
inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
dan selanjutnya menjadi dasar penentuan Pihak yang Berhak dalam
pemberian Ganti Kerugian. Penetapan besarnya nilai ganti kerugian oleh
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa
penilai atau penilai publik yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah yang penilaiannya dilaksanakan paling lama
30 hari kerja.
3) Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian
Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan musyawarah dengan Pihak yang
Berhak dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari
Penilai disampaikan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah untuk
menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan
hasil penilaian Ganti Kerugian. Hasil kesepakatan dalam musyawarah
tersebut menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang
Berhak/kuasanya yang dimuat dalam berita acara kesepakatan. Dalam
hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti
Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja
setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pengadilan Negeri
memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling
lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Pihak yang
keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling
lama 14 hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama
30 hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang
mengajukan keberatan.
4) Pemberian Ganti Kerugian
Pelaksana Pengadaan Tanah membuat penetapan mengenai bentuk
ganti kerugian berdasarkan berita acara kesepakatan dan/atau putusan
Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung. Pada saat pelaksanaan
pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan atau
pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di Pengadilan Negeri,
kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus
dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
d. Penyerahan hasil
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada
instansi yang memerlukan tanah disertai data Pengadaan Tanah paling lama 7
hari kerja sejak pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah dengan berita acara.
Setelah proses penyerahan, paling lama 30 hari kerja instansi yang memerlukan
tanah wajib melakukan pendaftaran/pensertifikatan untuk dapat dimulai proses
pembangunan.
B. Pencabutan Hak atas tanah

1. Pengertian
Pencabutan hak atas tanah (Onteigening) didasari oleh ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-
Benda Yang Ada diatasnya. Pencabutan hak atas tanah merupakan pengambilan
tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum secara paksa
oleh negara untuk kepentingan umum tanpa yang bersangkutan melakukan
pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum, dengan
pemberian ganti kerugian yang layak yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi
hapus dan tanahnya kembali menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai
langsung oleh negara.
Di Indonesia peraturan yang mengatur baik pemebasan tanah atau pencabutan hak
atas tanah yaitu dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 maka peraturan yang ada
dan berlaku pada saat itu tetap dapat diberlakukan sepanjang belum dibuat yang
baru dan tidak bertentangan dengan ketntuan dalam UUD 1945. Dengan adanya
ketentuan tersebut maka ketentuan pembebasan tanah pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda yang diatur dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana telah
di rubah dengan Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan pencabutan tanah
sebagaimana diatur dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku.
pencabutan tanah secara tegas diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 18 UUPA
disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-Undang. Dari ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut maka dapat dikatakan
bahwa pencabutan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang tanah
tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum, sesuai dengan ketentuan pasal 16
UUPA bahwa tanah mempunyai pungsi sosial.
Kewenangan Negara dalam pengambil alihan hak atas tanah untuk kepentingan
umum di Indonesia di derivasikan dari Hak Menguasai Negara Hak menguasai negara
memberikan kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara Dan dalam
perkecualian untuk kepentinga numum baru dapat mengambil alih hak atas tanah
rakyat. Negara tidak memiliki semua tanah maka Negara harus membayar
kompensasi jika Negara memerlukan tanah milik rakyat untuk penyelenggaraan
kepentingan umum tersebut.
Berbeda dengan Hak Menguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan Negara
sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan
peruntukkan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dan tanah, tetapi hanya
bersifat hukum publik Menurut asas ini, Negara tidak dapat memiliki tanah
sebagaimana perseorangan, meskipun Negara dapat menguasai tanah Negara,
prinsip ini harus ditafsirkan sebagai peran Negara, yaitu sebagai wasit yang adil yang
menentukan aturan main yang ditaati oleh semua pihak dan bahwa Negara juga
tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri ketika turut berperan sebagai aktor
Sebaliknya dengan konsep fungsi sosial hak atas tanah yang juga menjadi legitimasi
Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum.
Sebagai peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan Undang-UndangNomor 20 Tahun
1961 Tentang Pencabutan HakAtas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya,
Lembaran Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 2324. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut
maka ketentuan mengenai pencabutan tanah pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda sebagaimana diatur dalam Onteigening sordonnantie (Stb. 1920 Nomor
574) dinyatakan tidak berlaku.
2. Syarat pencabutan hak atas tanah
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening tersebut
dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:
a. Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum
benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas
menjadi dasar dalam pencabutan hak ini.
b. Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas
tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.
c. hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang layak.
Pencabutan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan
tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum atau menyalahgunakan
wewenang oleh pemerintah.
C. Tata cara penetapan ganti kerugian
Dalam peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 adalah suatu panitia yang
bertugas melakukan dan menetapkan dalam rangka pembembebasan hak atas tanah
dengan atau tampa bangunan, tanaman, tumbuh-tumbuhan diatasnya yang
pembentukannya di tetapkan oleh oleh Gubenur Kepala Daerah untuk masing-masing
Kabupaten dan Kotamadya dalam suatu wilayan provinsi yang bersangkutan dengan
panitia ini sebenarnya terjawab berapa jauh harga patokan tanah akan di tetapkan di
satu wilayah :
1. Mengadakan investarisasi dari serta penelitian setempat terhadap keadaan
tanahnya, tanaman, tumbuh-tumbuhan dan bangunan-bagunan.
2. Mengandakan prundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan bagunan,
serta tanaman.
3. Menaksir besarnya ganti rugi yang akan di bayarkan kepada yang berhak.

4. Membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa pertimbangannya.

5. Memyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhaktanah,


bagunan, dan tanaman tersebut.
Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterima oleh
pemegang hak atas tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20
tahun 1961, pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut.
Hal ini diatur dalam peraturan pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara
penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut,
maka pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4
dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah
diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan tinggi
yang berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang
sesingkat-singakatnya.
Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas
tanah, tidak mau menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat
keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan
secara bijak dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang
hak atas tanah semula telah melepaskan haknya tersebut.
D. Mekanisme pencabutan hak atas tanah
Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam UU
No. 20 tahun 1961 dapat dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5
UU No. 20 tahun 1961) maupun dengan acara luar biasa (pasal 6 sampai dengan 8 UU
No. 20 tahun1961).
1. Dengan acara biasa
Dalam acara biasa pihak pemohon (instansi yang membutuhkan tanah)
menyampaikan permohonan kepada Presiden RI denganperantara Menteri
Dalam negeri /drijen Agraria setempat dengan disertai alasan-alasan dan
syarat-syarat seperti ditentukan pasal 2 ayat 2 UU No. 20 tahun 1961 yaitu:
a. Rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk
kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
b. Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas
dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-
benda yang bersangkutan.
c. Rencana penampungan orang-orang yang haknya akandicabut itu dan
kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati
rumah yang bersangkutan.
2. Dengan acara luar biasa
Dalam keadaan mendesak pencabutan hak atas tanah dapat dilakuakan dengan
acara luar biasa atau acara khusus yang memungkinkanya dilakukan secara
lebih cepat. Keadaan mendesak ini misalnya dalam hal berjangkitnya wabah
penyakit dan timbulnya alam dimana di perluakan tempat penampungan
segera.
a. Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat
mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/ atau benda-
benda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang
berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan
untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada
Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran gantn ikerugian Panitya
Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya
pertimbangan Kepala Daerah.
b. Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat
mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenan kepada yang
berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda yang
bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti
dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya
permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu.
c. Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut
pada ayat 2 pasal ini,maka bilamana kemudian permintaan pencabutan
haknya tidak dikabulkan, yang berkepentingan harus mengembalikan
tanah dan/atau bendabenda yang bersangkutan dalam keadaan
semula dan/atau memberi gantikerugian yang sepadan kepada yang
mempunyai hak.
Menurut PMDN No. 15 tahun 1975 pembebasan tanah hanya dapat dilakukan
apabila telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan itu
menyangkut baik teknis dan pelaksanaanya maupun mengenai besar dan
bentuk ganti rugi. Kesepakatan itu dilakukan atas dasar sukarela dengan cara
musyawarah. Jika upaya pembebasan tanah menurut prosedur tersebut tidak di
capai maka dapat di tempuh prosedur pencabutan seperti diatur dalam UU No.
20 tahun 1961 dengan ketentuan bahwa keperluan atau penggunaan atas
tanah itu sangat mendesak.
Dan bila dalam musyawarah tidak di temui kata sepakat maka dan di dalam
UPDN No 15 tahun 1975 juga tidak di jelaskan bagaimana kah jika tidak ditemui
kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah, maka untuk
menguasai tanah tersebut dapat ditempuh prosedur “pencabuatan” sesuai
dengan undang-undang Nomor 20 tahun 1961 dengan konsukwensi bahwa
prosenya akan berjalan lebih lama.

E. Penilaian

Penilaian harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh
Lembaga Penilai Harga Tanah/Tim Penilai Harga Tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah saat ini
dipercayakan kepada Lembaga Penilai Independen yaitu Lembaga Appraisal yang mendapat
lisensi dari Menteri Keuangan dan BPN. Sedangkan untuk harga bangunan dan/atau tanaman
dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh Kepala
Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang membidangi bangunan dan/atau benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut.

Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai
nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada
variable-variabel sebagai berikut :

1. Lokasi dan letak tanah.


2. Status tanah.
3. Peruntukan tanah.
4. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan
wilayah atau tata kota yang telah ada.
5. Sarana dan prasarana yang tersedia.
6. Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

F. Ganti Kerugian

Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk


kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya ganti rugi. Ketentuan mengenai
pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di Negara kita. UUPA
mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan member ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

Ganti rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang
bersangkutan.13 Pola penetapan ganti rugi atas tanah dinegara kita ditetapkan melalui
musyawarah dengan memperhatikan harga umum setempat disamping faktor-faktor lain yang
mempengaruhi tanah. 14 Ganti kerugian yang diberikan dapat berupa :

1. Uang.
2. Tanah pengganti.
3. Pemukiman kembali.
4. Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a, b, dan c.
5. Bentuk lain yang disetujui para pihak.

Guna mewujudkan hal tersebut di atas maka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat haruslah diatur
dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak-hak ekonomi yang dimilikinya.

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan

tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang

melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan

benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Yang kemudian diatur


dalam undang-undang demi kepentingan bersama (umum)
Pencabutan hak atas tanah merupakan pengambilan tanah yang dimiliki atau
dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum secara paksa oleh negara untuk
kepentingan umum tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau
lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum, dengan pemberian ganti
kerugian yang layak.

Daftar Pustaka

Prof.Boedi Harsono,"Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan

hukum Tanah", Percetakan CV Terima Grafica,Jakarta 2006.

Rof Wahanisa,"Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda yang Ada Diadanya:

Antara Ada dan Tiada", Jurnal Rechts Vinding/ media pembinaan hukum

Nasional/ vol 8,No.3, Semarang 2019.

Achmad Rusyaidi H, "Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara

Kepentingan Umum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia", 2009.

Ikomang Darmang," Mekanisme Pembebasan dan Pencabutan Hak Atas Tanah",

Jurnal Belom Bahadat : vol. 8,No.2, Desember 2018.


Red,"Ini 4 Tahap Pengadaan Tanah dalam Permen ATR/BPN 19/2021", update

terakhir 30 Juli 2021, https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-4-tahap-

pengadaan-tanah-dalam-permen-atr-bpn-19-2021-lt6103ab27b87f8 ,akses 8 April

2022.

Samarinda.Niaga.Asian,"Ini 4 Tahapan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan

Umum", update terakhir 3 Agustus 2021, https://www.niaga.asia/ini-4-tahapan-

pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-umum/ , akses 8 April 2022.

Penilaian.id,"Tahapan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012", update

terakhir 10 November 2018, https://penilaian.id/2018/11/10/tahapan-pelaksanaan-

pengadaan-tanah-bagi-pembangunan-untuk-kepentingan-umum-berdasarkan-

undang-undang-nomor-2-tahun-2012/ , akses 8 April 2022.

Anda mungkin juga menyukai