Anda di halaman 1dari 12

UJIAN AKHIR SEMESTER

ADMINISTRASI PERTANAHAN

Dosen Pengampu :

Dr. H. MAISONDRA ,SH, MH, M.PD, Dipl. Ed. Pd. Dip

Disusun Oleh :

Nama : Christian Ferdinand Suot

Npp : 29.1862

Kelas : G-2

Semester : 6 (Enam)

PRODI TEKNOLOGI REKAYASA INFORMASI PEMERINTAHAN

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

2021
Soal :

1. Bagaimana Konsep Kebijakan Tanah Nasional ?

2. Bagaimana Kewenangan Urusan Pemerintahan Daerah bidang Pertanahan


berdasarkan PP.

No.38 tahun 2007 dan dalam konteks Otonomi Daerah?

3. Bagaimana Proses Pembebasan Tanah?

4 Analisa 1 kasus Pertanahan yang menasional yang terjadi yang menarik


perhatian praja.

JAWAB:

1. Konsep Pertanahan Nasional


UUPA sebagai pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam pengaturan di
bidang pertanahan mendasarkan pada konsep bahwa semua tanah adalah
tanah bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
penguasaannya ditugaskan kepada negara untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Hak menguasai dari negara sebagaimana tersebut dalam
Pasal 2 UUPA memberikan kewenangan untuk mengatur dan menetapkan
berbagai segi penguasaan tanah yang dianggap sebagai tugas pemerintah.
Konsepsi hukum tanah nasional dapat dilihat dari ketentuan Pasal 5 UUPA
bahwa yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama. Konsepsi hukum tanah nasional dalam UUPA pada dasarnya
merupakan pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan dalam
Pasal 33 juga menunjukkan bahwa penyelenggaraan pengaturan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan kewenangan negara
dan tidak ada ketentuan dalam Pasal 33 yang menyatakan bahwa kewenangan
tersebut merupakan kewenangan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah
Kewenangan pemerintah pusat maupun daerah di bidang pertanahan tidak
terlepas dari kebijakan pertanahan yang termuat dalam UUPA maupun peraturan
perundang-undangan lain sebagai pelaksanaan UUPA tersebut. Adapun salah
satu kebijakan pertanahan :
1. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Berlakunya UUPA
dapat dimaknai sebagai bagian keberhasilan bangsa Indonesia untuk secara
perlahan melepaskan diri dari keterikatan peraturan hukum agraria yang
bersendikan pemerintah jajahan yang bertentangan dengan kepentingan
rakyat dan bangsa Indonesia. Sebelum berlakunya UUPA, telah terjadi
dualisme peraturan yaitu berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat
dan peraturan yang didasarkan pada hukum barat sebagai akibat dari politik
hukum pemerintah jajahan. Hal ini tidak mencerminkan adanya kepastian
hukum dan dapat menimbulkan terjadinya konflik antar golongan yang
mengancam persatuan bangsa.

Pertanahan sebagai suatu bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak
memerlukan arah kebijakan dalam penanganannya oleh negara. Arah kebijakan
pembaruan agraria meliputi antara lain:

a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-


undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini;

b. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan


pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan;

c. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi


penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform;

d. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria


yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan
atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini;

e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban


pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang
berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi; dan

f. mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria


dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
Terkait dengan kebijakan pertanahan nasional, hal-hal yang menyangkut hukum,
kebijakan, dan pedoman dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah
maupun keputusan presiden menjadi tanggung jawab pemerintah pusat
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,
yaitu mengenai:

a. penetapan persyaratan pemberian hak-hak atas tanah;

b. penetapan persyaratan landreform;

c. penetapan standar administrasi pertanahan;

d. penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan; dan

e. penetapan Kerangka Dasar Kadastral Nasional dan pelaksanaan pengukuran


Kerangka Dasar Kadastral Nasional Orde I dan II

2. Bagaimana Kewenangan Urusan Pemerintahan Daerah bidang Pertanahan


berdasarkan PP.
1. Kewenangan Pemerintah Pusat di bidang pertanahan
Perumusan kebijakan di bidang pertanahan semenjak berlakunya UU Nomor 22
Tahun 1999 hingga berlakunya UU nomor 32 Tahun 2004 masih dilakukan oleh
pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional).
Urusan bidang pertanahan hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat,
sedang yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah adalah “pelayanan
pertanahan”. Kewenangan bidang pertanahan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun2007 merupakan urusan yang wajib diselenggarakan oleh
pemerintah kabupaten/kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 juga menentukan bahwa urusan
bidang pertanahan secara nasional masih tetap menjadi kewenangan
pemerintah, meliputi pembuatan produk hukum, kebijakan, pedoman mengenai
pemberian hak-hak atas tanah, pendaftaran tanah, reformasi atau perombakan
pertanahan (landreform), yang kesemuanya tersebut dituangkan dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan atau keputusan
presiden, dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya.

Hal-hal yang berkenaan dengan hukum, kebijakan, dan pedoman dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah maupun keputusan presiden menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat sebagaimana yang ditegaskan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, yaitu mengenai:
◦ 1. penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah;
◦ 2. penetapan persyaratan landreform;
◦ 3. penetapan standar administrasi pertanahan;
◦ 4. penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan; dan
◦ 5. penetapan kerangka dasar kadastral nasional.

Menurut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003, kewenangan pemerintah di


bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten meliputi :

1. pemberian ijin lokasi;


2. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
3. penyelesaian sengketa tanah garapan;
4. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
5. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee;
6. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
7. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
8. pemberian ijin membuka tanah; dan
9. perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten.

3. Bagaimana Proses Pembebasan Tanah?


Syarat-syarat pembebasan lahan tempat tinggal 
Ada beberapa syarat yang perlu kamu ketahui dalam proses pembebasan tanah
tempat tinggal dengan deskripsi sebagai berikut.
1. Pembebasan lahan tempat tinggal merupakan upaya terakhir untuk menguasai
tanah yang diperlukan dan tidak ada cara lain untuk memperoleh tanah tersebut.
2. Tanah tersebut digunakan untuk keperluan pemerintah dalam bentuk
infrastruktur.
3. Ada nilai ganti rugi yang layak bagi pemilik lahan dan tempat tinggal 
4. Dilaksanakan berdasarkan keputusan presiden 
5. Apabila nilai ganti rugi tidak sesuai dengan jumlah yang disepakati, kamu pun
berhak mengajukan banding ke pengadilan sampai menerima jumlah yang
layak. 
Undang-undang yang mengatur tentang pembebasan lahan tanah dan hunian
Secara hukum dan tertib administrasi, prosedur pembebasan tanah dan hunian
telah diatur oleh Undang-Undang dan Peraturan Presiden.
Adapun, aturan ini sudah berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2015 .

Aturan tersebut merupakan Perubahan Peraturan Presiden Nomor 71 tahun


2012, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.

Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 

1. Instansi yang memerlukan tanah adalah lembaga negara, kementerian,


lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang
mendapat tugas khusus pemerintah dalam rangka penyedia infrastruktur dan
kepentingan umum.

2. Ganti rugi adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak
dalam proses Pengadaan Tanah.

3. Penilai Pertanahan adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian


secara independen dan profesional yang mendapat izin praktik penilaian dari
Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari BPN untuk menghitung nilai
Objek Pengadaan Tanah.

4. Penilai Publik adalah penilai yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan
untuk memberikan jasa penilaian.

5. Penetapan Lokasi adalah penetapan atas lokasi pembangunan untuk


kepentingan umum yang ditetapkan dengan keputusan gubernur, yang
dipergunakan sebagai pengadaan tanah, perubahan penggunaan tanah, dan
peralihan hak atas tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Bagaimanakah proses perhitungan biaya ganti rugi dalam proses pembebasan
lahan.

Besaran penilaian ganti rugi lahan atau hunian yang diambil kembali oleh negara
untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan atau BPN. 

Adapun, nilai ganti rugi tersebut merupakan nilai pada saat pengumuman
penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. 

Selanjutnya, penetapan besaran nilai ganti rugi dilakukan oleh Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa atau penilai publik. 

Setelah ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, nilai ganti kerugian
tersebut menjadi dasar musyawarah menjadi dasar pemberian ganti rugi pada
pemilik tanah dan hunian.

Umumnya, besaran nilai ganti rugi tidak hanya ditentukan berdasarkan harga
pasar tanah dan nilai appraisal saja, namun juga bergantung pada NJOP dari
masing-masing wilayah.  

Perlu diketahui, proses perhitungan biaya ganti rugi disesuaikan oleh keputusan
kedua belah pihak demi menjaga nilai transparansi yang baik. 

Selain itu, apabila pihak merasa keberatan dengan keputusan dan nilai ganti rugi
yang tidak sesuai, maka bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri paling
lama 14 hari setelah musyawarah penetapan ganti rugi. 

Semoga informasi di atas bisa bermanfaat untuk kamu yang sedang menerima
penyuluhan mengenai proyek infrastruktur yang akan segera dibangun di dekat
rumah kamu. 

Dapat disimpulkan jika proses ini merupakan salah satu hal kendala yang paling
menyita waktu, khususnya pada proses ganti rugi. 
4. Analisa 1 kasus Pertanahan yang menasional yang terjadi yang menarik
perhatian praja.

Prosedur Pembebasan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Migas

Pengadaan Tanah oleh Pertamina


Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa pembebasan
tanah yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) adalah untuk membangun
infrastruktur minyak dan gas.
 
Menurut informasi yang kami dapatkan melalui laman Riwayat Singkat
Perusahaan – Pertamina, PT Pertamina (Persero) (“Pertamina”)
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Gumi Negara (Pertamina)
Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara
(“BUMN”) yang melakukan kegiatan usaha minyak dan gas pada sektor hulu
hingga hilir.
 
Karena pengadaan tanah yang dilakukan oleh Pertamina dilaksanakan untuk
membangun infrastruktur minyak dan gas, maka hal tersebut dikategorikan
sebagai pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur
dalam Pasal 123 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 10 huruf e Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum (“UU 2/2012”).
 
Yang dimaksud dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak
dan adil kepada pihak yang berhak untuk kepentingan bangsa, negara, dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat.
 
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan oleh
pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki pemerintah atau pemerintah
daerah. Namun, apabila instansi yang memerlukan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum adalah BUMN, maka tanahnya menjadi milik BUMN.
 
Pembangunan untuk kepentingan umum berupa infrastruktur minyak, gas, dan
panas bumi termasuk jenis pembangunan yang wajib diselenggarakan
pemerintah dan dapat bekerja sama dengan BUMN, Badan Usaha Milik Daerah,
atau Badan Usaha Swasta.

Dengan demikian, Pertamina sebagai BUMN yang memerlukan tanah untuk


pembangunan infrastruktur dan gas dapat bekerja sama dengan pemerintah
dalam melaksanakan pengadaan tanah melalui prosedur pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.

Prosedur Pelaksanaan Pengadaan Tanah


1. Dalam tahap persiapan pengadaan tanah, instansi yang memerlukan
tanah bersama dengan pemerintah provinsi berdasarkan dokumen pengadaan
tanah melakukan pemberitahuan rencana pembangunan dengan disampaikan
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat pada rencana
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.
2. Selain pemberitahuan, dilakukan juga pendataan awal lokasi rencana
pembangunan yang meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak-pihak yang
menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (“Pihak yang Berhak”) dan
objek pengadaan tanah itu sendiri.
3. Hasil pendataan awal tersebut yang nantinya digunakan sebagai data
untuk pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan. Adapun yang
dimaksud dengan konsultasi publik adalah proses komunikasi dialogis atau
musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman
dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum. Konsultasi publik dilaksanakan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang
Berhak, pengelola barang milik negara/barang milik daerah dan pengguna
barang milik negara/barang milik daerah.
4. Atas dasar kesepakatan tersebut, instansi yang bersangkutan
mengajukan permohonan lokasi kepada Gubernur.
5. Setelah mendapatkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum dari Gubernur, instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan
pengadaan tanah kepada lembaga pertanahan. Setelah dilakukan penetapan
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, Pihak yang Berhak hanya dapat
mengalihkan hak atas tanahnya kepada instansi yang memerlukan tanah melalui
lembaga pertanahan. Peralihan hak atas tanah tersebut dilakukan dengan
pemberian ganti kerugian yang nilainya ditetapkan saat nilai pengumuman
penetapan lokasi.
 
Perlu diketahui bahwa tahapan pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan
umum ini meliputi:
a. Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan
Pemanfaatan Tanah
Tahapan pertama ini, meliputi kegiatan:
a. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan
b. pengumpulan data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
 
Tahapan ini dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari.
 
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah wajib diumumkan secara bertahap, parsial, atau keseluruhan
di kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat pengadaan tanah
dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja yang di dalamnya meliputi
subjek hak, luas, letak, dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah.]
 
Jika terdapat keberatan atas hasil inventarisasi, dilakukan verifikasi dan
perbaikan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya
pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi.
 
Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan ditetapkan oleh lembaga
pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar penentuan Pihak yang Berhak dalam
pemberian ganti kerugian.
 
b. Penilaian Ganti Kerugian
Penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh penilai yang ditetapkan oleh
lembaga pertanahan, yang mana nilai dari besarnya ganti kerugian dihitung
bidang per bidang tanah meliputi:
a. tanah;
b. ruang atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f.kerugian lain yang dapat dinilai.
 
Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh penilai merupakan nilai pada saat
pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum dan
bersifat final dan mengikat.
 
Besarnya nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian penilai disampaikan
kepada lembaga pertanahan dengan berita acara.
 
c. Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian
Lembaga pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam
waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan
kepada lembaga pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian.
 
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian
kepada Pihak yang Berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.
 
d. Pemberian Ganti Kerugian
Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian
atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.[26]
 
Perlu diketahui, bahwa pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk-
bentuk sebagai berikut”
a. Uang;
b. tanah pengganti;
c. pemukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak
 
Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian
yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung.
 
Pada saat pemberian ganti kerugian Pihak yang Berhak menerima ganti kerugian
wajib:
a. melakukan pelepasan hak; dan
b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah
kepada instansi yang memerlukan tanah melalui lembaga pertanahan.
 
Apabila pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besar ganti kerugian yang
dihasilkan dalam musyawarah atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah
Agung, ganti kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat.
 
Penitipan ganti kerugian di Pengadilan Negeri setempat juga dilakukan terhadap:
a. Pihak yang berhak menerima ganti kerugian yang tidak diketahui
keberadaannya; atau
b. Objek pengadaan tanah yang diberikan ganti kerugian:
1. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2. Masih dipersengketakan kepemilikannya;
3. Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
4. Menjadi jaminan di Bank.
e. Pelepasan Tanah Instansi
Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang
berhak atas tanah kepada negara melalui lembaga pertanahan.

Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan paling


lama 60 hari kerja sejak penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum.
 
Apabila pelepasan objek pengadaan tanah belum selesai dalam waktu 60
hari, tanahnya dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi tanah negara dan dapat
langsung digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
 
Pejabat yang melanggar ketentuan jangka waktu pelepasan objek pengadaan
tanah tersebut dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa prosedur
pelaksanaan pengadaan tanah diawali dengan inventarisasi dan identifikasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagai dasar
penentuan Pihak yang Berhak dalam pemberian ganti kerugian.
 
Kemudian, penilai yang ditetapkan oleh lembaga pertanahan melakukan
penilaian ganti kerugian. Penilaian ganti kerugian tersebut akan dijadikan dasar
musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian. Setelah mencapai kesepakatan,
maka Pihak yang Berhak akan memperoleh ganti rugi dan setelahnya wajib
melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan
tanah yang menjadi objek pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan
tanah melalui lembaga pertanahan.
 
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata
– mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan
Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik
terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
 
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
2. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Gumi Negara (Pertamina) Menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero).

Anda mungkin juga menyukai