ADMINISTRASI PERTAHANAN
Dosen Pengampu :
Dr. H. MAISONDRA, SH, MH, M.PD, Dilp. Ed. Pd. Dip
Disusun Oleh :
NP. HAYKAL PAPPANG BONE
Npp. 29.1938
3. Pembebasan Tanah adalah Pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya
oleh pemerintah untuk dijadikan sarana kepentingan umum; pelaksanaan pencabutan hak
tersebut disertai pemberian ganti rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai hak atas
tanah dan benda tersebut sebelumnya, dengan cara yang diatur berdasarkan undang-
undang (onteigening). Beberapa yurisdiksi mensyaratkan bahwa pemerintah selaku
pengambil lahan untuk membuat penawaran untuk membeli properti subjek, sebelum
beralih ke penggunaan domain terkemuka. Pengambilan dapat dari properti subjek
secara keseluruhan atau sebagian, baik secara kuantitatif atau kualitatif.
1. Panita Pembebasan Tanah bekerja atas permintaan instansi yang memerlukan tanah.
2. Instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan permohonan pembebasan hak atas
tanah kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya, dengan
mengemukakan maksud dan tujuan penggunaan tanahnya.
3. Permohonan tersebut harus disertai dengan keterangan-keterangan tentang:
a.status tanahnya (jenis/macam haknya, luas dan letaknya);
b.gambar situasi tanah;
c.maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya;
d.kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas-fasilitas lain kepada yang
berhak atas tanah
4. Tanah-tanah yang akan dipergunakan oleh instansi yang bersangkutan harus diberi
tanda batas yang jelas.
5. (Pada gambar situasi tanah, harus dimuat semua keterangan yang diperlukan, seperti:
tanda-tanda batas, jalan-jalan, saluran-saluran air, kuburan, bangunan-bangunan dan
tanaman-tanaman yang ada.
6. Setelah menerima permohonan dari instansi yang bersangkutan, maka Gubernur
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk segera meneruskan permohonan tersebut
kepada Panitia Pembebasan Tanah untuk mengadakan penelitian terhadap data dan
keterangan-keterangan.
7. Jika dianggap perlu, Panitia Pembebasan Tanah dapat memanggil pihak-pihak yang
bersangkutan untuk melengkapi data/keterangan
8. Di dalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, Panitia
Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang
hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum
setempat.
9. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus diperhatikan pula tentang:
a.lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah.
Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus
berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan
Umum/Dinas Pertanian setempat.
b.bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan atau fasilitas-fasilitas lain.
c.yang berhak atas ganti rugi itu ialah mereka yang berhak atas
tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepad ahukum
adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Pokok Agraria dan kebijaksanaan Pemerintah.
10. Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besarnya ganti rugi
terdapat kata sepakat di antara para anggota Panitia dengan memperhatikan
kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti
rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-
rata dari taksiran masing-masing anggota.
11. Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
12. Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti rugi tersebut
disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah
dan para anggota Panitia yang turut mengambil keputusan.
13. Setelah menerima keputusan maka instansi dan para pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan memberitahukan kepada Panitia Pembebasan Tanah tentang
persetujuan atau penolakannya atas penetuan besar/bentuknya ganti rugi yang telah
ditetapkan.Jika terjadi penolakan harus disertai pula dengan alasan-alasan
penolakannya.
Panitia Pembebasan Tanah setelah menerima dan mempertimbangkan alasan
penolakan tersebut dapat, mengambil sikap sebagai beriktu:
a.Tetap kepada keputusan semula.
b.Meneruskan surat penolakan dimaksud dengan disertai pertimbangan-pertimbangannya
kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diputuskan.
Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mempertimbangkan dari
segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan Panitia
Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang ujudnya mencari jalan tengah yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah disampaikan kepada masing-masing pihak
yang bersangkutan dan Panitia Pembebasan Tanah. Bilamana telah tercapai kata sepakat
mengenai besar/bentuknya ganti rugi maka dilakukan pembayaran ganti rugi sejumlah
yang telah disetujui bersama. Bersamaan dengan pembayaran ganti rugi itu dilakukan
pula penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 4 (empat) orang anggota Panitia Pembebasan Tanah, diantaranya Kepala
Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi tersebut harus
dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan kepada para pemegang hak
atas tanah.
Apabila pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi telah selesai
dilaksanakan, maka instansi yang memerlukan tanah tersebut diharuskan mengajukan
permohonan sesuatu hak atas tanah kepada Pejabat yang berwenang seperti dimaksud
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972. Permohonan tersebut harus
disertai dengan surat-surat bukti pernyataan pelepasan hak dan pembayaran ganti
ruginya.
Apabila pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi telah selesai dilaksanakan, maka
instansi yang memerlukan tanah tersebut diharuskan mengajukan permohonan sesuatu
hak atas tanah kepada Pejabat yang berwenang seperti dimaksud dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972.
Permohonan tersebut harus disertai dengan surat-surat bukti pernyataan pelepasan hak
dan pembayaran ganti ruginya.
Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya harus menyelesaikan permohonan
tersebut menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5
tahun 1973.
Pembebasan Tanah untuk kepentingan Swasta
Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan
tanah dan pemberian ganti rugi.
Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada azasnya harus dilakukan secara langsung
antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan
berpedoman kepada azas musyawarah.
4. “KASUS PERTANAHAN (SENGKETA KASUS LAHAN SENAYAN CITY)”
Kasus sengketa pertama kali terjadi pada tanggal 7 oktober 2009, perihal
sengketaatas hak tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin
Kiming.Pengaduan dari ahli waris Toyib Bin Kiming yang mengklaim kepemilikan tanah
seluasenam hektar di atas lahan Senayan City.
Akibat timbul sengketa tersebut Pemprov DKI memberi batas waktu selama
setahun bagi kedua pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun hingga batas wakt
u yang diberikan jatuh tempo kedua pihak belum bisa menuntaskan sengketa.
Posisi Kasus
Klaim ditujukan kepada Kepala Dinas P2B DKI, perihal sengketa hak atas tanah
kepemilikan berupa pembebesan tanah yang belum diselesaikan. Dalam surat tersebut
juga disebutkan, izin penyesuaian fungsi hotel menjadi perkantoran atas nama PT
Manggala Gelora Perkasa untuk sementara ditangguhkan hingga ada penyelesaian
sengketa. Penangguhan dilakukan selama setahun dan habis masanya pada tanggal 5
Januari 2010. Sengketa tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm
Toyib bin Kiming, hingga kini terus berkepanjangan. Bahkan persoalan ini membuat
Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) turut gerah. Mereka tidak
terima jika lahan yang dikelolanya itu tidak memiliki surat-surat tanah. Bahkan PPK
GBK menantang di peradilan jika ahli waris Alm Toyib bin Kiming itu memiliki bukti
otentik atas lahan yang diperebutkan itu.
Munculnya sengketa tanah itu bermula saat ahli waris Toyib bin Kiming
mengirimkan surat ke gubernur DKI Jakarta bahwa lahan yang digunakan untuk
pembangunan Senayan City merupakan tanah miliknya. Kemudian gubernur
melayangkan surat yang isinya menyarankan agar masalah tersebut diselesaikan secara
musyawarah
Permasalahan Hukum
Berdasarkan kasus di atas terhadap sengketa atas hak tanah antara pengelola
Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming. Pengaduan dari ahli waris Toyib
Bin Kiming yang mengklaim kepemilikan tanah seluas enam hektar di atas lahan
Senayan City. Akibat timbul sengketa tersebut Pemprov DKI memberi batas waktu
selama setahun bagi kedua pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun hingga
batas waktu yang diberikan jatuh tempo kedua pihak belum bisa menuntaskan sengketa.
Akibatnya para penyewa gedung yang terletak di Jalan Asia Afrika pun tidak mendapat
kepastian soal gedung yang saat ini mereka tempati.
Kesimpulan
Kompleksitas penegakan hukum agraria menjadi persoalan serius, hal ini
didasarkan pada fungsi tanah yang sangat strategis dalam menunjang aktivitas kemajuan
ekonomi, social, budaya, teknologi dan informasi. Dengan demikian harus ada kemauan
dan komitmen bersama untuk mencari solusi alternative konflik pertanahan di Indonesia
yang telah memakan banyak korban jiwa, baik Pemerintah Daerah, Aparat Penegak
Hukum, Perguruan Tinggi dan seluruh masyarakat agar mendahulukan penyelesaian
secara kekeluargaan, namun apabila belum tercapai dapat dilakukan melalui mediasi,
apabila masih belum tercapai, maka pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus
ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam
sengketa pertanahan, dan siapapun wajibmelaksanakan putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, karna posisinya sebagai hukum dalam kasus konkrit.
Kehidupan yang tenang dan menyenangkan itu mulai berubah ketika penduduk pulau itu
mulai bertambah baik karena ada lagi kapal yang terdampar maupun karena kedatangan
orang-orang yang menghuni pulau lain. Hubungan orang-orang di pulau ini mulai
majemuk.
Untuk mencapai keseimbangan yang harmonis dalam penguasaan hak atas tanah
pemerintah harus lebih bersikap netral dalam menyelesaikan sengketa, mengingat sejauh
ini pemerintah cenderung bersikap represif. Hal ini hanya bisa dicapai apabila pemerintah
lebih menggunakan pendekatan secara yuridis dan musyawarah sehingga bisa tercapai
jalan keluar yang bisa diterima oleh semua pihak, dan segera mengambil tindakan tegas
terhadap aparat negara yang terbukti melakukan penyelewengan dan penyimpangan dari
peraturan yang ada khusunya dalam menangani konflik dibidang pertanahan. Disarankan
pula agar pemerintah daerah atau instansi terkait harus peka melihat terhadap adanya
gerakan-gerakan dalam sengketa antara semuah pihak, pelaksanaan dan penegakan
hukum harus berjalan secara konsekuen.