Anda di halaman 1dari 12

UJIAN SEMESTER VI

ADMINISTRASI PERTAHANAN

Dosen Pengampu :
Dr. H. MAISONDRA, SH, MH, M.PD, Dilp. Ed. Pd. Dip

Disusun Oleh :
NP. HAYKAL PAPPANG BONE
Npp. 29.1938

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


KAMPUS SUMATERA BARAT
FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN
PRODI TEKNOLOGI REKAYASA INFORMASI PEMERINTAHAN
TAHUN AJARAN
2020/2021
JAWABAN :
1. Konsep Kebijakan Pertanahan Nasional sesuai dengan UUD 1945 dan TAP MPR IV
Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
a. Posisi kebijakan Pertahanan dalam Konstitusi
Para pendiri bangsa telah menetapkan landasan yang kuat bagi semua jenis
pengelolaan sumberdaya alam, termasuk tanah, sebagaimana tertuang dalam
Undang Undang Dasar pasal 33, yaitu dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Landasan ini tidak bisa tidak menjadi titik keberangkatan
untuk semua kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Pada
gambar, hal ini direpresentasikan dengan batang bertuliskan “Landasan” yang
memenuhi seluruh domain dan memanjang dari ujung kiri hingga ujung kanan.
Dengan demikian sudah menjadi suatu kepastian bahwa seperti apapun kebijakan
pertanahan yang dikembangkan harus memberi kontibusi nyata terhadap sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
b. Komponen Kebijakan Pertanahan
Komponen kebijakan penguasaan tanah merumuskan bagaimana tanah
dikategorikan berdasarkan siapa yang berhak menguasai tanah tersebut. Kategori
umum yang sering dipergunakan adalah tanah negara dan bukan tanah Negara,
baik individumaupun komunal. Berdasarkan kategorisasi penguasaan tanah
tersebut kemudian ditentukan jenis hak atas tanah atas penguasaan tersebut.
Seberapa luas tanah yang dapat dikuasai dan bagaimana distribusi penguasaan
tanah juga menjadi domain dari kebijakan penguasaan tanah. Dengan kata lain,
kebijakan administrasi pertanahan akan memediasi kebijakan sistem penguasaan
tanah dan penggunaan tanah. Di satu sisi, sebidang tanah yang telah dikuasai oleh
seseorang maka orang tersebut harus menggunakan tanahnya sesuai dengan
peruntukkan yang ditetapkan dalan rencana tata ruang. Di sisi lain, penggunaan
sebidang tanah untuk suatu peruntukkan tertentu harus memperhatikan
penguasaan atas tanah tersebut. Kebijakan administrasi pertanahan akan
memediasi dua kepentingan tersebut melalui mekanisme perijinan penggunaan
dan pemanfaatan ruang.
Untuk lebih memudahkan mengenai konsep dasar kebijakan pertanahan di Indonesia
maka akan lebih baik dibuat dalam bentuk peta komponen kebijakan tanah yatu sebagai
berikut :

Setiap batang (bar) mempresentasikan wilayah atau domain dari sebuah


komponen kebijakan pertanahan. Batang yang berwarna merupakan komponen utama
dari kebijakan pertanahan, yang terdiri dari system penguasaan (tenurial system),
administrasi pertanahan (lad administration), dan perencanaan penguasaan tanah (spatial
planning). Adapun batang yang tidak berwarna merupakan sub komponen utama atau
batang yang berwarna di atasnya.
Kebijakan Penguasaan tanah secara sederhana kategorisasi penguasaan tanah di
Indonesia dibedakan menjadi dua jenis penguasaan, yaitu tanah negara dan selain tanah
negara. Kebijakan mengenai penguasaan tanah harus memberikan definisi dan kriteria
yang jelas atas pembagian tersebut. Tanah mana yang didefinisikan sebagai tanah negara
dan tanah mana yang bukan tanah negara Satu hal yang penting untuk dirumuskan dalam
kebijakan penguasaan tanah adalah kategorisasi terhadap jenis hak yang akan diberikan
atas penguasaan sebidang tanah, baik itu penguasaan oleh perorangan/badan hukum
maupun penguasaan bersama (komunal). Hak atas tanah yang diberikan memberikan hak
dan kewajiban bagi pemilik tanah untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan jenis
haknya. Kategorisasi jenis hak atas tanah sebaiknya mempertimbangkan jangka waktu
penguasaan tanah (permanen atau sementara) serta peruntukkan penggunaan atas tanah
tersebut. Hak atas tanah ini yang kemudian dicatat dalam sistem administrasi pertanahan.
Di Indonesia, kategorisasi hak atas tanah diatur dalam UUPA yang jumlahnya ada 14
jenis hak atas tanah. Namun pada kenyataannya, praktek pendaftaran tanah saat ini
hanya mencatat dan mendaftarkan 5 jenis hak atas tanah ke dalam sistem administrasi
pertanahan, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU),
Hak Pakai (HP) dan Hak Pengelolaan (HPl).
Hal yang penting dipahami adalah bahwa semua komponen kebijakan pertanahan
yang diuraikan di atas saling terkait dan saling mempengaruhi. Kebijakan mengenai
administrasi pertanahan, misalnya bagaimana mempercepat pendaftaran tanah, akan sulit
diimplementasikan jika sistem penguasaan tanah masih terlalu rumit dan belum jelas,
seperti halnya penguasaan komunal tanah adat. Begitu pun dengan sistem penataan
ruang. Rencana tata ruang akan sulit untuk diimplementasikan jika sistem penguasaan
tanah, seperti hak atas tanah dan bawah tana, dan administrasi pertanahan, misalnya
perijinan, belum mendukung pelaksanaan pemanfaatan ruang.
2. Pengaturan kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1). Pasal
tersebut menegaskan bahwa urusan di bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Tindak lanjut dari ketentuan tersebut,
pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Kewenangan urusan pemerintahan Bidang Pertanahan dalam lampiran Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun2007 ditentukan ada 9 (sembilan) SubBidang. Di situ
ditentukan sub-sub Bidang yang menjadi kewenanganpemerintahan Kabupaten yaitu:
1. Sub Bidang Izin Lokasi Kewenagan pmerintahan Kabupaten/ Kota adalah :
Penerbitan Surat Keputusan izin lokasi, dengan prosesnya termasuk monitoring dan
pembinaanperolehan tanah, semuanya meliputi 9 (sembilan) item.
2. Sub Bidang Pengadaan tanah untuk kepentingan umum Kewenangan pemerintahan
Kabupaten/ Kota adalah ; Penetapan lokasi;Penetapan bentuk dan besarnya ganti
kerugian; Pelaksanaan pemberian gantikerugian; pelaksanaan pelepasan hak dan
penyerahan tanah dihadapan kepalakantor Pertanahan kabupaten/ Kota; dengan
prosesnya semuanya meliputi 11(sebelas) item.
3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan. Kewenangan pemerintahan Kabupaten/ Kota
adalah : Memfasilitasimusyawarah antar para pihak yang bersengketa untuk
mendapatkankesepakatan para pihak dengan koodinasi dengan kantor pertanahan
untukmenetapkan langkah-langkah. Semuanya meliputi 5 (lima) item.
4. Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untukPembangunan.
Kewenangan pemerintahan Kabuapten/ Kota adalah : Penyelesaian masalahganti
kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan dengan membentuktim pengawasan
pengendalian;
5. Penetapan Subyek dan obyek Redistribusi Tanah serta ganti Kerugian
TanahKelebihan Maksimum dan Tanah Absentee; Kewenangan pemerintahan
Kabupaten/ Kota adalah: Penetapan untukkelebihan maksimum dan tanah absentee
sebagai obyek; Penetapan parapenerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan
tanah absenteeberdasarkan hasil sidang penitia; Penerbitan Surat Keputusan subyek
danobyek redistribusi tanah serta ganti kerugian; Dan prosesnya semua meliputi
6(enam) item.
6. Penetapan tanah Ulayat Kewenangan pemerintah Kabupaten/ Kota adalah:
Pengusulan rancanganPeraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat; Pengusulan
pemetaan danpencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor
pertanahanKabupaten/Kota; Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah
dan mufakat dan semua prosesnya semuanya melalui 6 item.
7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong. Kewenangan pemerintahan
Kabupaten/ Kota adalah : Penetapan bidang –bidang tanah untuk tanaman pangan
semusim bersama dengan pihak lainberdasarkan perjanjian ; Penetapan untuk tanaman
pangan musiman denganmengutamakan masyarakat setempat; Penanganan masalah
yang timbul dalampemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibandalam perjanjian dan semua prosesnya. Kewenangan dalam sub bidang
initerinci dalam 4 (empat) item.
8. Izin Membuka Tanah Kewenangan pemerintahan Kabupaten/ Kota : Penerimaan
dan pemeriksaanpermohonan; Pemeriksaan lapangan dengan memperhatikan
kemampuantanah, status tanah dan RencanaUmum Tata Ruang Wilayah
(RTRW)kabupaten kota; Penerbitan izin membuka tanah dengan
memperhatikanpertimbangan teknis dari kantor pertanahan Kabupaten/ Kota;
Pengawasandan pengendalian penggunaan izin membuka tanah. Urusan ini adalah
urusanpemerintah, diberikan kepada pemerintahan Kabupaten/ Kota dalam
TugasPembantuan.
9. Perencanaan Penggunaan Tanah wilayah Kabupaten/ KotaSub bidang ini sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintahan Kabupaten/Kota yang meliputi pembentukan tim
koordinasi tingkat kabupaten / Kota;Rencana Tata Ruang Wilayah; Rencana
pembangunan yang akanmenggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah
Kabupaten/ Kota,maupun investasi swasta; Dan prosesnya.
Dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dijabarkan urusan wajib
pemerintahan dalam bidang pertanahan, yaitu sebagai berikut:
1. Pemberian izin lokasi;
2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;
4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian kelebihan
6. tanah maksimum dan tanah absentee;
7. Penetepan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
8. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
9. Pemberian izin membuka tanah;
10. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.
Dalam konteks otonomi daerah, Dengan diundangkan Undang-undang No. 22 Tahun
1999, yang di dalamnya mengatur otonomi daerah, mengubah kebijakan kewenangan
pengurusan bidang pertanahan, yaitu yang sebelumnya bersifat sentralistik diubah
menjadi desentralistik. Otonomi daerah menghendaki adanya penyerahan kewenangan
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan pengertian bahwa kewenangan
tersebut merupakan kepunyaan Pemerintah Daerah. Kebijakan otonomi daerah ditandai
oleh lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang mengubah hubungan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yang sebelumnya bersifat sentralistik
diubah menjadi desentralistik. Kewenangan Pemerintah Pusat yang sebelumnya
mencakup semua sektor pembangunan telah dikurangi menjadi hanya beberapa sektor
strategis.

3. Pembebasan Tanah adalah Pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya
oleh pemerintah untuk dijadikan sarana kepentingan umum; pelaksanaan pencabutan hak
tersebut disertai pemberian ganti rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai hak atas
tanah dan benda tersebut sebelumnya, dengan cara yang diatur berdasarkan undang-
undang (onteigening). Beberapa yurisdiksi mensyaratkan bahwa pemerintah selaku
pengambil lahan untuk membuat penawaran untuk membeli properti subjek, sebelum
beralih ke penggunaan domain terkemuka. Pengambilan dapat dari properti subjek
secara keseluruhan atau sebagian, baik secara kuantitatif atau kualitatif.

Proses Pembebasan Tanah adalah sebagai berikut :

1. Panita Pembebasan Tanah bekerja atas permintaan instansi yang memerlukan tanah.
2. Instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan permohonan pembebasan hak atas
tanah kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya, dengan
mengemukakan maksud dan tujuan penggunaan tanahnya.
3. Permohonan tersebut harus disertai dengan keterangan-keterangan tentang:
a.status tanahnya (jenis/macam haknya, luas dan letaknya);
b.gambar situasi tanah;
c.maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya;
d.kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas-fasilitas lain kepada yang
berhak atas tanah
4. Tanah-tanah yang akan dipergunakan oleh instansi yang bersangkutan harus diberi
tanda batas yang jelas.
5. (Pada gambar situasi tanah, harus dimuat semua keterangan yang diperlukan, seperti:
tanda-tanda batas, jalan-jalan, saluran-saluran air, kuburan, bangunan-bangunan dan
tanaman-tanaman yang ada.
6. Setelah menerima permohonan dari instansi yang bersangkutan, maka Gubernur
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk segera meneruskan permohonan tersebut
kepada Panitia Pembebasan Tanah untuk mengadakan penelitian terhadap data dan
keterangan-keterangan.
7. Jika dianggap perlu, Panitia Pembebasan Tanah dapat memanggil pihak-pihak yang
bersangkutan untuk melengkapi data/keterangan
8. Di dalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, Panitia
Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang
hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum
setempat.
9. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus diperhatikan pula tentang:
a.lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah.
Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus
berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan
Umum/Dinas Pertanian setempat.
b.bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan atau fasilitas-fasilitas lain.
c.yang berhak atas ganti rugi itu ialah mereka yang berhak atas
tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepad ahukum
adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Pokok Agraria dan kebijaksanaan Pemerintah.
10. Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besarnya ganti rugi
terdapat kata sepakat di antara para anggota Panitia dengan memperhatikan
kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti
rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-
rata dari taksiran masing-masing anggota.
11. Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
12. Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti rugi tersebut
disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah
dan para anggota Panitia yang turut mengambil keputusan.
13. Setelah menerima keputusan maka instansi dan para pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan memberitahukan kepada Panitia Pembebasan Tanah tentang
persetujuan atau penolakannya atas penetuan besar/bentuknya ganti rugi yang telah
ditetapkan.Jika terjadi penolakan harus disertai pula dengan alasan-alasan
penolakannya.
Panitia Pembebasan Tanah setelah menerima dan mempertimbangkan alasan
penolakan tersebut dapat, mengambil sikap sebagai beriktu:
a.Tetap kepada keputusan semula.
b.Meneruskan surat penolakan dimaksud dengan disertai pertimbangan-pertimbangannya
kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diputuskan.
Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mempertimbangkan dari
segala segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan Panitia
Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang ujudnya mencari jalan tengah yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah disampaikan kepada masing-masing pihak
yang bersangkutan dan Panitia Pembebasan Tanah. Bilamana telah tercapai kata sepakat
mengenai besar/bentuknya ganti rugi maka dilakukan pembayaran ganti rugi sejumlah
yang telah disetujui bersama. Bersamaan dengan pembayaran ganti rugi itu dilakukan
pula penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 4 (empat) orang anggota Panitia Pembebasan Tanah, diantaranya Kepala
Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi tersebut harus
dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan kepada para pemegang hak
atas tanah.
Apabila pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi telah selesai
dilaksanakan, maka instansi yang memerlukan tanah tersebut diharuskan mengajukan
permohonan sesuatu hak atas tanah kepada Pejabat yang berwenang seperti dimaksud
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972. Permohonan tersebut harus
disertai dengan surat-surat bukti pernyataan pelepasan hak dan pembayaran ganti
ruginya.
Apabila pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi telah selesai dilaksanakan, maka
instansi yang memerlukan tanah tersebut diharuskan mengajukan permohonan sesuatu
hak atas tanah kepada Pejabat yang berwenang seperti dimaksud dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972.
Permohonan tersebut harus disertai dengan surat-surat bukti pernyataan pelepasan hak
dan pembayaran ganti ruginya.
Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya harus menyelesaikan permohonan
tersebut menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5
tahun 1973.
Pembebasan Tanah untuk kepentingan Swasta
Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan
tanah dan pemberian ganti rugi.
Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada azasnya harus dilakukan secara langsung
antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan
berpedoman kepada azas musyawarah.
4. “KASUS PERTANAHAN (SENGKETA KASUS LAHAN SENAYAN CITY)”
Kasus sengketa pertama kali terjadi pada tanggal 7 oktober 2009, perihal
sengketaatas hak tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin
Kiming.Pengaduan dari ahli waris Toyib Bin Kiming yang mengklaim kepemilikan tanah
seluasenam hektar di atas lahan Senayan City.
Akibat timbul sengketa tersebut Pemprov DKI memberi batas waktu selama
setahun bagi kedua pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun hingga batas wakt
u yang diberikan jatuh tempo kedua pihak belum bisa menuntaskan sengketa.
Posisi Kasus
Klaim ditujukan kepada Kepala Dinas P2B DKI, perihal sengketa hak atas tanah
kepemilikan berupa pembebesan tanah yang belum diselesaikan. Dalam surat tersebut
juga disebutkan, izin penyesuaian fungsi hotel menjadi perkantoran atas nama PT
Manggala Gelora Perkasa untuk sementara ditangguhkan hingga ada penyelesaian
sengketa. Penangguhan dilakukan selama setahun dan habis masanya pada tanggal 5
Januari 2010. Sengketa tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm
Toyib bin Kiming, hingga kini terus berkepanjangan. Bahkan persoalan ini membuat
Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) turut gerah. Mereka tidak
terima jika lahan yang dikelolanya itu tidak memiliki surat-surat tanah. Bahkan PPK
GBK menantang di peradilan jika ahli waris Alm Toyib bin Kiming itu memiliki bukti
otentik atas lahan yang diperebutkan itu.
Munculnya sengketa tanah itu bermula saat ahli waris Toyib bin Kiming
mengirimkan surat ke gubernur DKI Jakarta bahwa lahan yang digunakan untuk
pembangunan Senayan City merupakan tanah miliknya. Kemudian gubernur
melayangkan surat yang isinya menyarankan agar masalah tersebut diselesaikan secara
musyawarah
Permasalahan Hukum
Berdasarkan kasus di atas terhadap sengketa atas hak tanah antara pengelola
Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming. Pengaduan dari ahli waris Toyib
Bin Kiming yang mengklaim kepemilikan tanah seluas enam hektar di atas lahan
Senayan City. Akibat timbul sengketa tersebut Pemprov DKI memberi batas waktu
selama setahun bagi kedua pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun hingga
batas waktu yang diberikan jatuh tempo kedua pihak belum bisa menuntaskan sengketa.
Akibatnya para penyewa gedung yang terletak di Jalan Asia Afrika pun tidak mendapat
kepastian soal gedung yang saat ini mereka tempati.
Kesimpulan
Kompleksitas penegakan hukum agraria menjadi persoalan serius, hal ini
didasarkan pada fungsi tanah yang sangat strategis dalam menunjang aktivitas kemajuan
ekonomi, social, budaya, teknologi dan informasi. Dengan demikian harus ada kemauan
dan komitmen bersama untuk mencari solusi alternative konflik pertanahan di Indonesia
yang telah memakan banyak korban jiwa, baik Pemerintah Daerah, Aparat Penegak
Hukum, Perguruan Tinggi dan seluruh masyarakat agar mendahulukan penyelesaian
secara kekeluargaan, namun apabila belum tercapai dapat dilakukan melalui mediasi,
apabila masih belum tercapai, maka pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus
ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai Ultimum remedium (jalan terakhir) dalam
sengketa pertanahan, dan siapapun wajibmelaksanakan putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, karna posisinya sebagai hukum dalam kasus konkrit.
Kehidupan yang tenang dan menyenangkan itu mulai berubah ketika penduduk pulau itu
mulai bertambah baik karena ada lagi kapal yang terdampar maupun karena kedatangan
orang-orang yang menghuni pulau lain. Hubungan orang-orang di pulau ini mulai
majemuk.
Untuk mencapai keseimbangan yang harmonis dalam penguasaan hak atas tanah
pemerintah harus lebih bersikap netral dalam menyelesaikan sengketa, mengingat sejauh
ini pemerintah cenderung bersikap represif. Hal ini hanya bisa dicapai apabila pemerintah
lebih menggunakan pendekatan secara yuridis dan musyawarah sehingga bisa tercapai
jalan keluar yang bisa diterima oleh semua pihak, dan segera mengambil tindakan tegas
terhadap aparat negara yang terbukti melakukan penyelewengan dan penyimpangan dari
peraturan yang ada khusunya dalam menangani konflik dibidang pertanahan. Disarankan
pula agar pemerintah daerah atau instansi terkait harus peka melihat terhadap adanya
gerakan-gerakan dalam sengketa antara semuah pihak, pelaksanaan dan penegakan
hukum harus berjalan secara konsekuen.

Anda mungkin juga menyukai