Anda di halaman 1dari 3

Nama : Alexander Satrio Wibowo

NIM : 049468489

1. Administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan manajemen yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan
sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Menurut analisis saudara, apakah administrasi pertanahan dapat mencegah dan
menyelesaikan terjadinya konflik dalam agraria ?

2. Kebijakan manajemen pertanahan merupakan peraturan peraturan yang mengatur


kepentingan dan pola interaksi sosial berkenaan dengan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Untuk itu pemanfaatan tanah harus sesuai dengan
rencana tata ruang dan tata wilayah. Apa akibat hukum jika mendirikan bangunan namun
tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah ?

3. Aturan pertanahan di Indonesia mencakup berbagai macam hak atas tanah. Hak-hak
tersebut tersebar luas di berbagai peraturan. Akan tetapi, tetap yang utama untuk
diketahui adalah hak-hak atas tanah yang langsung diatur di UUPA. Pasal 16 Ayat (1)
UUPA menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah antara lain sebagai berikut: hak
milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah;
dan hak memungut hasil hutan. Selain itu, diakui pula hak-hak lain yang diatur pada
peraturan lain dan hak lain yang memiliki sifat sementara. Negara juga mengatur
mengenai hak ulayat. Menurut analisis saudara, bagaimanakah konsep pengaturan
mengenai hubungan hak ulayat masyarakat hukum adat dengan hak menguasai negara?

Jawaban :

1. Administrasi pertanahan dapat mencegah dan menyelesaikan konflik dalam agraria


karena sengketa dapat terjadi akibat kurang tertibnya masyarakat dalam melaksanakan
catur tertib pertanahan.
Karena tujuan dari administrasi pertanahan adalah menjamin terlaksananya pembangunan
yang ditangani pemerintah atau swasta.
Untuk merealisasikan hal tersebut,dibuatlah Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun
1979 tentang catur tertib pertanahan yang meliputi : Tertib Hukum Pertanahan,Tertib
Administrasi Pertanahan,Tertib Penggunaan Tanah,dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan
Lingkungan Hidup.
Catur Tertib Pertanahan ini merupakan kebijakan bidang pertanahan yang dijadikan
“landasan”, sekaligus “sasaran” untuk mengadakan penataan kembali penggunaan dan
pemilikan tanah serta program-program khusus di bidang agraria untuk usaha
meningkatkan kemampuan petani-petani yang tidak bertanah atau mempunyai tanah yang
sangat sempit. Badan Pertanahan Nasional bertugas untuk mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan yang meliputi Pengaturan Penggunaan,
Penguasaan, Pemilikan dan Pengelolaan Tanah (P4T), penguasaan hak-hak atas tanah,
pengukuran dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah
pertanahan.
2. Pengenaan sanksi merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang.
Pengenaan sanksi dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang,baik yang dilengkapi izin
maupun yang tidak dilengkapi izin akan mendapat sanksi sebagai berikut :

Sanksi administratif dapat berupa:


a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.

Sanksi pidana bagi orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan
yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp. 500 juta.
Jika tindak pidana tersebut mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.5 miliar. Jika mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5 miliar.

3. Sesuai dengan Penjelasan Umum II/2 UUPA, perkataan “dikuasai” dalam Pasal ini
bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang
kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada
tingkatan yang tertinggi:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya;
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air
dan ruang angkasa itu;
c. menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang- orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruartg angkasa;
d. segala sesuatu dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur.
Hubungan hukum antara negara dengan sumber daya alamnya melahirkan hak menguasai
sumber daya alam oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan sumber
daya alam di lingkungan wilayah adatnya melahirkan hak ulayat. Idealnya hubungan hak
menguasai oleh negara dan hak ulayat terjalin secara harmonis dan seimbang. Artinya,
kedua hak itu sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak saling merugikan namun
peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memberikan pengakuan bersyarat atas
keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 67 ayat (1) bahwa
masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,
berhak:
a) Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan;
b) Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang;
c) Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya justru turut serta menjaga
dan melindungi hutan. Secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan lokal
yang masih dihormati dan dipraktikkan oleh kelompok kelompok masyarakat hukum adat

Anda mungkin juga menyukai