Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dahara Nabillah

Nim : 1905108010041
Kelas : 02
Mata Kuliah : Praktek Penatagunaan Lahan dan Pengembangan Wilayah
Prodi : Ilmu Tanah

1. Buat ringkasan terkait dengan aspek hukum

Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah
melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan
sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.

Mengingat negara Indonesia adalah negara hukum, maka segala sesuatu yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat sebagai warga negara harus berdasarkan hukum yang berlaku.
Apabila hukumnya belum ada atau tidak jelas maka perlu diciptakan atau ditemukan. Begitu juga
yang berkaitan dengan bidang tata guna tanah yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan dan
penghidupan masyarakat, perlu dicarikan dasar hukumnya. Tata guna tanah sebagai bagian dari
hukum agraria nasional mempunyai landasan hukum yang bersumber dari

1) Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Terdapat tiga hal dari ketentuan Pasal 33 Ayat (3) tersebut yaitu:

a) Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara;


b) Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus
menggunakan bumi air dan kekayaan alam tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat;
c) Bahwa hubungan antar negara dengan bumi, air dan kekayaan alam merupakan
hubungan menguasai.

Adanya penegasan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada harus diperuntukan
sebesar-besar kemakmuran rakyat maka pemerintah harus mengatur penggunaan tanah baik
untuk keperluan negara, masyarakat maupun kepentingan pengembangan usaha perekonomian.

2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai
pelaksanaan dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 memberikan wewenang kepada negara sebagai
organisasi tertinggi dalam pasal 2 ayat 2 untuk:
a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi air, dan ruang angkasa;
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air, dan ruang angkasa;
c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Ketentuan dalam pasal 2 ayat 4 adalah bersangkutan dengan azas ekonomi dan medebewind
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada azasnya
merupakan tugas Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar). Dengan demikian
maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu
adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya
dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam
bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu.

Sesuai dengan azas kebangsaan dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1
hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak
dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal
26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas.
Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21
ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai
hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi
cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya
yang khusus (hak guna usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).
Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-
ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).

Perlunya perencanaan penggunaan tanah ditegaskan di dalam Pasal 14 dan 15 UUPA. Pasal
14 menentukan agar Pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam untuk:

a) Kepentingan yang bersifat politis, misalnya kepentingan pemerintah seperti lokasi


perkantoran pertahanan, dan 1ain-1ain;
b) Kepentingan yang bersifat ekonomis, misalnya tanah untuk pengembangan
pertanian, perternakan, pertahanan, perkebunan, industri, pertambangan, transmigrasi
kehutanan dan lain-lain;
c) Kepentingan sosial dan keagamaan, misalnya tanah untuk keperluan peribadatan,
pendidikan, rekreasi dan lain sebagainya.

Kemudian atas dasar rencana umum penggunaan tanah tersebut pemerintah daerah harus
membuat rencana persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah yang lebih terinci untuk
daerahnya masing-masing yang dituangkan dalam Peraturan Daerah. Pasal 14 UUPA
menghendaki agar perencanaan itu jangan hanya bermaksud untuk menyediakan tanah pertanian,
industri/perusahaan-perusahaan dan lain-lainnya, tetapi sekaligus juga hendaknya bertujuan
untuk memajukan semuanya. Hal itu dimaksudkan agar diusahakan adanya imbangan yang baik
antara sektor agraris dan non-agraris.

Pasal 15 UUPA menentukan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya


serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomi
lemah. Memang seharusnya tanah dipelihara baik-baik agar bertambah subur dan dicegah
kerusakannya. Kesuburan tanah mudah berkurang dan tanahpun mudah menjadi rusak jika
penggunaannya tidak teratur, padahal seluruh kehidupan manusia di bumi ini menurut para ahli
tergantung pada lapisan bumi yang tebalnya tidak lebih dan 20 cm saja. Oleh karena itu maka
ketentuan Pasal 15 tersebut disertai sanksi pidana.

3) PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah

Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah
melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan
sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 angka 1). Tujuan penatagunaan tanah
diatur dalam Pasal 3, yaitu untuk:

a) Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan


kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah;
b) Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan
arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
c) Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan
tanah;
d) Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan
tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.

Kebijakan penatagunaan tanah menurut Pasal 6, diselenggarakan terhadap:

a) Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah atau belum terdaftar;
b) Tanah negara;
c) Tanah ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 8 diatur bahwa, pemegang hak atas tanah wajib menggunakan dan
dapat memanfaatkan tanah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah, serta memelihara tanah dan
mencegah kerusakan tanah.
4) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974

Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai sarananya dan
di lain pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila keperluan tanah
bagi perusahaan-perusahaan terutama perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak
diatur maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan. Atas
dasar pertimbangan itu pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang penyediaan dan
penggunaan tanah bagi keperluan perusahaan. Kebijaksanaan tersebut diatur di dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 5 Tahun 1974. Pasal 7 Ayat (3) Permendagri itu
mengatur bahwa dalam menetapkan lokasi bagi perusahaan maka harus diperhatikan beberapa
hal:

a) sejauh mungkin harus dihindari pengunaan areal tanah pertanian yang subur;
b) sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang semula tidak atau kurang produktif
c) hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya, terutama bagi
penduduk yang tanahnya termasuk atau berada dalam lokasi yang akan dibangun
perusahaan, dan
d) harus diperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/ pencemaran
lingkungan, maka perlu analisis dampak lingkungan (ANDAL).

2. Pelajari hasil evaluasi lahan yang dilakukan mahasiswa/pemerintah, perhatikan hasil qualitas
lahan dan hasil evaluasinya

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN


METODE MULTI CRITERIA EVALUATION DI KOTA PADANG

Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai drainase merupakan penilaian bobot tertinggi
untuk penentuan kesesnuaian lahan untuk kawasan permukiman di Kota Padang. Tingginya nilai
bobot drainase berdasarkan pendapat pakar didasarkan kepada karakteristik wilayah penelitian,
sebagian besar yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman berdasarkan pola ruang
periode 2010-2028 memiliki morfologi relative datar (0-8 persen). Hal ini berarti dengan
perbaikan drainase akan menurunkan banjir dan genangan saat musim penghujan. Karena Kota
Padang sekitar 13 persen merupakan kawasan rawan banjir. Indikator yang digunakan untuk
menentukan kesesuaian lahan kawasan permukiman yaitu: lereng, banjir, drainase, batuan
kerikil, tekstur, dan kedalaman efektif. Hasil perkalian antara bobot dengan harkat akan
diperoleh skor masing-masing indikator.

Hasil analisis kesesuaian lahan untuk permukiman di Kota Padang menunjukkan bahwa
terdapat sekitar 12.543 ha (18%) zona lahan yang sangat sesuai (S1); terdapat seluas 52.390 ha
(75,4%) luas zona lahan yang sesuai (S2); seluas 4.279 ha (6,2%) zona lahan yang sesuai
marjinal (S3); dan sebesar 285 ha (0,8%) zona tidak sesuai (N) untuk permukiman. Pertumbuhan
penduduk dan ekonomi pada suatu wilayah akan mendorong peningkatan pemanfaatan lahan
untuk kawasan permukiman, sebagai akibatnya banyak kawasan permukiman berkembang pada
zona yang tidak sesuai dengan penggunaannya (Burhanuddin, 2010). Penggunaan lahan yang
tidak sesuai dengan penggunaannya dapat menimbulkan kerusakan lahan (Kumajas, 2006;
Zakaria dan Hartono et al., 2015). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan penggunnaanya
tidak hanya berdampak pada kerusakan lahan, namun juga akan meninbulkan bencana alam dan
degradasi lingkungan (Sumadikum 2007, Rachmat et al., 2014).

Berdasarkan karakteristik Kota Padang, maka lahan yang dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan sebagai kawasan permukiman sekitar 30% dari luas wilayah. Kota Padang antara
periode 2000-2014 memiliki tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,4 persen/tahun, sebagai
akibatnya bertambahnya luas lahan terbangun sebesar 16,5% dari luas wilayah Kota Padang.
Hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan permukiman tahun 2014 menunjukkan seluas 3.824
ha (33,3%) merupakan zona sangat sesuai (S1), sebesar 6.617 ha (57,7%) kategori zona sesuai
(S2), sesuai marjinal (S3) seluas 1.005 ha (8,8%), dan tidak sesuai (N) seluas 21 ha (0,2%).

Kota Padang memiliki sekitar 30 persen kawasan yang dapat dikembangkan sebagai
pengembangan kawasan permukiman. Kawasan pengembangan permukiman sebagai besar
memiliki morfologi relatif datar, sehingga pada musim penghujan menimbulkan genangan dan
banjir. Hasil penilaian pakar dalam penentuan bobot, nilai tertinggi yaitu drainase. Kota Padang
berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman dengan menggunakan metode MCE
menunjukkan bahwa seluas 12.543 ha (18%) zona lahan yang sangat sesuai (S1). Selain itu, hasil
overlay kesesuaian lahan dengan penggunaan lahan tahun 2014 terdapat sebesar 0,2 persen
kawasan permukiman tidak sesuai (N) dengan penggunaannya. Kawasan tidak sesuai karena
memiliki kemiringan lereng lebi dari 27 persen.

Anda mungkin juga menyukai